AADC2, Upaya ‘Mengenang’ Film Ada Apa dengan Cinta?
Ulasan Achmad Muchtar terhadap film Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016) karya Riri Riza; Gambar diambil dari laman thejakartapost.com.
Film sekuel biasanya lebih buruk dari film pertamanya. Begitu yang biasanya terjadi di perfilman Hollywood, seperti sekuel-sekuel dari film The Silence of the Lambs (1991) dan The Matrix (1999) yang dinilai gagal. Namun, beberapa pengecualian untuk film-film tertentu yang dinilai sekuelnya lebih bagus dari film pertama, seperti Terminator 2: Judgment Day (1991), The Bourne Supremacy (2004) dan The Bourne Ultimatum (2007). Hal yang sama pun pernah terjadi dalam perfilman Indonesia, seperti Arisan 2 (2011) yang dinilai lebih buruk dari film orisinalnya, setidaknya menurut pendapat saya.
Mendengar bahwa film Ada Apa dengan Cinta? (2002) akan dibuat sekuelnya, saya cukup gembira mengingat para pemain utamanya pada 2014 pernah reuni dalam minidrama untuk iklan LINE. Namun, saya agak menyayangkan pada absennya Rudi Soedjarwo dan Ladya Cheryl pada sekuel film tersebut. Saya cukup menikmati film Ada Apa dengan Cinta? (2002) yang berkesan sangat drama. Tak dapat dipungkiri bahwa itu buah kerja Rudi Soedjarwo. Saya lumayan kecewa film sekuelnya tidak lagi ditangani olehnya. Riri Riza, menurut saya, belum mampu membuat drama yang ‘sangat drama’ seperti film-film garapan Rudi Soedjarwo (tonton Mengejar Matahari (2004), Tentang Dia (2005), 9 Naga (2005), dan Mendadak Dangdut (2006)). Riri Riza bagi saya bagus untuk penggarapan film keluarga seperti Petualangan Sherina (1999) dan Laskar Pelangi (2008). Saya kurang menyukai film Gie (2005) dan 3 Hari untuk Selamanya (2007). Ketidaksukaan saya terhadap film-film tersebut bukan berarti film atau sutradara tersebut tidak cakap. Bukan, ini hanya soal selera saya. Bagi saya Petualangan Sherina (1999) sangat memorable dan Laskar Pelangi (2008) sangat menyentuh. Film Gie (2005) dan 3 Hari untuk Selamanya (2007) juga lumayan, tetapi kurang istimewa menurut saya. Saya hanya pesimis sekuel AADC ini bakal mampu menyamai bahkan menyaingi kualitas film orisinalnya.
Saya juga amat menyayangkan pada absennya Ladya Cheryl. Sebagaimana yang diketahui, para alumni AADC memang keren-keren. Dian Sastrowardoyo dengan Ungu Violet (2005) dan 3 Doa 3 Cinta (2008); Nicholas Saputra dengan Janji Joni (2005), Gie (2005), 3 Hari untuk selamanya (2007), 3 Doa 3 Cinta (2008) dan, Kebun Binatang (2012); Titi Kamal dengan Mendadak Dangdut (2006); Sissy Priscillia dengan Cintapuccino (2007) dan Romeo Juliet (2009); Adinia Wirasti dengan Tentang Dia (2005) dan 3 Hari untuk Selamanya (2007); dan Ladya Cheryl dengan Fiksi. (2008), Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), dan Kebun Binatang (2012). Saya sangat mengagumi akting Ladya Cheryl dalam film Fiksi. (2008) dan Kebun Binatang (2012). Saya dengar kabar bahwa Ladya Cheryl absen karena sedang menempuh pendidikan. Hal tersebut dapat termaafkan.
Namun ternyata, dalam film, tokoh Alya dimatikan! Saya pikir, absennya Ladya Cheryl bisa ditangani dengan pemeran pengganti. Kalau tidak ada pemeran pengganti yang cocok, barangkali karakter Alya masih ada, tetapi ia sedang tidak bisa bersama-sama Cinta, dkk., misalnya dengan membuat tokoh Alya sedang kuliah di luar negeri. ‘Peng-ada-an karakter’-nya bisa dibuat dengan kontak melalui media sosial, walaupun hanya menampilkan foto profil saja. Itu dapat membuat saya lega. Menurut saya, mematikan karakter dan tokoh Alya, saya rasa tidak bisa saya terima (sebenarnya saya masih berharap setelah selesai urusan pendidikan, Ladya Cheryl dapat kembali syuting, barangkali untuk sekuelnya yang kedua, mengingat filmnya laris sekali dan kemungkinan pengadaan sekuelnya bisa saja dilakukan).
Saya sudah meramalkan bahwa film ini bakalan booming seperti film pertamanya. Menurut Mira Lesmana (saat menghadiri program Live with Trio Lestari di Trans TV), pada hari keenam, Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016) sudah ditonton lebih dari 1,4 juta orang. Sebagaimana diketahui, film ini tayang serentak di Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada 28 April 2016. Pada hari pertama pemutaran, film ini memecahkan rekor sebagai film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak pada hari pertama pemutaran, yaitu 200.000 penonton. Dan, saya meramalkan, jika film ini lancar penayangannya (tidak ada boikot dari pihak manapun yang merasa iri dengan kesuksesan film tersebut–dengan mencari berbagai alasan untuk boikot atau memantik sebuah ormas untuk memboikot, seperti adegan ciuman dan sebagainya), film ini bakal menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa (mengalahkan film Laskar Pelangi (2008) dari produser dan sutradara yang sama). Terlebih untuk kasus saya, saya melihat antrean penonton yang membanjiri bioskop yang sebelumnya sepi, termasuk mall-nya, di Lippo Plaza Jogja. Antrean panjang barangkali juga sama di bioskop-bioskop lainnya di Indonesia.
Cerita film ini diawali dengan reuni para sahabat yang terdiri atas Cinta (Dian Sastrowardoyo), Karmen (Adinia Wirasti), Milly (Sissy Priscillia), dan Maura (Titi Kamal). Hal yang paling mengejutkan adalah Milly menikah dengan Mamet (Dennis Adhiswara) dan Maura menikah dengan … ah saya tidak tahu namanya, tetapi ia diperankan oleh suami Titi Kamal di dunia nyata, Christian Sugiono. Yang paling mengejutkan lagi adalah … Cinta sudah dilamar oleh Trian (Ario Bayu). Pada pertemuan itu, mereka berniat pergi ke Jogja beberapa hari untuk menghadiri pameran seni dari seniman Eko Nugroho. Nah, sebagaiman plot cerita sambungan, cerita pun (terkesan) dibuat-buat. Rangga (Nicholas Saputra) yang menetap di New York pun tiba-tiba didatangi sepupunya agar ke Jogja menemui ibunya. Dari situ, sudah saya tertawakan terlebih dahulu, ternyata ceritanya dipaksakan begitu. Dan, hal yang paling membuat miris adalah Alya meninggal pada 2010 karena kecelakaan! Sebelum ke Jogja, mereka berpamitan ke makam Alya (sungguh membuat sedih).
Karena cerita mengharuskan Cinta dan Rangga bertemu, maka bertemulah mereka di Jogja. Biar ceritanya agak keren, dibuatlah Cinta awalnya tidak mau bertemu dengan Rangga dengan alasan, Ranggalah yang membuat Cinta sedih karena ia diputus tanpa alasan yang jelas. Hal yang membuat saya menurunkan tingkat ekspektasi adalah bahwa dalam rentang 14 tahun semenjak 2002, mereka berpacaran dan bertemu di New York. Awalnya, saya menemukan ketragisan hubungan keduanya jika mereka kali pertama bertemu saat di Jogja semenjak 2002. Namun, pada film 2002, Rangga akan kembali ke Jakarta setelah satu purnama. Yang saya tanyakan adalah, apakah Rangga kembali ke Jakarta lalu ke New York lagi untuk menetap? Jika ada yang konsen pada cerita dua filmnya, ceritakan secara detail kepada saya!
Pertemuan antara Rangga dan Cinta dibuat romantis, dibuat seharian, dari siang sampai subuh; menikmati pesona Jogja dan Magelang. Mulai dari jelajah gang, kuliner, kafe, sampai gereja unik. Kebanyakan tempat-tempat yang kurang terekspos dan masih sepi. Yang mereka lakukan selama itu adalah, awalnya, untuk memberi penjelasan mengenai nasib hubungan mereka hingga merembet ke masalah sibling, ibunya Rangga, dan pada akhirnya mereka ‘mengenang’ karakter masing-masing. Ya, sepanjang film adalah perjalanan untuk mengenang karakter masing-masing tokohnya. Dibalut oleh pesona Jogja dan tampilan gambar-gambar menawan, film ini hanya ditujukan untuk ‘mengenang’.
Pada film Ada Apa dengan Cinta? (2002), saya dapat menemui chemistry Cinta dan Rangga. Namun, dalam film ini, saya kurang menemui chemistry mereka. Kurang bukan berarti tidak. Saya baru menemui chemistry mereka pada paruh tengah menuju akhir. Pertemuan kali pertama mereka di Jogja pun kurang greget (saya berharap akan seperti adegan Jason Bourne dan Pamela Landy saat kali pertama mereka bertatapan muka dalam The Bourne Supremacy (2004) yang greget dan sangat keren). Yang paling saya ingat dari film ini justru karakter Karmen. Ia terlihat sangat berkarakter. Di samping itu, karakter Milly dan Maura hanya untuk ‘mengenang’ karakter mereka di film pertama. Tak ayal, beberapa kali saya tertawa melihat kekonyolan Milly–yang tulalit.
Sebagaimana film sekuel kebanyakan, film ini masih tidak lebih bagus dari film pertamanya. Pertama, dari ceritanya, film ini terkesan dipaksakan. Kematian Alya dan pertemuan Cinta dan Rangga di Jogja adalah salah duanya. Namun, yang membuat tersenyum adalah Mamet yang menikah dengan Milly dan Cinta yang bertunangan dengan tokoh lain, bukan Rangga. Perasaan bisa dibuat berkecamuk saat mereka berdua semalaman berjalan-jalan bersama, sedangkan mereka tidak bisa saling memiliki (saya teringat film Before Sunset (2004), Jesse telah menikah sedangkan Celine masih melajang, itu sangat dramatis). Kedua, dari sudut-sudut, gaya, dan pengalihan gambarnya. Saya sudah menduga gambar dalam film ini ‘tidak rapi’ atau ‘tumpang-tindih’ seperti pada gambar-gambar ‘khas’ dalam film-film Riri Riza. Beberapa hasil suntingan gambarnya kurang pas dengan suaranya. Atau pengalihan gambar yang tiba-tiba berubah-lalu-kembali, entah istilanya apa. Beberapa adegan terkesan seperti gambar-gambar yang berbeda yang dipaksakan untuk bersatu padu membuat kesinambungan. Namun, selain itu sebenarnya gambar-gambar yang dihasilkan sangat bagus, jernih, dan memanjakan mata.
Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016) adalah upaya untuk mengenang film Ada Apa dengan Cinta? (2002). Kecantikan Dian Sastrowardoyo ditampilkan kembali. Dari 2002 sampai 2016, kecantikannya tidak berubah, bahkan ia semakin cantik. Kesinisan Rangga juga ditampilkan kembali, terlebih pada paruh akhir film. Ke-tulalit-annya Milly juga semakin dieksplorasi, juga kecuekan dan kegarangan Karmen dan ke-higienis-an tokoh Maura. Mamet juga ditampilkan kembali. Pada salah satu adegan, mereka mengenang grup Pas Band yang pernah mereka idolakan, tentunya saat Mamet mengejar-ngejar Cinta pada waktu itu. Beberapa adegan khas dalam film pertama ‘mencoba’ dihadirkan kembali. Selain mengekspos keeksotisan Jogja, film ini memang murni untuk mengenang.


