REVIEW TUAN BONG

Saya belum pernah menemukan nama Septian Dhaniar Rahman dalam peta sastra Indonesia, tapi mulai saat ini saya tidak ragu menyebutkan bahwa sang pengarang punya cukup potensi untuk unjuk gigi dalam kancah sastra tanah air dan mungkin mancanegara berkat novel debutnya ini.

TUAN BONG merupakan novel indie dari penerbit Leutika Prio. Ketebalan novel ini hanya 180 halaman termasuk kover depan dan belakang. Termasuk novel tipis apalagi menurut ukuran reviewer seperti saya yang biasa mereview novel-novel lokal maupun mancanegara yang rata-rata tebalnya minimal 300-an halaman.

Apakah jumlah halaman menjadi aspek acuan saya dalam mereview novel ini? Tentu tidak karena saya biasa menekankan semua aspek review dari berbagai segi yaitu plot dan alur cerita, karakterisasi, tema utama, adegan pembuka, adegan ending yang kesemuanya itu saya rangkum dalam dua garis besar tolok ukur saya yang akan saya tuliskan berikut ini dalam The Good Stuff dan The Bad Stuff.

Saya menyelesaikan membaca novel ini cukup tiga jam saja mulai dari halaman pembuka sampai halaman terakhir di Minggu pagi yang mendung mulai jam sembilan pagi tepat sampai jam dua belas siang. Mari kita tuliskan reviewnya.

THE GOOD STUFF

Mulai dari karakter yang sangat saya sukai yaitu Heng Bong, sang tokoh utama novel ini dalam era pra kemerdekaan 1941, seorang Kolonel Belanda yang membelot gara-gara mencintai Indonesia? Ini Deja Vu, mirip sekali dengan kisah nyata yang terjadi di masa lalu pra kemerdekaan Indonesia secara faktual. Saya tahu betul karena ada seorang tokoh pahlawan penting negeri ini yang mempunyai kisah seperti Heng Bong dan beliau adalah sang pendiri Kopassus awal tahun 50-an dulu, Letnan Kolonel Idjon Djanbi.

Joni Bong dan Quentina Saverina, keduanya sangat saya sukai dalam petualangan mereka di kisah berikut dalam novel ini. Joni Bong adalah cucu Heng Bong, statusnya agen rahasia Republik Indonesia, begitu juga sang partner Quentina Saverina. Interaksi keduanya sangat menarik, saya tidak berani menyebut romantis tapi saya senang dengan keduanya karena lumayan membumi. Mereka berdua tidak tergambar sebagai sosok sempurna melainkan sangat manusiawi dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka.

Sean Myring, tokoh antagonis utama dalam novel ini juga tergambar begitu apik. Seorang milyuner muda yang betul-betul menghambakan diri dengan uang, pecandu wanita cantik, perlente dan bukan kebetulan sangat tampan dan flamboyan serta disukai banyak orang. Bule tajir favorit wanita, bahkan pria pun sangat hormat kepadanya. Sean Myring memang jahat, tapi dia mempunyai sisi kebaikan dan sopan santun yang luar biasa pada semua orang, apalagi dia juga sangat cerdas dan lihai, ahli berbagai macam bahasa termasuk bahasa Indonesia yang sangat fasih.

Karakter pendukung lain di novel ini juga oke menurut saya mulai dari Jeni Bong, adik kembar Joni Bong yang seorang penyanyi kondang, Tejo Sulaksono alias Baginda T, bos besar alias atasan Joni dan Rina (panggilan Quentina), dua tokoh antagonis semasa pra kemerdekaan 1941 duet Eva Von Hamburger dan Jurgen Klobot, sampai sang kekasih Heng Bong yang akhirnya menjadi istri dan juga nenek dari Joni Bong sendiri yakni Nyla Verboden.

Nuansa humor satir begitu kental melekat sepanjang cerita dan hal itu membuat kisah terasa tidak serius tapi justru pas dan mengasyikkan, baik itu dari tingkah laku maupun dialog dari semua karakternya di sini. Tak ada karakter yang sempurna di novel ini baik dari sisi protagonis maupun antagonis dan hal ini membuat saya sungguh kagum.

Adegan aksinya melimpah ruah baik saat petualangan Heng Bong di tahun 1941 maupun saat Joni dan Rina beraksi di akhir tahun 2012 tersebut terutama aksi tembak-tembakan maupun kebut-kebutan alias pengejaran baik itu yang bersetting di Buitenzorg alias Bogor tahun 1941 maupun di Jogja dan Jakarta tahun 2012.
Mobil canggih senjata utama Joni dan Rina dalam bertugas yaitu Esemka Super Coupe Triple Z. Saya kehabisan kata-kata selain INGIN PUNYA!!!

Settingnya menurut saya cukup oke. Buitenzorg dan Batavia, stasiun Cornelis Meester, Waterlooplein hingga HOTEL Des Indes di masa 1941? Sungguh membawa kenangan indah di masa lalu, terutama Hotel Des Indes yang saat itu merupakan Hotel terbaik se Asia Tenggara bahkan seluruh Asia mungkin, sayang kini sudah hancur tak bersisa. Di masa akhir tahun 2012, setting Jogjanya saya acungi jempol lengkap dengan wisata kuliner lagi (jadi pengin mampir ke Soto di Tegalrejo itu lagi!), sementara setting Jakartanya juga lumayan menurut saya. Boleh juga pokoknya.

Pergantian POV alias sudut pandang dari orang ketiga, ke orang pertama antagonis, lalu ke orang pertama protagonis, lalu beralih pada epilog orang pertama antagonis membuat saya terkejut. Serius, saya belum pernah membaca novel dengan pemakaian POV seperti ini sepanjang hidup saya. Kekuatannya terutama terletak pada epilognya. Narasi sang tokoh antagonis pada epilog betul-betul membuat saya merasa tertonjok, apalagi dengan pekikan membahana sang tokoh antagonis di aksi terakhirnya. Saya jadi bersimpati padanya dan berharap semoga dia selamat.

THE BAD STUFF

Sayang sekali, novel seperti ini memiliki penataan layout yang menurut saya sangat tidak memuaskan. Huruf mungkin masih nyaman saya baca, tapi penambahan gambar serta ornamen-ornamen kover di setiap halaman membuat tata letak tulisan jadi terlalu mepet ke kanan dan menjorok ke bawah. Serius saya merasa tidak nyaman, untung saya terbiasa membaca novel yang tebalnya dua kali lipat dari novel ini sehingga saya masih bisa menyelesaikannya sampai tuntas demi sebuah review.

Alur cerita terlalu straightforward, lurus dengan sedikit kelokan, sangat to the point, jadi bahkan dari awal pun saya yakin novel ini memiliki ending optimis, setidaknya begitu. Konfliknya, terutama pada petualangan Joni dan Rina di akhir tahun 2012 terasa kurang bagi saya, mungkin ini juga karena mobil mereka terlalu canggih saya rasa. Saya juga tidak melihat baik Joni maupun Rina terlibat dalam aksi tembak-menembak di sini, padahal ada pistol Walther PPK juga diceritakan di sini. Ternyata sang pengarang tidak mengikuti anjuran Anton Chekov rupanya. Alur cerita juga menurut saya naik turun, sebentar menegangkan, tiba-tiba selanjutnya ketegangan itu merosot tajam. Ini tidak bagus menurut saya.

Kenapa justru Joni Bong sebagai sang cucu yang mendapat porsi penceritaan di sini? Saya kok lebih suka jika sang pengarang mengisahkan ayah Joni Bong yaitu Hugo Bong, tapi itu mungkin tergantung pilihan sang pengarang.

Saya menemukan banyak typo di sini entah itu yang huruf kebalik atau salah kata, salah ejaan miring, juga penataan spasi yang membikin kenyamanan saya membaca banyak berkurang.

Agak aneh juga seorang mantan fotomodel tercantik Indonesia mau-maunya bekerja di Dinas Agensi Rahasia Negara. Saya kira ini pilihan yang kurang wajar menurut saya. Sedikit tidak logis.

Lebih pantas menyebut novel ini sebagai novel pendek karena jumlah karakternya tidak sebanyak novel biasa pada umumnya.
Ini novel ada epilog tapi kok nggak ada prolog? Menurut saya ini aneh tapi nyata.
Ada sejumlah pemakaian istilah yang sama sekali tidak tepat di novel ini. Sejak kapan kata JOMBLO ada di era 1941? Kenapa bukan BUJANG saja kan lebih tepat.

FINAL CONCLUSION (MAKSIMAL 5 BINTANG)
Bagian 00 (POV orang ketiga, fokus pada Heng Bong) saya beri 4 bintang.
Bagian 01 (POV orang pertama, fokus pada Sean Myring) saya beri 3,5 bintang.
Bagian 02 (POV orang pertama, fokus pada Joni Bong) saya beri 3,5 bintang.
Epilog (POV orang pertama, fokus pada Sean Myring) saya beri 4 bintang.
Dengan demikan skor keseluruhannya = 4 + 3,5 + 3,5 + 4 = 15
Kita bagi 15 dengan 4 menjadikan skor akhir = 3,75.
Saya bulatkan **** alias 4 Bintang dari 5 Bintang.
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 06, 2015 22:42 Tags: tuan-bong
No comments have been added yet.