Dian Nafi's Blog

October 29, 2013

BUKAN IBUKU

Aku jatuh terduduk bersandar salah satu kolom di lorong yang penuh wajah-wajah kusut. Kutelungkupkan wajahku di antara dua kakiku yang tertekuk. Berusaha menutup pendengaranku dengan kedua lutut yang kurapatkan ke telinga. Tetapi tetap saja suara napas berat dan tenggorokan yang bergetar hebat seperti suara binatang yang terluka itu menelusup ke dalam kepalaku. Tak pernah hadir dalam pikiranku sama sekali sebelumnya, kalau wanita tegar itu bisa menjadi selemah sekarang. Tak berdaya. Aku sampai tidak tega melihatnya dalam napas satu satu begitu.
Namun matanya tadi sempat menangkap kedatanganku. Karena dengan suara serak, beliau memanggil namaku saat aku hendak menuju pintu keluar kamar VIP tadi.


“Syarif,” lirihnya.


Kepalaku menoleh. Kulihat tangan beliau melambai lemah padaku. Tangan yang penuh kerut dan tampak makin menghitam dari hari ke hari.


“Nggih, budhe,” aku kembali berjalan mendekat ke arah beliau.


Dengan kepala yang langsung tertunduk begitu bersitatap dengan matanya yang redup dan layu.


“Kenapa memanggilku budhe lagi, Rif. Aku kan ibumu,” suaranya nyaris tak terdengar.


Namun aku bisa melihat harapan di dalam matanya. Tatapan permintaan. Pakdhe Bowo memberikan isyarat padaku dengan matanya. Seolah sebuah permintaan juga padaku. Mungkin semacam kode bahwa sebaiknya aku sekali ini mengalah. Seolah ini waktu-waktu sisa usia budhe. Seolah ini kesempatanku yang terakhir.


Kualihkan mataku ke sembarang arah meski langkahku makin merapat ke ranjang berseprai putih itu.


“Naaaang….Syarif…” wanita yang kesegarannya terenggut penyakit entah apa namanya itu meraih lenganku. Lemah, tanpa daya.


Aku menangkap jemarinya dengan cepat sebelum terkulai. Budhe-ku, kakak dari almarhum ibuku, dengan sisa kekuatannya menggenggam erat jemariku. Membawanya dekat dengan dadanya yang naik turun, menjaga agar parunya tetap terus bernafas. Tak tertahankan lagi, air mata yang mati-matian kutahan akhirnya luruh. Menitik. Menetes jatuh di atas tangan kami yang saling menggenggam.


“Aku ibumu, nak,” keluhnya melihat bibirku yang masih terkatup rapat.


Beliau tidak perlu tahu. Gigi-gigiku saling bergemeretak di baliknya. Menahan geram dan teriakan yang mungkin terlepas jika mulutku terbuka.


“Kemarin aku ibumu. Sekarang aku ibumu. Dan selamanya aku ibumu,” suaranya yang makin melemah terdengar seperti keluhan yang ditujukan budhe untuk dirinya sendiri.


Air mataku menderas. Bukan aku tidak mau memanggil atau mengakui budhe sebagai ibuku. Tetapi aku yang merasa tidak pantas menjadi putranya. Betapa tidak berterima kasihnya diriku. Budhe mengasuhku sejak aku masih belum masuk taman kanak-kanak. Terus bersabar pada diri dan kelakuanku yang sering acak-acakan. Sampai aku sebesar ini. Sampai diriku yang bebal ini duduk di bangku kelas tiga SMP.


“Riiiif..” suaranya makin melemah.


Tiba-tiba kemudian genggamannya mengendur, jemarinya melepaskan tanganku dan kepalanya terkulai lemah. Aku teriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Pakdhe Bowo buru-buru memanggil dokter dan perawat lewat nurse-call. Anak sulung budhe yang berdiri dekat pintu, langsung berlari keluar sembari meneriakkan nama dokter yang menangani perempuan di depanku ini.
Aku terkulai lemah di sisi pembaringannya. Kepalaku terasa berat. Kakiku lemas. Seseorang entah siapa membantuku bangkit berdiri dari lantai rumah sakit yang dingin. Hanya sempat kulihat kaki-kaki orang-orang tercintaku keluar satu persatu dari kamar berbau obat-obatan itu.
Di luar kamar, di lorong, anak-anak budhe bergerombol dengan adik-adiknya budhe. Pakdhe, berdiri termenung di salah satu sudut. Aku melepaskan diri dari mereka dan memilih meringkuk di sini.
Saat sesenggukan sepupuku berubah menjadi raungan, kepalaku spontan mendongak. Ya Allah, apa yang terjadi. Jangan Kau ambil beliau dulu ya Rabb. Aku masih belum memenuhi permintaannya, untuk memanggilnya ‘Ibu’ lagi. Seperti ketika pertama kali aku datang dulu. Beberapa tahun yang lalu.


**


Saat itu mataku mengembun. Hatiku gerimis. Meski ruangan dalam rumah besar berdinding papan kayu ini sangat lebar tapi terasa sempit mendesak jiwa dan batinku.


“Jangan dimarahi dan dipukul terus begitu, bu,” sebuah suara datang dari arah ruangan paling depan dari rumah tua ini.


Budhe berlari dan bersigap menahan tangan simbah putri dari menyentuh punggung dan pantatku lagi. Aku yang sedari tadi meringis kesakitan, langsung menarik nafas lega.


“Katamu kemarin-kemarin jangan memanjakan Syarif,” simbah putri menyangkal kalimat budhe.


Meski kalimatnya keras, matanya masih memandangku dengan pedas, tapi simbah putri melepaskan tangannya. Urung menyentuh badanku lagi. Untunglah budhe, bidadari penolongku itu datang tepat pada waktunya. Entah jam berapa beliau berangkat dari Magelang. Sehingga sepagi ini, bahkan sebelum matahari terbit, beliau sudah sampai. Di kota kecil tempat aku diasuh nenekku sejak lahir tanpa air susu ibu. Perempuan pemilik rahim yang mengandungku itu bahkan tak pernah kulihat wajahnya dengan jelas. Aku masih berusia tiga bulan saat kanker paru merenggutnya nyawa dan kehidupannya.


“Dia tidak lahir untuk dimanja atau dimarahi. Nyuwun pangapunten, ibu,” budhe bersimpuh di kaki simbah putri.


Dengan penuh kelembutan dan takzim budhe menciumi telapak dan punggung tangan simbah putrid. Bolak balik. Kebiasaan di lingkungan pesantren dan keluarga santri kadang sama dengan adab dan adat kebiasaan di keraton-keraton. Bahkan mungkin kadang ada yang sedikit berlebihan.


“Ibu sudah makin sepuh. Nyuwun sewu lho bu,” jemari budhe membelai telapak tangan simbah putri yang berkerut-kerut.


Budhe terus-terusan meminta maaf pada simbah putri. Mungkin kesopanan dan penghormatan itu pula yang menyebabkan budhe menjadi salah satu anak kebanggaan simbah putri. Di samping kenyataan bahwa saat ini budhe adalah satu-satunya anaknya yang sudah mendirikan dan memiliki pondok pesantren.






“Memang aku sudah tua, nduk. Sedhelok maneh aku lungo,” sebentar lagi aku pergi. Kalimat simbah putri menyebabkan budhe menangis lebih hebat.


“Panjang yuswo, bu. Mugi ibu panjang yuswo. Tapi saya minta ijin untuk mengasuh Syarif, bu. Supaya ibu tidak terlalu capek. Syarif semakin besar, semakin kuat. Ibu sudah tidak kuat menggendongnya lagi seperti dulu,” sembari mencoba menghapus air matanya, budhe terus membujuk simbah putri.


Aku beringsut meninggalkan ruangan tengah rumah simbah putri. Sesampai di ruang tamu, bergegas aku melarikan diri ke warnet dekat rumah untuk main game-online yang membuatku keranjingan.


**


Hanya selang beberapa hari sejak kejadian itu, simbah putri menjadi makin payah kondisi kesehatannya. Sepupu-sepupu dan budhe-budheku bilang mungkin karena aku dibawa pergi dari rumah simbah putri oleh budheku. Diboyong ke rumah dan pesantrennya di Magelang.


“Aku sekarang ibumu, Rif. Panggil aku ibu,” ujar budhe lembut sembari mendekapku.


Lengannya yang hangat membenamkanku dalam pelukannya. Aku menemukan apa yang kucari selama ini. Simbah putri terlalu tua untuk menjadi ibuku. Dan beliau tidak mengijinkan ayahku membawa Syarif kecil waktu itu karena tidak menginginkan aku dipeluk yang bukan ibuku. Ibu tiri terkenal sebagai seseorang yang kejam, dalam cerita dan mitos-mitos.




“Ibu…” lirihku sembari memeluk budhe erat-erat.


Budhe, ibu baruku, melimpahiku dengan kasih sayang yang penuh. Aku segera nyaman oleh kehangatan keluarganya, suaminya yang sekarang kupanggil ‘Abah’, ketiga sepupuku yang menyayangiku. Belum lagi santri-santri, anak didik budhe-ku, sangat menyayangiku juga.
Namun beberapa waktu kemudian kusadari bahwa tempat itu hanya ramai di dalam kompleks pesantren. Tetapi sesungguhnya kampung dan dusunnya sungguh sepi, di kaki gunung Merbabu. Dalam kompleks yang berpagar dan beraturan ketat. Sehingga aku tidak bisa lagi main game sesukaku.
Sebagai pelampiasan dari keinginan yang tidak terpenuhi, aku memberontak. Tapi kepandaiannya mengelus jiwa membuatku kembali takluk padanya. Aku masih memanggilnya ‘Ibu’ dan mengikuti aturannya meski sesekali melawan.
Budhe masih terus menyayangiku meski aku terus menerus melakukan perlawanan. Aku baru menyadarinya sekarang. Bahkan dia masih menganggap aku anaknya meski aku berhenti memanggilnya ‘Ibu’ suatu ketika.


“Kamu yakin akan ikut dengan ayahmu?” budhe menanyaiku pagi itu ketika kusampaikan maksudku.


Ayah menemuiku di pesantren tempatku mondok di Kudus sejak aku duduk di bangku SD sampai SMP.


“Iya,” jawabku pendek.


Seharusnya budhe tahu ayahku masih berhak atas diriku.


“Dia belum tentu bisa menghidupi dan menyekolahkanmu dengan layak jika kamu ikut dengannya ke Malaysia. Dia kan masih mau merintis kerja,” budhe mencoba meraih bahuku.


Namun aku mengelak. Selama ini aku juga tunduk dan takluk padanya gegara aku membiarkan perempuan ‘penguasa’ ini menyentuh bahuku. Dia dengan mantra dan bujukan ajaibnya memang menaklukkan semua orang. Suaminya, anak-anaknya, santri-santrinya, termasuk aku. Sekarang aku Cuma mau bebas. Aku membayangkan segera bisa berjalan-jalan ke Malaysia.


“Bagaimana kalau tidak sukses di sana? Apa kamu mau menggelandang? Masa depanmu lebih terjamin di sini bersama Ibu,” budhe mencoba sekali lagi meraih bahuku.


“Budhe bukan ibuku!” sahutku cepat. Tajam. Ketus.


Kulihat matanya membelalak. Mulutnya menganga. Aku berkelit cepat dari sisinya. Semakin lama menatapnya yang bisa kulihat budhe makin menyerupai simbah putri. Yang memandang ayahku sendiri sebagai seorang pecundang. Seseorang yang dulu pernah berbohong dengan mengaku sebagai jejaka agar bisa menikahi perempuan yang kemudian menjadi ibu kandungku. Seseorang yang dipaksa pergi dari rumah besar simbah putri selepas peringatan seratus hari kematian ibu kandungku. Keluarga besar tidak menginginkan lagi kehadirannya. Mungkin dianggap akan mengambil harta warisan yang menjadi jatah ibu kandungku.


**


“Syarif…” suara pakdhe dekat di telingaku.


Beliau yang sama penyayangnya dengan budhe, tampak mengkhawatirkan diriku. Matanya yang makin berkantung karena menunggui budhe berhari-hari selama di rumah sakit mengawasiku lembut.


“Ibu..ibu..” suaraku lemah.


Mungkin aku tadi tidak sadarkan diri. Atau mungkin berada di ambang batas antara kesadaran dan ketidaksadaran.


“Iya, nak. Ibumu…” pakdhe mengecupku lembut di kening.


Sama seperti saat beliau mengecup kening sepupu-sepupuku yang adalah anak-anaknya sendiri. Aku meraba-raba apa yang terjadi. Tidak mungkin budhe sudah lewat kalau pakdhe masih bisa menyapaku di sini, jatuh terduduk di kolom yang sama, di lorong yang sama.


“Ibu..?” aku takut bertanya tapi toh bertanya juga.


“Dia mau bertemu semua orang. Dia mau bertemu kamu,” pakdhe membimbingku bangkit.


Dengan langkah-langkah yang sama panjang, kami berjalan cepat menuju kamar budhe.


“Anakku..” budhe melambai ke arahku.


Ketiga anaknya berdiri di sisi pembaringannya. Keempat adiknya budhe, yang adalah budhe-budheku juga, berdiri rapat di dekat mereka. Kurasa almarhumah ibu kandungku yang menjadi adik bungsu mereka, juga ada di sini. Hadir bersama kami.


“Ibu…” lirihku sembari menghambur ke dalam pelukannya.


Ketakutan menyergapku. Apakah ini saatnya? Apakah ibuku yang ini juga akan segera berkumpul dengan ibuku di alam lain. Yang tak terjamah. Yang tak terlihat.


“Iya, nak. Aku ibumu. Selamanya ibumu,” suara ibu seperti tertelan sedu sedan tangis orang-orang yang mengelilinginya. Juga tangisku sendiri, yang pecah tak tertahankan.


“Ibu… jangan pergi, bu. Jangan pergi….” Aku meraung-raung.


Ketiga sepupuku memeluk aku dan ibu mereka. Kami bertangisan cukup lama. Tapi bisa kulihat wajah ibuku yang penyayang tapi disiplin itu berseri. Membuat jeritan kami makin meninggi. Wajahnya tersenyum saat matanya perlahan-lahan mengatup.


“Ibuuuuuu…”


Kulihat dua ibuku bergandengan tangan dan melambaikan tangan mereka ke arahku. Aku tahu, bu. Kalian terlalu cantik dan mulia untuk terus berada di dunia yang makin carut marut ini. Aku tahu.
Aku tahu, bu. Aku masih belum lagi pantas menjadi anak kalian yang tak pernah mengenal sakit hati. Aku tahu.
Aku tahu, bu. Kalian bahkan masih mendoakanku di alam sana meski aku masih harus tertatih belajar. Belajar berterima kasih, belajar bersyukur, belajar bersabar, dan belajar banyak hal lainnya tentang kehidupan.
Aku tahu, bu. Karena kalianlah ibuku.
4 likes ·   •  2 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 29, 2013 17:35 Tags: ibu, kematian, pesantren, piatu, santri

March 20, 2013

TAPAK TANGAN

by Dian Nafi

Aku hampir tidak mau mengakuinya tapi tampak jelas jika pusat duniaku sesaat, entah berapa lama, berpindah pada seseorang yang agak gila ini. Dia mengaku sebagai seorang pekerja kreatif. Okelah, mari kita menyebutnya begitu.

“Ummi jatuh cinta”

Empat tahun usianya tapi cukup cerdik untuk memahami apa yang terjadi dan cukup berani untuk menyampaikan kejujuran.

“Kata siapa?”

Seorang pekerja kreatif yang agak gila di depanku bertanya dengan kumisnya yang tersenyum penuh kemenangan. Dia menyentuh rambut perempuan kecil itu dengan telapak tangannya yang putih.

“Rambut yang bagus”

Pujian untuk seorang balita yang berada di pihaknya, padahal dia anakku.

Dia membuka telapak tangannya, mengajak anak perempuanku give him five, give him ten. Dua telapak tangan yang bagus dengan garis –garis tapak tangan yang jelas M nya. Lurus, rapi.

“Bagaimana bisa?”

Meloncat begitu saja pertanyaanku.

“Apanya?”

Pekerja kreatif agak gila itu balik bertanya.

“Garis tapak tangan kamu bagus. Kenapa bertemu aku? Garis tapak tanganku tak bagus, karenanya aku boleh melakukan kegilaan.”

Aku menyimpan pedihku karena dia mungkin tidak segila yang aku kira tapi aku mengasumsikannya demikian. Maaf. Bahkan dia lebih muda dari fotonya. Aku menyukai gayanya berpakaian. Muda banget untuk seumuran dia yang sepuluh tahun lebih tua dariku, padahal aku sendiri sudah tiga puluh empat.

“Aku sudah memikirkannya. Kita akan menulis trilogi untuk cerita kita yang kemarin”

Seperti biasa pekerja kreatif setengah gila itu mengalihkan pembicaraan.

Lalu kami tenggelam dalam genangan ide dan banjir lahar kata-kata dan sejenak melupakan fakta bahwa aku semakin jauh terlibat dengan suami orang.


**


“Apa ada yang salah dengan selingkuh tulisan?”

Tanyanya, tanyaku juga.

Selingkuh tetap saja selingkuh. Dan itu tidak sama dengan setia. Tak lagi mempunyai pemahaman atas selingkuh dan setia membuat kami menikmati sesuatu entah apa. Dan ada rasa bersalah selalu singgah sesudahnya. Tidakkah cukup membuktikan bahwa keterlibatan dan ketenggalaman ini adalah suatu kesalahan yang biasa disebut sebagai dosa.


**


“Tolong kembali memutar dan drop in lagi ya”

Tergesa aku menelpon pekerja kreatif setengah gila itu. Dan kukira dia menyambutnya dengan gembira, tentu saja dia senang dengan caraku menahannya pergi. Seperti aku juga seringkali senang dengan caranya selalu kembali dan membuatku tak bisa berpaling.

“Ada yang belum usai?”

Senyum dengan kumisnya yang menantang benar-benar hampir meruntuhkan duniaku. Dia turun dari mobil yang mengantarnya berputar kembali untuk menemuiku untuk yang kedua kalinya di pertemuan pertama kami, di hari yang satu-satunya ini.

Kami kembali berjalan beriringan, kali ini hanya berdua. Karena aku sudah membawa pulang ke rumah anak perempuan kecilku yang tadi menemani kami berdua. Putri cantikku yang selalu merindukan ayahnya di surga dan selalu senang jika ada pria dewasa di dekatnya, dia sudah banyak membantu tadi. Memecah kekakuan antara kami yang sebelumnya hanya bertemu di maya. Saatnya berdua saja, seperti yang selalu kami tuliskan bersama dalam karya-karya kami.

Dia terus bicara tentang film, tulisan, konser, tour, buku dan apa saja. Dan aku, perempuan kesepian yang rapuh, sudah cukup nyaman hanya dengan berjalan bersisian dengannya. Kesatuan jiwa seindahnya dipadu dalam ikatan yang sah. Namun meski dia seseorang yang sangat nyaman untuk dijadikan belahan jiwa , figur yang bisa dijadikan ayah bagi anak-anak siapa saja, tetapi mungkin bukan calon yang ideal menurut nilai-nilai dalam keluarga besarku.. Kami berbeda di banyak hal, tetapi sebenarnya mirip di banyak hal lainnya. Tapi ada yang bilang jika dua orang berbeda gender saling tertarik dan kemudian bertemu di masjid kuno dengan tiang dari Majapahit ini, akan menikah pada suatu saatnya nanti. Kalian pernah dengar mitos ini?


**


“Kenapa?”

Dia bertanya heran melihatku mengambil langkah mundur lalu mengambil tempat disebelah kirinya berjalan setelah sebelumnya berada di sebelah kanannya.

“Ooooo…”

Ada seorang gila beneran dengan pakaian setengah telanjang berjalan dari arah berlawanan.

“Hehehe..orang gila takut orang gila”

Aku yang mengaku gila juga menyembunyikan malu di wajahku yang memerah ketika sesaat tadi berada di belakang punggung pekerja kreatif setengah gila yang aku gilai. Nyamannya punggung yang bukan milikku, jadi lupakan untuk bersandar di sana apalagi memeluk pinggangnya.


“Oh No!”

Sekali lagi aku terkejut. Kali ini hendak melarikan diri Karena kami berpapasan dengan serombongan orang yang hendak pergi ke makam untuk kirim doa bagi sesepuh yang dihauli hari ini.

Tapi aku mengurungkan niatku. Pekerja kreatif setengah gila ini telah meluangkan waktu dan energinya untuk terbang 45 menit dari kota yang sangat jauh, melalui rangkaian kerja dua hari dua malam yang melelahkan, balik lagi dari kota sebelah selatan kotaku setelah menempuh dua jam pulang-pergi kembali ke utara untuk bertemu aku, dan aku tidak cukup memberinya penghargaan? Tuan rumah macam apa aku ini? Kekasih macam apa aku ini yang meninggalkan kekasihnya begitu saja karena rasa segan yang terinternalisasi dalam diriku - bagian dari segerombolan manusia yang disebut sebagai keluarga, yang menjunjung tinggi sesuatu yang disebut dengan kehormatan?

Sejurus kemudian tak terhindarkan lagi pertemuan telapak tangan bergaris tapak bagus itu dengan telapak tangan-tangan saudara ayahku, anak anak saudara ayahku, saudaraku seayah ibu. Yang kusebut terakhir termasuk yang istimewa. .

“Ini si penulis resep yang juga masih harus berjuang terus demi kesehatan putranya”

Aku mengenalkannya ketika mereka berjabat tangan.

Pekerja kreatif setengah gila itu akhirnya bertemu dengan orang-orang yang selama ini juga menjadi bagian dari cerita-ceritaku yang mengalir bersama rasa dan rahasiaku. Terutama mengenai si istimewa itu, karena pekerja kreatif setengah gila itu menaruh perhatian terhadap adik-adik dan juga anak-anakku. Tak perlu meragukannya, dia – si pekerja kreatif setengah gila itu – mungkin diciptakan Tuhan ketika Dia sedang jatuh cinta. Sehingga ia sebenarnya mungkin bukan manusia, tetapi hati. Hati yang punya telapak tangan dengan garis tapak tangan yang bagus.


**


Tuhan memang baik.

“Keren”

Kata dia suatu saat ketika kami sedang berdiskusi dan aku mengutip satu ayat yang bahkan secara eksplisit menuliskan ajakan Tuhan agar siapa saja kembali kepadaNya dan memasuki rumahNya. penuh dengan rasa kepuasan dan juga kepuasan Tuhan atas seseorang itu. Rodhiyatan Mardhiyah.

“Ya iyalah, keren. Gusti Allah gitu lhoh”

Aku senang karena tanpa sengaja membawanya dan juga diriku sendiri, pada satu lagi kesadaran bahwa Dia begitu keren dan hebat.

Sehebat skenario-Nya pada hari dimana aku bertemu darat untuk pertama kalinya dengan guru yang sahabat sekaligus sephia-ku bernama pekerja kreatif setengah gila itu. Ternyata aku tak harus tenggelam dalam kegilaan yang lebih jauh seperti bersamanya menikmati perselingkuhan dengan lunch atau dinner yang romantis di sebuah resto, mengobrol panjang tak jelas di suatu lobby hotel tempatnya menginap, di gelap gedung yang memutar film romantis, di rinai hujan di lorong lorong kota lama, di bangku stasiun kereta. Tuhan menyelamatkan aku, karena di hari satu-satunya itu aku harus ada di sekitar rumah saja karena ada acara haul (peringatan hari kematian) sesepuhku.

Sungguh terselamatkan, jauh dari bayangan ketakutanku yang tak beralasan.

“Aku akan datang ke kota sebelah utara dekat kotamu purnama depan” dibalik telpon terdengar suara baritonnya yang hangat dan selalu membuatku merindu untuk ditelponnya lagi.

“Mungkin malam sebelum aku melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya, aku akan menginap di kota sebelah selatan kotamu”

Suaranya semakin berat dan entah kenapa aku hampir lunglai mendengar kalimatnya barusan. Seperti kelinci hendak diterkam serigala, aku menggigil dan menggelepar-gelepar.

Lalu bayangan akan dua tangan saling menggenggam, berjalan bergandengan di kota lama, mungkin menonton sebuah film yang selalu dia hembus-hembuskan belakangan ini dan berakhir di bangku stasiun menunggu kereta yang akan membawanya jauh ke kota timur kotaku. Dengan kepalaku bersandar di pundaknya, duduk bersisian di bangku yang gambarnya selalu ada di note-ku dan note-nya..

Membayangkannya saja jantungku berdegup tak karuan dan kurasakan aliran hangat menjalar di sekujur pembuluh darah dan semua bagian tubuhku. Aku sejenak pingsan dalam ketakberdayaanku melawan tirani bersembunyi di balik topeng bernama cinta.

Yang tidak bisa aku fahami dan menimbulkan kecemasan lebih lanjut - karena ini mungkin sekali tanda-tanda aku stress - adalah aku terlambat datang bulan selama hampir dua minggu. Oops..belum pernah terjadi sebelumnya kecuali aku hamil. Dan karena tidak terjadi pembuahan karena bertemu saja bahkan belum pernah, jadi ini lebih berbahaya daripada hamil. Aku alami gejala depresi dan ketakutan akan entah apa.


**


Duduk bersamanya di tempat suci ini dengan wajah bersihnya dan telapak tangan yang bergaris tapak tangan bagus menghentikan sejenak desir waktu. Apa yang mungkin menautkan kita, dan setiap mereka yang memiliki kepercayaan, hanya satu: bahwa kita tercipta dari tiada, menuju waktu. Tentu sebuah perjalanan yang paling menyakitkan, karena menuju waktu ialah menuju materi dan segala batasan-batasannya. Dan nyatalah bahwa kita tak sekedar materi: tapi kita ialah ketak-utuhan yang bermakna. Tak utuh karena pada saatnya kita mengutuki yang material dari kita: raga. Dan pada saat itu kita mengangankan ke-agung-an yang tak materi, namun ada.


“Malu ah”

Katanya kemudian ketika aku menawarkan supaya dia duduk minum dan makan di rumahku saja. Daripada dia haus dan lapar, karena kami hanya duduk di serambi masjid tanpa hidangan kecuali perbincangan yang hangat tapi ngalor ngidul.

“Iya juga. Ada banyak sekali orang dan keluarga besar datang berkumpul di rumah. Ya sudahlah disini saja”aku menurut saja.

Cuaca cerah, Senin kan ya? Tapi kulihat banyak sekali wisatawan religi di kompleks masjid ini padahal ini bukan hari libur. Kami tersembunyi di keramaian, bahkan mungkin ada yang mengira kami juga wisatawan dan bukan dua orang gila yang melalui perjalanan dan kisah gila sebelum mendarat bersama di serambi masjid kuno ini.

Kukira pertemuan darat kami menghentikan kegilaan kami di maya. Tapi ternyata tidak. Segalanya masih sama seperti sebelum pertemuan. Kegilaan yang sama.

Aku kadang berada di ruang cemburu dan ragu tiap kali mengingat bahwa ia bukan milikku. Tapi juga di labirin ceria dan hangat mengingat ia tetap setia menelponku dua tiga kali sehari.

Seringkali muncul pertanyaan dalam benakku sendiri, tapi tak pernah kutanyakan padanya, ke mana istrinya. Kenapa bukan istrinya yang menerima kelimpahan perhatian dan kasih sayang ini. Siapa yang tidak normal di antara mereka berdua, istrinya atau pekerja kreatif setengah gila itu. Jangan tanya diriku, kalau aku jelas tidak normal karena mau-maunya terlibat dengan suami orang. Bukan pula untuk bersama dalam pernikahan kedua, hanya untuk bersama menumpahkan kegelisahan dan mengawinkan ide serta tulisan –tulisan kami. Kami menyebutnya sebagai persahabatan.

“Aku mulai capek dengan permainan dan perjalanan yang tak berujung ini” aku menyampaikan keluhan.

“Kamu mau pergi?”

Pekerja kreatif setengah gila itu bertanya dengan kalimat tertahan seperti menahan pertahananku yang hampir tak bertahan lagi.

Lagu cintaku, cintamu, cinta kita, Nicky Ukur terus menerus diputar melatari percakapan ini. Dari sejumlah novel dan film sering disitir, yang paling disesali bukanlah perpisahan, tapi pertemuan.

Kenapa bertemu? Kenapa?

Tak ada jawaban kecuali jerawat yang datang setelah bertahun lamanya tak menyinggahi pipiku, si perempuan rapuh kesepian. Mungkinkah itu karena aku menyentuh telapak tangan yang garis tapak tangannya bagus ?
4 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 20, 2013 23:55 Tags: cerpen

KAOS KAKI

By Dian Nafi

“Haji itu harus dengan uang yang halal”
Kata-kata itu terngiang di benakku.
Aku memandangi kaos kaki basah yang kuseret dengan hati remuk. Hiks. Adakah ini pertanda ada yang kurang bersih dalam uangku yang kugunakan untuk berhaji.
Airmataku juga meleleh, tak terhindarkan. Aku berjalan antara shofa marwa dengan perasaan hancur. Adakah aku ini suci dzohir batin ataukah seperti yang kusangkakan pada diriku sendiri, aku setengah bersih setengah kotor. Mungkin seperberapa bersih seperberapa kotor.
Salahku juga tadi tidak membawa kaos kaki cadangan. Sehingga kaos kaki yang kupakai terpaksa basah karena tak kulepas selama aku masih dalam kondisi ihram melakukan umroh ini. Dan kenapa aku ragu kaos kaki ini masih suci atau tidak, karena aku pergi ke hammam / kamar mandi untuk buang air kecil. Hanya di dalam kamar mandi tertutup, aku bisa membuka kaos kaki sebelum melakukan hajat itu. Tetapi selama melewati ruang hammam yang terbuka, aku tidak mungkin melepaskannya. Jadi siapa tahu di lantai ruang hammam yang terbuka itu suci semua, meski petugas kebersihan selalu berusaha membersihkannya. Siapa yang tahu? Siapa tahu tetap ada yang tidak suci sepanjang jalan itu, dan ada yang nyangkut atau meresap di kaos kaki basahku?
Astaghfirullah. Membayangkannya saja, aku meringis, pilu. Bagaimana kalau tahu kenyataannya. Dan hatiku yang sensitive, yang selalu menghubungkan suatu peristiwa dan keadaan dengan tingkah lakuku sendiri, berderak. Hatiku berdecit. Merintih. Astaghfirullah. Ampuni aku ya Allah, atas semua dosa,kesalahan, kekhilafan, keberanian melanggar laranganMu. Ampuni aku ya Allah,ampuni aku.
Aku berjalan sepanjang shofa marwa dengan kaos kaki basah yang entah kesuciannya dengan berlinang air mata. Sa’i yang tak mungkin kubatalkan begitu saja karena ini sa’i dalam umroh wajib yang sedang kulakukan. Tinggal sedikit lagi perjuangan, kemudian tahalul bercukur dan aku baru bebas. Selesai. Paripurna. Dan aku baru bisa melepas kaos kaki itu.
Yang terus berkecamuk dalam kepalaku adalah kemungkinan –kemungkinan tercampurnya uang hajiku dengan penghasilan yang kurang halal sepenuhnya. Hiks.
Dan kaos kaki basah yang entah itu membasahi dan mungkinkah mengotori, astaghfirullahaladziim semoga tidak, rute sepanjang shofa marwa. Apakah itu artinya aku mengotori rumah Allah ini, masjidil haram. Dan membuat beberapa orang yang berjalan di sepanjang bekas jejak kaos kakiku ikut terkotori,astaghfirullah. Betapa dosa membawa dosa dan menambah dosa di atas dosa. Kotor menularkan kotor, menambah salah di atas salah. Astaghfirullaaaaah……………hatiku remuk redam.
Apakah ada uang yayasan yang dititipkan padaku sebagai bendahara ada yang terlewat pembukuannya, meskipun sedikit? Dan karenanya,uangku sedikit tercampuri? Aku mulai menduga-duga.
Sebenarnya menjadi bendahara yayasan untuk periode lama, karena belum pernah diganti selama empat kali periode, amat berat bagiku. Ada banyak pengeluaran di luar pengeluaran resmi, seperti bensin,waktu dan tenaga yang kugunakan untuk mengambil uang sewa kios – kios milik yayasan setiap bulannya. Sebelumnya tak terbersit tentang hal ini, tetapi hembusan dari ibuku membuatku mengindahkannya. Lalu mulai memasukkan pengeluaran ini sejak entah kapan. Hanya dua ribu rupiah sih per bulan. Tetapi dengan akumulasi sekian lama, beberapa tahun, jumlahnya mungkin jadi tidak sedikit lagi. Apakah itu yang mengotoriku? Mengotori uangku? Termasuk yang kugunakan untuk membayar ongkos haji?
Kepalaku menggeleng-geleng sendiri, menyadari kemungkinan datangnya kotor itu. Entahlah.
Ataukah karena kadang-kadang aku tidak sepenuhnya merampungkan tugas desain dari klien dengan optimal? Kadang karena diburu deadline atau mengerjakan sesuatu sambil momong anak-anak, aku mengerjakannya asal saja? Apakah yang seperti itu termasuk mengotori ?entahlah.
Aku terus meraba-raba. Tapi sedih, itu yang jelas kurasakan.
Menangis meratap di ujung bukit marwah di akhir perjalanan sa’iku. Bersujud di batu – batuan di sana sambil merintih. Alangkah pilu dan pahitnya rasa berdosa.
Aku pulang ke maktabku di Hafair dengan masih berlinang air mata. Sembab dan masih dengan hati yang meleleh.
Atau…..ah,aku ingat. Aku ingat kejadian beberapa hari lalu sehubungan dengan kaos kaki. Apakah itu penyebab semua kekacauan dan kegelisahanku ini?
Entahlah
**

“Wah, nduk. Kaos kakiku bolong”
Mbah Karmi, perempuan tua yang satu kamar denganku di maktab, menunjukkan jempolnya yang keluar nongol dari dalam kaos kakinya.
Aku mengintip sedikit isi tas cangklong biruku yang selalu kubawa ke mana mana selama haji ini.
Ada. Aku masih membawa kaos kaki cadangan. Tetapi ah, aku segan dan ogah meminjamkan kaos kakiku untuk mbah Karmi. Kenapa ya? Kenapa ogah? Mungkin sifat pelitku yang mendarah daging selama tinggal di Indonesia tetap belum mau pergi meski sekarang sedang berhaji di haromain.
“Hmm..gimana ya mbah?”
“Ya…aku tidak bisa thawaf dengan kaos kaki berlubang”
Mbah Karmi menepi,menjauhi ka’bah.
Dan aku?
Aku tak juga punya kesadaran untuk meminjamkan kaos kaki cadanganku kepadanya.
Pelit dan juga sifat-sifat lain yang negative ternyata memang susah sembuhnya.padahal pembekalan waktu sebelum haji jelas sekali dikatakan bahwa shodaqoh kita selama perjalanan haji akan dilipatgandakan. Bahkan sampai puluhan ribu kali lipat. Tapi ya itu, susah saja untuk tidak pelit.
Jadi kebiasaan kita selama hidup akhirnya menentukan akhir dari kehidupan kita, ya seperti itu mungkin kejadiannya. Kita sadar kalau perbuatan ini baik, sikap ini buruk, tetapi bawah sadar kita yang lebih bicara.

** seperti diceritakan kisah seseorang kepada penulis
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 20, 2013 23:53 Tags: cerpen

Bukan Remaja Biasa

BUKAN REMAJA BIASA
By Dian Nafi

Aku bukan remaja biasa. Aku sadari penuh hal ini. Eyangku dan keluarga besarnya dari kalangan santri yang menjunjung tinggi tata krama dan berbagai aturan tak tertulis yang kental sekali dengan kesantrian. Ibuku meski bukan dari kalangan ningrat walaupun berasal dari Solo, sangat memegang erat aturan-aturan kuno berkenaan dengan sopan santun, tentang yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Jadi ini pemberontakanku yang tak biasa. Aku menyekapnya dalam rahasia lubuk hati, bagai api dalam sekam, yang siap menyambar jika suatu waktu badai angin mengilukannya dan membuat lukanya terjaga.
Aku bukan remaja biasa. Aku terluka di masa lalu, dikerangkeng watak –watak keras dan arogan berbungkus wajah kealiman, tapi jeritan kebebasan memanggilku. Karena aku dilahirkan sebagai seorang Gemini. Di bawah rasinya, para pemimpin dilahirkan dan dibesarkan. Di dua mukanya, si kembar seakan bisa ke kanan dan ke kiri sekaligus. Ini awal paradoksku yang nyata. Aku dilahirkan sebagai pemberontak dan paradoks.
Aku bukan remaja biasa. Kemalangan dan keluhanku membungkus aku dalam wajah absurd dan penuh kemarahan yang tertahan.
“Pulang ya nak” bujuk ibu dari seberang telpon.
Aku tergugu, duduk di sudut kamar entah siapa dengan galau dan air mata yang telah mengering.
“Ibu tidak marah padamu” seperti bukan ibu yang kukenal selama ini.
Ini tidak mungkin ibu. Ibu bukan seorang yang pengertian. Ibuku seorang penuntut dan ingin anak-anaknya sempurna, perfect. Ibu tidak menerima alasan apapun. Ibu tidak mau tahu. Jika ibu bermaksud memperdayaku, aku akan balik memperdayakannya.
***
“Jangan menyalahkan ibumu, Dew, atas masa lalumu” Yudhika membelaiku dengan kalimat lembutnya. Kami tidak pernah bertemu tapi ia dengan mantra dan keajaibannya selalu bisa meredakan amarah dan gelisahku. Mungkin Tuhan menciptakannya saat Dia jatuh cinta. Jadi sebenarnya ia bukan seorang manusia, tetapi sebuah hati yang bisa bicara dan tertawa.
“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri dan ibumu” ujarnya lagi dari seberang telpon.
“Oh ya?!!” pekikku. Hanya dalam hati, hanya didengar sendiri.
Ibu di sana! Melihatku dan kejadiannya. Tapi semua berlalu seperti tidak terjadi apa-apa. Bagaimana aku bisa memaafkan ibuku?!
“Meski demikian. Kamu masih bisa memaafkannya, Dewi” Yudhika seperti membaca pikiranku. Ia telah tahu kisah ini sebelumnya. Ia orang pertama yang membuka kotak rahasiaku yang ini. Aku belum pernah menceritakannya pada siapapun, bahkan pada diriku sendiri. Aku tidak pernah berani menuliskannya. Meski hanya secuil kertas tissue untuk kurobek kembali tapi Yudhika dengan kepiawaiannya berhasil membuatku berkelopak membuka luka lama itu. Yang pada awalnya menyakitkan, tapi tak sempat membuatku menangis karena yang ada hanya perih membusuk. Kemudian perlahan seperti kanal, luka itu mengalir membuat torehan –torehannya dalam ingatan, dalam tulisan, dalam catatan, dalam gurauan, dalam mantra, tapi entah ini penyembuhan seperti yang dikatakan Yudhika sebelumnya. Atau justru kambuhan atas penyakit bernama dendam.
***
“Dewi! Jika kamu tidak pulang segera, ibu tahu harus berbuat apa!”
Nhah!! Ini baru ibuku, tukas pikiranku cepat.
Tapi aku masih diam, menahan napas. Aku belum mau pulang. Aku tidak ingin membuat ibu terluka. Yudhika bilang ibuku sangat mencintai aku dan aku sangat mencintai ibuku, tetapi kami tidak tahu bagaimana cara mencintai satu sama lain.
***
“Tatap matanya tiga detik saja, Dew” saran Yudhika suatu ketika.
Aku tiga detik juga terdiam mencernanya.
“Nggak berani ya?” tanya sahabat mayaku itu.
“Mungkin……nggak” jawabku akhirnya.
“Aku bahkan tidak sempat mengenal ibuku….”Yudhika menyahut lirih.
Ibunya meninggal beberapa saat setelah melahirkannya. Kerinduan Yudhika akan sosok seorang ibu kemudian membuatku sadar aku seharusnya lebih bisa memaafkan ibuku dan belajar mencintainya.
**
Dan aku memutuskan pulang ke rumah.
“Dewi..” ibu memelukku erat. Masih ada gumpalan es di sana, di dadaku. Tapi aku perlahan membiarkannya mencair.
“Maafkan Dewi, bu” lirih, jujur, penuh pengharapan. Semoga Tuhan mendengar dan membantu hasratku untuk mulai belajar mencintai ibuku lagi.
“Kamu boleh memilih sendiri apa yang menjadi keinginanmu, Dew” doa pertama yang terjawab. Pemberian kebebasan oleh ibu tentu saja menumbuhkan respek di hatiku, salah satu benih cinta yang bisa dipupuk kemudian.
“Terimakasih, bu” terasa pelukanku membalasnya erat, mencairkan lagi gumpalan es di sana, di dadaku.
**
Aku mengenalnya melalui dunia maya. Seorang muda yang kiprahnya luar biasa. Niken. Aku yakin banyak orang sudah mengenal bahkan memakai layanan berbagai situs yang dimilikinya. Meski kecemburuan itu ada, tapi aku menepisnya. Seorang sukses seperti Niken tidak boleh berhenti untuk dicemburui saja, tetapi harus dikeruk berbagai kecerdasannya dalam menemukan, menginisiasi, merencanakan, menindaklanjuti dan mengembangkan sayap-sayap kebebasannya dalam berekspresi dan berkarya.
Meski kadang aku melihatnya berdiri seperti menara gading, tetapi dia tampaknya selalu berhasil menjadi air yang menghanyutkan banyak pihak, bahkan orang-orang yang baru ditemuinya, untuk bersama-sama dia mewujudkan mimpi-mimpinya. Perpaduan karakter yang unik sebenarnya dan tentu saja tak mudah untuk ditiru, terutama sekali oleh seorang peragu. Dan yang menarik, Niken tak segan membagi beberapa rumus yang ia dapatkan sepanjang perjalanan kesuksesannya itu bagi banyak orang. Dibayar maupun tidak. Walaupun ia seringkali mengkomunikasikannya dalam bahasa yang hanya sebagian orang tertentu sajalah yang dapat memahaminya. Yang cerdas dan berkeingin-tahuan tinggi.
Berangkat dari passion, kecintaannya pada sesuatu, ia menciptakan sendiri keberuntungannya. Demikian ia seringkali menyebutnya. Luck is when preparation meets opportunity. Dan keberanian untuk mengambil resiko yang lebih tinggi lagi yang membuatnya semakin berkibar dan melebar. Meski tak dapat dipungkiri, postur tubuhnya yang tinggi dan wajahnya yang menarik adalah satu poin tersendiri yang menjadi modal penting. Tapi ini bisa saja jadi boomerang jika seseorang dengan modal yang sama tidak memiliki keahlian untuk menampilkannya bersama paket kecerdasan dan kebijaksanaan.
Memiliki beberapa layanan online di berbagai bidang, buku-game-enterpreneurship-technologi, membawanya juga berkiprah di dunia off-line. Maka semakin terasahlah mutiaranya dan kesuksesan itu tak lagi maya namun juga terang benderang sampai membawanya menjadi model iklan segala.
Ia tahu apa yang harus ia tuju dan apa yang harus dikerjakan. Sehingga ia memiliki banyak sekali waktu untuk jalan-jalan, dari sudut suatu negera ke negara lainnya, around the world. Yang tentu saja tak pernah lepas dari keseimbangan antara bersenang-senang dan melebarkan sayap bisnis serta networking. Semua lini usahanya tetap berjalan lancar meski tidak harus ia tunggui. Inilah sisi penting dan cermin nyata dari apa yang Robert T Kiyosaki gembar-gemborkan. Berada di kuadran kanan. Bebas waktu dan financial, pensiun dini.
Menjadi kebiasaan kita untuk mencari tahu bagaimanakah kehidupannya di balik gemerlapnya kesuksesan itu. Ia bersuami, berarti kesuksesannya tidak kering. Ia menjalani kehidupan normal sebagaimana orang lain. Mungkin karena kesibukan atau memang tidak tertangkap kamera dan reportase, pasangan ini jarang tampak berdua. Namun tak tampak gelombang yang berarti di antara keduanya. Pencapaian-pencapaian mereka berdua sepertinya tidak mengganggu ego keduanya, dan mungkin sekali malah saling mendukung.
Mengenai buah hati, karena usianya masih muda sekali, agaknya belum hadirnya seorang anak tidak menjadi masalah. Toh ia banyak berkumpul juga dengan banyak anak-anak termasuk anak kecil yang menjadi bagian dari pelayanannya terhadap masyarakat. Dari caranya berkomunikasi dengan mereka, kemungkinan besar ia akan menjadi seorang ibu yang juga penuh kasih selain cerdas dalam mendidik generasi penerusnya.
Sempurna. Ia juga menjaga hijabnya sebagai seorang muslimah. Tak tampak memiliki musuh ataupun lawan yang berjibaku meskipun hanya sindiran. Sepertinya kehidupannya damai dalam kesuksesan dan pencapaian-pencapaian. Ah ya, orang tuanya masih komplit dan mendukung sekali sepak terjangnya bersama adik-adiknya. Datang dari keluarga harmonis, terdidik dengan baik, merencanakan dan menciptakan keberuntungannya sendiri (dengan ridlo Tuhan, tentu saja). Bisa dikatakan ini yang disebut dengan kesuksesan.
Penguasaannya akan teknologi dan bahasa asing mendukung dan melancarkan langkahnya meraih banyak hal. Persinggungannya dengan berbagai warna, corak, budaya dan berbagai macam orang bahkan dari berbagai negara, tidak mencerabutnya dari akar karakter diri yang asli. Energik namun tetap santun, menguasai teknologi namun tidak kaku bahkan sangat cair. Perpaduan unik karena umumnya kita mengenal orang-orang yang canggih teknologi, tidak punya kemampuan mumpuni untuk membawa diri dalam pergaulan.
Ia juga bisa pergi ke manapun ke berbagai belahan dunia dan sudah dilakukannya, namun selalu menyempatkan umroh untuk keseimbangan spiritualitasnya. Meski tak ia ungkapkan dengan gamblang, pastilah sisi kuat spiritualitas dalam dirinya ini yang menjadi spirit utama bagi langkah-langkahnya meraih kesuksesan. Ia diberkati dan terbimbing.
Kesuksesan yang diraihnya menginspirasi banyak orang. Dan ia tampaknya menggali terus menerus ke dalam dirinya kemampuan terbaiknya sembari meneriakkan lantang ke khalayak umum, mengenai banyak hal yang harus mulai dikerjakan oleh banyak orang. Bersama-sama. Ia meniupkan keberanian, memberikan contoh nyata bagaimana memulai, melangkah dan berinovasi. Kesuksesannya adalah juga bagaimana mensukseskan orang lain, sebanyak – banyaknya. Sebagaimana juga kesuksesannya tak mungkin lepas dari dukungan banyak pihak yang menyertai ataupun di belakangnya. Yang ia sebut namanya dan pasti juga banyak yang bahkan tak sempat ia sebutkan.
**
“Kamu pingin seperti dia?”tanya Yudhika sesaat setelah membaca tulisan yang kukirim ke emailnya.
YUPS!, tulisku mantap di layar monitor.
“Go ahead!” balasnya dari ym. Kami bahkan bisa menggunakan ym dan facebook chat bersamaan untuk komunikasi di satu kali duduk. Kebiasaan aneh karena seperti kutu loncat.
“Tapi aku juga mau jadi arsitek. Aku bahkan melalui acara kabur dari rumah dulu untuk bisa mendapatkan pilihanku itu direstui ibu. Kalau aku ingin seperti Niken, bukannya aku harus ambil IT sebagai pilihan jurusan ya?” tanyaku bodoh.
“Hmmmm….” agak lama Yudhika menggumam, mungkin dia sama bodohnya dengan aku sehingga butuh waktu lama untuk menjawab.
“Mungkin tidak harus persis seperti Niken, Dew. Mungkin tidak harus bidang IT atau dunia kepenulisan. Tetap saja jadi arsitek, tapi spirit Niken yang mandiri dan menginspirasi bisa diserap. Apa iya gitu atau nggak ya?”dia balik bertanya.
“Eleuh……hahaha…” aku tahu Yudhika yang ‘maha guru’ buatku itu hanya mengetest.
“Bukannya aku seharusnya bercermin dari sosok seorang arsitek ya? Tapi Hera Armand juga seorang penulis lho, Yudh” sambungku.
“Aih..aih..kesimpulannya kayaknya kamu condong ke kepenulisannya. Niken menulis, Hera menulis. Jadi kenapa tidak jadi penulis saja?” tanya Yudhika.
“Memangnya kalau penulis menulis aja? Nggak sekolah gitu? Niken sekolah IT, Hera arsitektur” tegasku.
“Aku pernah kuliah psikologi, pindah ke komunikasi tapi sering magangnya malah desainer grafis dan advertising. Nhah lho!” katanya mengingatkanku akan pilihan dan pengalamannya.
“Dan jadi event organizer” tambahku menambah daftar panjang petualangan Yudhika.
**
Malam itu aku bersujud panjang.
Tuhan, pilihkan untukku saja.
Benar juga kata pak Mario Teguh. Seseorang dengan banyak kelebihan mungkin sekali bisa menjadi seseorang yang gagal dibandingkan dengan seseorang yang memiliki kelemahan namun focus pada satu kelebihan yang bisa ia segera kerjakan.
Jadi Tuhan, mana focus yang paling tepat untukku.
**
Ada debar lirih kala kuberjalan menyusuri terakota di bawah rimbun akasia yang berderet di kanan-kirinya. Hilda dengan ramah mengajakku keliling kampusnya pagi itu. Sembari menanti pengumuman PMDK, ibu membawaku ke pesantren dekat kampus. Di sanalah aku kenal Hilda dan melakukan rute kecil. Hembusan harapan berbalut doa sepanjang langkah kecilku. Kubaui aroma kampus sembari hati berbisik, ini calon kampusku. Semoga.
Berurai air mataku di dekat kaki ibu. Aku menolak untuk sekolah kedokteran karena aku sudah jatuh cinta dengan arsitektur. Itulah pemberontakanku yang pertama. Ibu terus membujukku tapi tak berhasil. Cintaku terlalu kuat meski saat itu Ibu terus menakut-nakuti aku. Tak ada sejarah dalam keluarga besar kami, ada yang menjadi arsitek. Kami ada di kota kecil jadi arsitektur mungkin tidak berguna dan seterusnya.
Karena aku bersikukuh, hingga pelarianku itu terjadi. akhirnya ibu menyerah melihatku mencontreng pilihan arsitektur pada formulir PMDK ke universitas ternama di Semarang.
“Ya sudah. Semoga diterima” ujar ibu,semoga tulus.
Malam-malam Ramadhan terutama sepuluh hari terakhirnya menjadi saksi atas kemauanku yang keras ini. Dengan garis bawah di sana, aku akan melanjutkan misi dakwahku selama ini sampai ke kampus yang kuimpikan itu.
Suatu senja saat melewati jalan dekat pasar, kutemukan sebuah gambar desain masjid. Untuk pertama kalinya aku memegang blue print. Meski sudah lecek karena sebenarnya itu sampah, aku merapikannya kembali dan menempelkannya di pintu kamarku. Di bagian tengah bawahnya kububuhkan impianku. Kutulis, bismillah arsitektur Undip. Kembali saat-saat mendebarkan dan doa melangit bersamaan.
“Wah. Selamat ya.”
Semua teman memberikan selamat setelah tersebar kabar diriku diterima PMDK di jurusan yang kugandrungi.
“Eih. Jangan terlalu gembira dulu. Belum tentu juga lulus SMA-nya” teman-temanku menggoda.
Yudhika apalagi, dia paling senang mendengar suara risauku. Membaca note dan status – status gelisahku. Jadi dia juga membakar gelisahku via maya. Ugh!
Memang pengumuman PMDK itu datang sebelum pengumuman kelulusan. Meski aku selalu rangking satu, digembosi demikian ternyata membuatku risau. Ah, lagi-lagi doa dipanjatkan. Karena kuyakin semua nikmat itu karuniaNya, termasuk kelulusan. Alhamdulillah, aku lulus dengan NEM tertinggi sekabupaten. Langkahku lapang menuju kampus idaman.
“Akhirnya kamu memilih kan?” retorika Yudhika menyudutkanku.
“Tuhan memilihkannya untukku. Aku memintaNya melakukannya untukku” debatku seru. Senang sekali bersilat lidah dengan Yudhika. Dia salah satu hiburanku yang nyata, meski hanya bisa bertemu di dunia maya.
**
Tangan kecilku membuat coretan di tanah dengan kayu, mirip sketsa gambar denah ruang- ruang dalam rumah yang sedang dibangun, yang menaungi seorang Dewi kecil. Ibu dengan seluruh pengorbanannya mencoba mewujudkan mimpi dan rengekanku akan sebuah rumah sendiri. Bukan rumah bersama eyang atau kost bersama banyak orang.
**
“Jadi sekarang akur sama ibumu dong?! Rumah es itu akhirnya mencair” dia mengkorek sesuatu dariku lebih jauh.
Kalau saja dia melihat wajahku bersungut-sungut, Yudhika mungkin tidak kuasa melanjutkan ledekannya. Aku tidak pernah menangis, tidak juga berkaca-kaca. Hanya perih.
**
Perih sekali. Aku tak mau menyebut namanya. Lelaki yang seharusnya melindungiku, memasukkan sebuah pensil ke sebuah lubang dari bagian tubuhku yang seharusnya dilindungi. Ibu melihatku. Aku yakin. Beliau baru saja pulang kantor dan menyaksikan lelaki itu menindihku di kamar depan.
Tapi tidak ada yang dilakukan beliau. Lelaki itu bebas. Aku yang tercengkram trauma. Sepanjang hidupku.
**
“Menulis akan menyembuhkan luka” entah dari mana aku mendengar atau membacanya. Lalu aku menulis, menulis, menulis.
“Alangkah bijaksananya jika seseorang bisa memaafkan kesalahan orang lain” entah dari mana aku mendengar atau membacanya. Lalu aku berusaha memaafkan, berusaha melupakan. Menjadi seorang santun dan santri, meski menahan sekam di dalam dada. Sulitnya membakar dan mengabukan trauma.
**
Lalu aku mengenal maya. Aku bisa jadi siapa saja yang kuinginkan di sana. Aku bisa meneriakkan apa saja. Tanpa ibu, eyang, oom, tante, pakdhe, budhe, saudara-saudaraku tahu. Aku bisa menjadi alim di satu akun. Aku bisa menjadi liar di akun lainnya. Aku bisa menggeliatkan sastra di akun lainnya lagi. Aku bisa mengeksplorasi ide dan mimpi arsitekturku di akun lainnya lain. Paradoks entah yang keberapa.
Duniaku menjadi tak terbatas. Lalu aku mengenal Niken, yang menjadi dirinya sendiri meski malang melintang di dunia maya.
Dan mengenal Yudhika, sesama petualang yang terus mengembangkan resah demi menemukan keresahan-keresahan baru. Tapi dia hanya punya satu akun.
“Jadi aku terhindar dari multiple personality” sindirnya.
“Oh ya..iya..” jawabku tersindir.
Dan dia mengasihi ibunya meski belum sempat mengenalnya. Dia tumbuh menjadi seorang yang kuat dan kokoh kepribadiannya justru karena keluarganya berantakan dan meninggalkannya tumbuh sendirian.
Aku?
Well groomed, terawat dengan baik. Tapi pingitan.
Alim, santri dan santun. Tapi meledak-ledak di dalam.
**
“Dewi ya?” tidak menyangka jika akhirnya bertemu muka dengan Niken dan dia mengenaliku. Surprise juga.
“Iya. Bagaimana Niken tahu?’ tanyaku balik.
“Nih!” ia menarik mesra tangan seorang pria. Aku mengenalnya. Ada foto profilnya kusimpan di laptopku. Aku mengambil itu dari album foto facebook-nya.
“Dewi ya?” tanyanya menggoda.
Aku tidak tahu persis seperti apa raut wajahku. Tapi jelas terlintas di kepalaku, adegan dalam cerpen Julian-teman arsitek Hera Armand yang juga seorang penulis- adegan seorang wanita yang membeli sebuah almari untuk menyimpan kekasihnya.
Harusnya Yudhika tahu. Harusnya Yudhika tahu. Harusnya Yudhika tahu.
Aku bukan remaja biasa.
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 20, 2013 23:35

March 17, 2013

Pawastran

PAWASTRAN
Oleh Dian Nafi

Kau tahu kadang kematian menyapa seseorang dengan caranya sendiri. Menyapa sebelum datang. Mlipir mlipir, berjingkat sepanjang tepi-tepi. Karenanya pawastran yang didendangkan Gus Dur sedemikian menyentuh kalbu, menggores hati. Kita baru tahu bahwa itulah tembang saat sekarat beliau setelah kematiannya benar-benar tiba dan kita hanya bisa mengenang, Oh ya, memahami, mengenang dan seharusnya mengambil pelajaran. Sampai sekarang pawastran Gus Dur masih sering terdengar dan bahkan makin sering banyak yang memperdengarkan. Begitu menyayat.
Dan semampang beberapa kali kudengar pawastran Gus Dur di toko yang kusinggahi, juga di sebuah madrasah dekat kantor pos, bahkan di beberapa warung pinggir jalan ketika kendaraanku melaju lambat, kemarin aku seperti membaca pawastran juga di dinding fesbuk seorang penyair. Kemarin juga sempat terlihat di dinding fesbuk ibu dari seorang sahabat. Seperti ada maut yang melambai-lambai. Membawa badai di dalam rasaku. Tiba-tiba aku merasa bahwa umurku mungkin takkan panjang. Mungkin masaku akan segera tiba, akan segera berakhir. Mungkin aku akan mati muda. Apakah aku yang terlalu paranoid?
Entahlah. Aku hanya belajar untuk menjadi peka. Karena tubuhku menjadi sering mudah lelah. Rasaku mudah galau. Terutama menghadapi suamiku-mas Alim- yang akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat.
Seperti Minggu pagi ini, dia malah meringkuk di tempat tidur mertuaku padahal kami semua sudah bersiap pergi kondangan ke pesta pernikahan saudara. Dan seperti biasanya kalau kami pergi, mas Alim harusnya yang mengemudi mobil.
“Mas..sudah ditunggu banyak orang lho”
Dengan lembut, jemariku mengelus bahu kekarnya yang terlihat nglempuruk bersama tubuhnya yang akhir-akhir ini Nampak lemas.
“Mas sakit ya?”
Kuraba keningnya. Tidak panas.
“Mas ?”
Aku masih menunggu jawabnya tetapi dia hanya memeluk guling dan semakin mojok. Semestinya aku mulai panik seperti biasanya kalau suamiku tidak bergegas melakukan sesuatu yang menurutku harus dilakukannya. Seperti kali ini. Seharusnya dia sudah bersiap untuk pergi karena lokasi pernikahannya di luar kota. Reaksiku biasanya marah dan bergumam tak jelas. Tapi kali ini tidak. Inilah yang menggangguku. Aku ingat sekali ayahku yang pemarah menjadi lembut dan halus di hari – hari terakhirnya bersama kami, sebelum pergi selama-lamanya. Perlahan rasa ciut kembali hadir menyelisip ke dalam galauku, lagi dan lagi, Apakah ini artinya waktuku tak lama lagi.
Kunaikkan tubuhku ke ranjang ibu mertua yang empuk karena beliau rajin menjemur kasurnya. Mungkin mas Alim merasa tak enak hati meringkuk pagi-pagi di kamar kami, jadi ia pindah ke sini. Karena aku sudah lama menghilangkan kebiasaannya tidur lagi di pagi hari sejak tahun pertama pernikahan kami. Aku dengan warisan kedisiplinan dan ketegasan yang keras dari ayah ibuku, membantu suamiku memulai kebiasaan – kebiasaan yang lebih baik. Tapi pagi ini beda. Kubiarkan diriku mendekatinya, menempelkan tubuhku ke tubuhnya, memijat dengan lembut bagian – bagian yang aku tahu ia suka jika aku menyentuhnya.

“Ini pernikahan saudara dekat kita, mas. Aku ingin kita datang sama-sama” bisikku di telinganya.
Aku mulai melontarkan bujukanku. Mas semestinya tahu aku selalu mendapat semangat dan energi baru jika menghadiri pesta pernikahan, seperti mengenang saat-saat pertama kami dulu.
“Aku sedang tak ingin pergi” jawabnya lemah.
“Mas yakin?”
Aku menggigit kecil telinganya yang mulai memerah. Ia mulai tergoda. Tangannya mulai meraba-raba diriku dan galauku.
“Tutup pintunya,sayang..”
Pintanya setelah kami sadar apa yang sama-sama kami inginkan saat ini, melepaskan kegalauan.
Oh no!
Kami di dalam kamar mertuaku, ibunya, tapi sepertinya mas ingin kami melakukannya. Tapi aku melakukan permintaannya, semoga setelah short time ini mas Alim mau pergi bersama kami sekeluarga menghadiri undangan hari ini. Usai menutup pintu, kami melakukannya dengan indah dan kuusahakan tak terlalu panjang karena ibu mertua, kakak ipar dan istrinya sudah menunggu kami di teras rumah.
Seusai puisi manis kami terentang, kubisikkan sekali lagi bujukanku.
“Mas jadi pergi mengantarku kan?” bisikku lebih personal lagi, meski maksudnya adalah mengantar kami semua.
“Hmmm..” ia menggumam sedikit sambil terus menciumi aku.
“Tapi aku tidak mau nyetir ya” ia akhirnya setuju dengan mengajukan syarat.

Pembujukanku berhasil. Kami akhirnya berangkat bersama hari Minggu itu. mas Alim duduk di sebelahku di jok paling belakang, dekat pintu belakang mobil kijang iparku. Sopir kami duduk di belakang kemudi, biasanya ia tak kami ajak dalam acara keluarga. Tetapi karena mas Alim tidak mau nyetir hari ini, kami membawanya turut serta.
Sepanjang perjalanan kami terus saling bergenggaman tangan, melanjutkan kenakalan kami tadi di kamar mertuaku. Sampai-sampai digoda oleh kakak iparku.
“Duh. Kayak pengantin baru ya, padahal anaknya sudah dua”
Ah ya. Aku bahkan hampir melupakan dua balitaku karena asyik bermesraan dan memperhatikan kekasihku. Si sulung – Asan- duduk bersama pakdhe-nya di kursi depan. Anak perempuanku- Atima- duduk bersama budhe dan simbahnya di jok tengah. Mas Alim menjawab candaan kakaknya dengan gayanya yang khas, humoris. Satu hal yang membuatku mengagumi dan menyayanginya. Meski suara dan tawanya agak terdengar lesu, tak seperti biasanya.

**

Dibanding mengkhawatirkan diriku dan galauku akan perasaan bahwa umurku mungkin tak lama lagi, sebenarnya aku lebih mengkhawatirkan mas Alim. Dia sedang tidak banyak mengerjakan proyek, bahkan hanya ada satu proyek yang sedang dikerjakannya. Itu juga tidak dengan bendera kami sendiri sebagai pemborong. Tetapi hanya subkontraktor, mengerjakan proyek kecil saja. Dan repotnya lagi bermasalah. Mas Alim mengomandoi mandor dan sekumpulan tukang untuk membangun jembatan di dekat hutan di sebelah kota kami. Dan naasnya hujan lebat dan aliran sungai yang sangat deras meruntuhkan sebagian jembatan yang telah hampir selesai pengerjaannya.
Kepalanya sering terkulai di bahu kanannya akhir-akhir ini. Dia akan duduk lama dengan posisi seperti itu di bangku teras, dengan mata sayu menatap kosong.
Kadang dia masuk keluar rumah dengan tujuan yang tak jelas. Saat mas Alim berpamitan tadi, aku tak menanyakan hendak ke mana perginya karena tak ingin membuat egonya terluka. Kuanggap ia hendak pergi menangani proyek jembatan itu.
“Aku pergi dulu, nok” ucapnya pendek.
Aku mencium takdzim punggung tangannya. Membawakan tasnya sampai ke pintu depan rumah. Kemudian kembali ke dapur untuk memasak, menyiapkan sesuatu yang istimewa untuknya saat makan siang nanti. Agar dia kembali bersemangat dan tidak layu seperti pemandangan yang kami serumah lihat tentangnya.

“Assalamualaikum”
Suara bass-nya terdengar sampai ke dapur.
“Alaikum salam.”
Tergopoh aku berlari menyambutnya dengan cium tangan dan sedikit pelukan. Aku sungguh sangat ingin memberinya momen-momen istimewa di saat-saat aku mungkin tak lama lagi pergi, meninggalkan semua kefanaan dan carut marut dunia ini. Tak urung aku terkejut juga karena baru setengah jam yang lalu mas Alim pergi, tiba-tiba sudah kembali.
“Ada yang ketinggalan, mas?” tanyaku keheranan.
Dia hanya menggeleng lemah lalu memasuki kamar kami. Aku dengan sigap mengikutinya, memijit kaki dan badannya. Heran juga aku pada diriku sendiri, karena untuk kondisi yang standar, aku akan nyerocos tidak karuan. Tapi entahlah, lagi-lagi aku mungkin mencoba melembutkan diriku untuk memberinya kesan terindah sebelum aku pergi. Aku ingin meresahkan kegalauannya, apapun itu. Akhirnya kubiarkan suamiku meringkuk kembali di tempat tidur meski sebenarnya secara fisik dia kelihatannya sehat.

**

Sikapku yang memanjakan dan menservisnya lebih dari biasanya terus berlangsung begitu saja. Dan aku menikmatinya. Termasuk perjalanan kami ke Jakarta Rabu itu. Serasa bulan madu yang kedua karena enam tahun lalu kami juga ke Jakarta untuk bulan madu di tengah tahun setelah pernikahan kami berlangsung sebulan sebelumnya.
Kami berangkat utamanya untuk urusan pekerjaan, aanwisjing proyek pabrik besi yang akan kami kerjakan. Tetapi perjalanan itu sendiri telah menjadi hadiah bagiku. Kepalaku terus menerus diraihnya dalam dadanya yang bidang. Kami duduk bersisian di jok tengah. Dia terus meremas dan menciumi tanganku, mengelus lembut kepalaku, mengabaikan sopir dan dua rekan kami yang turut dalam rombongan ini.

**

Sepulang dari Jakarta kemesraan kami semakin menjadi-jadi. Yang sebenarnya aku senang, bahagia namun sekaligus takut. Terlalu tenggelam dalam kebahagiaan yang seketika seperti gelombang dahsyat yang menggulung, bukankah itu seperti menyiratkan sesuatu?
Aku terus menghibur diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Anak- anakku masih kecil, tiga dan satu setengah tahun, kasihan mereka jika sampai harus kehilangan ibunya. Aku menenggelamkan diri dalam kesibukan pekerjaan dan juga menambah sedikit lebih panjang doa dan sujud malamku.
Aku mulai meniru kebiasaan suamiku untuk membaca rathib, sebuah wirid yang diajarkan gurunya. Yang akhir akhir ini dibaca mas Alim dengan lebih khusyu’ setiap bakda maghrib. Sambil duduk ndepipis, mojok di kursi ruang tamu, dengan wajahnya yang bersinar-sinar meski nampak kuyu dan lusuh oleh beban hati dan pikirannya.
Tiga malam berturut – turut kami melalui malam yang sangat istimewa, malam-malam yang menggetarkan seolah waktu terhenti dan hanya ada kami berdua ditelan gelombang kebahagiaan. Seolah dunia dan kehidupan akan segera berakhir sehingga kami menikmati waktu tersisa dengan sebaik-baiknya.
Malam Ahad ketika mas Alim harus pergi kembali ke Jakarta untuk melanjutkan apa yang sudah kami sama-sama rintis beberapa hari lalu, aku melepasnya dengan berat.
Teman-temannya- tim kami- di dalam mobil kijang yang ikut berangkat menggodaku.
“Wah, kayaknya mau ikut ke Jakarta lagi tuh” ujar bosnya.
Aku tersenyum kecil menyembunyikan merah dadu di pipi dan hangat di wajahku. Mas Alim menatap kedua bola mataku, mencoba mencari kemungkinan kalau kata – kata temannya itu benar. Aku semakin tersipu merasakan diriku terbakar oleh tatapan matanya yang meski sendu namun akhir – akhir ini memabukkan hatiku.
Aku mengangkat bahuku sedikit, dia paham.
“Dia ada pekerjaan di sini, bos. “ujarnya ke arah bosnya.
“Dia tidak bisa ikut meski ingin. Iya, kan? Ah, tidak apa. Kita cuma tiga hari” kali ini matanya melirikku nakal. Matanya beradu dengan mataku, yang terbakar, terbakar rindu bahkan sebelum berpisah.
“Aku hanya tiga hari, okey?”
Mas Alim kembali mengecup keningku. Jemarinya terus menggenggam erat jemariku. Tak dilepasnya hingga akhirnya kelingking kami saling mengkait sebelum kedua telapak tangan kami akhirnya harus berpisah.
Mas Alim duduk di jok belakang mobil kijang itu. Membalikkan tubuhnya sehingga wajah tampannya tersenyum dengan sangat lebar ke arahku yang berdiri beberapa meter di belakang mobil itu, di teras rumah kami. Tangannya melambai mesra, dengan kedipan matanya yang meluruhkan duniaku. Teman-temannya menggoda sekali lagi dengan suitan dan apalah yang tak begitu terdengar olehku karena duniaku terserap oleh magnetnya. Aku membalas lambaian Mas dengan rasa yang tak terkatakan.
Dan ternyata itu adalah lambaian yang terakhir.
Bukan, bukan lambaianku yang terakhir, tetapi lambaiannya.
**
Aku duduk tergugu. Bagaimana aku bisa mengira bahwa umurkulah yang akan pendek. Malaikat maut telah sedemikian dekatnya dengan kami dan aku kege-eran mengira akulah yang akan dijemput.
Bagaimana ketika pawastran itu begitu dekat denganku, tapi aku tak sempat membaca dan mengenalinya dengan baik. Lalu tiba-tiba suamiku pergi dan tak pernah kembali lagi. Berpulang ke alam cahaya.
*
Seharusnya saat itu tercium sesuatu. Mas Alim takut bepergian apalagi takut menyetir seminggu yang lalu itu mungkin karena dia sudah diberi isyaratNya. Tapi aku tak cukup peka, mungkin karena penciumanku tertutup oleh ciumannya.
Aku menangis bermalam-malam dengan lobang dalam rongga dadaku yang menganga. Dan semakin menganga.
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 17, 2013 18:49 Tags: cerpen

January 6, 2013

THE OLD CITY AND THE YOUNG MAN

THE OLD CITY AND THE YOUNG MAN
Oleh Dian Nafi


Memasuki kota tua ini, bayangan wajahnya semakin lekat dalam benak dan bahkan tampak nyata dalam pandangan mataku yang terpejam. Lesung pipitnya yang dalam, senyum yang khas dengan gigi gingsulnya, lengan kukuh dengan jemari lentiknya, bulu lembut di kulit coklatnya, kepasrahannya akan lekukanku yang luwes tiap pagi yang dingin dan senja yang meluruh. Lelaki muda itu, kukira aku yang mematahkan hatinya. Namun saat ini bisa kurasakan, akulah yang terbenam dalam ketidakadilan rekayasa ini. Aku yang terbujur kaku dalam kenangan yang tak mau sembunyi. Kental dan semakin mencengkeram kuat ketika diriku berada seinchi demi seinchi lagi memasuki kampung tempat tinggalnya, tempat aku pernah setahun menghisap kehangatan dan keluguannya.
Jalan Slamet Riyadi yang lapang dengan taman Sriwedarinya di mana sering kuhabiskan akhir pekanku bersamanya. Jalan Dr Rajiman yang menjadi saksi kami berboncengan tiap pagi dan sore untuk bisa menuju kantorku yang terletak di Jalan Solo-Jogja. Dan akhirnya kampung Dawung Danukusuman, dengan masjidnya, sungai kecilnya, jembatan busurnya, penjual lentog dan sate di ujung gangnya, para pengrajin sandal dan dompet batiknya. Di sana nafas cinta kami pernah berhembus bersama eksotika kota tua yang artistik dan tak pernah tidur

**

“Apa artinya ini, mbak?”
Matanya yang sendu dan sayu mencari jawab dari rengkuhanku yang tiba-tiba begitu saja mengalun di bawah langit biru kota paling eksotik yang kukenal.
“Bukan apa-apa”
Tak mungkin menyembunyikan semburat malu di pipi karena bagaimanapun aku adalah perempuan. Meskipun usiaku lebih tua darinya empat tahun. Tapi bukan aku namanya jika tak mampu menutupi kebusukan ‘gejolak muda berangkat dewasaku ‘.
Dia hanya mendesah. Mungkin menikmati. Mungkin merasa berdosa. Atau entah apalagi yang dipikirkannya, aku tak tahu. Dan karenanya segera kulepas rengkuhanku tapi ia malah menarik tanganku kembali.
“Mbak keberatan?” tanyanya takut-takut.
“Sudah siang. Aku masuk dulu ya. Kamu juga harus ke kampus kan? Jangan sampai terlambat. Terima kasih ya sudah mengantarku.”

Aku tetap menarik tanganku, bahkan turun dari boncengan motor gedenya dan mengusirnya secara halus. Garis wajahnya terbaca sekali, kecewa dan murung. Tapi ia bergegas melibasnya dengan senyuman manisnya.

“Aku yang terima kasih. Nanti sore mau dijemput jam berapa?”
Oh. Anak yang manis dan tawaran yang juga manis sekali.

“Tidak. Terima kasih. Aku pulang sendiri saja. Hati-hati di jalan ya”
Kulambaikan tanganku dan berharap ia segera pergi dan berlalu. Aku tak mau ia membaca isi kepalaku kalau aku hanya memanfaatkannya saja. Bagaimanapun ia anak yang sangat baik, lugu. Dan entahlah, membaca sikapnya, bisa kupastikan mungkin aku wanita dewasa pertama dalam kehidupannya. Mungkin ia dulu hanya pernah mengalami cinta monyet saja karena aku pernah mendengar dari sepupuku yang tetangganya – aku tinggal bersama sepupuku ini- bahwa Radindra-nama cowok itu- pernah punya pacar yang tetangganya juga.
Radindra punya kriteria cowok yang aku sukai kecuali satu, ia terlalu muda. Dan jelas-jelas tidak masuk criteria bagi ibuku yang konservatif. Dan aku, tak pernah sekalipun menggugat ibuku dan aturan-aturannya karena aku gadis puritan. Di dalam diriku yang Nampak lincah, bebas, merdeka dan berpikiran moderat, sesungguhnya aku ada di garda depan pendukung pikiran –pikiran kuno perempuan ini. Yang kepadanya aku berhutang banyak, yang di telapak kakinya tersimpan surgaku.

**

Kuhirup udara kota tua yang tak pernah tidur ini. Dari setiap sudutnya, setiap jalan yang kulalui, setiap pohon dan kafe –kafe itu, semua kenanganku akannya tersembul menggoda. Padahal aku datang kembali bukan untuknya. Kami datang untuk acara buka bersama di rumah nenek yang kutinggali bersama sepupuku sewaktu aku bekerja di kota ini.
Aku beserta seluruh keluargaku menempuh jarak tujuh puluh kilometer untuk buka puasa bersama keluarga besar. Hal yang mulai ditradisikan agar ikatan kekeluargaan tetap terjalin meski kami tinggal berjauhan. Biasanya kami datang hanya pada acara-acara penting saja. Seperti setahun yang lalu, saat pemakaman nenekku.
Saat itu lelaki muda yang pernah kukelabui perasaannya- Radindra- juga hadir. Ia yang tinggal bersama ayah ibunya di rumah yang hanya selisih delapan rumah dari rumah nenekku bahkan ikut sibuk dalam upacara penghormatan sampai pemakaman. Aku bisa menangkap kerinduan di matanya ketika tak sengaja kami sesaat bersirobok pandang. Namun hanya luruh yang mungkin dirasakannya karena aku duduk bersama seorang pria yang tak kalah tampan darinya. Gery, tunanganku.
Ia, lelaki muda yang lembut hatinya itu, merasa terkelabui sekali lagi.
Yang untung lagi-lagi aku. Karena Gery memperlakukanku begitu istimewa setelah ia tahu ada seorang muda ganteng yang begitu menggilaiku. Sepupuku-Lily- yang menceritakannya setelah tunanganku itu mempertanyakan keganjilan yang ia tangkap dari bahasa tubuh dan sorot mata seorang lelaki muda di tengah kedukaan hari itu.

**

Tapi siapa yang tahu jalan takdir. Gery yang menyayangiku sepenuh hatinya malah pergi tanpa pamit. Ditinggalkan Gery begitu saja, tak ayal membuatku limbung. Aku gadis penakluk dan pematah hati. Jadi kepergian Gery sama sekali jauh dari dugaan dan perkiraanku. Kami hanya tinggal beberapa minggu menuju pelaminan. Tapi Tuhan merengkuhnya sebelum aku.
Tak harus memakan waktu lama untuk menyembuhkan luka ternyata. Berkunjung kembali ke kota tua ini tiba-tiba sebersit harapan timbul. Secercah cahaya menyinari relung kalbuku yang gelap beberapa waktu lalu. Aku masih punya Radindra. Radindra yang menggilaiku. Ia mungkin menungguku untuk kembali padanya.

**

Seusai berbuka bersama, langkah kakiku ringan menuju masjid di seberang rumah nenek. Sholat berjamaah maghrib dilanjut sampai Isya dan tarawih di masjid AlFurqon akan menyenangkan sekali kurasa. Karena semuanya lagi-lagi akan membawa kembali kenanganku bersamanya.
Ia yang rajin mengajar TPQ di masjid ini, menjadi muadzin yang paling rajin, dari kompor semangatnya para remaja rajin berjamaah dan meramaikan masjid dengan berbagai acara. Burdah tiap malam jumah, latihan khitobah bergantian setiap jumat malam, majalah dinding, diskusi juga kajian rohani dan latihan rebana setiap minggu pagi setelah kerja bakti bersih-bersih lingkungan masjid.

**

Remaja masjid yang dipelopori Radindra mengadakan rihlah di suatu akhir pekan saat aku masih anyar tinggal di lokasi ini. Ia yang menjadi teman pertamaku di tempat baru mengajakku ikut serta dan aku tak kuasa menolak. Radindra telah dengan baik hati mengantarku ke kantor beberapa kali. Kadang dengan vespa tuanya, kadang dengan motor gedenya.
Rombongan kami mengunjungi beberapa lokasi wisata yang berdekatan. Tiga pantai yang sangat terkenal dengan keindahan dan eksotikanya. Pantai Krakal, pantai Kukup dan pantai Baron, kemudian jalan – jalan ke Malioboro.
Di dua pantai sebelumnya, aku masih bisa menahan diri untuk menjaga jarak dengan siapapun. Tetapi di pantai Baron Yogya, aku tak bisa menahan keliaran-keliaranku. Berjalan berdua dengannya di tepi pantai yang indah dan langit biru yang cerah, mungkin itulah penyebabnya.

“Belum pernah ke sini, mbak? Indah kan?” tanyanya lugu.
“Belum. Memang indah sekali. Seandainya aku datang ke sini dengan seorang kekasih, betapa lebih indahnya” jawabku spontan.

Satu komentar kecil nakalku itulah yang kukira membangkitkan sesuatu yang tidur dalam dirinya. Aku bisa menangkap dari bahasa tubuhnya yang tak mau jauh-jauh dariku padahal teman-temannya yang sama-sama muda mengajak berlarian, bermain dan beraktifitas lainnya. Ia memilih duduk denganku yang paling tua dalam rombongan ini, di atas pasir putih dengan pemandangan pantai serta laut yang eksotik, membincangkan apa saja dari yang remeh temeh sampai hal-hal yang agak berat.
Bisa ditebak gunjingan teman-temannya sepulang rekreasi itu. Si jangkung idola sekampung berwajah manis serupa artis itu kepincut hatinya dengan seorang pendatang baru di kampung mereka yang usianya lebih tua dan dari lagak perempuan dewasa itu bisa menarik sekaligus beberapa pria. Itu karena ketika perjalanan rekreasi sampai di Malioboro, Radindra kehilangan jejakku dan aku berhasil ditemani Divo yang tinggi besar dan seorang pemain band. Berburu batik, souvenir dan bakpia pathok. Waktu singgah di pantai Kukup, adik lelaki Radindra- Yahya- yang menemaninya mencari kerang dan kerakal yang bagus-bagus untuk dibawa pulang.
Efek dari akhir pekan kontroversial itu langsung terwujud Senin ketika ia mengantarku ke kantor. Pagi itu ia seperti seorang penderita obsesif kompulsif, menghujaniku dengan banyak pertanyaan aneh, mempertanyakan kedirian dan kemauanku, ke mana arah anginku. Dan aku tak bisa menjawab kecuali dengan rengkuhan dari arah punggungnya. Mungkin hanya untuk menutup mulutnya yang tiba-tiba ceriwis dan menggangguku, mungkin juga karena tiupan dingin angin pagi yang menampar wajah dan tubuhku di boncengan motor gedenya yang melaju di bawah langit biru kota tua yang eksotis.

**

“Aku harus pulang”
Kusentakkan lembut tangannya yang mencoba menghalangiku pergi. Ibuku membutuhkanku di kampung halamanku sendiri sepeninggal ayahku yang terenggut bersama penyakit jantungnya.
Radindra menatapku perih. Aku resign dari kantor secara tiba-tiba dan melepasnya begitu saja dari rutinitasnya mengantar-jemputku tiap pagi dan sore karena kampusnya searah dengan kantorku. Ia akan kehilangan momen-momen bersama tanpa kejelasan hubungan yang pasti. Dan aku bahkan seperti menemukan jalan untuk melarikan diri.

**
“Mbak, aku sudah sampai depan rumah”
Suara dari seberang telpon yang kuangkat siang itu kukenali dengan mudah. Suara resah mendesah pemilik lelaki muda yang tak pernah lelah menjamah angkuhku yang jengah. Rumah siapa? Pikirku. Lalu kudengar suara ketukan di pintu rumahku.
Oh!
“Radindra!” teriakku kecil.
Ia yang basah kuyup oleh hujan berdiri dengan tegap di hadapanku. Setelah telpon dan sms-nya tak pernah kujawab. Aku baru akan mengucapkan kalimat pengusiran halus tetapi kalah cepat oleh suara ibuku.
“Radindra! Masuk, nak. Kok hujan-hujanan begitu? Sendirian?”
Ibu yang mengenalinya sebagai tetangga nenek di kota tua, menyuruhnya masuk. Mengambilkannya handuk, membuatkannya teh hangat, menyuruhnya mandi dan berganti baju yang disiapkan ibu, menemaninya duduk dan bercakap. Bahkan memintanya menginap.
Apa –apaan ibu? Pikirku. Bukankah ibu menjodohkan aku dengan Gery? Meski aku belum sepenuhnya setuju dengan pilihan ibu karena aku yang terbiasa seperti elang terbang di lautan bebas belum siap untuk berdiam dalam satu sarang.
Lalu kenapa ibu sedemikian baik dengan Radindra? Padahal ibu tahu persis cerita dari sepupuku Lily dan juga sedikit bocoran dariku bahwa Radindra sangat mungkin sekali menaruh hati denganku.

“Radindra tahu apa yang harus dipersiapkan untuk menuju pernikahan?” tanya ibu sampai pada suatu paragraph setelah berbanyak busa antaranya dan Radindra, lelaki muda yang sedang berjuang mencari dan mengambil hati orang tua di depannya.

“Saya akan lulus tahun depan dan segera mencari pekerjaan” jawabnya mantap. Aku hanya mengangkat bahu di samping ibuku yang tersenyum. Entah apa arti senyumnya. Karena pagi harinya, sesaat setelah lelaki muda itu berpamitan, ibu masih tetap dalam keputusannya untuk menjodohkan aku dengan Gery. Dan aku terpaksa menuruti ibu untuk memutuskan semua kontak dengan Radindra. Ganti nomer ponsel sesudah secara jelas dan tegas menyampaikan fakta kepadanya bahwa aku sudah dijodohkan dengan orang lain sehingga tak ada peluang untuknya mendekatiku lagi.

**
Sudah lama berlalu tetapi tatapan penuh kerinduan miliknya masih kusimpan erat dalam ingatanku. Dengan Ulin-sepupuku yang lain- yang tinggal di kota tua ini aku berbincang menjelang berbuka bersama di sudut kamar tamu. Aku mencoba mencari tahu kabar Radindra. Hanya sedikit-sedikit saja sentilanku di antara percakapan hal lainnya karena kuatir dicurigai dan diledek. Itupun ternyata tertangkap Ulin dan ia akhirnya meledek juga.

“Aku kirimkan salam untuk dia ya mbak” godanya sambil cengengesan.
“Eh…jangan…jangan…” malu hati juga aku. Tapi aku tahu Ulin hanya bercanda. Ia cuma meledekku.
**
Seusai sholat maghrib, mataku berkeliling mencari sosoknya yang sangat kukenal. Biasanya dulu dia yang mengumandangkan adzan dan iqomah. Mungkin setelah berlalunya waktu ada banyak mereka yang lebih muda yang menggantikannya. Jarak antara jamaah pria dan wanita agak jauh. Meski demikian pandangan bebas karena terpisah oleh pintu kaca full dari ambang atas sampai bawah.
Aku berusaha tenang dalam dudukku yang gelisah. Tetapi mataku tetap bergerilya. Ada banyak wajah-wajah lama. Nenek –nenek tua yang selalu kami hormati dengan mencium punggung tangannya. Wajah-wajah baru bermunculan termasuk seorang gadis cantik yang duduk di dekatku. Aku dulu belum pernah melihatnya di lingkungan ini. Mungkin sama sepertiku dia sedang berlibur di rumah neneknya untuk suatu acara atau apa. Tampaknya ia sangat pendiam sehingga aku tak mengajaknya berbincang. Apalagi orang-orang tampak khusyu dan alasan lainnya adalah aku akhirnya melihat sosok yang kucari. Radindra. Masih setampan dulu, setegap dulu. Aku bisa mencium bau tubuhnya dari jarak yang jauh dan terhalang pintu pintu kaca itu. Terendus begitu saja. Hanya tampak samping belakang, tapi cukup mengobati kerinduanku. Astaganaga, apa kubilang? Nhah! Ternyata aku juga merindukannya.
Dia sekarang harapanku. Setelah pernikahan yang gagal dengan Gery, setelah limbungku, tak ada salahnya kembali pada Radindra. Peduli amat dengan peraturan ibu tentang suami yang harus lebih tua dari istri. Aku mungkin akan menentangnya kali ini. Kebahagiaan akan tercapai jika kita menikah dengan orang yang mencintai kita, begitu kata-kata bijak yang sering kita dengar.
**
Turun dari jamaah sholat tarawih, aku berjalan pelan. Dan benar seperti dugaanku, Radindra menemukanku.
“Mbak. Apa kabar?” tanyanya menghentikan langkahku. Kini kami berdiri berhadapan di depan teras rumah nenek yang berseberangan dengan masjid.
“Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar?” aku menyembunyikan getar di balik suaraku yang menahan kerinduan.
“Alhamdulillah sehat. Kapan datang, mbak?”
“Tadi sore.”
Hening. Kami seperti tercekam, terseret kenangan saat-saat kami bersama.
“Masih sering nyinom ?” tanyaku memecah kebisuan. Dulu ia biasa memimpin remaja masjid dan juga remaja kampung untuk menjadi tim pramusaji di acara kondangan dan perhelatan pesta yang banyak digelar di kota tua ini. Sungguh anak muda yang berdedikasi tinggi. Pekerjaan yang sering dianggap rendahan itu dikerjakannya dengan rapi dan penuh senyum keramahan. Dikerjakannya penuh cinta, seolah nyinom melayani menghidangkan sajian bagi tamu-tamu ini seperti sebuah pekerjaan seni yang agung.
“Alhamdulillah, masih. Tapi seringnya hanya berada di balik layar dan meja, mbak. Teman-teman bisa dilepas sendiri, saya mengatur jadwal dan lobi-lobi saja” jawabnya santun, khas dirinya. Rendah hati.
Rupanya ia sudah naik pangkat jadi manajer dan mungkin kantornya sendiri dengan armada tim yang kompak karena telah ia pimpin dan kelola sejak ia masih mahasiswa. Ini berita bagus buatku. Akan jadi poin tambahan jika aku mengajukannya nanti di hadapan ibu.
“Eh, Yahya juga kebetulan pas pulang. Ia kerja di Jakarta. Itu dia..” telunjuknya yang lentik menunjuk ke seorang pemuda, tampak siluet Yahya di lorong jalan kampung yang gelap pada beberapa sisi.
“Kupanggilkan ya….” Ia menawarkan sesuatu. Apa ia masih menyimpan cemburunya pada Yahya karena selama setahun waktu di sini dulu diam-diam aku juga sering berboncengan dengan Yahya. Double kencan buatku biasa. Tetapi mengencani dua kakak beradik ini memang pengalaman excited bagiku. Gila benar memang, adrenalin terpacu dan main petak umpet yang nyaris sempurna. Mungkin baru ketahuan setelah aku pergi meninggalkan kota tua ini waktu itu. Mungkin mereka berdua berbagi cerita dan ah, itu pasti menggelikan dan sekaligus tragis.
“Nggak usah ah. Aku senang bertemu kamu lagi” aku langsung menandaskan ini supaya ia tahu bahwa hatiku tetap lebih cenderung padanya disbanding adiknya.
“Aku juga” pendek kalimatnya cukup menghentikan waktu.
Seakan dikungkung awan pekat hangat, aku terpaku. Kurasa pipiku memerah, untung tersembunyi di bawah langit gelap karena lampu jalan kampung hanya temaram. Mata dan tatapan kerinduannya menusukku. Harum tubuhnya dalam jarak dekat ini menerbangkanku ke langit ketujuh. Hari –hari indah bersamanya di masa mendatang menggoda jiwa. Radindra. Akhirnya waktu mempertemukan kita kembali.
“Yuli…sini. Ini mbak Fina” cowok itu memanggil seorang gadis yang tampak turun dari masjid, dengan isyarat tangan menyuruhnya mendekat.
Keningku berkerut, dadaku berdegup. Cewek yang mencium punggung tanganku ini ternyata gadis cantik yang duduk di dekatku waktu sholat tarawih tadi. Dari sikapnya kepadaku kini kentara sekali kalau ia menaruh hormat dan simpati padaku. Entah apa yang diceritakan Radindra tentangku padanya. Dan yang lebih penting lagi, siapakah gadis ini? Sepupunya yang tinggal sementara di rumah keluarga Radindra kah?
“Saya pulang dulu…” gadis yang dipanggil dengan nama Yuli itu berpamitan, terutama kepada Radindra kurasa. Ada sedikit cemburu menyelip di dadaku. Gadis itu cantik, muda. Ia lebih cocok untuk Radindra dibanding aku.
“Yo wis, ya sudah sana….” Jawab Radindra dengan gerakan tangan mengusir gadis itu pergi. Bagus, pikirku. Setengah jam berbincang di pinggir jalan depan rumah nenekku kini bisa berlanjut berdua saja dengan Radindra.
“Siapa itu?” tetap saja keingintahuanku harus terjawab. Aku siap bersaing sehat.
“Siapa? Yuli? Istriku, mbak” jawabnya tanpa dosa, lugu seperti dulu.
Aku segera berpamitan. Meninggalkan Radindra tergugu di tepi jalan karena ia tampak masih ingin melanjutkan obrolan denganku tetapi aku memutuskan pergi sebelum menangis.
Bergegas aku masuk ke dalam rumah nenekku dengan tergesa-gesa. Menghambur ke dalam kamar tamu dan menemukan Ulin masih tiduran di sana.
“Kamu jahat ya Lin. Kenapa tidak bilang kalau ia sudah menikah?” ucapku lirih kuatir terdengar banyak orang.
“Siapa? Siapa yang menikah?” tanya Ulin pura-pura polos. Lalu tersenyum tengil.
“Mbak kan nggak tanya ia sudah menikah atau belum?”
Kutonyo kening sepupuku dengan pelan pura-pura marah sambil menahan tangis dan luka di dadaku. Kota tua ini dan lelaki muda itu, ah perihnya.
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 06, 2013 16:40 Tags: cerpen