Santhy Agatha's Blog

December 24, 2013

Romance at The Foresight Prolog



Toko bunga itu harum dengan aroma semerbak bunga musim semi yang menyenangkan. Sandra berdiri di sana, menatap berbagai keindahan yang berbaur dengan warna-warna ceria bunga-bunga yang terpajang di sana.
Wewangian bunga mawar menyeruak dibenak Sandra, diikuti dengan kelebat darah yang menetes dari ujung jari saat tersentuh durinya, tak tertinggal rasa nyeri menyengat ujung-ujung sarafnya.
Dialihkan pandangannya ke bunga lily putih yang terpajang di sudut toko, seketika terlihat senyum sang Ibunda seraya menyesap wangi lily dan terlontar ucapan terima kasih yang samar.
Segera Sandra melupakan bunga mawar itu dan menyambar bunga lily di sudut toko kemudian bergegas ke mobil. 
Sesaat sebelum membuka pintu mobil, seketika terlihat olehnya potongan gambar sepasang remaja yang sedang bercanda di pinggir jalan terserempet mobilnya kemudian rem berdecit kencang dan teriakan orang-orang pecah di telinganya. Dahi Sandra mengernyit dalam. Pandangan Sandra seketika mengayun ke bis kota yang dari jauh mendekat, Lagi, dia bisa mengambil keputusan tanpa penyesalan. Sebuah anugerah. Dipejamkan matanya kemudian terlihat kembali senyum Ibunda yang sebelumnya. 
Tak lama Sandra sudah berada di dalam bis kota menuju rumah dengan mobil terparkir di depan toko bunga.
- Sandra Audrey, London -

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 24, 2013 08:06

Embrace The Chord Epilog


Penonton sangat ramai memenuhi seluruh tempat duduk elegan yang tersedia. Semua kursi penuh dan seluruh barisan orkestra telah menempati posisi masing-masing.
Jason dan Rachel berada di ruang ganti. Jason mengenakan tuxedonya dan menatap Rachel dengan lembut,
“Gugup?” tanyanya penuh sayang, dalam sebulan ini mereka telah menjadi kekasih yang sedemikian dekat dan saling mencintai. Benar-benar seperti menemukan pasangan jiwa yang telah terpisah sedemikian lama.
Tidak seperti sikap dingin Jason sebelumnya, lelaki itu ternyata bisa menjadi begitu hangat kepada Rachel. Dia mudah menyatakan cinta, berkali-kali, dan melimpahi Rachel dengan penuh kasih sayang.
Rachel sama sekali tidak menyangka, pertemuannya dengan Jason yang berlanjut dengan berbagai permainan biola mereka bersama dan kemudian sambung menyambung oleh berbagai peristiwa akan berakhir menjadikan mereka sepasang kekasih.Walaupun begitu, Rachel sungguh berbahagia, cara Jason memperlakukannya, seolah dia adalah kekasih yang paling sempurna di dunia, seolah dia adalah satu-satunya yang berharga bagi Jason, membuatnya merasa sangat berbahagia.
Mereka berdua sungguh saling melengkapi baik dalam bermain biola maupun dalam hubungan percintaan mereka.
Rachel menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak merasa gugup. Asal kau ada disampingku.”
Jason tersenyum dan mengecup dahi Rachel. “Kurasa akulah yang merasa gugup, aku belum pernah melakukan konser dengan tangan kiri sebelumnya.”
“Kau pasti bisa.” Rachel tersenyum lembut, dengan penuh sayang.dia merapikan dasi Jason, “Ingat, kau adalah seorang maestro pemain biola yang sangat jenius.” Dia lalu mengerutkan keningnya dan menatap Jason dengan tatapan mata menggoda, “Sayangnya aku tidak punya jepit rambut kupu-kupu berlian seperti yang dimiliki mamamu untuk meredakan rasa gugupmu.”
Jason tertawa lalu memeluk Rachel dengan sayang, “Aku tidak butuh jepit rambut itu, aku sudah memiliki yang paling berharga di dalam genggaman tanganku, bukan?”
Pipi Rachel memerah, “Terimakasih karena mencintaiku, Jason.”
Mata Jason meredup. “Dan akupun demikian adanya, Rachel, terimakasih karena telah bersedia mencintaiku.”
***
“Nanti setelah konser kau culik Rachel di sini, dia akan keluar dari sisi panggung sebelah sini.” Arlene berbisik kepada Andrew yang menyamar, berpakaian sebagai salah seorang kru, Arlene tentu saja sudah berdandan cantik sekali karena dia sudah mempersiapkan diri untuk berdandan secantik mungkin sebagai pasangan Jason di pesta nanti. Mereka berdua sedang berdiri di sisi panggung, berbisik-bisik mencurigakan.
Andrew menganggukkan kepalanya, “Oke, jadi nanti setelah Rachel keluar panggung, aku akan membiusnya dengan obat bius dan membawanya pergi dari sini. Lalu apa yang harus kulakukan kepadanya?”
Arlene terkekeh jahat, “Kau bisa melakukan apapun kepadanya, kau bisa menjualnya atau bahkan membunuhnya, aku tidak peduli, yang pasti Rachel harus menyingkir dari sisi Jason!”
Sebelum Andrew sempat berkata-kata, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari ujung samping panggung. Arlene menoleh dengan terkejut, tetapi langsung tersenyum lebar ketika menyadari bahwa yang bertepuk tangan adalah Jason.
“Jason! Sayangku!” Arlene setengah melompat ingin menghampiri Jason, tetapi kemudian langkahnya terhenti ketika dari sisi lain ada banyak polisi yang muncul, dengan posisi melingkar, mengepungnya dan Andrew. Wajah Arlene langsung pucat pasi, dia menatap Jason kebingungan.
“Jason? Apa-apaan?” dia bertanya suaranya tercekat di tenggorokannya, ketakutan karena polisi yang mengepungnya.
Jason hanya terdiam, berdiri dan menatap Arlene tanpa ekspresi. Lalu lelaki itu mengeluarkan perekam dari balik saku jasnya.
Suara perekam itu sungguh lantang, mengulang kembali semua percakapan Arlene dengan Andrew sebelumnya yang berencana melukai Rachel.
“...........Kau bisa melakukan apapun kepadanya, kau bisa menjualnya atau bahkan membunuhnya, aku tidak peduli, yang pasti Rachel harus menyingkir dari sisi Jason!”
Segera setelah rekaman itu berakhir, polisi bergerak maju dan meringkus Arlene bersama Andrew, Arlene meronta-ronta, menatap Jason dengan tidak percaya, benar-benar tidak percaya bahwa Jason akan melakukan hal ini kepadanya.
“kenapa kau melakukan hal ini Jason? Kenapa kau tega melakukannya kepadaku? Aku mencintaimu Jason... Aku mencintaimuuu...”
Arlene berteriak-teriak seperti orang gila, berusaha meronta-ronta ketika polisi meringkusnya dan membawanya pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah Arlene dan Andrew menghilang dibawa polisi, Rachel muncul di sebelah Jason.
“Kurasa kita bisa tenang sekarang.”
Jason tersenyum. “ya, kita bisa tenang sekarang.” Diraihnya jemari Rachel dan dikecupnya, “Ayo, penonton sudah menunggu, mari kita berikan konser terindah kita.”
Jason dan Rachel, membawa biola masing-masing, berjalan melangkah menuju panggung yang terbuka.
Suara penonton langsung riuh menyambut kedatangan mereka, pasangan duet sempurna yang telah lama dinanti-nanti, apalagi kondisi Jason yang sudah vakum hampir sebulan bermain biola karena lukanya, membuat perasaan antisipasi penonton semakin dalam.
Suara applause semakin riuh rendah dan beberapa penonton bahkan berdiri, padahal Jason dan Rachel belum mulai bermain biola.
Rachel menatap penonton yang begitu banyaknya mememenuhi kursi penonton, dia menghela napas panjang dan menatap ke arah Jason, lelaki itu tersenyum kepadanya, memberinya senyuman menguatkan.
I Love U
Jason menggerakkan mulutnya tanpa suara, memberikan Rachel ketenangan dan perasaan bahagia yang luar biasa.
Dia meletakkan biola itu di pundaknya, dan kemudian menghela napas panjang, menunggu Jason menggesekkan nada awal musik mereka, dan menyusulnya dengan permainan biolanya sendiri yang tak kalah indahnya.
Suara musik yang begitu sempurna, penuh dengan nada simponi yang mempesona, memenuhi gedung orkestra yang sangat besar itu, membuat seluruh penonton terpana.
Suara musik yang indah juga mengalir di benak Jason dan Rachel, benak dua orang yang diprsatukan oleh nada, dipeluk oleh nada hingga kemudian saling mencintai satu sama lain.

End Of Epilog
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 24, 2013 06:50

December 23, 2013

Embrace The Chord Part 20 (End)


Rachel terpana, menatap Jason dengan mata membelalak seolah-olah tak percaya mendengar apapun yang dikatakan oleh lelaki itu.
“Apa?”
Jason berdiri dari duduknya, memandang Rachel dengan tatapan serius, “Kurasa aku jatuh cinta kepadamu, Rachel.”
Apakah Jason sedang mengerjainya dengan kejahilannya seperti biasanya?
Rachel berdiri di sana, menatap Jason dengan terpaku dan kebingungan, tak tahu harus berkata apa. Mulutnya bahkan menganga dengan suara tercekat di tenggorokannya, tak tahu harus berkata apa.
Sementara itu Jason melangkah mendekat dan berdiri dekat di depan Rachel, lelaki itu tampak tenang, menebarkan senyumnya yang mempesona.
“Jadi bagaimana Rachel? Apakah kau membalas perasaanku?”
Sebuah pernyataan cinta?Perempuan mana yang tidak akan berdegup seluruh jantungnya merasakan pernyataan cinta dari lelaki yang begitu mempesona seperti Jason?
Rachel sendiri merasakan debaran di jantungnya semakin nyata, dia ingin menjawab tetapi tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
“Aku tidak terbiasa ditolak seseorang.” Mata Jason mengerjap angkuh, “meskipun begitu bisa kukatakan kepadamu bahwa kau sebenarnya mencintaiku, hanya saja kau belum menyadarinya.” Dengan lembut jemari Jason bergerak menyentuh rambut Rachel di dekat telinga dan menyelipkannya ke balik telinga Rachel, “Cepatlah sadari perasaanmu kepadaku, dan datangi aku.”
Lelaki itu menundukkan kepalanya, dan mengecup bibir Rachel, lalu melangkah berlalu melewati Rachel yang masih terpana dan meninggalkannya.
***
Beberapa saat kemudian dan Rachel masih berdiri di sana, terpana, merasakan kelembutan kecupan Rachel di bibirnya yang selembut kupu-kupu.
Benarkah itu tadi pernyataan cinta?
Rachel menyentuh bibirnya. Jason tampak begitu tulus dan serius, lelaki itu sepertinya tidak main-main.
Apakah Jason serius? Dengan pernyataan cintanya itu?  Rachel masih saja tidak bisa membaca Jason, dan lagipula, reputasinya di masa lalu sebagai penghancur perempuan membuatnya merasa takut... takut kalau dia menumbuhkan perasaanya kepada lelaki itu, ternyata dia hanya dipermainkan dan menjadi korban, seorang perempuan yang dihancurkan perasaannya seperti korban-korban Jason sebelumnya.
***

Yang dilakukan Rachel pertama kalinya untuk menelaah perasaannya adalah dengan menelepon Calvin.
Lama sekali dia menunggu dan teleponnya tidak diangkat-angkat, tetapi kemudian pada deringan yang kesekian kali, akhirnya Calvin mengangkat teleponnya.
“Hallo Rachel?” ada suara hiduk-pikuk di belakang Calvin, membuat Rachel mengerutkan keningnya.
“Halo Calvin, ramai sekali di belakangmu, kau ada di mana?”
Hening sejenak, hanya hiruk pikuk yang terdengar sebagai background suara. Dan kemudian Calvin bergumam.
“Aku ada di bandara Rachel.”
“Di bandara? Kenapa Calvin?”
Terdengar helaan napas Calvin di sana, “Aku pergi untuk menyusul Anna, Rachel. Kurasa kalau kami benar-benar serius dengan hubungan ini harus ada salah satu yang berjuang.”
Seketika itu juga Rachel berdiri dari duduknya, benar-benar terkejut.
“Kau benar-benar-benar akan pergi ke luar negeri untuk menyusul Anna?” dia setengah berteriak, terdorong oleh keterkejutannya.
Sekali lagi Calvin menghela napas panjang, “Semula aku meragukan perasaanku, tetapi kemudian setelah kejadian kemarin...” Calvin menghela napas panjang, “Aku memutuskan untuk serius terhadap Anna.”
Setelah kejadian kemarin? Apakah yang dimaksud Calvin adalah insidennya dengan Jason kemarin?
Rachel terdiam, menunggu, menanti apakah akan ada patah hati di benaknya yang akan menyergap jantungnya. Apalagi mendengar kenyataan bahwa Calvin berangkat untuk mengejar cintanya kepada Anna dan meninggalkan negara ini.
Tetapi ternyata perasaan itu tidak muncul di dalam hatinya, dia menunggu dan terus menunggu, yang muncul malahan perasaan sayang dan dorongan untuk memberi semangat kepada Calvin.
“Semoga kau berhasil menyelesaikan permasalahanmu dengan Anna, Calvin, semoga kau berbahagia bersama Anna.” Gumam Rachel dengan tulus.
Hening sejenak, kemudian ketika Calvin berkata-kata, Rachel bisa mendengar ada senyum di dalam suaranya,
“Terimakasih Rachel, kuharap kau juga berbahagia bersama Jason. Semula aku memang tidak setuju, tetapi kemudian kulihat dia sangat serius kepadamu, dan dia tampaknya sangat melindungimu, mungkin kau adalah perempuan yang pada akhirnya bisa menaklukkan Jason dan menghentikan reputasinya sebagai pengancur perempuan.”
Rachel tercekat, dia teringat akan keraguannya kepada pernyataan cinta Jason, dan kemudian mulai merasakan rasa hangat di dadanya.
Calvin bisa melihat bahwa Jason serius kepadanya, mama Jason juga sudah pernah mengatakan bahwa Jason menyimpan perasaan yang dalam kepadanya. Apakah itu berarti bahwa Rachel harus mulai mempercayai Jason dan membuka hatinya kepada lelaki itu?.
***
Jason sedang berada di ruang musik, melatih nada-nada yang indah dari alunan biolanya, ketika Rachel muncul di ambang pintu dengan hati-hati, takut mengganggu latihan Jason.
Tetapi ternyata Jason menyadari kehadirannya, dan lelaki itu menghentikan latihan biolanya.
Setelah meletakkan biolanya dengan hati-hati pada meja yang tersedia, Jason tersenyum kepada Rachel.
“Apakah kau sudah siap untuk berlatih biola bersamaku, Rachel?”
Rachel menganggukkan kepalanya, dan melangkah memasuki ruang musik itu.
“Aku siap.” Gumam Rahcel pelan.
Jason tersenyum lembut dan mengedikkan bahunya ke arah biola Paganini yang sudah menjadi milik Rachel dan diletakkan di kotaknya di atas meja,
“Ayo. Ambil biolamu.” Gumamnya.
Dengan penuh semangat Rachel mengambil biola itu dari kotaknya dan meletakkan di pundak kirinya.
Jason sudah berdiri dan meletakkan biola itu di pundak kirinya sama seperti Rachel, berdiri tegak dengan posisi sempurna seorang violinist.
“Kau ingin memainkan lagu apa?”
Rachel menarik napas panjang, memandang Jason dengan tatapan mantap.
“Beethoven Violin Romance no 2” jawabnya tak kalah mantap.
Jason mengangkat alisnya mendengar pilihan lagu Rachel.
“Violin Romance ya?” lelaki itu tersenyum penuh arti, kemudian menganggukkan kepalanya, “Mari kita mainkan, sepertinya benakku sedang dipenuhi oleh hal-hal romantis.”
Pipi Rachel memerah menerima tatapan tersirat Jason, dia menganggukkan kepalanya. Dan kemudian memulai nada awal. Seketika itu juga, seperti sudah bisa membaca nadanya, Jason langsung memasukkan nada pendamping yang menyempurnakan permainan musik itu.
Permainan musik yang mencerminkan perdamaian hati Beethoven dalam menghadapi penyakitnya, musik yang mencerminkan sisi lembut dan ringan dari Beethoven.
Nada-nada berpadu sempurna, luar biasa indahnya, memenuhi ruang musik itu. Alunan musiknya seolah-olah dimainkan oleh dua orang yang memiliki satu hati, sungguh kesempurnaan yang tidak terkatakan.
Kalau ada orang yang mendengarkan permainan musik duet mereka ini, pastilah mereka akan terpana.
Dari awal sampai akhir, keseluruhan keindahan nadanya terus dan terus berpadu, sampai akhirnya, Rachel menguarkan nada penutup dan Jason mengikutinya.
Mereka menyelesaikan permainan duet mereka dengan sempurna.
Luar biasa sempurnanya bagi Jason. Lelaki itu meletakkan biolanya dan menatap Rachel dengan lembut.
“Kau adalah pasangan yang sangat sempurna bagiku, Rachel.”
Rachel menatap Jason dengan hati-hati.
“Apakah kau serius dengan perkataanmu?”
“Perkataan yang mana?” Jason tersenyum lebar, membuat pipi Rachel memerah.
“Pernyataan cintamu tadi.”
Jason memasang ekspresi penuh makna, meskipun begitu, ada keseriusan di dalam nada suaranya,
“Apakah kau tidak tahu? Aku menjalin hubungan dengan banyak perempuan, tetapi tidak pernah sekalipun aku menyatakan cintaku kepada mereka semua.” Mata Jason berubah tajam, “Kau adalah satu-satunya perempuan di mana aku menyatakan cintaku.”
Pipi Rachel memerah, meskipun begitu dia masih belum yakin.
“Dan apakah kau serius dengan kata-katamu? Kau tidak sedang mempermainkanku bukan?”
Jason melangkah mendekat, selangkah lebih dekat di depan Rachel.
“Apakah aku terlihat seperti sedang bermain-main?’ tangannya terulur, meraih dagu Rachel. “Padamulanya aku jatuh cinta setengah mati kepada permainan biolamu. Sungguh-sungguh jatuh cinta sehingga aku rela melakukan apa saja supaya kau mau menjadi muridku dan aku bisa terus menerus mendengarkan permainan biolamu yang indah itu, bagiku kau adalah perempuan yang sempurna, perempuan yang bisa memeluk semua nada, dan kemudian, tanpa kusadari, pikiranku terlalu fokus kepadamu dan kau kemudian menguasai seluruh pikiranku.” Mata Jason menggelap, “Aku tidak pernah berencana jatuh cinta kepada siapapun, Rachel, dan aku bahkan tidak mengira aku bisa jatuh cinta, tetapi aku mencintaimu, dan perasaan ini bukan main-main.”
Ya. Pada akhirnya, Rachel meyakinin perasaan Jason. Siapa yang tidak percaya ketika melihat betapa ekspresi Jason begitus seriusnya kepadanya?
“Dan sekarang, apakah kau masih belum mempercayaiku?” Jason bertanya, menatap Rachel dengan penuh tanda tanya, “Apakah kau membalas perasaanku, Rachel?”
Tidak perlu menunggu lama lagi, Rachel menganggukkan kepalanya, menatap Jason dengan pipi merona.
“Kurasa aku... aku membalas perasaanmu.”
“Kau apa?” Jason tampaknya tidak puas dengan pengakuan Rachel.
Pipi Rachel semakin merona.
“Aku.. kurasa aku juga mencintaimu.”
“Benarkah?” Jason mengangkat alisnya, “Lalu bagaimana perasaanmu kepada Calvin?”Rachel menghela napas panjang, “Calvin memutuskan pergi ke luar negeri untuk mengejar Anna.”
‘Bagus.” Tanpa perasaan Jason bergumam, “Jadi dia tidak akan mengganggu kita lagi.” Tetapi kemudian lelaki itu menatap Rachel dengan tatapan mata menyelidik, “Apa kau menerima cintaku karena Calvin meninggalkanmu?”
Rachel langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat,
“Tidak!” kata-kata itu seolah-olah susah keluar dari bibirnya, “Ketika Calvin mengatakan bahwa dia akan pergi mengejar Anna, aku tidak merasakan apa-apa selain rasa yang tulus suapaya dia berhasil mengejar cintanya, pada saat itu aku sadar bahwa aku sudah tidak merasakan apa-apa kepada Calvin.”
Senyum Jason melebar, dan kemudian tanpa permisi, lelaki itu mendekat dan merengkuh Rachel ke dalam pelukannya,
“Kalau begitu sekarang kita tidak bersandiwara lagi? Kau benar-benar menjadi kekasihku?”
Rachel mengangguk malu-malu dengan pertanyaan Jason itu.
Jason terkekeh, memeluk Rachel semakin rapat dan mengecup dahi Rachel.“Menjadi kekasihku tidaklah mudah, kadangkala aku bisa menjadi sangat egois dan posesif, kuharap kau siap.”
Rachel mengerucutkan bibirnya, “Kau sudah sangat egois, angkuh, jahil, tukang memaksa, dan tukang cium sembarangan, meskipun begitu aku tetap saja jatuh cinta kepadamu.” Rachel tersenyum lucu, “Kurasa aku siap menghadapi segalanya.”
Jason tertawa.“Kalau begitu, mari kita berlatih biola dan mempersembahkan duet sepasang kekasih yang mempesona.”

End
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 23, 2013 22:49

December 21, 2013

Another 5% Epilog


“Bagaimana dengan Rolan?” Gabriel bertanya di esok paginya, ketika mereka bangun dan memutuskan menghabiskan pagi mereka dengan menikmati udara pegunungan yang segar.
Selly menghela napas panjang, mengenang Rolan dan kebesaran hatinya yang luar biasa.
“Dia baik-baik saja, dia malahan yang mendorongku supaya mencarimu.”
Gabriel tersenyum tipis, “Selain kebaikan hatinya yang keterlaluan, dia sebenarnya lelaki yang baik.” Mata Gabriel menatap Selly sungguh-sungguh, “Dia sebenarnya sangat mencintaimu, Selly.”
“Aku tahu.” Selly tersenyum sedih, mengingat kembali senyuman lembut Rolan ketika melepaskan kepergiannya, “Aku mungkin telah menyakitinya dengan memilih mencarimu, tetapi Rolan menerimanya dengan baik dan tulus. Dia mengatakan yang penting aku bahagia.” Selly menghela napas panjang, “Meskipun tidak berakhir indah, aku bersyukur dulu telah mencintai dan dicintai oleh Rolan, aku bersyukur dia pernah menjadi cinta sejatiku.
Gabriel menganggukkan kepalanya, lalu mengucapkan apa yang menjadi ganjalan di benaknya, “Aku tidak pernah mengatakan kepadamu bahwa Sabrina adalah adik tiriku, maafkan aku. Tetapi aku ingin kau tahu, bahwa apapun yang Sabrina lakukan, itu dilakukannya karena kemauannya sendiri, bukan karena dorongan dariku.”
Selly menganggukkan kepalanya, tersenyum,. “Aku tahu, Carlos menceritakan semuanya kepadaku.”
Gabriel bergumam sambil mengangkat alisnya,  “Carlos. Di mana dia sekarang?”
Selly menggelengkan kepalanya, Aku tidak tahu, dia menghilang begitu saja, kadang muncul tiba-tiba jika dibutuhkan.”
“Ya, dia memang seperti itu.” Senyum Gabriel melebar, mengingat kembali saat-saat dia masih menjadi sang pemegang kekuatan gelap dan Carlos setia mendampinginya.
Sementara itu, Selly mengamati ekspresi Gabriel yang sedang mengenang, dan tersenyum.
“Aku terpikir untuk mengembalikan kekuatan ini kepadamu, bisakah?.” Selly memeluk erat tubuh Gabriel, mereka duduk bersama di atas ayunan putih nan indah dan besar di halaman belakang rumah Gabriel yang megah itu. Menikmati hembusan udara pagi yang menyegarkan dan kehangatan sinar matahari yang mengintip malu-malu dari balik peraduannya.
Gabriel tersenyum, menggelengkan kepalanya, “Belum pernah ada orang yang mengembalikan kekuatan yang diterimanya Selly... lebih baik jangan kau lakukan.”
Selly mengerutkan keningnya, “Tetapi... tapi aku akan hidup abadi oleh karena kekuatan ini, sedangkan kau...” suara Selly tercekat, “Kau memberikan kekuatanmu kepadaku... sekaligus kehilangan keabadianmu...”
“Siapa bilang aku kehilangan keabadianku?”
Selly terperanjat, menatap bingung ke arah Gabriel, dia menegakkan punggungnya dan menatap lelaki itu,
“Apakah... apakah maksudmu kau... masih abadi?”
Gabriel tersenyum, lalu lelaki itu menganggukkan kepalanya.
“Aku memberikan 95% kekuatan otakku kepadamu...” Lelaki itu mengulurkan tangannya dan membelai rambut di dahi Selly dengan penuh kasih, “Tetapi masih tersisa kemampuan otak normalku, ditambah lima persen yang lain, lima persen tambahan kemampuan otak pemberianmu. Lima persen itu cukup untuk menjadikanku lebih daripada manusia kebanyakan, termasuk dalam hal keabadian.” Gabriel tersenyum tipis, “Mungkin memang tidak sekuat diriku yang dulu, tetapi aku menikmati diriku yang sekarang.” Lelaki itu mendekatkan dirinya ke arah Selly dan mengecup dahinya, “Aku berpikir lebih baik jika kaulah yang menjadi pemegang kekuatan kegelapan, Selly. Kau perempuan yang baik, berhati bersih, keseimbangan alam akan terjaga di tanganmu... dan aku.. aku akan ada di sebelahmu, mendampingimu melalui semuanya.”
Selly membelalakkan mata, keabadian Gabriel adalah sesuatu yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya. Padahal semula dia berniat mengembalikan kekuatan Gabriel kepada lelaki itu, mengembalikan keabadian Gabriel meskipun nanti dia harus menjadi manusia biasa. Atau jika itu tidak bisa dilakukan, Selly berniat memberikan kekuatannya kepada orang lain supaya dia dan Gabriel sama-sama bisa kembali menjadi manusia biasa, hidup bersama selayaknya manusia biasa yang lahir, menjalani hidup, kemudian dijemput kematian.
Tetapi rupanya takdir berkata lain. Takdir telah mempersatukan mereka, begitupun telah menggariskan mereka untuk hidup bersama selamanya.
“Kita akan hidup abadi bersama.” Gabriel tersenyum lembut, “Memang tidak mudah, tetapi asal kita bersama, aku rasa kita akan lebih mudah menjalaninya.” Jemari Gabriel membelai lembut rambut Selly, “Kata orang hidup abadi adalah kutukan jika harus dijalani sendirian. Tetapi akan menjadi anugerah jika dilalui bersama orang yang kau cintai. Aku harap seluruh waktu panjang yang terbentang di antara kita, akan menjadi hamparan anugerah yang terus menerus bagi jiwa kita.”
Selly menganggukkan kepalanya, rasa haru langsung memenuhi benaknya mendengarkan kalimat Gabriel itu.
“Aku juga berharap kebahagiaan selalu menyertai kita Gabriel, meskipun sekarang, bisa duduk di sini bersamaku, sudah menjadi anugerah yang luar biasa bagiku.”
Gabriel tersenyum, mengangkat dagu Selly, lalu mengecup bibinya dengan penuh rasa sayang.
“Selamanya sayang, kita akan berbahagia selamanya.”

End Og Epilog


“Ada hal-hal kecil yang kadangkala terasa remeh, tetapi ternyata sangat berarti bagi seorang perempuan. Jika kau laki-laki dan ingin memenangkan hati seorang perempuan, belajarlah utuk tidak merusak hal-hal kecil itu.” --Gabriel Del Miguel –

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 21, 2013 07:02

Another 5% Part 22 (End)


Selly masih terperangah sampai sekian lama setelah Gabriel meninggalkannya, dia gemetar. Tetapi bukan hanya itu, jantungnya berdebar kencang.
Apakah Gabriel telah berhasil mempengaruhinya? Apakah kenyataan bahwa lelaki itulah yang telah menolongnya di tengah hujan badai telah membuat segalanya berubah?
Bagaimana dengan Rolan? Meskipun lelaki itu berkali-kali menyakiti dan mengingkari janjinya, bukankah dia adalah cinta sejati Selly. Selly telah bertahun-tahun hidup dengan kesadaran bahwa dia mencintai Rolan.
Dia mencintai Rolan bukan?
Selly menelan ludahnya, merasakan kebingungan yang menyesakkan dada.
***
“Lepaskan dia.” Gabriel langsung bergumam ketika melihat Carlos, “Kurasa tidak ada gunanya aku menahan Selly di sini, aku tidak akan bertarung dengan Rolan, jadi antarkan dia dengan selamat ke rumahnya dan kemudian berkemaslah, kita akan kembali ke Spanyol.”
Carlos mendongakkan wajahnya, menatap Gabriel dengan ragu.
“Apakah anda bersungguh-sungguh dengan apa yang anda katakan?”
Gabriel tercenung, “Aku selalu bersungguh-sungguh dengan setiap kalimatku, Carlos.”
‘Tetapi... bertahun-tahun anda merencanakan ini, perang melawan kekuatan terang....”
“Aku melawan kekuatan terang karena mamaku. Mungkin dendamku lebih kepada Matthias. Bertahun-tahun aku mencoba melawannya, tetapi selalu gagal karena kekuatan kami sama. Dan kemudian Matthias melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga, menyerahkan kekuatannya kepada Rolan. Semula aku berpikir bahwa aku juga harus melenyapkan Rolan. Tetapi aku sadar, dendam ini tidak akan ada gunanya. Matthias sudah mati di tanganku dan itu cukup.”
Lama Carlos hanya diam, mengamati ekspresi Gabriel, dan kemudian pada akhirnya dia berani bergumam.
“Anda mencintai perempuan itu bukan?”
Kata-kata Carlos membuat Gabriel membeku, ketika kemudian dia menatap ke arah Carlos dengan tatapan keras.
“Apa bedanya, Carlos?”
“Tentu saja ada.” Carlos menghela napas panjang, “Anda membuang dendam anda selama ini untuk melindungi perempuan itu dan menjaganya agar tetap hidup.”
“Dan biarkan saja tetap seperti itu. Lakukan saja apa yang kuperintahkan, Carlos.” Suara Gabriel tak terbantahkan, lelaki itu memasuki ruang kerjanya dan membanting pintunya di depan muka Carlos.
Sementara itu Carlos termenung. Jadi karena ini. Karena inilah kekuatan Gabriel tidak mempan kepada Selly. Mungkin sudah sejak awal Selly diakdirkan menjadi cinta sejati Gabriel. Semula Carlos mengira kekuatan Gabriel tidak mempan karena Selly adalah cinta sejati Rolan, memang hal itu tidak bisa dipastikan karena belum pernah ada referensi dari sang cinta sejati ini. Para pemegang kekuatan sebelumnya setahu Carlos, selalu menjadi pemegang kekuatan setelah kehilangan cinta sejatinya, atau dikutuk dengan hati yang kelam sehingga tidak bisa menemukan cinta sejatinya.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, kekuatan Rolan juga tidak mempan kepada Selly. Jadi Selly ini sebenarnya cinta sejatinya siapa?
***
Carlos memasuki kamar Selly beberapa saat kemudian, wajahnya seperti biasa, tanpa ekspresi.
“Saya diperintahkan untuk melepaskan anda.”
Hal itu benar-benar membuat Selly terkejut, Gabriel memang mengatakan bahwa dia akan melepaskannya, tetapi benarkah semudah itu?
“Apakah Gabriel melepaskanku?”
Ada sesuatu yang tersirat di balik tatapan mata Carlos yang muram.
“Ya Nona, dia melepaskan anda. Saya akan mengantarkan anda pulang dan anda bisa kembali ke rumah dengan selamat, kembali kepada kehidupan anda yang normal dan melupakan kami. Kami akan menghilang dari kehidupan anda.”
Selly terperangah, “Apakah maksudmu, Gabriel membatalkan pelampiasan dendam dan pertarungannya dengan Rolan? Dia membatalkan keinginannya untuk menguasai dan merusak dunia?”
Carlos mengerutkan keningnya ketika mendengar kata-kata Selly, “Siapa yang mengatakan kepada anda bahwa tujuan tujuan tuan Gabriel adalah merusak dan menguasai dunia? Anda pasti menyimpulkan sendiri.” Carlos menghela napas, “Tujuan tuan Gabriel adalah membalaskan dendam atas  kematian mamanya, dendam yang ditorehkan oleh Matthias, pemegang kekuatan sebelumnya, kepada hatinya yang waktu itu masih berupa anak kecil.”
“Apa?” Selly membelalakkan mata, bingung dengan perkataan Carlos.
“Ya. Saat mama tuan Gabriel memberikan kekuatannya, tuan Gabriel masih terlalu muda untuk menggunakannya dengan sempurna.”
“Mama Gabriel adalah pemegang kekuatan sebelumnya?” Selly membelalakkan matanya.
“Ya. Sayangnya beliau gegabah karena mewariskan kekuatannya kepada tuan Gabriel yang ketika itu masih terlalu muda. Dan oleh karena suatu alasan, mama tuan Gabriel pada akhirnya sekarat karena penyakit kanker ganas yang menggerogotinya begitu saja.” Mata Carlos meredup, “Para pemegang kekuatan memiliki kekuatan penyembuh tentu saja. Tetapi semua ada aturannya. Aturan itu dibuat untuk membatasi sang pemegang kekuatan agar tidak merasa seperti Tuhan dan berbuat semena-mena. Sayangnya tuan Gabriel waktu itu masih kurang mengerti, demi menyelamatkan nyawa mamanya, tuan Gabriel datang dan memohon kepada tuan Matthias sang pemegang kekuatan sebelumnya untuk memohon penyembuhan bagi mamanya.” Carlos menghela napas panjang, “Tentu saja tuan Matthias menolaknya, ada aturan bahwa sang pemegang kekuatan tidak boleh menyembuhkan penyakit yang sudah tercatat pada takdir kematian dalam waktu dekat. Penolakan itulah yang menorehkan dendam di hati tuan Gabriel waktu kecil,  membuatnya bertekad untuk menghancurkan kekuatan terang.”
Selly terperangah, tidak menyangka bahwa Carlos akan menyajikan cerita yang begitu rumit.
Jadi Gabriel menyerang kekuatan terang bukan karena ingin menguasai dunia?
“Dan sekarang dendam itu sepertinya sudah berhasil dipadamkan.” Carlos kembali menatap Selly dengan penuh arti, “Saya duga karena anda.”
‘Karena aku?”
“Ya. Pertarungan antara dua pemegang kekuatan akan memaksa anda memberikan pengorbanan untuk memenangkan cinta sejati anda.” Carlos menatap Selly dengan pandangan penuh spekulasi. “Saya artikan bahwa pengorbanan itu adalah pengorbanan nyawa  anda. Keinginan tuan Gabriel untuk menyelamatkan nyawa anda telah berhasil membuat beliau menguburkan dendamnya dalam-dalam. Anda bebas sekarang, nona Selly, dan anda bisa tenang, kekasih anda Tuan Rolan juga akan aman....
Belum sempat Carlos menyelesaikan ucapannya, terdengar suara ledakan yang luar biasa besar, menyerang sisi depan rumah Gabriel.
Lantai-lantai bergetar dan sebagian atap runtuh, beruntung Carlos cukup sigap dan melindungi Selly dari reruntuhan yang berjatuhan.
Mereka berpandangan, dan ketika itulah terdengar suara dari luar.
“Aku menantangmu untuk bertarung, Gabriel. Keluarlah dan hadapilah aku secara jantan!”
Itu suara Rolan!
Selly terperanjat, dan hampir melompat untuk mendatangi arah suara itu tempat Rolan dan Matthias berdiri di halaman rumah Gabriel. Ternyata Rolanlah yang menggunakan kekuatannya untuk menghancurkan bagian depan rumah Gabriel itu.
Tetapi dengan sigap Carlos langsung menyambar lengan Selly, menahannya.
“Jangan keluar.” Gumamnya serius, “Pertarungan akan segera terjadi, saya bisa melihat itu. Rolan datang dengan kemarahan, dan kalau tuan Gabriel terpancing...” suara Carlos menghilang, “Itu bisa membahayakan nyawa anda ketika mereka pada akhirnya bertarung.”
Karena dia adalah sang cinta sejati, dan karena cinta sejati harus mengorbankan nyawanya.... Selly membatin, merasakan kebingungan yang pekat dan menyesakkan dadanya.
***
Gabriel muncul di depan rumahnya, melayang dibalut bayangan hitam, lelaki itu bersedekap, sedikit menunduk sambil menatap Rolan yang berdiri di depannya dengan tatapan mengancam.
“Well sungguh kau telah melupakan kesopanan sebagai seorang tamu, Rolan. Kau datang tanpa permisi dan merusak rumahku.” Gumamnya tenang.
Rolan mendengus, “Jangan banyak basa-basi Gabriel, aku tahu bahwa kau menculik Selly dan menyekapnya di rumahmu!”
“Dan apa hubungannya itu denganmu?” Gabriel mengangkat alisnya, memprovokasi, “Bukankah kau bukan kekasih Selly lagi?”
“Apa maksudmu?” Rolan mengerutkan keningnya.
“Kalian sudah bukan sepasang kekasih lagi bukan? Kau telah kehilangan cinta Selly kepadamu karena kebodohanmu, masuk ke dalam jebakan Sabrina.” Gabriel terkekeh, “Mungkin sekarang aku bisa mencoba memiliki Selly.”
“Beraninya Kau!” Rolan langsung emosi, melemparkan cahaya terang dari tangannya, seperti kilat, menyambar ke arah Gabriel.
Tetapi dengan tenang, hanya dengan menggeser tubuhnya sedikit, Gabriel bisa menghindari sambaran cahata terang yang sangat cepat itu, sementara tempat di belakangnya, yang tersambar oleh serangan Rolan, hangus terbakar.
Gabriel menoleh melihat kerusakan akibat serangan Rolan dan mendesis dalam senyuman, “Aku akan menagihkan kepadamu kerusakan rumahku karena emosimu.” Jemari rampingnya bergerak pelan, dan kemudian tanpa peringatan, bola api yang begitu besar meluncur ke arah Rolan. 
Marco sudah berlindung jauh di belakang Rolan sambil menatap pertempuran itu dengan cemas, sementara itu Rolan berhasil menghindari serangan Gabriel meskipun ada sedikit rambutnya yang terbakar.
“Kenapa kau menyerangku Rolan? Bukan aku tapi kau yang mengibarkan pertempuran ini.” Gabriel menyipitkan matanya, “Apakah kau takut bahwa aku sudah berhasil merenggut Selly-mu?”
“Kurang ajar kau!” Rolan langsung menyerang, melemparkan berkali-kali serangan cahaya brutal yang menghanguskan dan setajam silet ke arah Gabriel, sementara Gabriel dengan mudah menghindar seolah-olah tubuhnya seringan bulu. “Selly tidak akan semudah itu berpaling dariku!”
Sambil terus menghindari serangan Rolan, Gabriel terkekeh, dia memang sengaja memprovokasi Rolan,
“Kau tidak akan bisa mengalahkanku Rolan, tidak akan bisa.” Gabriel melemparkan serangan ke arah Rolan, menimbulkan suara ledakan keras yang merusak. Halaman depan rumah Gabriel yang besar sudah hancur lebur tak berbentuk, pun dengan rumah Gabriel yang sebagian besar bagian depan rumahnya sudah runtuh karena serangan pertempuran mereka.
“Serahkan Selly kepadaku dan aku akan berhenti menyerangmu.” Rolan berteriak sambil menghindari serangan Gabriel.
Mata Gabriel menajam, dan ekspresinya mengeras, “Aku tidak akan menyerahkan Selly kepada lelaki yang tidak bisa menjaga hati perempuan sepertimu!” Dan kemudian lelaki itu mengarahkan jemarinya mengeluarkan sesuatu seperti asap hitam dari jemarinya, “Kau tidak akan pernah menang melawanku, Rolan.”
Asap itu melingkupi tubuh Rolan, tiba-tiba karena dia tidak siap, membuatnya sesak napas.
***
“Rolan!” Selly yang melihat hal itu dari jendela berteriak cemas melihat asap itu melilit Rolan, membuatnya kehabisan napas sampai pucat pasi. Carlos mengatakan bahwa sang pemegang kekuatan akan sama kuatnya jika bertarung dan salah satu tidak akan bisa mengalahkan yang lain. Tetapi melihat keadaan Rolan sekarang, Selly langsung merasa ragu.
Dia mencoba meronta, tetapi Carlos masih mencengkeram tangannya.
“Jangan Nona Selly! Jangan ikut campur dan melukai diri anda sendiri! Pertarungan mereka tidak akan melukai siapun, pun diri mereka sendiri. Biarkan mereka menyadari bahwa pertarungan itu sia-sia dan berhenti sendiri!” Carlos berusaha menangkan Selly yang meronta-ronta.
Tapi Selly sudah terlalu panik, dua lelaki itu. Gabriel dan Rolan tampak ingin membunuh satu sama lain, dan serangan-serangan mereka terhadap satu sama lain sungguh mengerikan. Selly tidak ingin kedua lelaki itu saling melukai, hanya karena dirinya!
Dengan segenap kekuatannya, dia menghentakkan tangannya dari cengkeraman lelaki tua itu, ketika Carlos lengah, Selly menendang kaki Carlos, membuat lelaki itu terhuyung ke belakang, dan kemudian, sebelum Carlos sempat pulih, Selly berlari, membuka pintu kamar melalui lorong rumah Gabriel yang besar dan mencari jalan menuju ke halaman tempat pertarungan Gabriel dan Rolan berlangsung.
Dia meninggalkan Carlos yang berteriak-teriak panik di belakangnya dan memanggil namanya dengan panik.
***
Rolan marah besar, asap pekat berwarna hitam itu mencekiknya dengan kuat, seolah-olah berusaha menyedot semua udara di sekelilingnya, dadanya terasa panas dan akan meledak. Meskipun begitu, Rolan tahu, Gabriel tidak akan bisa membunuhnya, lelaki itu hanya bisa membuatnya merasa sakit dan setelah itu tubuh Rolan, dengan kemampuan otaknya yang sempurna akan memperbaiki dirinya sendiri.
Dia mencoba berkonsentrasi seperti yang diajarkan oleh Marco, untuk melepaskan diri dari lilitan asap hitam yang menyesakkan itu. Pertama-tama terasa sulit, apalagi dengan dadanya yang terasa nyeri tak tertahankan, darah mengalir dari hidungnya ketika dia pada akhirnya berhasil menguraikan asap hitam itu pelan-pelan supaya melepaskan belitannya dari dirinya. Matanya menatap Gabriel yang hanya mengawasi dengan ekspresi geli ketika dia akhirnya berhasil melepaskan asap itu sejauh mungkin dari dirinya.
“Itu adalah kekuatanku yang paling mudah, kumainkan ketika aku masih kanak-kanak.” Gabriel mencibir, “Dan kau kesulitan menghadapinya, bagaimana jika aku mengerahkan seluruh kemampuanku?”
Mereka memang tidak bisa saling membunuh, mereka sama-sama kuat, ditakdirkan seperti itu. Tetapi pengalaman Gabriel yang jauh lebih lama membuatnya lebih bisa menyakiti Rolan. Rolan menyipitkan matanya, merasa marah.
“Kau juga belum tahu kekuatanku yang sesungguhnya.” Ada bara api yang menyala dari tangan Rolan, makin lama makin besar. Kalau Gabriel bisa menggunakan api untuk menyerangnya, Rolan juga bisa, “Aku akan membuatmu hangus terbakar di neraka!” Dan dengan cepat, Rolan melemparkan ledakan api itu ke arah Gabriel.
Detik yang sama, sekali lagi, Gabriel memiringkan tubuhnya setengah melayang untuk menghindari serangan Rolan. Serangan api yang melesat setajam pisau itu hanya meleset sedikit, menghanguskan ujung samping rambut Gabriel., dan kemudian melewati tubuh lelaki itu terus ke belakang, tempat Selly membuka pintu depan dan tiba-tiba muncul di sana.
Gabriel dan Rolan sama-sama terkejut dalam waktu yang sepersekian detik itu, mereka sama-sama berteriak, memanggil nama Selly dan bergerak secepat kilat untuk mencegah serangan itu mengenai Selly.
Tetapi terlambat, semua berlangsung begitu cepat, api yang begitu kuat langsung menghantam tepat ke tubuh Selly, menimbulkan suara ledakan yang mengerikan dan cahaya api yang membutakan mata. Bahkan Selly tidak sempat berteriak lagi.
Gabriel meneriakkan nama Selly sekali lagi, wajahnya pucat pasi, dia melesat dengan cepat mendahului Rolan, menyingkirkan api yang menyelubungi tubuh Selly dengan cepat, dan kemudian berlutut sambil mengangkat tubuh Selly yang terbaring lemah ke atas pangkuannya.
“Selly. Astaga. Kenapa kau keluar? Kenapa kau keluar?” Gabriel tidak bisa menyembunyikan kepanikan di dalam suaranya, dia melihat beberapa luka bakar di kulit Selly dan merasa frustrasi luar biasa karena dia tidak bisa menyembuhkan luka-luka itu. Kenapa Selly harus kebal dengan kekuatannya??
Selly mencoba membuka mata, tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit, api itu menerpanya dengan begitu kencang, kerusakannya memang tidak begitu tampak di bagian luar, hanya ditampilkan dengan luka bakar di beberapa sisi kulitnya, tetapi api itu menembus tubuhnya, membuat organ dalamnya terluka parah.
Darah mengalir dari sudut bibir Selly dan dengan panik Gabriel mengusapnya.
“Bertahanlah Selly! Bertahanlah sayang!” Gabriel bergumam, jemarinya menahan darah dari sudut bibir Selly supaya berhenti mengalir, tetapi darah itu terus mengalir, menandakan kerusakan yang padah di organ dalam tubuh Selly.
“Selly?” Kali ini Rolan yang mendekat, berdiri di depan Gabriel yang berlutut sambil memangku tubuh Selly. Bibirnya bergetar dan wajahnya pucat pasi. Dia melancarkan serangan yang paling kuat untuk menghancurkan Gabriel, tetapi serangan itu malahan mengenai Selly, perempuan yang dicintainya.
Selly mencoba berkata-kata, bibirnya gemetaran, rasanya sulit untuk mengucapkan bahkan  cuma satu kata sekalipun.
“Jangan....” suara Selly serak. Tertahan oleh darah yang mengalir melalui tenggorokannya dan menyesaki bibirnya.
Gabriel mengernyit tak tahan melihat kondisi Selly, pada saat yang sama Carlos datang, lelaki tua itu tadi berlari mengejar Selly dan sekarang berdiri tertegun melihat kondisi Selly yang terluka parah.
Mata Gabriel menyala marah ketika menatap Carlos, “Seharusnya kau menjaganya supaya tetap di dalam.” Kemeja Gabriel sudah penuh oleh darah Selly, tetapi lelaki itu tampaknya tidak peduli, tetap memangku Selly dan menyandarkan kepada perempuan itu ke dadanya.
Carlos gemetaran, “Saya sudah berusaha tuan, tetapi nona Selly melepaskan diri dan berlari ke luar...”
“Berikan Selly kepadaku.” Rolan menyela, tidak membiarkan Carlos menyelesaikan kata-katanya, “Dia akan baik-baik saja bersamaku.”
Mata Gabriel membara, seakan ada api yang menyala di sana. Dia menyerahkan tubuh Selly yang lungkai ke dalam gendongan Carlos yang langsung menerimanya. Lalu berdiri, berhadap-hadapan dengan Rolan.
“Memberikan Selly kepadamu?” Gabriel mendesis, menggertakkan giginya seolah tidak mampu menahankan kemarahannya yang menggelegak. Darah Selly membasahi kemejanya, darah Selly! Dan sekarang Gabriel merasakan ketakutan yang nyata bahwa dia akan kehilangan Selly tanpa bisa menyelamatkannya. Di antara perasaan tak berdaya itu, Gabriel menumpahkan kemarahannya kepada Rolan. “Kau yang melukainya !” seru Gabriel keras, membuat wajah Rolan dipenuhi rasa bersalah, “Aku akan membunuhmu Rolan! Dengan cara apapun!”
Tiba-tiba angin berhembus sedemikian kencang, membuat pepohonan meliuk-liuk kalang kabut, daun-daun terlepas dari tangkainya dan berterbangan di sekeliling mereka. Langit menggelap dan petir berkerjapan di angkasa, udara berubah menjadi sedemikian dingin, seakan-akan badai dasyat dan angin topan hendak menerjang bersamaan.
Carlos mengerutkan keningnya melihat keadaan. Astaga. Tuannya ini benar-benar marah. Dan itu bisa menjadi bencana bagi umat manusia. Kemarahan sang pemegang kekuatan yang tidak terkontrol bisa menyebabkan bencana alam yang tak terkira di muka bumi ini, entah itu tsunami, angin topan, gempa bumi... tergantung pada tingkat kemarahannya.
Dan sekarang Gabriel benar-benar marah....
Carlos menunduk, menatap Selly yang berada dalam gendongannya.  Dia harus bertaruh, kalau tidak bencana alam yang sangat besar mungkin akan terjadi di sini.
“Nona Selly...” dia memanggil lembut Selly yang terkulai lemah dengan mata terpejam, darah masih mengalir dari bibirnya dan napas Selly tersengal-sengal seakan sulit sekali untuk bernapas. Carlos merasakan kesedihan menghantam benaknya melihat kondisi Selly, tetapi dia menguatkan hati untuk berkata dengan suara serak, “Nona Selly, hanya anda yang bisa menghentikan pertarungan ini. Apakah anda rela berkorban demi cinta sejati anda?”
Selly menanggapi dengan sedikit menggerakkan kepalanya meskipun susah payah, bibirnya bergetar ketika mencoba bersuara.
“Jangan... bertarung lagi......”
Dan kemudian cahaya putih langsung keluar dari tubuhnya, melingkarinya, mengangkatnya sehingga melayang, lepas dari gendongan Carlos yang terpana, begitupun saudaranya Marco yang sedari tadi mengamati sambil berlindung di sisi lain halaman. Bagi Carlos dan Marco yang sudah berusia ribuan tahun dan mendampingi seluruh pemegang kekuatan yang pernah ada, inilah kali pertama bagi mereka melihat pengorbanan sang cinta sejati dengan mata kepala mereka sendiri.
Gabriellah yang pertama sadar, dia mengerutkan keningnya dan menoleh. Melihat tubuh Selly yang melayang di udara, diselubungi cahaya putih. Seketika itu juga, tahulah dia bahwa Selly telah melakukan pengorbanan dengan untuk cinta sejatinya yang bisa saja sama dengan mengorbankan nyawanya.
“Tidak! Tidak!” Gabriel langsung melupakan kemarahannya kepada Rolan, dia menerjang tubuh Selly yang diselubungi cahaya putih, berusaha menggapai tubuh perempuan itu, tetapi selubung putih itu terlalu kuat dan tebal, bahkan untuk pemegang kekuatan sekuat Gabriel, membuat tubuh Gabriel terhempas menjauh.
Rolan yang melihat Selly juga langsung panik. Apakah itu... apakah itu berarti Selly mengorbankan dirinya untuk memberi kekuatan kepada cinta sejatinya? Kepada dirinya? Lalu apa yang akan terjadi? Apakah Selly akan mati dan kemudian dia memiliki kekuatan otak seratus persen dan bisa membunuh Gabriel?
Buat apa itu semua kalau dia harus hidup abadi dalam patah hati, menyadari bahwa kekuatannya diperoleh dengan mengorbankan nyawa perempuan yang dicintainya?
Air mata Rolan meleleh dari sudut matanya, berdiri dengan kaku di sana, tidak bisa berbuat apa-apa melihat keadaan Selly.
Sampai kemudian cahaya putih itu membesar hingga membutakan mereka, dan kemudian ledakan besar terjadi, membuat semua orang yang ada di sana terhempas.
***
Gabriellah yang membuka matanya pertama kali, setelah entah berapa lama tak sadarkan diri akibat ledakan hebat itu, dia berbaring di antara puing-puing dan langsung terduduk tegak, matanya mengitari sekeliling halaman, melihat kerusakan hebat yang terjadi akibat ledakan terakhir itu. Dia melihat Rolan, yang masih tak sadarkan diri di dekatnya, tetapi dia tidak peduli.
Di mana Selly?
Gabriel menajamkan pandangannya, menembus debu asap putih di antara puting-puing yang berjatuhan. Dan kemudian dia melihat tubuh mungil Selly yang lunglai di sudut halaman. Gabriel langsung berdiir, setengah berlari menghampiri tubuh Selly, dia berlutut di samping tubuh Selly yang lunglai.
Gabriel tak pernah merasakan takut sebelumnya. Tetapi kali ini dia takut sampai gemetaran. Apa yang ada di dalam hatinya tidak pernah dirasakannya dan tidak bisa dideskripsikannya sebelumnya. Dia takut Selly mati, dia takut perempuan itu meninggalkan dunia ini, sementara... sementara Gabriel bahkan belum mengakui perasaannya kepada Selly...
Bahwa dia mencintai perempuan itu, entah sejak kapan. Mungkin sejak mereka makan malam berdua di hari ulang tahun Selly itu... atau mungkin bahkan sejak mereka bertabrakan pertama kali di dekat rumah sakit, ketika dia mengambilkan butir-butir jeruk yang berjatuhan dari kantong Selly. Gabriel tidak tahu kapan perasaannya bertumbuh dan bagaimana, yang ada di benaknya sekarang adalah rasa pedih yang memenuhi jiwanya. Sadar bahwa semuanya sudah terlambat.
Jemari Gabriel gemetar ketika dia menyentuh pipi Selly, mencoba mencari kehangatan di sana, tetapi tidak ditemukannya. Kulit Selly begitu dingin, seolah aliran darah sudah berhenti di sana, tidak mengalir lagi.
Gabriel mengangkat tubuh Selly mendekatkan perempuan itu, mencoba mencari helaan nafas yang tersisa, tetapi tidak ditemukannya... dia mendekatkan telinganya ke dada Selly, mencari detak jantungnya, tetapi tidak ada apapun di sana, semuanya kosong...
Sesuatu yang hangat mengalir di sudut matanya, tetesan air mata yang tidak pernah lagi dialirkannya sejak kematian mamanya. Gabriel menangis, diliputi oleh kesedihan yang sangat dalam.
Dipeluknya tubuh Selly ke atas pangkuannya, dilingkarkannya lengannya ke tubuh Selly yang terkulai lemah, sekuat tenaga memeluk perempuan yang dikasihinya itu. Tubuh Gabriel berguncang menahankan tangis kesedihannya.
“Kau juga mencintainya ya?”
Suara itu membuat Gabriel mengangkat kepalanya, dan langsung bertatapan dengan Rolan. Kondisi Rolan tidak lebih baik darinya, lelaki itu tampak kacau balau, dan kesedihan tersirat di wajahnya, kesedihan yang dalam dan penuh arti.
Dua orang pemegang kekuatan yang saling bertentangan itu bertatapan, dengan perempuan yang sama-sama mereka cintai terkulai di antara mereka.
Gabriel menghapus bening di sudut matanya, “Ya. Dan Selly telah berkorban demi cinta sejatinya. Kekuatan 5% itu telah dipindahkan dengan ganti nyawanya.”
Rolan terpekur. “Apakah kita akan melanjutkan pertempuran ini? Yang satu membunuh yang lain?”
Gabriel menunduk, melihat ke arah Selly, lalu menggelengkan kepalanya dengan sedih,
“Tidak. Tidak ada gunanya lagi. Tidak ada gunanya lagi tanpa dia.” Dan kemudian, tiba-tiba Gabriel merasakan denyutan samar di dada Selly yang menempel di dadanya. Selly belum mati sepenuhnya, masih ada kehidupan yang tersisa di sana, masih belum terlambat untuk menyelamatkan Selly...
Gabriel mendongakkan kepalanya, menatap ke arah Rolan,
“Kau jaga dia baik-baik setelah ini jangan pernah kecewakan perasaannya lagi karena sesungguhnya dia perempuan baik yang begitu setia kepadamu....”
Rolan mengerutkan keningnya, ‘Kau akan melakukan apa?”
Tetapi Gabriel tidak menjawab, lelaki itu menundukkan kepalanya, dan mengecup bibir Selly penuh perasaan, membuat sesuatu berdenyut kencang di jantung Rolan melihatnya. Lalu setelah itu Gabriel memejamkan matanya, meletakkan jemarinya di dahi Selly.
Rolan langsung terpana. Dia mengenali metode itu, itu sama seperti ketika Matthias memindahkan kekuatan kepadanya.... apakah Gabriel memindahkan kekuatannya kepada Selly dengan mengaktifkan kekuatan otak Selly supaya bisa menyembuhkan dirinya sendiri?
Prosesnya tidak lama, bahkan tidak terlihat ada yang berbeda, selain ketika Gabriel membuka matanya, aura kejamnya sedikit memudar. Lelaki itu menggendong Selly yang lunglai dan berdiri tepat di depan Rolan, lalu menyerahkan Selly kepada Rolan.
“Jaga dia baik-baik. Sekarang kalian bisa bersama selamanya. Kalian sama-sama abadi, jadi hanya kau yang bisa menjaganya.” Mata Gabriel menatap Rolan dengan serius, “Jangan pernah percaya pada apapun yang dikatakan Sabrina, Rolan. Dia jahat. Bahkan jiwanya lebih jahat dan kelam daripada diriku, dia telah merencanakan semuanya dari awal untuk merusak hubunganmu dengan Selly, dan sekarang dia sudah menanggung hukumannya sendiri. Lupakan Sabrina dari benakmu dan fokuslah untuk mencintai Selly.”
Lalu Gabriel itu membalikkan badan dan melangkah pergi, meninggalkan Rolan yang terpana, mau tak mau menerima tubuh Selly yang lunglai ke dalam pelukannya.
***
Carlos dan Marco berdiri dalam diam, melihat semua itu dan kemudian saling bertatapan.
Sungguh akhir yang tidak diduga, Gabriel sang pemegang kekuatan yang begitu kejam, pada akhirnya lebih memilih menyelamatkan cinta sejatinya daripada mengejar ambisinya untuk membalas dendam...
Lelaki itu melepaskan kekuatannya, melepaskan keabadiannya, untuk menyelamatkan nyawa Selly.
Carlos merasa ada yang hilang jauh di dalam dirinya, sekian lama dia mengabdi kepada Gabriel tuannya, dan sekarang dia memiliki majikan baru... Selly... tuannya yang baru.
***
Ketika pulang ke rumah sambil membawa Selly, diikuti Carlo dan Marco, Rolan melangkah dan meletakkan tubuh Selly yang masih belum sadarkan diri ke atas ranjang di kamar tamunya. Tanda-tanda kesembuhan sudah tampak di diri Selly, sudah ada rona di kulitnya, napas perempuan itu sudah teratur dan jantungnya berdetak kencang, tanda vitalitas hidupnya yang semakin membaik.
Tetapi perasaan mengganjal itu terus menyisa di benak Rolan ketika dia mengamati Selly.
Selly telah mengorbankan nyawanya demi memberikan 5% kekuatan kepada sang cinta sejati.... tetapi...
“Tuan Rolan!”
Itu suara Marco, dia memanggil dengan panik membuat Rolan menoleh, dan mengerutkan keningnya.
“Anda harus ke kamar anda, nona Sabrina...” Marco melanjutkan dengan nada tinggi karena tertelan kepanikannya, dia tidak menunggu Rolan bertanya, langsung membalikkan badannya ke arah kamar Rolan tempat Sabrina ditempatkan.
Dan ketika sampai di sana, keduanya sama-sama terpana. Menatap ke arah ranjang yang kosong, hanya menyisakan seberkas abu yang bertebaran di sana.....
Rolan menatap Marco dengan penuh rasa ingin tahu,
“Apakah... apakah Sabrina..” matanya menatap ke arah debu yang berada di atas tempat tidur itu.
Marco menganggukkan kepalanya dengan muram, “Sepertinya itulah yang terjadi kepada Sabrina, dia terbakar habis menjadi debu, oleh darah yang mengalir di tubuhnya.... manusia biasa tidak akan mampu menampung darah dari dua pemegang kekuatan yang bertolak belakang secara bersamaan...”
Rolan tiba-tiba merasa bersalah, “Apakah itu berarti akulah yang membunuh Sabrina? Aku memberikan darahku kepadanya, bukan.”
“Anda tidak perlu merasa bersalah.” Carlos, yang sekarang mengabdi kepada Selly muncul entah dari mana seperti biasa, “Anda memberikan darah anda kepada nona Sabrina karena anda dimanipulasi. Semua ini karena kesalahan nona Sabrina sendiri, mencoba mencari supply darah dengan memanfaatkan kebaikan hati sang pemegang kekuatan.” Mata Carlos menatap Rolan dengan tajam, “Tak perlu membuang kesedihan untuk perempuan jahat seperti nona Sabrina, seperti kata tuan Gabriel tadi, anda harus fokus kepada nona Selly, beliau sekarang sudah sadar.”
“Selly sudah sadar?” Rolan tersentak, “Aku harus menemuinya.”
Dan kemudian dia melangkah menuju ke kamar tamu tempat Selly dibaringkan.
*** Rolan memasuki kamar itu dengan hati-hati dan melihat bahwa Selly sudah terduduk, sadarkan diri di atas ranjang dengan tatapan mata kosong.
“Hai.” Rolan menyapa lembut sambil duduk di sebelah ranjang Selly, “Bagaimana keadaanmu?”
Selly mengangkat matanya dan menatap Rolan, lalu tersenyum lembut, “Apa yang terjadi?”
‘Kau tidak ingat?” Rolan mengerutkan kening
Selly memegang kepalanya dengan bingung, “Semuanya bercampur aduk di kepalaku, pertempuran itu.. lalu aku tidak ingat apa-apa lagi..”
Rolan meraih tangan Selly dan menggenggamnnya, “Maafkan aku Selly, tanpa sengaja aku mengenaimu dan membuatmu terluka... lalu... lalu kau mengorbankan dirimu demi memberikan kekuatan 5% kepada cinta sejati.”
“Aku mengorbankan diriku?” Selly membelalakkan matanya, menatap dirinya sendiri yang baik-baik saja, “Tetapi aku tidak mati. Bukankah katanya pengorbanan itu adalah pengorbanan nyawa? Dan kalian berdua, kau dan Gabriel... apakah kalian melanjutkan pertempuran itu?” Mata Selly melirik ke arah Carlos yang berdiiri diam di sana, tiba-tiba merasa cemas, “Kenapa Carlos ada di sini? Di mana Gabriel?”
Suasanya menjadi hening. Rolan sendiri menelan ludahnya dan tertegun. Ekspresi wajahnya tampak sedih.
“Kau hampir meninggal setelah melakukan pengorbanan diri, Selly. Dan Gabriel menyelamatkan nyawamu, tidakkah kau merasakannya? Aliran kekuatan itu di tubuhmu?”
“Apa maksudmu?” Selly terperangah dan kemudian dia menyadari, ada yang berbeda di tubuhnya, seluruh inderanya terasa lebih peka, seluruh tubuhnya terasa lebih kuat... apakah dia.. apakah Gabriel.. “Apakah Gabriel memberikan kekuatannya untukku?” suara Selly meninggi diliputi oleh kebingungan yang dalam, “Apakah Gabriel menyelamatkan nyawaku dengan memberikan kekuatannya untukku?”
Carlos menghela napas panjang, saling melempar tatapan dengan Rolan dan pada ahirnya dialah yang menjawab,
“Ya Selly. Gabriel, dia menyelamatkan nyawamu, dia menyerahkan kekuatannya dengan mengaktifkan kekuatan otakmu dan menjadikanmu pemegang kekuatan gelap yang baru, Carlos sekarang mengabdi kepadamu.”
Selly merasakan seluruh tubuhnya gemetar, ‘Kenapa Gabriel melakukannya? Kenapa?”
“Karena anda adalah cinta sejati tuan Gabriel. Saya sudah mengatakannya kepada anda bukan? Sejak kekuatan tuan Gabriel tidak mempan kepada anda, saya sudah menduganya.”
Dia? Cinta sejati Gabriel?
Tetapi dia mengorbankan dirinya untuk memberi tambahan kekuatan lima persen kepada Rolan bukan?
Matanya menatap Rolan, menyiratkan pertanyaan itu tanpa kata-kata. Dan Rolan langsung paham, ekspresi tegarnya langsung runtuh, berganti dengan kesedihan yang luar biasa.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak Selly. Kau tidak memberikan tambahan lima persen kekuatan itu untukku. Semula aku mengira kau melakukannya untukku..” Rolan menelan ludah, suaranya tampak tercekat di tenggorokan, “Tetapi ketika aku sadarkan diri setelah ledakan itu. Aku merasa sama... tidak ada tambahan kekuatan untukku, aku berdiri mencarimu, dan menemukan Gabriel sedang menangis sambil memeluk tubuhmu yang sekarat...”
Gabriel menangis...? Menangis untuknya?
“Kesedihan Gabriel karena takut kehilanganmu begitu nyata hingga jantungkupun terasa terkoyak ketika melihatnya.” Rolan melanjutkan, matanya berkaca-kaca. “Dan kemudian ketika kami berdiri berhadapan, dengan kau dipeluk erat dalam gendongannya, barulah aku menyadari.... bahwa kau...” Rolan menghela napas panjang, seperti kesulitan berkata-kata, “Bahwa kau memberikan pengorbanan 5% mu bukan kepadaku, melainkan kepada Gabriel, Gabriel-lah cinta sejatimu.”
Selly ternganga, begitupun Marco dan Carlos yang berada di ruangan itu, semuanya semula mengira bahwa Selly memberikan 5% pengorbanannya untuk menambahkan kekuatan otak Rolan.
Jadi.. Gabriellah yang disempurnakan kekuatan otaknya menjadi 100% ketika itu? Jadi Gabriel-lah yang berada di atas angin waktu itu? Dengan kekuatan otak sempurna 100% Gabriel bisa dengan mudah menuntaskan dendamnya, membunuh Rolan, sang pemegang kekuatan terang dengan gampang.
Tetapi ternyata itu tidak dilakuaknnya, karena Selly..
“Aku bertanya kepada Gabriel, apakah dia akan melanjutkan pertarungan ini. Aku yakin dia sudah menyadari bahwa dirinyalah yang terbangkitkan 100%, aku yakin dia menyadari kalau dia melanjutkan pertarungan ini, dengan mudahnya dia akan meraih kemenangan dan membunuhku.” Rolan bergumam dengan suara sedih, “Tetapi dia bilang dia tidak ingin melanjutkan pertarungannya, dia bilang tidak ada gunanya jika tidak ada kau Selly.... lalu dia melakukan itu, memberikan kekuatannya kepadamu, membuat dirinya menjadi manusia biasa yang lemah tanpa kekuatan apa-apa.” Napas Rolan tercekat di tenggorokan, “Aku merasa malu, sungguh merasa malu.... aku selama ini merasa bahwa aku adalah cinta sejatimu, merasa bahwa kau amat sangat mencintaiku, tetapi perlakuanku kepadamu tidak mencerminkan cinta sejatiku kepadamu, aku berkali-kali mengecewakanmu, melukai perasaanmu, dan bahkan berani-beraninya mencium perempuan lain dan merasakan perasaan lebih kepada perempuan itu.” Mata Rolan tampak berkaca-kaca, “Sudah sepantasnya perasaanmu kepadaku terkikis habis dan pada akhirnya kau mengalihkan perasaanmu kepada lelaki lain yang tanpa kau sadari selalu ada untukmu dan menjagamu.”
Air mata mengalir di pipi Selly mendengar perkataan Rolan, rasa haru dan sedih menyeruak di dadanya, memenuhinya hingga membuat bening di matanya mengalir tanpa henti. Astaga.... dia bahkan tidak menyadari perasaannya, tidak sampai Rolan mengatakannya. Mungkin nuraninya yang paling mengerti sehingga ketika dia melakukan pengorbanan dalam kondisi sekarat.... pengorbanan itu diberikan untuk Gabriel.
Dan lelaki itu, Gabriel. Dia bisa menghancurkan dunia ini dengan mudah, dia bisa mengalahkan Rolan dengan gampang.... karena Selly telah membuat kekuatan otaknya sempurna. Tetapi lelaki itu lebih memilih untuk menyelamatkan nyawanya.... memberikan kekuatannya kepoada Selly, serta membuat dirinya sendiri menjadi manusia biasa.
“Gabriel menyuruhku menjagamu.” Rolan melanjutkan, jemarinya menyentuh pipi Selly mencoba menghapus air matanya, “Dan jika kau bersedia, aku dengan tulus akan menjagamu, seperti dulu Selly, kita bersama-sama saling mencintai, hanya saja kali ini mungkin kisah kita akan abadi, kau dan aku sama-sama pemegang kekuatan dan kita bisa hidup bersama selamanya.
Mata Selly tampak ragu, “Bagaimana dengan Sabrina?”
Rolan tertegun, seketika itulah dia menyadari betapa Sabrina benar-benar menjadi ganjalan di hati Selly, betapa dirinya telah menyakiti hati Selly dengan menggunakan sebagian besar waktunya untuk Sabrina...
“Aku sudah mengatakannya kepadamu, bukan? Sabrina hanyalah perempuan penipu... dia... dia ternyata merencanakan semuanya.” Suara Rolan tercekat di tenggorokannya, lelaki itu menyentuhkan jemarinya dengan lembut ke rambut Selly, “Aku akan menceritakan nanti kepadamu. Yang pasti, Sabrina tidak akan menjadi penghalang di antara kita lagi.” Rolan mengambil jemari Selly dan membawanya ke mulutnya, “Dan jika kau mau memberiku kesempatan kedua, aku berjanji, segalanya akan lebih baik kini, aku akan berjuang untuk memenangkan cintamu lagi.”
Bagaimana dengan Gabriel?
Selly bertanya-tanya, kini setelah dia menyadari perasaannya yang sesungguhnya, setelah dia mengetahui pengorbanan Gabriel untuknya, lelaki itu tidak bisa lepas dari benaknya. Dan bagaimana mungkin Selly menerima tawaran Rolan untuk berbahagia bersama dalam kehidupan abadi, sementara Selly mengetahui bahwa di luar sana.... ada Gabriel yang menyerahkan keeabadiannya, menjadi manusia biasa.... demi menyelamatkan nyawa Selly?
Rolan tampaknya bisa membaca apa yang ada di benak Selly,
“Gabriel memintaku untuk menjagamu Selly, dia sendiri yang menyrahkan dirimu ke dalam tanganku sebelum pergi....”
Gabriel pergi ke mana?
Selly langsung meneriakkan pertanyaan itu dalam benaknya, ditatapnya Rolan, lelaki yang pernah amat sangat dicintainya, Rolan masih tampak sama, begitu lembut, tampan dan penuh kasih. Tetapi Selly-lah yang berbeda... perasaannya berbeda sekarang, mungkin rasa kecewa yang bertubi-tubi telah membuatnya tanpa sadar memasukkan lelaki lain ke dalam benaknya....
Ditatapnya Rolan dengan tatapan mata bersalah, ketika berbicara, suaranya terdengar serak.
“Maafkan aku...” Selly hanya mampu mengucapkan satu patah kata itu, air mata bergulir di benaknya seiring kejujuran yang mengalir dari mulutnya, ‘Maafkan aku Rolan.”
***
Marco membukakan pintu mobil untuk Selly. Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar di pedesaan yang indah, penuh dengan pepohonan besar yang menghijau. Rumah itu terletak di tengah hamparan padang rumput yang luar biasa luas. Berwarna putih menjulang dengan pagarnya yang tinggi, tampak megah di tengah keheningan.
Selly berdiiri dengan ragu, merasakan tiupan angin yang membuat rambutnya berantakan dan roknya berkibaran. Dia lalu menatap ke arah Marco,
“Apakah dia ada di sini?”
Marco yang sekarang menjadi pelayannya yang setia menganggukkan kepalanya.
“Dia selalu ke sini. Saya masih bisa merasakan kehadirannya meskipun samar.”
Selly menghela napas panjang, kemudian dia memantapkan diri untuk melangkah mendekati rumah itu. Gerbangnya terkunci tentu saja, tetapi sekarang Selly memiliki kekuatan, dia hanya menyentuhkan jemarinya dan gerbang rumah itupun terbuka.
Selly melangkah masuk melewati halaman depan yang lengang, langsung ke pintu depan. Di bukanya pintu itu dan dengan hati-hati dia melangkah melalui lorong yang sedikit remang, hanya diterangi oleh cahaya sore yang menembus tirai-tirai putih di jendela-jendela kacanya.
Entah kenapa Selly tahu.... dia melangkah menuju ujung lorong, ke ruangan yang paling ujung dan membuka pintunya.
Itu sebuah kamar, kamar yang sangat luas bernuansa cokelat maskulin, jendela-jendela kacanya sangat besar di ujung sana, memasukkan cahaya keemasan matahari sore ke dalamnya. Meskipun begitu, tidak ada pencahayaan lain di kamar itu, membuat suasana tampak gelap dan remang.
Kamar itu kosong.
Selly mengamati sekeliling ruangan, mencoba merasakan kehadiran seseorang, tetapi dia tidak bisa merasakannya.
Tiba-tiba.... sesuatu yang keras menempel di belakang kepalanya. Sebuah pistol.
Dan lelaki itu, lelaki itu berdiri di belakangnya, menodongkan pistol ke kepalanya.
“Siapa kau, berani-beraninya memasuki rumahku tanpa izin?” Gabriel setengah menggeram di belakang Selly, suasana yang gelap sepertinya membuat Gabriel tidak menyadari bahwa sosok yang berdiri di depannya itu adalah Selly,
Selly langsung merasakan seluruh tubuhnya gemetar karena antisipasi ketika menyadari bahwa Gabriel, lelaki itu berdiri di belakangnya. Dia membalikkan badannya, tidak mempedulikan pistol yang ditodongkan di kepalanya, dan berdiri berhadapan, begitu dekat dengan Gabriel.
“Gabriel.” Cukup satu kata, yang dibisikkan dengan penuh perasaan. Dan Gabriel langsung menurunkan pistol yang dipegangnya.
“Selly?” suaranya ragu, terdengar tidak yakin.
Selly merasakan bening yang menetes di pipinya. Akhirnya! Setelah kerinduan yang tertahankan, dia bisa menemukan di mana Gabriel menghabiskan waktunya akhir-akhir ini, dengan bantuan Marco yang amat sangat mengenal mantan tuannya itu, tentu saja.
“Ini aku.” Selly mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Gabriel tanpa di duga langsung mengulurkan jemarinya, menangkup pipi Selly. Sejenak seperti tidak mampu berkata-kata.
“Apa yang kau lakukan di sini, Selly?”
Selly mengulurkan tangannya, menangkup tangan Gabriel yang ada di pipinya,
“Aku mencarimu... aku...”
“Bagaimana dengan Rolan?” Gabriel menyela. “Apakah kau meninggalkannya untuk mencariku?” Lelaki itu menggelengkan kepalanya, tampak muram, “Seharusnya kau tidak melakukannya Selly. Kau dan dia, kalian sama sekarang, kau bisa berbahagia bersamanya.”
Selly langsung menggelengkkan kepalanya kuat-kuat, “Bagaimana mungkin aku bisa berbahagia dengan orang yang bukan cinta sejatiku?” Matanya menyala mantap ketika menatap Gabriel, “Mungkin pikiranku ketika itu tidak mengetahui siapa yang benar-benar kucintai. Tetapi hatiku tahu, aku memberikan pengorbananku untukmu bukan?”
Gabriel tercenung, ekspresinya tampak keras, datar dan tidak terbaca, seperti biasanya.
“Dan kenapa kau melakukan itu Selly? Memberikan 5%mu untukku?”
Selly menelan ludah, semula tampak kesulitan mengungkapkan apa yang ada di benaknya, tetapi kemudian dia memantapkan diri. Gabriel, di balik sikap dinginnya, pasti membalas perasannya. Lelaki itu tidak akan mungkin mengorbankan kekuatannya untuk menyelamatkan Selly kalau dia tidak mencintai Selly bukan?
“Karena aku mencintaimu.” Selly setengah berbisik, lembut dan pelan, menyatakan cintanya dengan hati-hati.
Lapisan datar dan keras yang melingkupi Gabriel langsung memudar seketika. Lelaki itu mengerutkan keningnya, tampak menahan diri sekuat tenaga.
“Selly.” Bisiknya sepenuh perasannya, “Katakan sekali lagi.”
Selly tersenyum, kali ini sedikit merasa yakin ketika mengulang kembali pengakuan cintanya,
“Aku mencintaimu Gabriel.”
Detik itu juga, Gabriel langsung meraih Selly ke dalam pelukannya, memeluknya begitu erat, menumpukan seluruh kerinduan yang tertahan sebelumnya.
“Aku mencintaimu.” Gabriel berbisik, menenggelamkan wajahnya di keharuman rambut Selly yang mungil dan pasrah dalam rangkulan lengannya, “Rasanya aku hancur ketika tahu bahwa aku akan kehilanganmu, ketika itulah aku menyadari bahwa aku mencintaimu, bahwa tidak ada artinya bagiku bisa menguasai seluruh dunia dan seluruh kekuatan di dalamnya kalau tidak ada kau.” Gabriel meraih bahu Selly, mengangkat dagu perempuan itu dan mendekatkan ke wajahnya, ‘Kau telah mengambil hatiku tanpa aku menyadarinya Selly, begitu baik hati, begitu mudah dicintai, bertolak belakang dari semua yang kuyakini sebelumnya, aku kehilangan pertahanan dan tanpa kusadari telah menyerahkan segalanya untukmu.”
Air mata mengalir lagi dari sudut mata Selly, air mata haru dan penuh kebahagiaan.
“Terimakasih Gabriel, terimakasih telah menyelamatkan nyawamu, terima kasih telah begitu mencintaiku...”
Selly tidak menyelesaikan perkataannya, karena Gabriel mendekatkan bibirnya dan mengecupnya. Kecupan itu semula lembut, hanya sebagai peredam gejolak perasaan dan kerinduan yang meluap-luap. Tetapi kemudian semakin dalam, Gabriel melumat bibir Selly dengan sepenuh perasaannya, mencecap seluruh rasanya, menikmati dan memujanya.
Hingga ketika ciuman itu selesai, napas keduanya terengah-engah.
Gabriel mengecup dahi Selly dan kemudian menenggelamkan perempuan itu ke dalam pelukannya.
Mereka begitu menikmati kebersamaan mereka. Memang masih banyak yang perlu dibicarakan, masih banyak yang perlu diungkapkan. Tetapi saat ini yang penting adalah kebersamaan mereka, menikmati kehadiran satu sama lain. Cinta sejati.
Gabriel telah begitu lama tenggelam dalam kekelaman, melingkupi jiwa dan benaknya, membuatnya menjadi begitu getir dan kejam. Tetapi kehadiran Selly yang begitu baik hati, telah melembutkan jiwanya yang begitu keras tanpa sadar.
“Terimakasih Selly, telah membuat hatiku yang kukira tidak mungkin mencinta ini, jatuh cinta kepadamu...” Gabriel berbisik, haru dan penuh perasaan.
Selly menganggukkan kepalanya, masih penuh air mata, dia menatap lelaki itu. Gabriel yang tampak begitu tampan dengan rambut hitam gelap dan mata cokelatnya yang tajam. Lelaki ini dulunya tampak begitu jauh, hingga bagi Selly tidak mungkin kalau hati mereka akan bertaut. Tetapi ternyata takdir menggariskan lain. Selly ternyata telah jatuh hati kepada Gabriel tanpa dia sadari, dan pengorbanan Gabriel untuknya, membuat cintanya semakin dalam.

Dia menenggelamkan kepalanya di dada Gabriel, memejamkan matanya dan tersenyum. Nanti mereka akan membicarakan segalanya, sekarang, dia akan menikmati kebersamaan mereka yang membahagiakan  dan mensyukuri semua yang ada di dalam pelukan lengannya.
-End-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 21, 2013 06:54

Embrace The Chord Part 19


Jason terus memainkan biolanya dengan penuh perasaaan, memainkan seluruh nada yang sulit dengan mudahnya, seolah-olah kemampuannya benar-benar sempurna tanpa pernah terluka sekalipun. Dan kemudian, ketika Jason memainkan nada penutup yang tinggi dan menyanyat hati di akhir cerita, dan mengakhirinya dengan kelembutan yang tak terkira... Rachel langsung berdiri, tidak bisa menahan dirinya dan menubruk Jason memelukkanya sambil berurai air mata.
“Kau bisa memainkan biolamu, kau bisa memainkan biolamu dengan tangan kirimu, dan itu sempurna.” Serunya penuh perasaan, membuat suaranya sedikit tercekat.
Jason menunduk, tersneyum melihat Rachel memeluknya, dengan sebelah tangan dia meletakkan biolanya di meja, lalu lelaki itu mendongakkan wajah Rachel,
“Apakah permainan biolaku tadi sempurna?” lelaki itu mengangkat alisnya, tampak tidak yakin, meskipun mata Rachel yang berurai air mata dan sinar takjub di sana sudah cukup membuktikan kebenaran kata-kata Rachel.
Rachel menganggukkan kepalanya dengan kuat.
“Permainan biolamu luar biasa, Jason... sungguh luar biasa.” Napas Rachel terengah, “Aku tidak menyangka kau bisa memainkan biolamu sama bagusnya dengan menggunakan tangan kirimu.”
Jason tertawa, “Aku disebut maestro jenius bukan?” gumamnya sedikit angkuh, dan sekarang Rachel sama sekali tidak merasa terganggu dengan keangkuhan Jason karena perkatannya benar adanya.
“Aku senang sekali Jason.” Rachel mengusap air matanya, “Selama ini aku dipenuhi rasa bersalah, karena aku berpikir bahwa dirikulah penyebab kau kehilangan bakatmu.... aku... aku tidak menyangka kau bisa memainkan biola dengan tangan kirimu...” suara Rachel tercekat, tertelan oleh isakannya.
Jason mengulurkan jemarinya dan mengusap air mata Rachel, tersenyum dengan lembut,
“Aku bermaksud membuatnya sebagai kejutan, dan sepertinya aku berhasil.” Gumamnya sambil tersenyum, “Konser tunggalku akan diadakan sebulan lagi, aku bermaksud menggunakannya untuk memperkenalkanmu, kita akan mengambil satu session panjang di pertunjukan utama, untuk berduet biola bersama.”
Rachel membelalakkan matanya, tidak menyangka. Dia? Jason akan mengajaknya berduet bersamanya langsung di konser tunggalnya? Konser besar bertaraf internasional yang pasti akan dihadiri oleh ribuan orang dari kalangan musik baik dalam dan luar negeri?
Tiba-tiba rasa gugup dan takut memenuhi benaknya, dia menatap Jason sedikit ragu,
“Aku tidak tahu apakah aku mampu.”
Jason tersenyum, “Kau pasti mampu, Rachel. Aku tahu seberapa tingginya kemampuanmu dan aku yakin.” Lelaki itu mengulurkan jemarinya, dan mengangkat dagu Rachel. “Bermain duet biola denganmu terasa pas dan sempurna untukku, kau bisa mengimbangiku, semuanya, seluruh nada yang kita mainkan seakan saling melengkapi secara alami, kau adalah pasangan bermain biolaku yang sempurna.” Dan kemudian, tanpa diduga, Jason menundukkan kepalanya, dan mengecup bibir Rachel.
Kecupan itu semula dilakukan untuk meluapkan perasaan mereka berdua, tetapi kemudian tanpa tertahankan berubah semakindalam, Jason merangkulkan tangannya dengan lembut memeluk punggung Rachel dan merapatkan kepadanya, sementara Rachel berjinjit dan melingkarkan lengannya di leher Jason. Kecupan mereka semakin dalam, bibir mereka bertaut semakin erat, saling mencecap rasa satu sama lain.
Dan kemudian ketika bibir mereka berpisah, napas mereka berdua terengah-engah. Saling menatap, yang satu penuh hasrat yang satu lebih seperti terkejut dan malu.
Jasonlah yang pertama sadarkan diri dan tersenyum lembut,
“Kurasa kita bisa satu tingkat lebih maju sebagai pasangan.” Gumamnya lembut.
Pipi Rachel merah padam. Bingung. Apakah maksud Jason tentang hubungan sandiwara mereka sebagai pasangan? Ataukah Rachel sebagai pasangan bermain biolanya?
Dan kenapa mereka berciuman? Kenapa pula Rachel tidak bisa menolak ciumannya? Dia malahan bergayut di leher Jason seolah-olah menggantungkan seluruh hidupnya kepada lelaki itu.
Detik itulah Rachel menyadari posisinya yang merapat dengan begitu intim kepada lelaki itu, rona merah di wajahnya semakin nyata ketika dia buru-buru melepaskan diri dari pelukannya kepada Jason, sedikit menjauh dan melangkah mundur.
“Aku... kurasa aku akan ke kamar untuk menenangkan diri.” Rachel langsung membalikkan badannya, dan terburu-buru melangkah pergi meninggalkan ruang musik itu.
***
Jason masih berdiri di tengah ruangan ketika Rachel meninggalkannya.
Dia tercenung.
Ciuman itu... ciuman itu telah memastikan segalanya. Dan Rachel juga membalas ciumannya tanpa kemarahan sama sekali seperti biasanya, apakah itu ada artinya?
***
Apa yang terjadi kepadanya?
Rachel membanting tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan nanar. Jemarinya menyentuh bibirnya yang masih berbekas ciuman Jason, terasa panas membara...
Biasanya kalau Jason menciumnya tanpa permisi, Rachel merasa jengkel, marah dan terhina, tetapi sekarang yang mengalir di dalam dirinya bukanlah itu... perasaan yang ada di sana adalah perasaan hangat yang dipenuhi dengan  euforia menyengat ke dalam jiwanya.
Apakah ini karena ketakjubannya melihat Jason mampu memainkan biolanya dengan tangan kirinya, sesempurna dia memainkannya dengan tangan kanannya?
Ataukah ada perasaan lain yang bertumbuh di dalam jiwanya...?
Bisa dibilang Jason adalah lelaki satu-satunya yang pernah menciumnya, beberapa kali pula....  Jantung Rachel berdesir oleh perasaan yang berkembang ke dalam jiwanya, perasaan yang tidak pernah diduganya akan tumbuh kepada lelaki arogan, angkuh dan sangat suka menjahilinya, si tukang cium sembarangan, Jason.
Dan tiba-tiba saja Rachel merasa takut untuk menumbuhkan perasaan ini. Jason terkenal dengan reputasinya sebagai penghancur perempuan, itulah yang membuat Rachel merasa ragu apakah yang dirasakan Jason kepadanya adalah keseriusan, ataukah lelaki itu sedang berpura-pura seperti yang dilakukannya kepada perempuan-perempuan lainnya?
Dan bagaimana pula perasaannya kepada Calvin? Apakah perasaannya itu mulai pudar seiring dengan patah hatinya yang tidak berbalas kepada lelaki itu?
Rachel berusaha menelaah perasaannya tetapi dia tidak menemukan jawabannya. Pada akhirnya dia tertidur dengan berbagai pertanyaan yang masih memenuhi benaknya.
***
Arlene menatap  Andrew yang berada di balik kemudi, mereka berada di mobil yang diparkir secara tak kentara di depan rumah Jason, mengawasi dari tadi. “Kau harus bisa menyingkirkan Rachel di konser itu. Dia bisa saja tampil di konser itu, karena Jason bilang acara utamanya adalah duetnya dengan Rachel, aku tidak mau merusak acara utama konser Jason. Tetapi segera setelah konser, kau harus menculik Rachel dan melenyapkannya, karena akulah yang akan datang ke pesta setelah konser sebagai pasangan Jason.” Matanya  melirik tajam ke arah Andrew, ‘Kali ini kau tidak boleh gagal, Andrew.”
Andrew mengamati Arlene dengan gelisah, “Kau yakin kali ini aman?  Bukankah serangan kemarin telah membuat polisi waspada?”
“Kali ini pasti aman.” Arlene tersenyum lebar, “Karena sekarang Jason mendukungku untuk menyingkirkan Rachel, jadi semuanya akan lebih mudah.” Senyumnya tampak mengambang, seperti seorang remaja yang jatuh cinta,”Bahkan Jason sendiri yang memintaku supaya bisa membantunya menyingkirkan Rachel?  Kau percaya itu Andrew? Ternyata perasaan Jason begitu dalam kepadaku, rupanya dia masih terikat dengan pesonaku, dan segera setelah kau berhasil menyingkirkan Rachel, jalanku bersama Jason akan semakin mulus.” Matanya menatap Andrew dengan penuh arti, “Dan tentu saja bayaran untukmu akan semakin besar kalau kau berhasil melaksanakan tugasmu kali ini.”
Andrew tercenung, sebenarnya, jauh di dalam hatinya, terbersit ketidak percayaan akan kata-kata Arlene bahwa Jason mendukungnya. Tetapi Arlene tampak yakin dengan kata-katanya, dan bayarannya terasa begitu menggoda, sehingga Andrew memutuskan akan melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya kali ini.
***
Pagi harinya ketika Rachel keluar dari kamar, dia langsung berpapasan dengan Jason di ruang tengah, lelaki itu sepertinya sudah menunggunya.
"Selamat pagi.” Jason sedang menyesap secangkir kopi yang masih mengepul panas,”Duduklah Rachel, dan sarapan, di teko yang itu ada cokelat panas.”
Rachel duduk dengan ragu, tiba-tiba merasa canggung berduaan saja dengan Jason dalam satu ruangan. Dia menuang cokelat dari teko ke cangkir, dan kemudian menyesapnya. Di meja di depan mereka banyak tersaji piring-piring berisi berbagai makanan kecil dan biskuit untuk sarapan, menguarkan aroma harum di pagi hari.
“Kurasa kita harus berlatih intensif mulai hari ini, untuk persiapan konser kita.”
Rachel menganggukkan kepalanya, “Apakah kau tidak ingin memberitahu media dan khalayak bahwa kau bisa bermain biola dengan sempurna dengan menggunakan tangan kirimu?”
Jason menatap kedua telapak tangannya. “Sebenarnya, ketika sakitku pulih, aku bisa memainkan biolaku dengan tangan kananku juga.” Lelaki itu tersenyum miris, “Sayangnya, kemampuan tangan kananku tidak bisa kembali sempurna, dokter bilang hanya delapan puluh lima persen kemungkinan kemampuan tangan kananku kembali, dan sisa lima belas persen, bagi seorang violinist terlalu jauh untuk dikejar.” Ditatapnya Rachel dengan pandangan intens, “Aku dulu memainkan biola dengan tangan kiri, pada awal aku bermain biola, tetapi kemudian guru biolaku mengajarkanku untuk bermain biola dengan tangan kanan, hal itu lebih kepada keindahan estetika, terutama ketika kita bermain dalam sebuah orkestra besar, posisi biola yang berlawanan akan menyulitkan di antara seluruh violinist yang berdiri berjajar dalam sebuah konser, hal itu jugalah yang menjadi alasan banyak pemain biola kidal yang tetap bermain dengan tangan kanannya.” Jason tersenyum, “Dan untunglah sekarang aku bisa kembali kepada cara bermain alamiku, dengan tangan kiri.”
Rachel menganggukkan kepalanya, “Kau akan menjadi tiada duanya di dunia ini, satu-satunya pemain biola jenius yang memainkan biolanya dengan tangan kirinya.
Jason tersenyum, “Aku ingin membicarakan mengenai Arlene, aku memancingnya supaya berusaha menyingkirkanmu sekali lagi, Rachel... dengan memancing kecemburuannya, aku tahu dia sangat pencemburu dan ketika dia termakan kecemburuannya dia akan kehilangan kehati-hatiannya.” Mata Jason tampak tajam dan serius, “Karena itu, selama proses ini terjadi sampai aku dan polisi bisa menjebak Arlene, aku minta jangan lagi kau lakukan hal seperti kemarin, pergi tanpa berpamitan seperti itu.”
Rachel menganggukkan kepalnya, “Aku mengerti Jason.”
Jason merubah posisi duduknya dengan santai, “Dan bagaimana dengan Calvin?  Apakah dia sudah menghubungimu lagi?”
Rachel menggelengkan kepalanya, tiba-tiba merasa bersalah kepada Calvin, karena semalam dia bahkan sama sekali tidak memikirkan tentang lelaki itu...
“Dia belum menghubungiku, mungkin aku akan menghubunginya nanti dan meminta maaf kepadanya.”
Jason memasang wajah tanpa ekspresi, “Sampaikan permintaan maafku kepadanya juga. Kurasa aku memang keterlaluan, kemarin. Aku sedikit marah karena kau menemuinya tanpa pamit kepadaku, dan aku melampiaskan kemarahan kepadanya.”
Dan kenapa Jason perlu merasa marah karena Rachel menemui Calvin tanpa berpamitan kepadanya?
“Akan kusampaikan kepada Calvin nanti.” Gumam Rachel setengah gugup, “Kapan kita akan berlatih nanti?” Rachel mengalihkan pembicaraan, merasa tidak nyaman membicarakan Calvin dengan Jason.
Jason bersedekap, “Segera, mungkin nanti setelah kau menyelesaikan sarapanmu.” Ada senyum di sudut bibirnya ketika melihat Rachel beranjak dari sofa dan tidak nyaman, “Kau mau pergi ke mana Rachel?”
“Aku akan kembali ke kamar, dan mempersiapkan diri sebelum latihan.” Rachel menjawab cepat, merasa gugup tiba-tiba.
Jason hanya diam ketika Rachel beranjak pergi meninggalkannya, tetapi ketika Rachel sudah di ambang pintu, Jason memanggilnya. “Rachel?”
Rachel menolehkan kepalanya sambil mengerutkan keningnya, “Iya Jason?”
Lelaki itu duduk di sana, benar-benar tampan seperti pangeran hedonis yang sempurna, dengan tangan bersedekap dan tatapan mata tajam. Dan kata-kata yang keluar dari bibirnya sangat mengejutkan.

“Kurasa aku jatuh cinta kepadamu.”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 21, 2013 06:26

August 30, 2013

Another 5% Part 21



“Apa?” Rolan langsung berdiri dari tempat duduknya, menatap Marco dengan tatapan mata terkejut, “Selly diculik oleh Gabriel?”
Marco menghela napas dengan cemas. “Saya mengkhawatirkan hal ini terjadi sejak dulu tuan Rolan. Nona Selly adalah pemegang kunci kemenangan anda. Dan mungkin Gabriel menculiknya untuk membunuhnya.”
Wajah Rolan pucat pasi. Dia sudah bertemu dengan Gabriel di tengah kebakaran itu. Sudah jelas bahwa Gabriel adalah manusia yang kejam dan tidak punya belas kasihan. Lelaki itu mungkin sudah menyiksa dan membunuh Selly. Rolan memejamkan matanya, berusaha melacak Selly, tetapi tidak bisa. Dia menghela napas frustrasi dan menatap Marco. “Kau tahu kemana Gabriel membawa Selly?”Marco begidik, “Ke rumahnya, sebuah mansion besar di pinggiran kota.” Ditatapnya Rolan dengan ragu. “Anda akan mendatangi Gabriel?”
Mata Rolan menyala marah. “Dia menginginkan perang bukan? Dan karena dia telah menculik serta mungkin melukai Selly, maka aku akan memberikan perang itu kepadanya.”
***

“Anda seharusnya tidak menantang tuan Gabriel.” Carlos pada akhirnya membuka mulut di malam yang semakin gelap itu ketika dia datang ke kamar untuk memeriksa Selly.
Selly menoleh ke arah Carlos dan mengernyit. “Lelaki itu jahat, dan kalau semua yang dikatakannya benar, maka aku berhak membencinya.”
Carlos menghela napas dengan sedih. “Semua orang selalu menganggap tuan Gabriel jahat, hanya karena dia adalah pemegang kekuatan kegelapan yang mewakili kejahatan. Ya. Memang hati tuan Gabriel begitu kelam, tetapi semua dendam yang ditumbuhkannya, hal itu karena dia sangat mencintai ibunya yang meninggal dan menimbulkan sebentuk kekecewaan serta kebencian pada sang pemegang kekuatan terang.” Carlos tampak sedih. “Saya berpikir bahwa anda mungkin telah merubah tuan Gabriel.”
“Apa?” Selly mendongakkan kepalanya, menatap lelaki tua misterius yang berdiri di depannya itu, “Apa maksudmu?”
Carlos tampak serius dengan apa yang dikatakannya. “Saya mengikuti tuan Gabriel sudah sejak awal beliau menerima kekuatan besar ini. Beliau bisa dikatakan tidak punya hati dan belas kasihan, apalagi sejak kematian ibunya, tidak ada apapun yang bisa memberikan setitik cahaya untuk hatinya yang pekat. Sampai dia bertemu dengan anda. Tuan Gabriel memang mendekati anda demi menjauhkan anda dengan Rolan. Tetapi di tengah usahanya, saya bisa melihat bahwa tuan Gabriel mulai melenceng dari apa yang sudah dia rencanakan sebelumnya.” 
Selly menatap Carlos dengan tatapan penuh perhatian ketika lelaki tua itu melanjutkan.
“Beliau langsung datang menemani anda ke acara ulang tahun makan malam anda begitu beliau tahu bahwa anda sendirian dan menunggu di rumah sakit... itu semua dilakukannya tanpa rencana.” Sambung Carlos.
Selly tentu saja ingat dengan kejadian itu. Malam yang berhujan dan kesedihannya karena Rolan membatalkan acara makan malam itu begitu saja. Demikian juga dengan rasa malunya karena menunggu sekian lama di restoran untuk kemudian batal memesan makan malam. Pada saat itu Gabriel datang bagaikan malaikat penyelamat., memberikan kue ulang tahun berwarna putih yang indah untuknya, dan membuat malamnya tidak begitu buruk.
“Begitu juga pada saat berikutnya, ketika sekali lagi tuan Rolan membatalkan janji, membuat anda menunggu di tengah hujan deras. Tidak ada untungnya bagi tuan Gabriel menolong anda, tetapi dia datang, mengejar anda menembus hujan deras dan menyelamatkan anda yang tergeletak pingsan di jalan.”
Carlos memiliki kekuatan yang sama seperti Marco, dia bisa melacak tuannya dimanapun dia berada. Karena itulah dia bisa tahu bahwa Gabriel mengejar Selly dan menyelamatkan serta merawatnya. Informasi itu membuat Selly ternganga. Kebingungan. Carlos bilang Gabriel yang menyelamatkannya ketika pingsan di tengah jalan saat hujan badai itu? Tapi... ketika dia membuka matanya dan sudah terbaring nyaman di ranjang ketika itu.. bukankah Rolan yang ada di depannya?
Carlos melihat keraguan Selly, dan kemudian menghela napas panjang. “Anda boleh saja meragukan kata-kata saya, tapi hati anda sendiri pasti mengetahuinya. Tuan Gabriel telah melakukan banyak hal di luar kebiasannnya untuk menyelamatkan anda. Dan sekarang, beliau mengurung anda di sini untuk menyelamatkan anda.”
Selly langsung membantah. “Dia mengurungku di sini karena aku adalah kunci kekuatan bagi Rolan. Untuk memenangkan pertarungan, tentu saja dia harus mengurung atau bahkan nanti membunuhku.”Carlos menatap Selly dengan tatapan mata skeptis.  “Anda benar-benar berpikir seperti itu?” lelaki tua itu menggelengkan kepalanya. “Apakah anda tidak tahu? Bahwa untuk memberikan kekuatan lima persen kepada cinta sejati anda, kemungkinan besar anda harus mati?”
Selly benar-benar terkejut dengan perkataan Carlos. “Apa?”
‘Ya. Kami memiliki buku aturan semesta, sebuah buku kuno pegangan bagi sang pemegang kekuatan, mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh sang pemegang kekuatan. Di dalam buku itu juga tercantum berbagai kutukan atas pelanggaran, ataupun ramalan akan masa depan.” Mata Carlos menjadi muram. “Dalam buku itu ada ramalan, ketika dua kekuatan saling bertarung, maka pengorbanan cinta sejatilah yang akan menentukan siapa yang memenangkan pertarungan. Sayangnya pengorbanan itu kemungkinan besar adalah pengorbanan nyawa. Kalau tuan Gabriel menantang tuan Rolan dan anda melakukan pengorbanan untuk kemenangan tuan Rolan. Maka kemungkinan besar anda akan mati.”
Selly tidak pernah menduga bahwa pengorbanan yang dimaksud adalah pengorbanan nyawa... dia... dia kebingungan. “Itulah yang ingin dihindari oleh Tuan Gabriel Beliau meskipun sikapnya dingin dan kejam, beliau mengutamakan keselamatan anda. Karena itulah beliau mengurung anda di sini untuk menyelamatkan nyawa anda.”
***
Kata-kata pelayan setia Gabriel tadi masih terngiang di benak Selly bahkan setelah lelaki itu pergi. 
Benarkah apa yang dikatakan oleh Carlos itu?  Bahwa Gabriel melakukan ini semua untuk menyelamatkan nyawanya? 
Ingatannya melayang ke waktu itu, ketika dia pingsan di tengah hujan badai. Selly tidak ingat apa-apa waktu itu, yang dia ingat hanyalah ketika dia dibaringkan di atas ranjang yang hangat dan nyaman. Saat itu, hatinya terasa sakit, sedih karena Rolan tidak datang. 
Dan kemudian, seorang lelaki mengecup bibirnya, mengatakan dengan lembut bahwa dia akan selalu ada. Bukankah lelaki itu Rolan? Rolan ada ketika dia membuka matanya bukan? Tetapi... Carlos bilang bahwa yang menolongnya adalah Gabriel... Rolan sendiri kalau diingat-ingat membantah kalau dia menolong Selly dari tengah hujan. Dan satpam perusahaan itu... dia bilang waktu itu Gabriel mengejarnya ke tengah badai... Selly menelan ludahnya. 
Kalau begitu... mungkinkah lelaki yang menciumnya dan membisikkan kata-kata penuh sayang kepadanya waktu itu adalah Gabriel?
***
Sabrina membuka matanya, dan langsung berhadapan dengan Rolan. Tetapi ekspresi wajah Rolan berbeda, lelaki itu tampak... marah.
“Rolan?” Tiba-tiba Sabrina teringat akan kemarahan Gabriel dan api yang membakar tubuhnya, terasa sangat panas dan menyakitkan. Dia beringsut terperanjat, dan kemudian melihat ke seluruh tubuhnya... tidak ada luka bakar di sana. Dipegangnya rambutnya dan menyadari bahwa rambutnya sudah dipotong pendek. Rambutnya pasti tidak bisa diselamatkan karena terbakar waktu itu.
Sabrina mengangkat wajahnya dan menatap Rolan, lalu bergumam dengan suara lemah. “Kau menyelamatkanku.” Suaranya bergetar, “Terimakasih Rolan.”
Rolan hanya berdiri di sana, menatap Sabrina sambil menyipitkan matanya,  “Aku menolongmu karena aku tulus, Sabrina. Tetapi sekarang aku jadi bertanya-tanya apakah kau tulus selama ini, atau kau menyimpan rahasia keji di baliknya.”
Sabrina mengerutkan kening dan berusaha duduk, tubuhnya masih begitu lemah dan lemas.
“Apa maksudmu Rolan? Aku tidak mengerti...”
“Gabriel.” Rolan menyela, suaranya terdengar dingin, “Apakah itu berarti sesuatu bagimu?”
Seketika itu juga Sabrina membeku, matanya menyala dengan panik tetapi ketika akhirnya berkata-kata, dia menangis sesenggukkan.
“Kau akhirnya tahu...”
“Bahwa kau adalah adik tiri Gabriel? Sang pemegang kekuatan gelap yang sedang mengincar nyawaku? Kenapa kau tidak mengatakannya kepadaku, Sabrina? Apakah kau bekerjasama dengan Gabriel? Mempunyai niat jahat kepadaku dan Selly?”
“Tidak!” Sabrina hampir berteriak ketika membantah perkataan Rolan, “Bagaimana kau bisa menuduhku seperti itu Rolan? Setelah aku... setalah aku menyatakan cinta kepadamu.” Suara Sabrina menghilang di telan isakannya, “Aku tidak mengatakan kepadamu karena Gabriel mengancamku, dia begitu jahat, dia memaksaku mendekatimu kalau tidak dia akan membunuhku... tapi sungguh Rolan, aku ... aku sama sekali tidak punya niat jahat kepadamu, kau begitu baik dan perasaan cintaku benar-benar tulus kepadamu.... “ 
Sabrina mengusap air matanya mengangkat dagunya dan menatap Rolan, “Sebelum kebakaran itu, aku mengatakan kepada Gabriel bahwa aku akan jujur kepadamu tentang kebenarannya, aku juga bilang kepada Gabriel bahwa aku tidak mau membantunya lagi, karena itulah dia marah... dan kemudian mencoba membunuhku dengan membakarku... Aku tahu semuanya Rolan, aku tahu bahwa kau adalah pemegang kekuatan terang dan kau adalah orang yang baik, karena itulah aku membelamu.... kau begitu baik kepadaku....dan kaulah yang menyelamatkan nyawaku dari usaha pembunuhan Gabriel yang jahat...”
Rolan ternganga, menatap ke arah Sabrina yang tampak mulai terisak-isak kembali. Astaga. Sabrina tampak benar-benar ketakutan, dan dia melihat sendiri bagaimana Gabriel dengan kejamnya membiarkan adik tirinya ini berteriak-teriak kesakitan karena terbakar dikelilingi api. Gabriel memang benar-benar jahat! Rolan tidak pernah mencari permusuhan, tetapi kejahatan Gabriel harus segera dihentikan.
Dia duduk di tepi ranjang, menatap Sabrina dengan tatapan mata bersalah. Dengan kekuatannya, dia berusaha membaca pikiran Sabrina, mengetahui kejujurannya, meskipun dia sudah yakin bahwa Sabrina tidak bersalah, tetapi Marco berkata kepadanya tadi bahwa hal itu harus dicoba, sekedar untuk berhati-hati. 
Sayangnya, yang terbaca di benaknya hanyalah bayangan berkabut.... entah kekuatannya yang tidak mempan kepada Sabrina, atau memang Sabrina cukup ahli supaya pikirannya tidak bisa terbaca, bagaimanapun dia adik kandung Gabriel bukan? Sabrina pasti sudah terbiasa menutupi pikirannya dari Gabriel yang jahat.
Rolan mengawasi Sabrina yang tampak lemah dan pucat, dan dia memutuskan untuk mempercayai Sabrina. “Maafkan aku Sabrina, aku mencurigaimu.... Marco pelayanku mengatakan kau adalah adik tiri Gabriel, jadi aku...”
Sabrina mengusap air matanya, mencoba tersenyum kepada Rolan, “Aku mengerti Rolan, semua pasti juga akan berpikir sama, aku sendiri tidak suka menjadi adik dari lelaki jahat seperti Gabriel, dia sangat kejam dan menakutkan.” Sabrina begidik, “Aku senang kau menolongku bebas darinya, terimakasih Rolan.”
Rolan menganggukkan kepalanya, ‘Kau aman di sini Sabrina. Kau bebas beristirahat di sini sampai semuanya aman dan kau bisa kembali ke rumah sakit lagi.” Rolan mengeryit. “Sementara itu aku akan membereskan Gabriel.”
“Membereskan Gabriel?” Sabrina mengerutkan keningnya mendengar perkataan Rolan itu.
“Ya. Aku akan mendatangi kediamannya dan menantangnya.” Rolan berseru, menggertakkan giginya menahan marah, “Dia menculik Selly, dan aku tidak bisa melacak Selly dengan kekuatanku, aku takut Gabriel melukai Selly.”
Mungkin Gabriel bahkan sudah membunuh Selly. Sabrina bergumam dalam hati, merasa girang. Meskipun begitu, dengan pandai dia memasang wajah prihatin.
“Gabriel begitu kejam Rolan... dia.. dia mungkin sudah membunuh Selly, kau harus segera kesana.”
“Ya Sabrina, tadi aku mencoba teleport ke sana, tetapi Gabriel rupanya memasang perisai yang tak tertembus di sekeliling rumahnya. Saat ini Marco sedang menyiapkan mobil, sebentar lagi aku akan berangkat.”Sabrina meraih tangan Rolan dan mengecupnya, “Hati-hati Rolan... semoga Selly tidak apa-apa.”
Rolan menganggukkan kepalanya, mengawasi Sabrina. Dia teringat kata-kata Marco tadi bahwa selama ini belum pernah ada yang menerima darah dari dua pemegang kekuatan. Sabrina telah menerima darah dari Gabriel dan Rolan dan apapun bisa terjadi kepadanya. Tetapi sepertinya Sabrina baik-baik saja, mungkin memang tidak apa-apa darah dari dua pemegang kekuatan bersatu.. Ketika Rolan membalikkan badannya, tiba-tiba Sabrina memanggil lelaki itu, “Rolan.”
Rolan menolehkan kepalanya, ekspresinya tampak lembut, “Ada apa Sabrina?”
Pipi Sabrina memerah, “Aku... aku mencintaimu.”
Senyum Rolan melembut, dia mengamati Sabrina yang rapuh, dan kemudian dia tidak bisa memungkiri, bahwa ada sebagian kecil hatinya, sebagian dari hatinya yang mulai tersentuh dan jatuh hati kepada perempuan ini. Sabrina tampak begitu bergantung kepadanya dan tulus mencintainya, memujanya, sedangkan Selly... Rolan tidak tahu lagi apa yang berkecamuk di benaknya, dia tidak mau memikirkannya dulu. Sekarang dia harus menolong Selly. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Sabrina, Rolan beranjak, berangkat menuju rumah Gabriel.
***
Sabrina tersenyum lebar sepeninggal Rolan. Astaga, lelaki itu sama sekali tidak curiga dengan semua keterangan yang diberikan olehnya. Mungkin memang benar kata orang bahwa lelaki yang baik akan cenderung bodoh kepada orang yang lemah. 
Rolan terlalu baik hingga tidak menyadari betapa liciknya Sabrina.Sabrina tadi benar-benar terkejut dan tidak siap ketika Rolan menanyakannya tentang Gabriel, untunglah dia bisa berpikir cepat dan mengarang cerita yang meyakinkan. Kebakaran yang melukainya itu ada untungnya juga bagi Sabrina, dia jadi bisa meyakinkan Rolan bahwa dia berada di pihak Rolan dan melawan Gabriel.
Sabrina berpikir keras di benaknya.... kenapa Gabriel menculik Selly? Apakah Gabriel berniat membunuh Selly? 
Bibir Sabrina tersenyum simpul, kalau Gabriel membunuh Selly, maka semua akan lebih mudah baginya, dia akan bisa menguasai Rolan sepenuhnya untuk menyuplai darah baginya dan kalau perlu mengisap rasa sakitnya dan menyembuhkannya. Mungkin seharusnya dia juga berharap Rolan berhasil mengalahkan Gabriel supaya Gabriel mati... karena kalau Sabrina tidak bisa memiliki Gabriel, maka lebih baik Gabriel mati saja.
Tiba-tiba Sabrina merasakan ada yang berdenyut di dadanya, denyutnya semula pelan, tetapi kemudian menjadi begitu kencang dan menyakitinya. Rasa sakit itu menyeruak, menyakitkan di dadanya. Napasnya terasa sesak dan panas. Sabrina mengernyitkan keningnya berusaha menahankan rasa sakit itu, tetapi kemudian terasa panas membakarnya, seluruh sarafnya terasa membara, penuh dengan kesakitan.  Ada apa dengan tubuhnya? Apa yang terjadi kepadanya? Sabrina terbatuk-batuk dan kemudian dia terkejut ketika ada darah yang mengalir dari bibirnya, wajahnya pucat pasi.
Pada detik yang sama, sesosok manusia muncul di balik bayangan hitam. Itu Gabriel. Pandangan Sabrina mulai kabur ketika mencoba memfokuskan diri pada kedatangan Gabriel,
“Apa... apa yang terjadi kepadaku?”
Gabriel bersedekap, menatap Sabrina dengan pandangan tanpa ekspresi. “Ini adalah akibat kelicikanmu sendiri, Sabrina. Kau menipu Rolan supaya memberikan darahnya kepadamu. Apakah kau tidak tahu bahwa tidak ada sebelumnya manusia yang menerima darah dari dua pemegang kekuatan yang bertolak belakang secara bersamaan?” Mata Gabriel menyipit, mengamati Sabrina, “Reaksinya memang lambat, tetapi sepertinya darah yang bercampur itu telah menjadi racun, dan sekarang racun itu menjalari seluruh pembuluh darahmu.”
“Tidak!” Sabrina mencoba berteriak meskipun susah payah, “Tidak! Aku mau sembuh! Aku tidak mau mati!”
“Sayang sekali Sabrina, kau telah bertindak licik tanpa memikirkan akibatnya, sekarang kau harus menanggung konsekuensinya, lagipula memang sudah takdirmu untuk mati sejak lama. Selamat tinggal Sabrina.” Gabriel tersenyum sinis, lalu bayangan hitam menelannya dan dia menghilang, tidak mempedulikan teriakan Sabrina yang memanggil-manggil dan meminta tolong kepadanya.
***
Ketika muncul di kamar Selly, Gabriel mengerutkan keningnya melihat ekspresi Selly yang marah.
“Ada apa?”
“Katakan padaku, apakah kau yang menolongku di tengah hujan waktu itu.” Selly langsung mengutarakan pertanyaannya.
Gabriel mengangkat alisnya, 
“Apakah itu penting?”
“Penting.” Setidaknya bagi Selly, siapapun yang menolongnya waktu itu telah jelas-jelas menenangkannya, mengecupnya lembut dan mengucapkan janji bahwa dia selalu ada, kalau memang bukan Rolan yang melakukannya, kalau memang Gabriel yang melakukannya, Selly harus mencoba memahami apa motif Gabriel melakukannya.
Gabriel sendiri mengamati perubahan ekspresi Selly, dan tersenyum
“Ya. Aku menolongmu yang sedang pingsan di tengah hujan itu, Selly.”’
“Apakah kau juga yang membawaku ke apartemen dan sebagainya?”
Mata Gabriel menajam, “Ya. Aku yang membawamu ke apartemen, kau basah kuyup jadi aku menggantikan pakaianmu.” Gabriel tersenyum melihat pipi Selly yang merah padam, “Aku membaringkanmu di ranjang dan menyelimutimu.”
Dan apakah Gabriel menciumnya?
Selly ingin menanyakan pertanyaan itu, tetapi dia takut menerima kebenarannya. Bernarkah bukan Rolan yang melakukannya? Benarkah Gabriel yang waktu itu mengusap air matanya, mengecupnya lembut dan berjanji bahwa lelaki itu akan selalu ada?”
Tetapi Kenapa?
Gabriel tampak begitu misterius, “Kau menangis dan memanggil nama Rolan, kau terluka karena lelaki itu – sekali lagi – mengingkari janjinya kepadamu.” Tiba-tiba saja Gabriel melangkah maju, membuat Selly membeku, jemari ramping Gabriel terulur dan menyentuh pipi Selly, lembut.
“Tahukah kau bahwa sang pemegang kekuatan tidak akan bisa menggunakan kekuatannya kepada cinta sejatinya? Rolan sudah pasti tidak bisa menggunakan kekuatannya kepadamu. Dia tidak bisa melacakmu, tidak bisa membaca isi hatimu, tidak bisa melakukan apapun kepadamu dengan kekuatan otaknya yang 95% itu. Sang cinta sejati adalah satu-satunya orang yang kebal dengan sang pemegang kekuatan.” 
Wajah Gabriel mendekat, suaranya setengah berbisik, bibirnya dekat sekali dengan bibir Selly “Dan akupun tidak bisa menggunakan kekuatanku kepadamu, kau juga kebal terhadapku. Jadi kau tidak perlu takut kepadaku, Selly. Aku bisa menghancurkan seluruh dunia dengan kekuatanku, tetapi aku tidak akan pernah bisa melukaimu, barang setitikpun.”
Selly terpana, bingung mendengar kata-kata Gabriel itu.
“Aku akan melepaskanmu, Selly.” Gabriel melanjutkan. “Pertarungan ini, aku menyadari tidak akan ada gunanya. Aku sudah tidak tertarik lagi bertarung. Kau akan kulepaskan dan kau bisa bersama Rolanmu itu.”

Kemudian tanpa kata-kata lagi, Gabriel menghilang,
Bersambung ke part 22

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 30, 2013 04:04

August 29, 2013

The Vague Temptation Part 13



Nathan setengah membanting pintu kamarnya, napasnya terengah-engah dan dia mengernyikan keningnya, benar-benar mengernyit menahankan sakitnya. Keringat dingin mengalir di dahinya dan dia merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya.
Nathan mencoba menarik napas, tetapi aroma anyir tercium dari hidungnya yang dipenuhi darah segar, mengalir tanpa henti sehingga mencapai level menakutkan.


Dia mengusap darah dari hidungnya dengan sapu tangannya, lalu membuang sapu tangan yang sudah berubah warna menjadi merah itu ke lantai. Kakinya gemetar,  melangkah terseret-seret berusaha mencapai ranjang, tetapi rupanya ranjang itu terlalu jauh untuknya....
 Dan tubuhnyapun rubuh ke lantai, kehilangan kesadarannya.
*** 
Ketika Nathan membuka matanya, dia berada di ruangan putih yang samar. Matanya mengerjap karena terpaan sinar lampu yang kontras dengan kegelapan yang selalu meliputinya. Dan kemudian, setelah berhasil mengatasi cahaya itu, Nathan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Yang pertama dilihatnya adalah Albert Simon. Lelaki tua itu tampak muram, duduk di kursi di sebelah tempat tidurnya.
"Kakek sudah pulang dari London?" Nathan menyapa dengan suara serak dan lemah, membuat Albert Simon mengangkat kepalanya dan menghela napas panjang melihat kondisi Nathan. Cucunya itu tampak pucat pasi.
"Aku pulang dan menemukanmu pingsan di kamar, aku membawamu ke rumah sakit secara diam-diam." Mata Albert Simon menyala tajam, "Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang penyakitmu, Nathan?"
Nathan memiringkan kepalanya di atas bantal, tersenyum skeptis, tatapan matanya tampak kosong.
"Apa bedanya aku memberitahumu atau tidak, kakek? Tidak akan ada bedanya bagiku."
"Tentu saja ada!" Albert Simon menyela, nadanya keras, "Kau cucuku dan kau mengidap penyakit yang sedemikian parah, tentu saja aku sebagai kakekmu akan melakukan segala cara untuk menyelamatkanmu, kita akan mencari dokter-dokter ternama di luar negeri dan..."
"Tidak." Nathan menyela, bersikeras, "Aku akan tetap berada di sini kakek, sampai aku menyelesaikan apa yang menjadi tujuanku."
Alebert Simon menatap cucu lelakinya itu dengan sedih, cucu yang dulu tidak diketahuinya dan baru datang kepadanya setelah tahun-tahun berlalu. Apakah sekarang semuanya sudah terlambat?
"Sebegitu besarnyakah tekadmu untuk mengalahkan Daniel? Apakah kau masih menyimpan kebencian yang begitu mendalam kepada anak lelakiku, Nathan? Kepada ayah kandungmu? Tidak bisakah kau meninggalkan kebencianmu itu dan kita bisa hidup bersama dengan damai serta mengganti tahun-tahun yang hilang?"
Nathan tidak menampakkan reaksi apapun terhadap kata-kata Albert Simon, dia memejamkan matanya, tampak begitu pucat dan rapuh.
"Aku lelah, kakek. Aku ingin istirahat." Dan Nathan tetap memejamkan matanya, tidak mempedulikan Albert Simon yang duduk di sana, menanti jawabannya.

"Kau bisa semakin parah dan tidak tertolong lagi, Nathan." Albert Simon bergumam lagi, mencoba mengusik Nathan, tetapi cucunya yang keras kepala itu tetap tidak bergeming.
Lama kemudian, setelah Albert Simon benar-benar yakin bahwa Nathan tidak ingin melanjutkan percakapan dengannya, Albert Simon menghela napas panjang dan beranjak dari duduknya.
"Aku akan pergi Nathan, beristirahatlah." Albert Simon menatap wajah Nathan, yang tetap memejamkan matanya tanpa ekspresi. Entah Nathan benar-benar tertidur atau cucunya itu berpura-pura tidur agar Albert Simon menyingkir....
Kemudian Albert Simon  melangkah pergi, meninggalkan ruangan perawatan itu dan membiarkan Nathan terbaring sendirian di sana.
Setelah yakin bahwa Albert Simon sudah pergi dari ruangan itu, Nathan membuka matanya. Tatapan matanya menerawang, ada kesakitan di sana yang tertahan di sana.
*** 
Alexa sedang melangkah menuju ruang tamu ketika dia melihat Albert Simon datang, dia baru saja menelepon papanya dan dipenuhi oleh rasa syukur yang amat dalam karena kondisi ayahnya semakin membaik, banyak kegiatan yang diberikan di panti rehabilitasi tersebut, baik kegiatan olahraga, bimbingan rohani maupun sharing antara penghuni panti rehabilitasi tersebut, sehingga membuat papanya tidak punya waktu lagi untuk depresi apalagi menenggak minuman beralkohol.
Alexa benar-benar berharap kalau papanya akan benar-benar sembuh seperti sediakala dan bisa menghilangkan ketergantungannya pada alkohol.
Ketika melangkah memasuki ruang tamu, Alexa tertegun melihat Albert Simon, lelaki itu sedang duduk termenung di sofa, dengan kedua siku bertumpu di kakinya dan kedua telapak tangan terkepal, di dahinya. Bahkan bahu Albert Simon tampak lunglai seolah-olah menanggung beban berat. Lelaki itu meskipun sudah berumur selalu tampak sehat dan penuh vitalitas di mata Alexa, dan baru sekarang ini Alexa melihat kondisi Albert Simon yang tampak lemah dan rapuh.
Ada apa sebenarnya?
Mungkin karena Alexa membuat suara gemerisik tanpa disadarinya, Albert Simon mengangkat kepalanya dan pandangannya langsung bertumpu kepada Alexa. Ada senyum lemah di sana.
Alexa mau tak mau mendekat, menyapa dengan sopan.
"Anda sudah pulang dari London?"
Albert Simon hanya menganggukkan kepalanya tanpa kehilangan senyumnya, dia lalu menepuk tempat duduk sebelahnya di sofa, 
"Duduklah di sini Alexa, bagaimana kondisimu?"
Alexa mendekat dengan canggung dan duduk di sofa di sebelah Albert Simon, lelaki tua itu memiringkan tubuhnya dan menatap Alexa dengan penuh perhatian.
"Saya baik-baik saja." Ada senyum di bibir Alexa ketika berkata, "Saya baru saja menelepon papa saya, kondisinya semakin membaik, beliau memang butuh berada di panti rehabilitasi itu untuk kesehatannya, dan saya ingin mengucapkan terimakasih kepada anda."
Sekali lagi Albert Simon menganggukkan kepalanya, pandangannya kepada Alexa tampak lembut dan penuh sayang,
"Seharusnya aku melakukannya dari dulu, mencoba menolong papamu." Lelaki tua itu menghela napas panjang sebelum bertanya, "Dan bagaimana keadaanmu dengan dua cucuku? Apakah kau bisa lebih mengenal mereka beberapa waktu terakhir ini?"
Alexa langsung teringat pada sifat Nathan yang sopan, ramah dan lembut tetapi seperti menyimpan sesuatu yang dalam dan rahasia di dirinya. Sedangkan Daniel... lelaki itu tidak menutupi apapun, sifatnya memang seperti itu, galak, tegas dan selalu blak-blakan dalam berkata-kata. Yah. Dengan beberapa hari tinggal di mansion ini saja, Alexa sudah memperoleh pengetahuan yang lebih jauh tentang dua bersaudara itu.
'Ya. Saya lebih mengenal mereka sekarang." Alexa tidak bisa menyembunyikan senyum miris di bibirnya, dan itu tidak luput dari perhatian Albert Simon, lelaki itu terkekeh pelan,

"Maafkan kelakuan cucu-cucuku. Mungkin kebandelan mereka menurun dari kakeknya." Albert Simon mengedipkan sebelah matanya menggoda, membuat Alexa melihat gurat-gurat masa lalu di wajah Albert Simon, lelaki tua itu pasti sangat tampan di masa mudanya, ketampanan yang menurun kepada keturunannya.

Tetapi senyum itu tidak bertahan lama, tiba-tiba wajah Albert Simon tampak muram, seperti kemuraman yang melingkupinya sebelum Alexa datang tadi, lelaki itu menatap Alexa dengan serius,

"Alexa.... apakah kau sudah bisa menentukan pilihanmu? Aku tahu mungkin ini bisa mempengaruhi pilihanmu, tetapi aku harus mengatakannya, Aku...."

"Kakek sudah pulang rupanya."

Suara Daniel yang tiba-tiba muncul membuat Albert Simon menghentikan kata-katanya, Alexa dan Albert Simon menoleh dan mendapati Daniel sedang bersandar di ambang pintu, tampak dingin dan kejam seperti biasanya.

Albert Simon menelan ludah, sudah pasti tidak jadi mengungkapkan entah apa yang tadi ingin diungkapkannya. Lelaki itu menganggukkan kepalanya dan menatap Daniel.

"Ya, aku baru kembali beberapa saat lalu. Apa kabar Daniel?"

Daniel mencibir, dan menjawab dengan datar, "Keadaanku masih sama seperti ketika sebelum kau pergi kakek." mata lelaki itu menelusuri sekeliling ruangan, "Dimana Nathan? biasanya dia akan langsung menempel kepadamu ketika kau pulang?"

Ada sepercik kegugupan di mata Albert Simon, Alexa sempat melihatnya. Tetapi itu hanya beberapan detik, dengan cepat Albert Simon menutupinya hingga Alexa tidak yakin dengan apa yang barusan dia lihat.

"Aku tidak tahu dimana Nathan." Albert Simon beranjak dari duduknya dan berdiri dengan tidak nyaman, "Mungkin dia sedang ada urusan diluar, ini hari libur bukan?....kurasa aku akan ke kamarku dan beristirahat, perjalanan kemari sungguh melelahkan." Lelaki tua itu melemparkan senyuman permintaan maaf kepada Alexa dan kemudian melangkah pergi.

Tinggal Daniel dan Alexa yang berada di ruangan itu, Alexa mengamati Daniel yang bersandar dengan santai di pintu. Lelaki itu seperti biasanya, tampak tampan. Mata Alexa menelusuri bibir Daniel dan kemudian pipinya langsung memerah karena ingatan tentang ciumannya bersama Daniel di balkon itu langsung menghantamnya.


Daniel sepertinya mengetahui apa yang ada di benak Alexa, mungkin karena dia melihat pipi Alexa yang tiba-tiba merah padam.

"Apakah kau mau pergi bersamaku?" tiba-tiba Daniel bertanya, "Kau tidak ada acara kemanapun bukan di hari libur ini?"

Sebenarnya ada. Alexa ingin mengunjungi papanya di panti rehabilitasi mumpung hari ini tanggal merah. 

"Tidak bisa, aku ada acara."

Seketika itu juga tatapan Daniel menajam, "Kau akan pergi bersama Nathan?"

Alexa mengerutkan keningnya, "Bukan. Aku tidak tahu Nathan ada di mana. Aku akan pergi mengunjungi papaku."

"Di panti rehabilitasi?" Daniel tampak berpikir sejenak, "Aku akan mengantarmu." sambungnya kemudian, dengan nada suara tegas tak terbantahkan.

"Tidak perlu!" Alexa setengah berteriak untuk menolak, dia tidak bisa membayangkan menghabiskan hari liburnya bersama Daniel, apalagi dia akan menemui papanya. Dia tidak siap mempertemukan Daniel dengan papanya.

Sementara itu Daniel hanya mengangkat alisnya menghadapi penolakan Alexa, tetapi kemudian lelaki itu menyipitkan matanya dan tatapannya berubah menantang,

"Aku bilang aku akan mengantarmu, maka aku akan mengantarmu. Kau tidak akan bisa menolaknya." Tanpa diduga, Daniel meraih pergelangan tangan Alexa dan setengah menyeretnya ke garasi, tidak peduli dengan Alexa yang meronta dan memprotes mencoba melepaskan diri. Lelaki itu membukakan pintu mobil penumpang dan mendorong Alexa masuk, lalu memutari mobil dan duduk di kursi kemudi. 

Setelah menjalankan mobilnya keluar garasi, barulah Daniel menoleh ke arah Alexa, 

"Silahkan, buatlah senyaman mungkin." gumamnya dengan nada menjengkelkan.

Alexa langsung membelalakkan matanya ke arah Daniel, "Apakah ini yang akan selalu kau lakukan? Memaksakan kehendak dan kemauanmu, tidak peduli pada pendapat orang lain?"

Daniel menatap lurus ke depan sambil menyetir kemudi mobilnya, ada senyum misterius di sana,

"Aku hanya memaksa kalau memang diperlukan." gumamnya tenang, sama sekali tidak mempedulikan kejengkelan yang dilemparkan oleh Alexa.

*** 

Nathan menatap dokter itu, dokter Beni, dokter yang merawatnya segera setelah dia mengetahui penyakitnya ini. Matanya hampa, seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh dokter itu.

"Kau pasti sudah tahu bagaimana akibatnya kalau kau tidak menjaga dirimu, Nathan. Penyakitmu akan semakin parah, dan mungkin kali berikutnya akan membahayakan nyawamu."

Nathan memalingkan mukanya, wajahnya memang masih nampak pucat pasi, tetapi sudah ada rona di sana, penanganan dokter telah mengembalikan cahaya pada wajahnya. Ekspresi Nathan tampak sedih.

"Aku tahu waktuku sudah tidak lama lagi, dokter. Karena itulah aku berusaha melakukan apa yang menjadi hutangku selama ini. Aku sudah bersumpah akan menyelesaikannya, jadi akan kuselesaikan."

"Meskipun itu membahayakan nyawamu?" dokter Beni mengerutkan keningnya, "Pada akhirnya meskipun kau menyelesaikan apa yang menjadi hutangmu itu, kau akan berakhir dalam kondisi kritis dan mungkin kehilangan nyawa, lalu apa yang akan kau dapatkan, Nathan?"

Nathan memejamkan matanya, dia mengenang lagi, ingatan akan ibunya yang selalu menangis diam-diam ketika Nathan menanyakan tentang ayah kandungnya, mengingat ibunya yang semakin kurus, semakin sakit-sakitan karena bekerja keras seumur hidupnya, mengingat ibunya yang mati sia-sia dalam kemiskinan dan kepedihan.

Itu semua sebanding. Nathan rela mati, asalkan semua dendamnya sudah terbalaskan.

*** 

Perjalanan mereka cukup panjang, sampai kemudian mereka memasuki jalan menuju panti rehabilitasi yang cukup terkenal itu. Panti rehabilitasi itu dibangun sekitar sepuluh tahun yang lalu, mengkhususkan diri pada pasien yang kecanduan obat-obatan terlarang dan alkohol, diciptakan dengan konsep asri bersahabat dengan nuansa pedesaan yang sejuk dan pemandangan alam yang indah, dengan para pegawai yang ramah dan bersahabat.

Angin dingin nan sejuk langsung menerpa pipi Alexa ketika mereka turun dari mobil di halaman luas panti rehabilitasi tersebut, Daniel melangkah mendahului Alexa menaiki tangga, dan mereka memasuki lobby panti rehabilitasi tersebut, 

Seorang resepsionis ramah langsung menyambut mereka dengan senyum lebarnya, Alexa langsung menyatakan maksudnya untuk menjenguk papanya.

Resepsionis itu melirik ke arah jam di dinding kemudian tersenyum meminta maaf, 

"Mungkin anda berdua harus menunggu sekitar satu jam lagi untuk bisa mengunjungi pasien di panti ini. Kami menerapkan disiplin yang cukup ketat dengan jadwal teratur di sini, jam besuk baru dibuka satu jam lagi sampai dengan tiga jam ke depan, pada jam besuk tersebut anda bisa bebas mengunjungi pasien di kamarnya." resepsionis itu memberikan kartu tanda masuk kepada Alexa dan Daniel, "Selama menunggu jam besuk anda bisa duduk di ruang tunggu yang kami sediakan di ruang samping,"

Daniel menerima kartu tanda masuk dari resepsionis dan melirik jam tangannya, "Saya rasa kami akan menunggu di cafe sebelah dan akan kembali ke sini satu jam lagi." 

Setelah menganggukkan kepalanya kepada sang resepsionis, Daniel mengamit lengan Alexa dan mengajaknya keluar sambil menggerutu.

"Panti rehabilitasi ini masih sama saja seperti dulu. Disiplin seperti penjara." omelnya kesal.

Alexa menoleh dan menatap Daniel penuh tanda tanya, "Seperti dulu? Kau pernah berkunjung kemari sebelumnya?"

Mata abu-abu Daniel menggelap, seperti asap ketika bergumam. "Aku dulu mantan penghuni sini, usiaku baru limabelas tahun ketika dimasukkan kemari, terjerumus dalam obat-obatan terlarang yang hampir merusak hidupku." Senyum Daniel tampak pahit ketika menatap Alexa, "Aku dulu remaja pemberontak yang mencari perhatian ayahku, lelaki jahat itu, yang terlalu sibuk dengan egonya sendiri daripada mengurusi keluarganya. Hingga aku sampai di titik mempertaruhkan nyawaku." Daniel melirik panti rehabilitasi itu dengan muram, "Dan meskipun pahit, kuakui panti rehabilitasi itu telah menyelamatkan nyawa dan kehidupanku."

Keterusterangan Daniel membuat hati Alexa tersentuh. Lelaki itu tidak main-main ketika mengatakan bahwa dia akan membuka segalanya kepada Alexa, pengakuannya tentang masa lalunya di panti rehabilitasi ini menunjukkan bahwa Daniel tidak keberatan ketidak sempurnaannya terbuka di depan Alexa.

"Aku harap papaku bisa sepertimu, sembuh dan terselamatkan." gumam Alexa kemudian, tersenyum lembut.

Mata Danie melembut juga mendengar perkataan Alexa, "Pasti, kalau papamu bertekad kuat, dia akan sembuh." Lelaki itu menghela Alexa berjalan melewati pagar besar panti rehabilitasi itu, "Ayo, aku tahu cafe yang menyediakan makanan kecil dan minuman enak di sebelah panti ini, kita bisa makan sambil menunggu jam besuk tiba."

***

Albert Simon mengerutkan keningnya ketika memasuki ruangan perawatan Nathan dan menemukan cucunya itu sudah mengenakan pakaian rapi dan berkemas,

"Kau mau kemana Nathan?"

Nathan mendongakkan kepalanya dan tersenyum melihat kakeknya, "Aku akan pulang. Kondisiku sudah baikan."


"Kondisimu belum membaik." Albert Simon baru saja mengunjungi dokternya Nathan, jadi dia tahu kondisi cucunya itu. "Kau masih harus dirawat."

"Tidak ada yang bisa aku lakukan di sini, kakek. Lagipula masih banyak yang harus aku kerjakan. Ini hari libur, dan aku berencana mengajak Alexa keluar, ke toko buku atau apa untuk mengenal lebih dekat."

"Alexa sudah pergi bersama Daniel untuk mengunjungi papa Alexa di panti rehabilitasi." Albert Simon bergumam, dan seketika itu juga menyesal akan perkataannya yang tidak dipikir dulu ketika melihat ekspresi Nathan yang langsung membeku di sana.

"Alexa pergi bersama Daniel?" Nathan menggumam, suaranya seperti kesakitan.

Albert Simon menghela napas panjang, "Jangan pikirkan tentang Alexa dan Daniel dulu, Nathan, lebih baik kau pikirkan kondisimu, lagipula kau sepertinya masih harus banyak beristirahat."

"Tidak." Nathan menyela, ekspresinya tampak keras kepala, "Aku akan menyusul mereka, di mana alamat panti rehabilitasi itu, kakek?"

Bersambung ke Part 14

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 29, 2013 03:51

August 26, 2013

The Vague Temptation Part 12

( buat yg lupa krn uda lama heee ) : Cuplikan Part 11

Lamunannya terhenti oleh sebuah ketukan pelan di pintu kaca balkonnya. Alexa terduduk dan menatap gugup ke arah balkonnya dengan waspada.
Dia mengernyit ketika melihat Daniel berdiri di sana, tampak kusut dan jengkel. Lelaki itu menempelkan telapak tangannya di kaca pintu yang terkunci itu, menatap Alexa dengan tatapan tajam mata abu-abunya yang mengintimidasi.

"Buka pintunya Alexa, aku ingin bicara." Suara Daniel terdengar memaksa dan tak terbantahkan, membuat Alexa duduk diranjang, kebingungan harus melakukan apa.

Bersambung ke Part 12



The Vague Temptation Part 12
"Buka pintunya Alexa." Kali ini suara Daniel makin tegas, tak terbantahkan. 
Alexa mengawasi ekspresi Daniel yang keras kepala, dan melihat bibir lelaki itu yang menipis tegas, dia langsung tahu bahwa lelaki itu tak akan pergi sebelum Alexa melakukan apa yang diinginkannya. Alexa tidak akan ragu bahwa Daniel mampu menunggu semalaman di sana, di luar pintu balkonnya dan mengetuk-ngetuknya terus-terusan, sampai Alexa membuka pintu.
Dia menarik napas panjang, sekali lagi berusaha mengawasi mata abu-abu yang berkilat misterius di tengah temaramnya lampu teras balkon itu.
Kemudian Alexa berdiri, melangkah ke arah balkon. Tepat berada di depan pintu kaca itu, berhadap-hadapan dengan Daniel. Tetapi dia masih tidak membuka pintu itu.
"Ada apa?" Alexa menegakkan dagunya, berusaha bersikap berani menghadapi mata abu-abu Daniel yang tajam.
Daniel menyipitkan matanya, dan ketika berbicara, suara lelaki itu terdengar setengah mendesis,
"Buka pintunya, Alexa..."
Atau apa? Pertanyaan itu seketika muncul di benak Alexa. Apa yang akan dilakukan oleh Daniel kalau dia menolak lelaki itu? Akankah dia memaksa? bertindak nekad seperti mendobrak pintu kaca yang rapuh ini?
Alexa menelan ludahnya, sekali lagi dia menghela napas panjang, dan pada akhirnya membuka pintu itu.

Sejenak jantungnya berdebar, harap-harap cemas kalau Daniel akan menyerbu masuk dan bersikap kasar kepadanya. Tetapi Daniel tidak berbuat apa-apa. Pintu penghalang di antara mereka berdua sudah terbuka, mereka berdiri tanpa batasan apapun lagi, dan yang dilakukan Daniel hanyalah berdiri di sana, tanpa bergerak seincipun dan menatap Alexa dengan mata abu-abunya yang intens.

"Apa yang kau inginkan, Daniel?" akhirnya Alexalah yang memberanikan diri untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Aku ingin memberikan penjelasan." bibir Daniel menipis dan bahkan terlihat hampir tak bergerak ketika lelaki itu berbicara, "Aku tahu, kejadian di kantor siang tadi akan membuatmu bertanya-tanya mengenai hubunganku dengan Renata "

Alexa memang bertanya-tanya. Masih terbayang di benaknya tatapan sedih dan penuh damba yang dilemparkan oleh Renata, ketika melihat Daniel pergi meninggalkan ruangan itu dengan semena-mena. 

"Mungkin itu tidak ada hubungannya denganku." Alexa bergumam lemah, menahan diri.

Daniel langsung menggelengkan kepalanya, "Semuanya sekarang ada hubungannya denganmu, Alexa. Aku sudah bilang bahwa aku akan mengejarmu, bahwa aku akan membuatmu memilihku, dan itu tidak bisa terjadi kalau aku tidak jujur kepadamu." Daniel mengerutkan keningnya, "Lagipula, kau lebih baik menerima informasi langsung dariku daripada kau menerimanya dari Nathan" Ekspresi Daniel mengeras, "Sekarang, apakah kau akan mengizinkan aku masuk?"

Mengizinkan Daniel masuk ke kamarnya? Mengizinkan lelaki yang penuh aura dominan dan tidak bisa ditebak ini masuk ke kamarnya?

Alexa melemparkan pandangan gugup ke dalam kamarnya, lalu menatap Daniel dengan tatapan tidak yakin, entah kenapa dia merasa seperti anak ayam tak berdaya yang bingung apakah akan memasukkan serigala besar dan jahat ke dalam rumahnya...

Daniel menatap ekspresi Alexa dan mendecakkan lidahnya dengan kesal, lelaki itu menghela napas panjang dan mengangkat bahunya.

"Oke. Kurasa bukan ide bagus aku masuk ke kamarmu, Keluarlah, kita bicara di balkon saja."

Alexa menatap Daniel dan menyetujui, bahwa berbicara di balkon akan lebih aman dan nyaman baginya. Dia hendak melangkah ke luar balkon, tetapi Daniel menahannya, mambuatnya terkejut.

"Ambil jaketmu dulu dan kenakan, di luar dingin."

Di luar memang dingin, angin malam langsung menampar pipinya ketika dia melangkah keluar dari balkon, tetapi bukan hal itu yang membuatnya ternganga, melainkan perhatian yang diberikan Daniel kepadanya. Penampilan Daniel yang dingin dan keras itu membuatnya tampak jahat dan menakutkan, sehingga Alexa tidak menyangka bahwa Daniel bisa juga memberikan perhatian kepadanya.

Tiba-tiba saja perasaannya terasa hangat dan pipinya memanas.

"Baiklah, tunggu dulu." Alexa tiba-tiba merasa gugup, dia membalikkan badan, meraih sweater tebal miliknya yang berwarna cokelat tua dan mengenakannya dengan buru-buru. Daniel masih menunggunya di depan pintu kaca balkonnya, dan lelaki itu mengangkat alisnya ketika melihat penampilan Alexa,

"Apakah kau harus selalu mengenakan pakaian model nenek-nenek seperti itu?" lelaki itu jelas-jelas sedang menghina sweater tua yang dikenakan Alexa.

Alexa langsung merasa malu dan kesal, astaga, ternyata kebaikan dan perhatian Daniel hanya bertahan beberapa detik. Setelah itu lelaki itu kembali kepada sifat aslinya yang kasar dan suka mencelanya.

Alexa memutuskan untuk mengabaikan hinaan Daniel mengenai pakaian yang dikenakannya, dia keluar dari kamar itu dan melangkah menuju balkon, menatap Daniel dengan cemberut.

"Oke aku sudah di sini, apa yang ingin kau bicarakan?" Alexa berdiri menghadap ke arah pagar balkon berwarna putih setinggi pinggangnya, di depan balkon itu ada taman mini yang ditumbuhi bebungaan indah berwarna merah dan pink bercampur dengan sulur-sulur daun hijau yang indah. Aroma bebungaan tercium samar ketika dia berdiri di sana.

Daniel sendiri langsung berdiri di sebelah Alexa, dia jauh lebih tinggi dibandingkan Alexa yang mungil. Sekarang mereka berdua berdiri bersisian di pagar balkon itu, menatap ke arah langit gelap berbintang yang terbentang luas di hadapan mereka.

"Renata adalah mantan kekasihku." Daniel memulai, hening sejenak untuk melihat reaksi Alexa, ketika dia tidak menemukan reaksi apapun, Daniel melanjutkan, "Kami memang bersama karena sepertinya sudah seharusnya, dia berasal dari keluarga yang merupakan sahabat keluargaku, dia memenuhi semua kriteria untuk menjadi calon isteri dan mamaku menyukainya...." Daniel mengangkat bahu, "Aku pada waktu itu sudah terlalu lelah dengan petualangan cintaku, dan Renata tampaknya adalah perempuan yang tepat untukku berlabuh."

Kata-kata itu sedikit mencubit perasaan Alexa. Renata perempuan yang sempurna, tentu saja dia tahu hal itu. Bahkan penampilan fisiknyapun sempurna, jika dibandingkan dengan Alexa..... tentu saja Alexa jauh sekali di bawahnya, mungkin dia bisa berada dalam pilihan Danielpun hanya karena keadaan yang menentukan. Dia hanyalah seorang perempuan biasa, dari keluarga biasa saja, yang kebetulan mempunyai nenek yang ternyata adalah cinta sejati kakek Daniel. Tanpa itu semua, Alexa yakin, Daniel mungkin tidak akan memilihnya.

Daniel mengamati Alexa yang berdiri di sebelahnya dengan tatapan mata intens, "Aku sudah mencoba menjalin hubungan dengan Renata, kami memang cocok." mata Daniel menerawang, mengenang. "Dia teman bicara yang baik, sangat cerdas dan aku menyukai menghabiskan waktu bersamanya, berdiskusi, membicarakan segala hal dan menambah pengetahuan masing-masing. Pada awalnya aku merasa bahwa Renata adalah perempun yang cocok untukku di segala sisi. Aku bahkan sudah memutuskan untuk melamarnya, kami sudah  memilih cincin bersama." Daniel menghela napas panjang, "Sayangnya pada saat sudah hampir terlambat, aku menyadari bahwa itu semua tidak cukup."

Alexa mendongakkan kepalanya, menatap Daniel dengan penuh rasa ingin tahu

"Apanya yang tidak cukup?"

"Perasaan itu... perasaan lengkap ketika kau sedang bersama dengan orang yang tepat. Aku tidak menemukannya ketika aku bersama dengan Renata. Aku merasa nyaman, ya itu memang kurasakan, tetapi aku selalu merasa ada yang kurang. Renata sangat cocok menjadi sahabat, teman berdiskusi dan orang yang bisa dipercaya, tetapi sebagai pasangan.... aku merasa bukan dia orangnya." Daniel memiringkan tubuhnya sehingga menghadap Alexa, "Di detik terakhir aku merasa bahwa aku harus membatalkan semuanya, bahwa tidak seharusnya aku melanjutkan hubunganku dengan Renata, dia mencintaiku dan sama sekali tidak bersalah... kalau aku melanjutkan hubunganku dengan Renata, aku tahu pada akhirnya aku hanya akan menyakitinya.... Tetapi untuk memutuskan hubunganku dengan Renata pada saat itu tidaklah mudah, dia perempuan yang baik, sama sekali tidak bersalah, belum lagi keluarga kami yang bersahabat akrab, aku tidak bisa melakukannya begitu saja karena itu bukan hanya akan melukai Renata, namun juga melukai banyak pihak. Aku harus menemukan alasan yang benar-benar tepat ketika harus meninggalkan Renata, dan kemudian, saat aku sedang kebingungan untuk mengakhiri hubunganku dengan Renata, kakek datang dengan idenya tentangmu."

"Jadi?" Alexa bertanya lagi, menunggu kata-kata lanjutan dari Daniel.

"Jadi aku menggunakannya untuk memutuskan hubunganku dengan Renata." Daniel melemparkan tatapan mata bersalah kepada Alexa. "Itu memang salah satu cara pengecut yang mudah, tetapi setidaknya, kalau aku bilang bahwa aku harus meninggalkan Renata demi keluargaku, akan lebih tidak menyakitkan baginya daripada aku bilang bahwa aku meninggalkannya karena aku tidak merasakan apapun kepada Renata, bahwa aku sama sekali tidak bisa membayangkannya sebagai pasanganku."

Kali ini Alexa yang menghela napas panjang, dia masih ingat tatapan mata Renata ketika melihat Daniel waktu itu, tatapan mata penuh cinta, bahkan meskipun sudah disakiti dan ditinggalkan oleh Daniel, Renata masih mencintai lelaki itu..

"Itu akan terasa sama menyakitkannya bagi Renata." Alexa bergumam, menyuarakan pikirannya. Dia perempuan, sedikit banyak dia bisa merasakan apa yang dirasakan Renata.

Daniel menganggukkan kepalanya, tidak membantah kata-kata Alexa.

"Aku tahu. Karena itulah aku bersikap membenci dan menjauhinya. Aku berusaha membuatnya membenciku, kau tahu. Agar dia bisa berpaling dan membuka hatinya kepada lelaki lain. Sayangnya, sepertinya Nathan telah berhasil membuatnya berpikir yang sebaliknya." Mata Daniel menyipit, "Entah apa yang dikatakan oleh Nathan demi membuat Renata mau masuk ke perusahaan ini, tetapi aku bisa melihat harapan itu menyala lagi." Mata Daniel berbinar penuh kebencian ketika dia membicarakan Nathan, "Nathan bersikap kejam, Alexa, dia memanfaatkan Renata demi mencapai tujuannya. Aku tidak akan menjelek-jelekkan Nathan di depanmu karena itu tidak fair, tetapi kuharap kau bisa melihat sendiri apa yang diperbuat Nathan."

Yah... Nathan memang tidak menutup-nutupi perbuatannya, lelaki itu mengaku sendiri bahwa dia memang sengaja memasukkan Renata ke perusahaan supaya Alexa bisa mengetahui kebenaran tentang Daniel.

Jadi manakah yang benar? Nathan atau Daniel?

Alexa mengerutkan keningnya, bingung dengan pikiran yang berbaur di benaknya, pada akhirnya dia mengangkat kepalanya dan menatap Daniel penuh pertanyaan.

"Dan sekarang, kau memutuskan akan mengejarku.... kenapa kau melakukan itu Daniel? Apakah demi memenangkan pertarunganmu dengan Nathan?"

Mata abu-abu Daniel berkilat, "Itu salah satu tujuanku. Aku akan bersikap jujur kepadamu, Alexa. Motivasi utamaku adalah mengalahkan Nathan, demi mamaku demi keluargaku, aku harus mempertahankan nama baik keluargaku. Tetapi aku juga melihat bahwa aku mungkin bisa menghabiskan hidupku bersamamu."

Lelaki ini mengatakan bahwa dia tidak bisa membayangkan Renata yang begitu sempurna sebagai pasangannya, tetapi dia berkata bahwa dia bisa menghabiskan hidupnya bersama Alexa... kenapa? apa yang ada pada dirinya yang tidak ditemukan Daniel pada Renata? Selain kemenangan atas Nathan dan kepastian posisi di dalam keluarganya tentu saja...

"Kenapa kau berpikiran seperti itu Daniel?'

"Karena kau berhasil membangkitkan apa yang ada di dalam diriku, sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan oleh Renata."

'Membangkitkan apa?" Alis Alexa mengerut semakin dalam.

"Membangkitkan ini." dan kemudian, tiba-tiba saja, tanpa bisa Alexa duga, Daniel begitu saja meraih tubuh mungilnya ke dalam pelukannya, kepala lelaki itu menunduk, dan kemudian mengecup bibir Alexa. Kecupannya lembut, dalam dan panas. Seketika itu juga membuat Alexa meleleh, kakinya terasa lemas, jangankan meronta, untuk menggerakkan tubuhnya saja dia tidak mampu, tubuhnya seolah-olah mencair oleh ciuman panas yang diberikan oleh Daniel....

*** 

Nathan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap dua sosok manusia yang sedang berciuman itu dengan tatapan mata menyala. Saat ini, dia sedang berada di dalam mobilnya, yang diparkir dalam gelap dan diam tepat di bawah pohon halaman rumah Albert Simon yang besar.

Daniel mencium Alexa di atas balkon kamar Alexa, dan Alexa bahkan tidak meronta. Perempuan itu tampak pasrah, menerima ciuman Daniel.

Apakah Alexa sudah jatuh ke dalam jerat pesona Daniel?

Kepalan Nathan terasa berdentam-dentam, dan dia merasakan kesakitan itu. Kesakitan yang membuat cairan panas mengalir dari hidungnya, dan keluar hingga membasahi bibirnya.

Nathan meraih sapu tangannya yang berwarna putih dan mengusap cairan yang keluar dari hidungnya, matanya mengernyit ketika melihat darah merah pekat di sapu tangannya. Rasa sakit itu langsung menyerangnya, langsung ke seluruh tubuhnya hingga dia harus berpegangan erat-erat di kemudi mobilnya untuk mengendalikan dirinya.

Gawat... dia harus segera mengunjungi dokternya. Nathan tidak boleh tumbang sekarang, tidak sebelum dia berhasil membalaskan dendamnya dan menginjak Daniel dan seluruh keluarganya di kakinya...

*** 

Daniel melepaskan ciumannya meskipun dia belum melepaskan pelukannya pada Alexa. Mereka berdiri berhadapan, dengan Alexa masih sepenuhnya berada dalam rangkulan lengan Daniel.

Pipi Alexa merah padam ketika matanya menatap bibir Daniel, bibir yang beberapa detik lalu melumat bibirnya dengan cara yang begitu intim dan dalam... tanpa Alexa bisa menolaknya.

Dia seperti sudah jatuh ke dalam mantra sihir, yang membuatnya tak berdaya.

"Kenapa kau menciumku?" Akhirnya Alexa bisa bertanya meskipun suaranya lemah dan bergetar.

Ada senyum samar di sudut bibir Daniel ketika dia menjawab, "Aku menciummu bukan untuk melecehkanmu, Alexa.." Daniel mengangkat jemarinya dan mengusap bibir basah Alexa dengan telunjuknya, "Aku menciummu untuk menunjukkan kepadamu, apa yang tidak bisa dibangkitkan oleh Renata kepadaku, tetapi bisa dibangkitkan olehmu."

"Apa itu?"

"Gairah." Mata Daniel tampak memanas, "Aku merasakannya bahkan ketika pertama kali melihatmu. Dorongan untuk menarikmu langsung ke atas ranjang dan mengunci diri berdua di dalamnya denganmu... melakukan apapun yang aku mau." Senyum Daniel tampak sensual dan intim, "Bahkan aku bisa membayangkan bahwa aku tidak akan merasa bosan meskipun sudah berjam-jam melakukannya."

Gurat merah padam semakin membayangi wajah Alexa, sampai ke lehernya. Dia tersadarkan diri dan langsung mendorong Daniel, melepaskan diri dari pelukan lelaki itu.

"Sebuah hubungan tidak mungkin hanya bisa dijalankan berdasarkan nafsu!" suaranya meninggi, menyuarakan ketidaksetujuannya akan kata-kata Daniel.

Daniel memasang wajah tanpa ekspresi, "Dan begitu juga sebaliknya, sebuah hubungan yang dijalankan tanpa nafsu sama saja membuang-buang waktu." Mata Daniel menyipit, "Aku tahu kau tertarik juga kepadaku, Alexa. Aku bisa merasakan dari ciuman tadi, caramu membalas ciumanku, cara napasmu berubah menjadi cepat. Kita akan sangat cocok bersama, Alexa.'

Alexa mundur selangkah, takut dia akan jatuh ke dalam pesona Daniel, dia mundur lagi, masuk ke dalam kamarnya, menatap Daniel dengan waspada.

"Kurasa sebaiknya kau pergi Daniel, aku sudah cukup menerima penjelasanmu."

Daniel berdiri mengamati Alexa. Hal itu membuat Alexa sadar bahwa posisinya sangat rentan, kalau Daniel mau, lelaki itu bisa memaksanya...

Tetapi ternyata lelaki itu tidak melakukannya, dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya,

"Aku akan pergi." Mata abu-abunya tampak begitu pucat di kegelapan malam, "Semoga kau bermimpi indah malam ini Alexa."

Alexa menatap Daniel penuh kemarahan, dia kemudian menutup pintu kaca balkonnya, menarik tirainya rapat-rapat dan kemudian melangkah menjauh dari pintu kaca itu, bisa dedengarnya langkah kaki Daniel yang melompati pagar rendah pembatas balkon ke kamarnya, dan kemudian, ketika dia mendengar pintu balkon kamar Daniel menutup, barulah Alexa bisa menarik napas lega.

Astaga.... jantungnya bahkan masih berdebar kencang, memukul-mukul rongga dadanya hingga Alexa harus meletakkan telapak tangan di dadanya untuk menenangkan dirinya.

Daniel benar-benar mempengaruhinya...

*** 

Ketika memasuki ruangan kerja barunya, Alexa merasakan perasaan tidak nyaman menyentuhnya. Nathan telah menugaskannya menjadi asisten Renata, yang sekarang menjabat sebagai Manager Divisi Legal yang mengurus masalah dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum, di perusahaan.

Dengan mengetahui kisah masa lalu Daniel dan Renata, semua ini tentu saja terasa berat bagi Alexa. Dia merasa amat sangat tidak enak. 

Bagaimana perasaan Renata ketika menatapnya? Perempuan yang entah datang darimana dan dianggapnya menjadi alasan Daniel meninggalkannya?

Apakah Renata akan membencinya? 

"Selamat pagi." Alexa segera menyapa, berdiri dengan gugup di sana, ketika melihat Renata sudah duduk di meja kerjanya, dia berada satu ruangan dengan Alexa, beserta empat staff lain yang juga berada di divisi legal, hanya saja meja Renata yang berada di sudut ruangan lebih besar, lebih mewah dan memiliki sudut sendiri yang eksklusif dan indah untuk menerima tamu.

Renata, yang mengenakan setelan kerja warna putih yang elegan mengangkat kepalanya dan menatap Alexa, tatapan matanya tampak ramah, ada senyum di sudut bibirnya, membuatnya tampak begitu cantik,

"Selamat pagi Alexa." gumamnya singkat, lalu menundukkan kepalanya, menekuri kembali pekerjaannya di laptopnya.

Alexa segera melangkah menuju sebuah meja kosong yang pasti diperuntukkan baginya, salah seorang staff langsung mendatanginya dan membantunya menjelaskan mengenai apa saja yang harus dikerjakan di posisi barunya ini.

*** 

"Bagaimana?" Natahan bergumam pelan, menatap Renata yang berdiri di depan mejanya, meletakkan beberapa berkas di mejanya.

Renata mengangkat dagunya, menatap Nathan dengan tatapan mata datar, 

"Bagaimana apanya?"

"Daniel dan Alexa?" pertanyaan itu singkat, tetapi tentu saja Renata sudah tahu maksudnya.

Renata menarik napas panjang, "Daniel, dia menolak berbicara denganku, ketika aku mengejarnya kemarin dia hanya menatapku dengan tatapan mata dingin dan mengatakan bahwa di antara kami sudah tidak ada yang perlu dibicarakan." Wajah Renata tampak sedih, "Aku... aku mulai meragukan bahwa kehadiranku di sini merupakan langkah yang benar."

"Kau belum berusaha apapun kan Renata?" Nathan menatap Renata dengan tatapan tajam, "Setidaknya ketika kau berada di sini, kau bisa lebih dekat dengan Daniel, setidaknya kau bisa memintanya memberikan penjelasan kepadamu, benar begitu bukan?"

Renaya sekali lagi menarik napas panjang, "Entahlah Nathan, tetapi kau benar, setidaknya aku sudah mencoba, dulu aku menyerah dan terpuruk ketika Daniel meninggalkanku begitu saja, sekarang aku tidak mau seperti itu, seperti katamu, aku berhak mendapatkan penjelasan."

Nathan menganggukkan kepalanya, "Dan mengenai Alexa bagaimana?"

Renata tersenyum kecut, "Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepadanya, hubungan kami adalah hubungan pekerjaan bukan? Dia adalah staffku, aku tidak mungkin memanggilnya dan kemudian mencurahkan perasaanku tentang Daniel kepadanya."

"Apakah kau membenci Alexa?"

"Benci?" Renata terkekeh, "Tentu saja tidak. Aku tahu Alexa juga tidak memilih untuk ditempatkan ke dalam situasi ini  bukan? Hanya saja aku tidak tahu harus bicara apa kepadanya."

Mata Nathan menyipit, "Kau harus membuatnya sadar, Renata, bahwa Daniel mengejarnya bukan demi cinta, bahwa dia akan membuat pilihan salah kalau menjatuhkan hatinya kepada Daniel." Pandangan Nathan tampak penuh perhitungan, "Apakah kau tidak tahu bahwa mungkin saja Alexa sudah jatuh ke dalam rayuan Daniel? Semalam aku melihat Daniel menarik Alexa ke dalam pelukannya dan menciumnya. Daniel sangat ahli mengenai perempuan, dan Alexa hanyalah perempuan yang lugu, dia hanyalah sasaran lemah dan empuk bagi Daniel."

Renata tertegun. Kata-kata Nathan bahwa Daniel mencium Alexa membuat dadanya terasa sakit, kepiluan menyeruak di sana, membuatnya tak bisa berkata-kata.

*** 

"Kau pasti menyangka kalau aku jahat." Nathan langsung bergumam malam itu, ketika dia memasuki mansion Albert Simon dan mendapati Alexa tengah membaca buku di ruang tengah.

Alexa mengangkat kepalanya, menatap Nathan. Dia duduk di sudut sofa di dekat lampu baca di atas meja kecil, sementara ruang duduk itu hanya disinari lampu kuning yang temaram. "Kenapa aku harus berpikir begitu?"

Bibir Nathan tersenyum tipis, lelaki itu lalu duduk di sofa di seberang tempat Alexa duduk,

"Karena aku memasukkan Renata ke perusahaan ini, membuat situasi terasa tidak nyaman bagi kalian bertiga." Nathan tersenyum meminta maaf, "Maafkan aku, Alexa karena membuatmu terlibat di sini. Sungguh aku harap kau mau mengerti, bahwa apapun yang aku lakukan, sejahat apapun rencanaku untuk mengalahkan Daniel,  aku sama sekali tidak ingin menyakitimu.

Alexa percaya. Nathan tampak begitu tulus. Dia mengamati Nathan. Kadang-kadang penampilan Nathan tampak kuat dan ceria, menggoda Alexa dengan kata-kata ramahnya. Tetapi sekarang, di bawah temaramnya lampu ruangan duduk, dengan setengah bayangan siluet di wajahnya, Nathan tampak begitu muram, seperti patung perunggu di tengah taman dalam kegelapan yang terduduk dan kesepian...

Kemudian Alexa mengernyit, apa yang ada di depannya bukanlah halusinasi....

"Nathan?"

Nathan menatap Alexa, menyadari wajah Alexa memucat, "Ada apa Alexa?"

"Kau..." Mata Alexa terpaku di sana, di hidung Nathan, ada darah segar berwarna merah gelap yang mengalir dari sana, "Kau mimisan? hidungmu berdarah?"

"Apa?" Kali ini wajah Nathan yang memucat, Lelaki itu langsung mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengusap hidungnya,dahinya mengernyit ketika melihat darah di sapu tangannya, dia meletakkan sapu tangannya lagi di hidungnya, menahankan darah yang sepertinya terus mengalir keluar.

"Kurasa aku harus menemui dokterku." Senyum Nathan tampak aneh, dia beranjak dari duduknya dan hendak melangkah keluar dari ruang duduk itu, "Aku akan ke kamarku dan berbaring dulu..."

"Nathan? Kau sakit?" Alexa setengah berdiri, menatap Nathan dengan pandangan cemas.

Nathan menoleh, tersenyum lembut kepada Alexa, "Jangan kuatir, aku sering mengalaminya, ini cuma karena kekurangan vitamin dan akan segera berhenti kalau aku sudah minum obatku. Aku istirahat dulu ya."

Dan kemudian Nathan membalikkan badannya melangkah pergi meninggalkan Alexa yang masih terpaku di kursinya.


Bersambung ke part 13


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 26, 2013 03:26

August 21, 2013

Embrace The Chord Part 18


Rachel melangkah turun dari taxi di depan cafe itu, cafe tempat dia dulu sering menghabiskan waktunya bersama Calvin di hari minggu di masa lalu.
Dia memasuki cafe itu dan menatap ke arah tempat duduk di sudut, tempat favorit mereka dulu dan tersenyum ketika melihat bahwa Calvin sudah menunggu di sana.
“Hai Calvin.” Rachel melangkah mendekat, menatap Calvin yang langsung mendongak menatapnya dan membalas senyumnya.
“Hai Rachel.” Calvin berdiri, langsung menarikkan kursi untuk Rachel di depannya, “Duduklah, aku sudah memesankan minuman kesukaanmu.” Mata Calvin mengamati Rachel dengan lembut, “Kau cantik sekali, Rachel.
Pipi Rachel merona, menatap Calvin yang mengambil tempat duduk di depannya dan menatapnya dalam-dalam.
“Terimakasih Calvin.”
Calvin masih tidak melepaskan tatapan matanya dari Rachel, “Kau tampak lebih feminim sekarang, apakah itu karena hubunganmu dengan Jason?”
Sekali lagi, Rachel terdorong untuk berkata jujur kepada Calvin, tetapi dia kemudian menahan diri.
“Mungkin.” Gumamnya lembut, berusaha menghindari pertanyaan selanjutnya, “Jadi bagaimana Calvin, bagaimana tentang Anna?”
Mata Calvin berubah muram, “Anna... yah...” lelaki itu menghela napas panjang, “Aku berusaha menghubunginya seharian ini tetapi tidak diangkat, semua pesanku tidak di balas, mungkin dia marah kepadaku.”
“Kenapa dia marah kepadamu?” Rachel menyela, merasa bingung.
Calvin menghela napas panjang sekali lagi, seakan ingin membuang seluruh beban berat di benaknya.“Karena aku selalu membicarakanmu. Anna merasa terganggu, dia tidak mengerti kalau kau adalah teman masa kecilku dan kita cukup dekat.” Ada senyum miris di wajah Calvin, “Aku rasa dia cemburu kepadaku.”
Rachel membelalakkan matanya, “Anna?” Membayangkan wajah Anna yang luar baisa cantik dan sempurna, jauh sekali di atas dirinya, rasanya sangatlah tidak mungkin kalau Anna cemburu kepada Rachel. “Bagaimana mungkin dia cemburu kepadaku?”
Ekspresi Calvin tampak serius,
“Mungkin karena pembicaraan tentangmu terasa mendominasi percakapan kami... Anna merasa terganggu, dia bilang mungkin di dalam otakku terlalu dipenuhi dirimu.” Calvin tersenyum.
Kata-kata Calvin itu membuat Rachel sedikit ternganga. Apakah maksud kata-kata Calvin itu?
“Seharusnya kau jangan membicarakan tentang aku terus-terusan.” Rachel berusaha bersikap wajar meskipun merasakan hal yang berbeda di benaknya.
Calvin menghela napas panjang, “Yah, entahlah Rachel, kurasa memang benar kata-kata Anna, aku terlalu sering membicarakanmu, Rachel, mungkin hal itulah yang membuat Anna terganggu....”
“Dan kenapa kau sering membicarakan tentangku, Calvin?”
Mata Calvin berubah serius, “Mungkin tanpa sadar, kau selalu ada di hatiku, Rachel.”
Kali ini jantung Rachel benar-benar berdesir. Calvin seolah ingin mengungkapkan sesuatu kepadanya, lelaki itu tampak serius, menatap Rachel dengan tatapan matanya yang dalam.
Apakah Calvin.. apakah Calvin secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa Rachel ada di dalam hatinya? Bahwa sekarang entah kenapa lelaki itu mulai menyadari bahwa Rachel mungkin selama ini selalu tersimpan di dalam hatinya dan menunggu untuk diakui?
Kalau memang benar begitu, kenapa tidak ada rasa yang berbeda di benak Rachel selain jantungnya yang berdesir pelan? Bukankah inilah yang selama ini dinantikannya? Pengakuan Calvin bahwa Rachel ada di dalam hatinya, meskipun sedikit? Seharusnya Rachel bersorak dan berteriak gembira bukan? Tetapi kenapa dia sekarang malahan merasa..... datar?
Jemari yang ramping tiba-tiba menyentuh bahunya lembut, membuat Rachel terperanjat kaget, begitupun Calvin yang tampak benar-benar terkejut dengan mata memandang ke belakang Rachel.
Rachel mendongakkan kepalanya, menatap ke belakang, dan membelalakkan matanya ketika melihat Jason berdiri di dana, di belakangnya, memandangnya dengan tatapan mata memperingatkan yang segera hilang, berganti dengan tatapan mesra penuh sandiwara.
“Maafkan aku terlambat sayang.” Jason menunduk dan mengecup dahi Rachel yang sedang duduk dengan lembut, kemudian lelaki itu menarik kursi dan duduk di sebelah Rachel, berhadap-hadapan dengan Calvin, ditatapanya lelaki itu dengan tatapan mata datar, “Maafkan aku terlambat, Tadi aku bersama Rachel dan kebetulan aku sedang ada urusan mengenai konser tunggalku, jadi aku terpaksa meninggalkan Rachel sebentar, Rachel lalu bilang sambil menungguku dia akan menemuimu, dan aku berjanji akan segera menyusul setelah semua urusanku beres.”
Calvin masih ternganga, seolah kehilangan kata-kata. Dia menoleh berganti-ganti ke arah Rachel yang memasang wajah bersalah dan Jason yang tersenyum tenang, dan kemudian ekspresinya berubah sedikit malu.
“Oh. Maafkan aku, aku tidak tahu kalau aku mengganggu Rachel di sela acara kalian.” Lelaki itu langsung beranjak berdiri, “Kurasa aku ada urusan mendadak, aku harus pergi.”
“Calvin!” Rachel hendak berdiri, mencegah kepergian Calvin, tetapi tangan Jason menahannya dengan kencang dan penuh peringatan, membuat gerakan dan suara Rachel tertahankan.
Calvin menoleh, menatap Rachel, ekspresinya terlihat terluka.
“Mungkin lain kali kita bisa mengatur waktu untuk bertemu, Rachel. Selamat tinggal.” Dan kemudian, tanpa menoleh lagi, Calvin melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
Seketika itu juga Rachel langsung melemparkan tatapan marah kepada Jason.
“Kenapa kau melakukan itu, Jason? Itu snagat tidak sopan, kau seperti mengusir Calvin dengan kasar, tetapi menggunakan bahasa yang halus.”
Jason menyandarkan tubuhnya di kursi dan bersedekap dengan tenang.
“Karena kau menemui Calvin tanpa meminta persetujuan kepadaku.”
Rachel membelalakkan matanya, “Aku tidak membutuhkan izinmu untuk apapun, kau bukan siapa-siapaku.” Gumam Rachel, nadanya sedikit meninggi menahankan emosi karena menghadapi sikap Jason yang angkuh.
“Kau memang bukan siapa-siapaku dan hubungan kita hanyalah hubungan sandiwara. Tetapi selama kita bersandiwara, kau berada di bawah tanggung jawabku.” Mata Jason menyipit. “Apakah kau tidak tahu bahwa aku sedang memancing Arlene, yang kuduga sebagai otak dibalik penyeranganmu untuk mengulangi lagi usahanya?”
“Mengulangi lagi?”
“Ya.” Jason menatap Rachel dengan serius, “Aku berusaha membuatnya lengah dan terburu-buru untuk menyerangmu lagi, dan aku sudah menghubungi polisi, mereka akan menyiapkan orang untuk mengawasimu dan menangkap Arlene ketika dia melakukan maksudnya, dan selama polisi belum bergerak, kau harus berada di tempat di mana aku bisa melihatmu, agar aku bisa menjagamu.”
Rachel membuka mulutnya untuk membantah, tetapi kemudian dia menahan diri, menyadari bahwa perkataan Jason ada benarnya juga. Tetapi meskipun begitu, itu tidak membenarkan perlakukan Jason kepada Calvin tadi.
“Tetapi tetap saja aku tidak suka, kau seolah memaksa pergi Calvin tadi.”
“Aku tidak memaksanya pergi, dia sendiri yang pergi dengan tergesa-gesa.” Jason mengangkat alisnya, “Kurasa dia hampir menyatakan perasaannya kepadamu ya?”
Rachel merasakan pipinya merona, kemudian dia bergumam lirih, “Aku tidak tahu... mungkin saja... dia bilang aku ada di hatinya.” Suara Rachel menjadi pelan, berubah ragu.
Jason terkekeh, “Dia benar-benar terlambat menyadari perasaannya, kalau kau menuruti saranku, jangan langsung memberikan jalan untuknya.” Mata Jason menajam, “Kau sendiri bagaimana perasaanmu?”
Rachel tercekat, bahkan dia tidak bisa menjelaskan perasaannya kepada dirinya sendiri, bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan perasannya kepada Jason?
Sementara itu Jason mengamati ekspresi Rachel dan tiba-tiba senyumnya melebar.
“Kurasa Calvin sudah terlambat.”
Rachel yang sedang merenung dan sibuk dengan pikirannya mendengar Jason bergumam dan mengangkat kepalanya,
“Apa?”
Jason menggelengkan kepalanya, “Tidak.” Senyumnya mengembang, penuh arti, “Ayo kita pergi, kita harus berlatih biola untuk konser tunggalku nanti?”
Konser tunggal? Rachel baru mendengar informasi itu, Jason akan mengadakan konser tunggal? Tetapi bukankah tangan Rachel belum pulih benar?
Jason melihat pertanyaan di mata Rachel dan menganggukkan kepalanya, “Ayo kita bicarakan sambil jalan, aku punya banyak rencana, dan aku membutuhkanmu, Rachel.”
***
Mereka berada di ruang musik, tempat Jason biasanya berlatih di rumah itu. Ruangan itu lebih seperti ballrom yang besar, terletak di bagian belakang rumah. Dua buah biola telah disiapkan di sana, satu adalah Stradivari milik Jason dan satu lagi adalah biola Paganini pemberian Jason untuk Rachel.
Mereka berdiri di tengah ruangan dan Rachel menatap Jason dengan bingung, pandangannya berganti-ganti antara Jason dengan dua buah biola yang telah disiapkan itu.
“Apakah kita.. apakah kita akan bermain biola?” Rachel masih teringat jelas ketika dia melihat Jason mencoba bermain biola di rumah sakit waktu itu, dan lelaki itu tidak bisa menyelesaikan permainannya karena tangannya kesakitan. Dia juga masih ingat ekspresi sedih Jason waktu itu... ekspresi sedih sang maestro yang tidak bisa menyelesaikan permainan biolanya.
Jason tersenyum penuh arti, “Aku ingin kau melihat sesuatu.” Ditarikkannya kursi untuk Rachel di tengah ruangan, “Duduklah, buatlah dirimu nyaman, kau adalah penonton pertamaku.” Gumam Jason lembut.Mau tak mau Rachel duduk di kursi itu seperti yang diminta Jason, duduk dengan tenang, meraskan jantungnya berdebar menanti apa yang akan terjadi.
Jason sendiri melangkah ke depan Rachel dengan membawa biola Stradivarius miliknya. Jantung Rachel berdebar, penuh antisipasi menanti apa yang akan terjadi.
Dan kemudian Rachel ternganga ketika dia menatap Jason yang meletakkan biola itu di pundak kanannya....
Di pundak kanannya? 
Apakah itu berarti... Jason akan menggunakan tangan kirinya untuk menggesek biolanya?
Tetapi apakah itu mungkin? Menggesek biola dengan tangan kiri sangatlah sulit dan sangat jarang di kalangan violinist profesional sekalipun. Bahkan seorang violinist kidal kebanyakan memilih tetap menggunakan tangan kanannya untuk menggesek biolanya, karena menggesek biola dengan tangan kiri memerlukan konsentrasi dan teknik yang lebih sulit, untuk menghasilkan nada-nada yang sama persis dengan nada yang dihasilkan dengan gesekan tangan kanannya amatlah sulit, bisa dikatakan tingkat kesulitannya dua kali lipat.
Tetapi Jason seorang pemain biola jenius bukan?
Tidak menutup kemungkinan bahwa Jason akan mampu melakukannya....
Rachel duduk di sana, menatap Jason yang berdiri tegak di tengah ruangan, posisi sempurna seorang violinist profesional dan merasakan jantungnya berdebar semakin kencang... dan menunggu.
Lalu Jason menggesekkan biolanya hingga alunan musik terdengar memenuhi ruangan. Nada awalnya indah....dan seketika Rachel menyadari bahwa ini adalah salah satu nada yang sulit. Lagu yang sama yang pernah dimainkan Rachel pada malam audisinya untuk mengikuti kelas khusus Jason, lagu yang sama yang pernah mereka mainkan bersama-sama tanpa rencana.
Tchaikovsky, Violin Concerto in D major Op.35 .... 
Alunan nada yang cukup indah dan sulit, diciptakan oleh maestro yang sangat ahli dan luar biasa, dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
Ketika nada-nada berubah semakin cepat, dengan sempurna, tanpa meleset sama sekali, Rachel ternganga, matanya membelalak, seluruh ekspresinya mengungkapkan ketakjuban yang tiada terkira.
Perasaannya bergolak, antara kekaguman dan ketakjuban melihat Jason, sang maestro biola yang jenius.... ternyata bisa memainkan biolanya dengan sempurna meskipun menggesek dengan tangan kirinya!

Ternyata istilah kejeniusan Jason itu benar adanya, semua orang tidak main-main ketika menempelkan istilah itu kepada Jason. Lelaki ini benar-benar memiliki teknik tinggi dalam bermain biola, dan kenyataan bahwa lelaki itu bisa memainkan biolanya dengan tangan kanan dan kirinya dengan sama-sama sempurnanya, amatnya luar biasa... bagaikan sebuah keajaiban.....
Bersambung ke Part 19

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 21, 2013 02:47

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.