Poppy D. Chusfani's Blog
February 7, 2011
Mencatat Padanan Istilah
Idealnya, sebelum mulai menerjemahkan, penerjemah membaca dulu keseluruhan naskah. Terutama untuk menentukan padanan yang pas bagi beberapa istilah. Pengalaman menerjemahkan genre fantasi membuatku ‘waspada’ akan beberapa istilah yang kelihatannya bisa dipadankan dengan satu kata, tapi ternyata punya makna lain. Beberapa istilah baru akan terungkap makna sebenarnya di pertengahan atau akhir buku. Maka jika punya waktu untuk membaca seluruh naskah sebelum mulai mengerjakannya, sejak awal penerjemah sudah bisa memikirkan padanan yang pas.
Sayangnya, penerjemah sering tidak punya kesempatan untuk membaca naskah terlebih dulu, biasanya karena keterbatasan waktu, maka harus membaca sambil langsung menerjemahkan. Satu istilah yang sudah diterjemahkan menjadi A di bab-bab awal, bisa berubah menjadi B di bab-bab pertengahan, bahkan berubah lagi menjadi C di bab-bab akhir. Hal seperti ini cukup menghabiskan waktu dan tenaga, serta pengeditan berulang kali. Belum lagi jika ada yang terlewat, akibat mata dan otak yang kepalang letih karena harus bolak-balik memeriksa sekian banyak bab.
Solusinya adalah membuat glosarium. Setiap kali menemukan istilah yang tidak umum (biasanya sering terjadi di genre fantasi atau fiksi ilmiah) penerjemah mencatatnya pada file berbeda. Maka jika beberapa istilah tertentu harus diubah kemudian, akan lebih mudah jika ada catatan yang bisa dijadikan acuan. Glosarium seperti ini akan lebih bermanfaat lagi jika penerjemah harus mengerjakan serial, yang bisa terdiri dari tiga, empat, bahkan sepuluh buku. Sering kali masing-masing buku tidak dikerjakan berurutan, bisa diselang satu dua bulan, bisa pula satu dua tahun. Tidak mungkin data sekian banyak istilah tersimpan di dalam otak. Dengan adanya glosarium, penerjemah tidak perlu membuka-buka buku-buku sebelumnya untuk mengingat padanan apa yang telah diterjemahkannya untuk istilah tertentu. Catatan ini juga menjaga penerjemah agar konsisten, tidak menerjemahkan satu istilah dengan berbagai padanan yang berbeda. Contoh saja, jika ada istilah Armoured Army, penerjemah harus konsisten dengan satu padanan, entah Pasukan Baju Besi atau Pasukan Berzirah. Istilah yang tidak konsisten akan membingungkan pembaca.
Catatan istilah seperti ini juga sangat bermanfaat jika penerjemah harus melanjutkan serial yang tadinya dikerjakan orang lain. Banyak penyebab mengapa seorang penerjemah tidak lagi mengerjakan sebuah serial. Jika buku berikutnya diserahkan kepada penerjemah lain, maka penerjemah lanjutan itu harus mengetahui padanan apa yang diberikan penerjemah terdahulu untuk beberapa istilah. Tanpa glosarium yang diberikan penerjemah pertama, penerjemah kedua terpaksa harus membuka naskah asli (untuk mencari istilah yang sama dengan yang ditemukannya di buku berikutnya), melihat di bab mana istilah itu berada, kemudian membuka lagi naskah terjemahan sebelumnya (untuk mencari padanan katanya dari penerjemah pertama). Ini cukup merepotkan bahkan jika penerjemah kedua mengerjakan buku seri kedua. Bagaimana jika penerjemah kedua baru mulai mengerjakan buku ketiga, keempat, atau kelima? Berapa banyak naskah asli dan naskah terjemahan yang harus dibongkarnya? Bayangkan berapa banyak waktu dan tenaga yang diperlukan hanya untuk mencari satu istilah saja. Dengan tersedianya gosarium dari penerjemah pertama, penerjemah kedua bisa bekerja tanpa tersela pencarian data.
Berikutnya, glosarium juga akan memudahkan pekerjaan editor. Jika ada istilah yang harus diubah (ini hak editor sepenuhnya, entah apa pun alasannya) maka glosarium akan memudahkan editor untuk mencari dan mengganti. Editor juga akan lebih menyukai penerjemah yang rapi dan meringankan pekerjaannya. Satu buku, satu glosarium. Satu serial, satu glosarium. Bukan hanya bermanfaat bagi orang lain, tapi juga bagi si penerjemah sendiri.
Sayangnya, penerjemah sering tidak punya kesempatan untuk membaca naskah terlebih dulu, biasanya karena keterbatasan waktu, maka harus membaca sambil langsung menerjemahkan. Satu istilah yang sudah diterjemahkan menjadi A di bab-bab awal, bisa berubah menjadi B di bab-bab pertengahan, bahkan berubah lagi menjadi C di bab-bab akhir. Hal seperti ini cukup menghabiskan waktu dan tenaga, serta pengeditan berulang kali. Belum lagi jika ada yang terlewat, akibat mata dan otak yang kepalang letih karena harus bolak-balik memeriksa sekian banyak bab.
Solusinya adalah membuat glosarium. Setiap kali menemukan istilah yang tidak umum (biasanya sering terjadi di genre fantasi atau fiksi ilmiah) penerjemah mencatatnya pada file berbeda. Maka jika beberapa istilah tertentu harus diubah kemudian, akan lebih mudah jika ada catatan yang bisa dijadikan acuan. Glosarium seperti ini akan lebih bermanfaat lagi jika penerjemah harus mengerjakan serial, yang bisa terdiri dari tiga, empat, bahkan sepuluh buku. Sering kali masing-masing buku tidak dikerjakan berurutan, bisa diselang satu dua bulan, bisa pula satu dua tahun. Tidak mungkin data sekian banyak istilah tersimpan di dalam otak. Dengan adanya glosarium, penerjemah tidak perlu membuka-buka buku-buku sebelumnya untuk mengingat padanan apa yang telah diterjemahkannya untuk istilah tertentu. Catatan ini juga menjaga penerjemah agar konsisten, tidak menerjemahkan satu istilah dengan berbagai padanan yang berbeda. Contoh saja, jika ada istilah Armoured Army, penerjemah harus konsisten dengan satu padanan, entah Pasukan Baju Besi atau Pasukan Berzirah. Istilah yang tidak konsisten akan membingungkan pembaca.
Catatan istilah seperti ini juga sangat bermanfaat jika penerjemah harus melanjutkan serial yang tadinya dikerjakan orang lain. Banyak penyebab mengapa seorang penerjemah tidak lagi mengerjakan sebuah serial. Jika buku berikutnya diserahkan kepada penerjemah lain, maka penerjemah lanjutan itu harus mengetahui padanan apa yang diberikan penerjemah terdahulu untuk beberapa istilah. Tanpa glosarium yang diberikan penerjemah pertama, penerjemah kedua terpaksa harus membuka naskah asli (untuk mencari istilah yang sama dengan yang ditemukannya di buku berikutnya), melihat di bab mana istilah itu berada, kemudian membuka lagi naskah terjemahan sebelumnya (untuk mencari padanan katanya dari penerjemah pertama). Ini cukup merepotkan bahkan jika penerjemah kedua mengerjakan buku seri kedua. Bagaimana jika penerjemah kedua baru mulai mengerjakan buku ketiga, keempat, atau kelima? Berapa banyak naskah asli dan naskah terjemahan yang harus dibongkarnya? Bayangkan berapa banyak waktu dan tenaga yang diperlukan hanya untuk mencari satu istilah saja. Dengan tersedianya gosarium dari penerjemah pertama, penerjemah kedua bisa bekerja tanpa tersela pencarian data.
Berikutnya, glosarium juga akan memudahkan pekerjaan editor. Jika ada istilah yang harus diubah (ini hak editor sepenuhnya, entah apa pun alasannya) maka glosarium akan memudahkan editor untuk mencari dan mengganti. Editor juga akan lebih menyukai penerjemah yang rapi dan meringankan pekerjaannya. Satu buku, satu glosarium. Satu serial, satu glosarium. Bukan hanya bermanfaat bagi orang lain, tapi juga bagi si penerjemah sendiri.
Published on February 07, 2011 19:44
January 2, 2011
Nostor Veren, Professor!
Nostor Veren (Happy Birthday) dear Professor JRR Tolkien. Thank you for bringing your masterpiece into this world, and may your legacy be enjoyed by generations to come. As we consider you as the father of fantasy literature, we---fantasy writers---owe you our success.
It's time to annually re-read The Lord of the Rings, is it not? :)
It's time to annually re-read The Lord of the Rings, is it not? :)
Published on January 02, 2011 16:48
July 26, 2010
Konversi
Saat menerjemahkan, mau tidak mau aku akan bertemu dengan istilah ukuran yang perlu diubah sesuai dengan kebiasaan Indonesia. Dalam ukuran Amerika kita biasa bertemu dengan mile, feet, inch, pound dan sebagainya. Dalam ukuran Inggris kita bisa bertemu dengan yang lebih tidak familier seperti stone, yard, cup dan lain-lain.
Sebagian besar ponsel sudah memiliki program konversi, tapi jika tidak, ada online conversion cukup lengkap pada situs ini:
http://www.onlineconversion.com/
Sekarang, bagaimana menentukan mana yang perlu diubah dan mana yang tidak? Dan sejauh apa?
Untuk buku anak-anak dan beberapa narasi yang memerlukan bayangan pembaca tentang jarak, berat, dan sebagainya, aku biasa mengonversinya ke istilah yang lebih Indonesia. Misalnya, mile menjadi kilometer, feet menjadi meter, pound menjadi kilogram, dan lain-lain. Begitu pula dengan ukuran suhu, yang biasanya memakai Fahrenheit, perlu diubah menjadi Celcius agar pembaca bisa membayangkan seperti apa suhu yang sedang dibicarakan. Tidak mungkin aku membiarkan dialog ini tanpa dikonversi:
"It's a hundred degrees out there!"
Bisa-bisa pembaca menyangka cuaca di luar sama dengan titik didih air dalam Celcius (yang pastinya tidak mungkin bisa ditinggali manusia).
Mengubah ukurannya sendiri sangat mudah, tinggal meng-klik mouse, dan terpampanglah ukuran yang kita inginkan. Tapi sejauh apa aku mengonversinya? Aku pernah membaca buku terjemahan dengan kalimat kira-kira sebagai berikut:
"Jarak ke sana sejauh 32,187 kilometer."
Huh?
Pernahkah kita menjawab pertanyaan, "Butuh berapa meter tali?" dengan "Satu koma delapan tiga meter"? Bisa-bisa kita disuruh mengukurnya sendiri dengan penggaris atau meteran.
20 mil akan kukonversi menjadi 30 kilometer. 32 kilometer pun rasanya tidak lazim diucapkan seseorang yang mengira-ngira jarak (kecuali terdapat papan tanda yang menunjukkan sebuah lokasi persis 32 kilometer ke depan). Tidak lupa kutambahkan dengan kata "kira-kira", kecuali kalau disebutkan persis 20 mil, bisalah kuganti menjadi 32 kilometer.
6 kaki akan kuganti menjadi 2 meter, kecuali jika memang ada penjelasan bahwa sesuatu sedang diukur dan hasilnya persis 6 kaki, maka 1,8 meter bisa digunakan. Begitu pula dengan ukuran suhu. Tapi untuk tinggi badan, tentunya lebih baik diubah dengan tepat. Tidak aneh jika kita mengucapkan, "Dia jangkung, tingginya 179 senti!"
Tapi pengecualian dalam kasus ukuran mile, ada beberapa yang sebenarnya tidak terlalu perlu dikonversi. Cukup menggunakan mil, maka pembaca sudah bisa membayangkan. Ini jika ukuran mil tidak terlalu berpengaruh pada cerita dan pada bayangan pembaca tentang situasi yang dinarasikan. "Jaraknya seratus mil!" pastinya sudah terbayang betapa jauhnya tanpa perlu mengubahnya menjadi "Jaraknya seratus enam puluh kilometer!"
Pembaca tidak akan mau dipusingkan dengan ukuran sampai desimal terkecil. Membayangkannya pun bakal sulit. Maka aku selalu membulatkan angka ke bawah atau ke atas, tergantung sampai sejauh apa desimal yang tertera. Apalagi untuk dialog, ukuran yang dibulatkan akan tampak lebih luwes daripada membaca seorang tokoh mengucapkan "32,187 kilometer". Aku tidak menerjemahkan buku fisika atau matematika, bukan?
Sebagian besar ponsel sudah memiliki program konversi, tapi jika tidak, ada online conversion cukup lengkap pada situs ini:
http://www.onlineconversion.com/
Sekarang, bagaimana menentukan mana yang perlu diubah dan mana yang tidak? Dan sejauh apa?
Untuk buku anak-anak dan beberapa narasi yang memerlukan bayangan pembaca tentang jarak, berat, dan sebagainya, aku biasa mengonversinya ke istilah yang lebih Indonesia. Misalnya, mile menjadi kilometer, feet menjadi meter, pound menjadi kilogram, dan lain-lain. Begitu pula dengan ukuran suhu, yang biasanya memakai Fahrenheit, perlu diubah menjadi Celcius agar pembaca bisa membayangkan seperti apa suhu yang sedang dibicarakan. Tidak mungkin aku membiarkan dialog ini tanpa dikonversi:
"It's a hundred degrees out there!"
Bisa-bisa pembaca menyangka cuaca di luar sama dengan titik didih air dalam Celcius (yang pastinya tidak mungkin bisa ditinggali manusia).
Mengubah ukurannya sendiri sangat mudah, tinggal meng-klik mouse, dan terpampanglah ukuran yang kita inginkan. Tapi sejauh apa aku mengonversinya? Aku pernah membaca buku terjemahan dengan kalimat kira-kira sebagai berikut:
"Jarak ke sana sejauh 32,187 kilometer."
Huh?
Pernahkah kita menjawab pertanyaan, "Butuh berapa meter tali?" dengan "Satu koma delapan tiga meter"? Bisa-bisa kita disuruh mengukurnya sendiri dengan penggaris atau meteran.
20 mil akan kukonversi menjadi 30 kilometer. 32 kilometer pun rasanya tidak lazim diucapkan seseorang yang mengira-ngira jarak (kecuali terdapat papan tanda yang menunjukkan sebuah lokasi persis 32 kilometer ke depan). Tidak lupa kutambahkan dengan kata "kira-kira", kecuali kalau disebutkan persis 20 mil, bisalah kuganti menjadi 32 kilometer.
6 kaki akan kuganti menjadi 2 meter, kecuali jika memang ada penjelasan bahwa sesuatu sedang diukur dan hasilnya persis 6 kaki, maka 1,8 meter bisa digunakan. Begitu pula dengan ukuran suhu. Tapi untuk tinggi badan, tentunya lebih baik diubah dengan tepat. Tidak aneh jika kita mengucapkan, "Dia jangkung, tingginya 179 senti!"
Tapi pengecualian dalam kasus ukuran mile, ada beberapa yang sebenarnya tidak terlalu perlu dikonversi. Cukup menggunakan mil, maka pembaca sudah bisa membayangkan. Ini jika ukuran mil tidak terlalu berpengaruh pada cerita dan pada bayangan pembaca tentang situasi yang dinarasikan. "Jaraknya seratus mil!" pastinya sudah terbayang betapa jauhnya tanpa perlu mengubahnya menjadi "Jaraknya seratus enam puluh kilometer!"
Pembaca tidak akan mau dipusingkan dengan ukuran sampai desimal terkecil. Membayangkannya pun bakal sulit. Maka aku selalu membulatkan angka ke bawah atau ke atas, tergantung sampai sejauh apa desimal yang tertera. Apalagi untuk dialog, ukuran yang dibulatkan akan tampak lebih luwes daripada membaca seorang tokoh mengucapkan "32,187 kilometer". Aku tidak menerjemahkan buku fisika atau matematika, bukan?
Published on July 26, 2010 20:49
July 19, 2010
Spesialisasi Penerjemah Fiksi, Perlukah?
Semua orang tahu bahwa mencintai pekerjaan akan memberi hasil maksimal. Hampir semua penerjemah/editor yang kukenal sungguh mencintai pekerjaan mereka dan sangat berdedikasi. Hasil yang maksimal hampir selalu mereka berikan untuk pembaca. Tapi apakah menjadi penerjemah berarti harus menyukai semua genre?
Melihat pengalaman beberapa penerjemah (biasanya pada permulaan karier), mereka menerima jenis buku apa pun yang diutamakan penerbit. Dari yang kudengar, penerjemah pemula biasanya tidak bisa terlalu jadi pemilih. Ada kenalan (yang tidak perlu kusebutkan namanya di sini) yang pernah mengeluh, "Sebetulnya gue nggak suka genre ini, tapi apa boleh buat, ini yang disodorin penerbit." Aku tahu dia berusaha keras mengerjakannya dengan baik, meski butuh waktu lebih lama daripada mengerjakan genre kesukaannya.
Aku sendiri termasuk yang amat sangat beruntung. Sebelum menerima buku pertama untuk diterjemahkan, aku ditanya, "Kamu suka genre apa aja? Buku-buku yang paling kamu suka nanti yang bakal kita kasih ke kamu." Aku tahu kesempatan seperti ini jarang terjadi, maka aku bersyukur sekali. Sejak semula aku sudah menegaskan bahwa aku suka fantasi, horor, fiksi ilmiah, buku anak-anak dan remaja. Aku kurang suka fiksi dewasa yang mendayu-dayu dan penuh kejadian tragis. Dan jangan sekali-sekali memintaku menerjemahkan roman. Karena rasa romansanya akan hambar jika ditangani olehku. Berikan fiksi roman kepada mereka yang lebih ahli. Bukannya aku tidak pernah baca roman. Aku menyukai beberapa roman tertentu, terutama karya-karya klasik. Tapi untuk menerjemahkan, butuh 'nyawa' dan 'rasa' agar hasilnya menjadi 'hidup'. Aku tidak bisa memberikan itu untuk genre roman. Mengetahui batasan kemampuan diri sendiri sangat penting dalam pekerjaan ini. If I bite more than I can chew, aku bakal mengecewakan banyak orang. Dan batasan kemampuanku berhenti pada fiksi roman.
Maka, perlukah spesialisasi dalam menerjemahkan? Menurut diriku sendiri, perlu. Aku perlu memberi batasan mana yang mampu kukerjakan dan mana yang tidak agar hasilnya bisa maksimal. Menurutku sah saja jika seorang penerjemah meminta kepada penerbit agar tidak memberikan genre yang takkan mampu ditelannya. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
Contoh kecil saja, penerjemah bahasa Jepang jumlahnya masih sedikit sekali. Penerbit mungkin akan mencari seorang penerjemah Jepang mana saja untuk mengerjakan sebuah karya klasik, horor, fantasi, roman, dan sebagainya. Jika sedang tertimpa sial, penerbit akan memperoleh hasil terjemahan kacau balau jika si penerjemah tidak mampu memberi rasa kepada genre tertentu, tapi penerbit tidak punya pilihan lain. Mungkin saja si penerjemah Jepang lebih menyukai genre roman, dan ketika diberi tugas menerjemahkan genre horor, hasilnya kusut masai.
Dari pengalaman, aku melihat lebih banyak buku yang aslinya berbahasa non-Inggris dicari dulu terjemahan Inggris-nya, baru kemudian diserahkan kepada penerjemah dua-bahasa sepertiku untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Terjemahan dari terjemahan.
Penerjemah multibahasa rupanya harus lebih berhati-hati dalam memilih pekerjaan mana yang diterimanya. Jangan mentang-mentang aku bisa berbahasa Rusia, misalnya (I wish!) maka aku segera diminta menerjemahkan Anna Karenina versi asli yang terbit tahun 1878. Karena aku tidak tahan membaca buku itu. Membaca terjemahan Inggris-nya, aku berhasil melemparkan buku itu jauh-jauh setelah lima halaman (dan pastinya bukan disebabkan terjemahan Inggris yang buruk).
Apakah semua penerjemah harus memiliki spesialisasi? Tentu saja tidak. Beberapa penerjemah yang kukenal mampu mengerjakan genre apa saja dengan baik. Toh dalam satu genre saja, aku masih menemukan mana yang kusuka dan mana yang tidak. Buku fantasi A lebih mudah kukerjakan daripada buku fantasi B karena buku fantasi B membuatku ingin menguap di setiap lembar halamannya. Jika masih ada teman penerjemah di luar sana yang terpaksa mengambil pekerjaan tidak sesuai dengan genre kesukaannya, hang in there. Jika penerbit menyadari bahwa ada beberpa genre yang lebih disukai penerjemah tertentu, dan si penerjemah ternyata mampu mengerjakannya jauh lebih baik daripada genre lain, maka penerbit juga akan mempertimbangkan untuk memberinya spesialisasi, dengan tujuan mendapat hasil maksimal. Ini yang kunamakan win-win solution.
Bagi teman-teman yang mampu mengerjakan semua genre dengan baik, selamat. Kalian adalah penerjemah idaman. Bagi orang-orang sepertiku yang memberi batasan pada genre-genre tertentu, banyak sekali penerbit, banyak sekali genre di dunia perbukuan, jika kita mengerjakannya dengan sepenuh hati, pekerjaan di luar sana banyak menanti.
Apa aku tidak takut dicap penerjemah sok pemilih? Tidak. Karena aku memilih untuk mengerjakan apa yang kusukai, karena aku memilih untuk tidak memberi hasil yang buruk, karena aku memilih untuk bersikap profesional. Dengan begitu, semakin sedikit kemungkinan aku mengecewakan banyak orang. Selamat bekerja :-)
Melihat pengalaman beberapa penerjemah (biasanya pada permulaan karier), mereka menerima jenis buku apa pun yang diutamakan penerbit. Dari yang kudengar, penerjemah pemula biasanya tidak bisa terlalu jadi pemilih. Ada kenalan (yang tidak perlu kusebutkan namanya di sini) yang pernah mengeluh, "Sebetulnya gue nggak suka genre ini, tapi apa boleh buat, ini yang disodorin penerbit." Aku tahu dia berusaha keras mengerjakannya dengan baik, meski butuh waktu lebih lama daripada mengerjakan genre kesukaannya.
Aku sendiri termasuk yang amat sangat beruntung. Sebelum menerima buku pertama untuk diterjemahkan, aku ditanya, "Kamu suka genre apa aja? Buku-buku yang paling kamu suka nanti yang bakal kita kasih ke kamu." Aku tahu kesempatan seperti ini jarang terjadi, maka aku bersyukur sekali. Sejak semula aku sudah menegaskan bahwa aku suka fantasi, horor, fiksi ilmiah, buku anak-anak dan remaja. Aku kurang suka fiksi dewasa yang mendayu-dayu dan penuh kejadian tragis. Dan jangan sekali-sekali memintaku menerjemahkan roman. Karena rasa romansanya akan hambar jika ditangani olehku. Berikan fiksi roman kepada mereka yang lebih ahli. Bukannya aku tidak pernah baca roman. Aku menyukai beberapa roman tertentu, terutama karya-karya klasik. Tapi untuk menerjemahkan, butuh 'nyawa' dan 'rasa' agar hasilnya menjadi 'hidup'. Aku tidak bisa memberikan itu untuk genre roman. Mengetahui batasan kemampuan diri sendiri sangat penting dalam pekerjaan ini. If I bite more than I can chew, aku bakal mengecewakan banyak orang. Dan batasan kemampuanku berhenti pada fiksi roman.
Maka, perlukah spesialisasi dalam menerjemahkan? Menurut diriku sendiri, perlu. Aku perlu memberi batasan mana yang mampu kukerjakan dan mana yang tidak agar hasilnya bisa maksimal. Menurutku sah saja jika seorang penerjemah meminta kepada penerbit agar tidak memberikan genre yang takkan mampu ditelannya. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
Contoh kecil saja, penerjemah bahasa Jepang jumlahnya masih sedikit sekali. Penerbit mungkin akan mencari seorang penerjemah Jepang mana saja untuk mengerjakan sebuah karya klasik, horor, fantasi, roman, dan sebagainya. Jika sedang tertimpa sial, penerbit akan memperoleh hasil terjemahan kacau balau jika si penerjemah tidak mampu memberi rasa kepada genre tertentu, tapi penerbit tidak punya pilihan lain. Mungkin saja si penerjemah Jepang lebih menyukai genre roman, dan ketika diberi tugas menerjemahkan genre horor, hasilnya kusut masai.
Dari pengalaman, aku melihat lebih banyak buku yang aslinya berbahasa non-Inggris dicari dulu terjemahan Inggris-nya, baru kemudian diserahkan kepada penerjemah dua-bahasa sepertiku untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Terjemahan dari terjemahan.
Penerjemah multibahasa rupanya harus lebih berhati-hati dalam memilih pekerjaan mana yang diterimanya. Jangan mentang-mentang aku bisa berbahasa Rusia, misalnya (I wish!) maka aku segera diminta menerjemahkan Anna Karenina versi asli yang terbit tahun 1878. Karena aku tidak tahan membaca buku itu. Membaca terjemahan Inggris-nya, aku berhasil melemparkan buku itu jauh-jauh setelah lima halaman (dan pastinya bukan disebabkan terjemahan Inggris yang buruk).
Apakah semua penerjemah harus memiliki spesialisasi? Tentu saja tidak. Beberapa penerjemah yang kukenal mampu mengerjakan genre apa saja dengan baik. Toh dalam satu genre saja, aku masih menemukan mana yang kusuka dan mana yang tidak. Buku fantasi A lebih mudah kukerjakan daripada buku fantasi B karena buku fantasi B membuatku ingin menguap di setiap lembar halamannya. Jika masih ada teman penerjemah di luar sana yang terpaksa mengambil pekerjaan tidak sesuai dengan genre kesukaannya, hang in there. Jika penerbit menyadari bahwa ada beberpa genre yang lebih disukai penerjemah tertentu, dan si penerjemah ternyata mampu mengerjakannya jauh lebih baik daripada genre lain, maka penerbit juga akan mempertimbangkan untuk memberinya spesialisasi, dengan tujuan mendapat hasil maksimal. Ini yang kunamakan win-win solution.
Bagi teman-teman yang mampu mengerjakan semua genre dengan baik, selamat. Kalian adalah penerjemah idaman. Bagi orang-orang sepertiku yang memberi batasan pada genre-genre tertentu, banyak sekali penerbit, banyak sekali genre di dunia perbukuan, jika kita mengerjakannya dengan sepenuh hati, pekerjaan di luar sana banyak menanti.
Apa aku tidak takut dicap penerjemah sok pemilih? Tidak. Karena aku memilih untuk mengerjakan apa yang kusukai, karena aku memilih untuk tidak memberi hasil yang buruk, karena aku memilih untuk bersikap profesional. Dengan begitu, semakin sedikit kemungkinan aku mengecewakan banyak orang. Selamat bekerja :-)
Published on July 19, 2010 21:56
June 23, 2010
Selamat jalan, Mbak Listiana Srisanti :'(
Mbak Lis, panutanku, mentorku, pahlawanku, akhirnya menyerah melawan kanker yang dideritanya sejak 2004 tadi pagi pukul 4 di RS Boromeus, Bandung. Beliaulah yang mengusulkan agar Harry Potter diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dan beliau mengerjakannya tanpa honor. Meski menderita kanker stadium 4, beliau bertekad untuk terus berjuang menerjemahkan dua buku Harry Potter terakhir.
Aku bertemu Mbak Lis pertama kali ketika dites untuk menjadi penerjemah, delapan tahun lalu. Aku ingat waktu itu aku tidak mampu bicara, hanya menatapnya kagum, seorang fan kepada idolanya. Aku bertekad untuk menjadi seperti beliau.
Salah satu penerjemah terbaik Indonesia telah tiada, karya-karya terjemahan beliau telah mengukir tempatnya dalam dunia literatur Indonesia. Hasil terjemahannya akan terus menjadi panutanku dalam belajar, kenangan tentang pertemuan-pertemuan kami, surat-surat elektroniknya kepadaku, senyumnya, semangatnya yang menular, nasihat-nasihatnya kepadaku, takkan pernah aku lupakan. Selamat jalan, Mbak Lis, bahagialah Mbak di sana...
Aku bertemu Mbak Lis pertama kali ketika dites untuk menjadi penerjemah, delapan tahun lalu. Aku ingat waktu itu aku tidak mampu bicara, hanya menatapnya kagum, seorang fan kepada idolanya. Aku bertekad untuk menjadi seperti beliau.
Salah satu penerjemah terbaik Indonesia telah tiada, karya-karya terjemahan beliau telah mengukir tempatnya dalam dunia literatur Indonesia. Hasil terjemahannya akan terus menjadi panutanku dalam belajar, kenangan tentang pertemuan-pertemuan kami, surat-surat elektroniknya kepadaku, senyumnya, semangatnya yang menular, nasihat-nasihatnya kepadaku, takkan pernah aku lupakan. Selamat jalan, Mbak Lis, bahagialah Mbak di sana...
Published on June 23, 2010 19:13
May 24, 2010
Behind the Scene: Crazy Acronyms
Satu lagi tantangan bagi penerjemah fiksi: akronim. Terjemahan sebisa mungkin menjadi akronim juga, dan kadang-kadang singkatannya pun memiliki arti. Mungkin tidak terlalu masalah jika aku hanya bertemu satu atau dua akronim yang berdiri sendiri. Seperti misalnya istilah AdviSeer yang kuterjemahkan menjadi Penasiramal. Atau ada judul bab berupa permainan kata "In FES Station" di mana FES-nya adalah Fee Every Stop, yang kuterjemahkan menjadi Stasiun Pusat (Pungutan Setiap Lewat). Tapi bagaimana jika akronim-akronim yang kutemukan itu bersambungan dan mirip satu sama lain?
Seperti ini:
POPS (Prompt, On Time, Punctual Service) menjadi Lecet: Layanan Tepat, Cepat dan Tangkas
PUPS (Patient, Understanding, Pleasant Service) menjadi Lemas: Layanan Pengertian, Menyenangkan dan Sabar
PIPS (Positive, Inspirational, Peaceful Service) menjadi Lampir: Layanan Damai, Positif dan Inspiratif
PIPS (Pleased, Inspired, Pleasantly-surprised Service) menjadi Lapuk: Layanan Asik, Penuh kejutan dan Unik
PEPS (Put-out, Exasperated, Pissed-off Service) menjadi Lakban: Layanan Kesal, Sebal dan Enggan.
Menantang kreativitas? Sangat. Melelahkan? Apalagi!
Seperti ini:
POPS (Prompt, On Time, Punctual Service) menjadi Lecet: Layanan Tepat, Cepat dan Tangkas
PUPS (Patient, Understanding, Pleasant Service) menjadi Lemas: Layanan Pengertian, Menyenangkan dan Sabar
PIPS (Positive, Inspirational, Peaceful Service) menjadi Lampir: Layanan Damai, Positif dan Inspiratif
PIPS (Pleased, Inspired, Pleasantly-surprised Service) menjadi Lapuk: Layanan Asik, Penuh kejutan dan Unik
PEPS (Put-out, Exasperated, Pissed-off Service) menjadi Lakban: Layanan Kesal, Sebal dan Enggan.
Menantang kreativitas? Sangat. Melelahkan? Apalagi!
Published on May 24, 2010 21:43
Behind the Scene: Crazy Password Poem
Di buku Erec Rex #1: Mata Naga terdapat sebuah puisi yang berisi kalimat sandi. Erec dan sahabatnya, Bethany, harus mencari kalimat sandi ini agar bisa menang dalam kompetisi Pencarian Laut. Erec dan Bethany berhasil menguraikan sandi setelah tersadar bahwa di setiap baris puisi terdapat satu kata yang berasal dari laut. Huruf depan masing-masing kata tersebut, jika disatukan, bakal menunjukkan kalimat sandinya.
Saat menerjemahkannya, rambutku yang memang sudah keriting menjadi semakin keriting gimbal, karena seringnya dijambak-jambak. Aku harus mencari satu kata yang berhubungan dengan laut untuk setiap baris puisi, terjemahan puisi tersebut harus terdiri dari 16 baris seperti aslinya, dan harus berakhiran berima. Dan tentu saja, terjemahan kalimat sandinya tidak boleh melenceng dari aslinya!
Ini kusebut sebagai cantik tapi tidak setia, tapi kalimat sandi tetap harus setia dengan aslinya:
I tide my shoes, it fits me well,
So I'll reef the expensive thing on,
Because I stubbed my undertow,
But now all my sand dollars are gone.
It's cold troutside and you're hungry, dear,
But, beach your life we'll have fun.
Before your kindness ebbs away,
Share my warm fire and current bun.
Only your friend, not your anemone, will say:
Your underwater's showing under your pants.
I sea you wear ruffly blue ones,
Like the Emperor Penguin of France.
We wave hello, and then goodbye,
Ice see you are almost done.
Gaze up to the twinkling, starfish sky,
Or eels you won't notice---you've won!
Sudah ketemu kalimat sandinya? Benar: "trust because wise". Bagaimana menerjemahkannya?
Jauh dari tepi pantai,
Banyak ekor berkelebat,
Rumput laut melambai-lambai,
Cumi-cumi berenang lewat.
Di balik anemon berwarna terang,
Si yellow goldfish mengintip,
Menghindari arus kencang,
Yang tak bisa dilawan sirip.
Ebi enak untuk disantap,
Tapi belut alot sekali.
Bersihkan dengan air anyap,
Jika bokongmu tertusuk bulu babi.
Anjing laut bertepuk tangan,
Disambut dansa si rajungan.
Kau menari bersama ikan,
Fosfor berpendar sambut kemenangan.
Kalimat sandinya menjadi "percaya sebab arif"...dan aku geletak selama seminggu setelah berhasil memenangkan pertarungan melawan puisi gila ini...
Saat menerjemahkannya, rambutku yang memang sudah keriting menjadi semakin keriting gimbal, karena seringnya dijambak-jambak. Aku harus mencari satu kata yang berhubungan dengan laut untuk setiap baris puisi, terjemahan puisi tersebut harus terdiri dari 16 baris seperti aslinya, dan harus berakhiran berima. Dan tentu saja, terjemahan kalimat sandinya tidak boleh melenceng dari aslinya!
Ini kusebut sebagai cantik tapi tidak setia, tapi kalimat sandi tetap harus setia dengan aslinya:
I tide my shoes, it fits me well,
So I'll reef the expensive thing on,
Because I stubbed my undertow,
But now all my sand dollars are gone.
It's cold troutside and you're hungry, dear,
But, beach your life we'll have fun.
Before your kindness ebbs away,
Share my warm fire and current bun.
Only your friend, not your anemone, will say:
Your underwater's showing under your pants.
I sea you wear ruffly blue ones,
Like the Emperor Penguin of France.
We wave hello, and then goodbye,
Ice see you are almost done.
Gaze up to the twinkling, starfish sky,
Or eels you won't notice---you've won!
Sudah ketemu kalimat sandinya? Benar: "trust because wise". Bagaimana menerjemahkannya?
Jauh dari tepi pantai,
Banyak ekor berkelebat,
Rumput laut melambai-lambai,
Cumi-cumi berenang lewat.
Di balik anemon berwarna terang,
Si yellow goldfish mengintip,
Menghindari arus kencang,
Yang tak bisa dilawan sirip.
Ebi enak untuk disantap,
Tapi belut alot sekali.
Bersihkan dengan air anyap,
Jika bokongmu tertusuk bulu babi.
Anjing laut bertepuk tangan,
Disambut dansa si rajungan.
Kau menari bersama ikan,
Fosfor berpendar sambut kemenangan.
Kalimat sandinya menjadi "percaya sebab arif"...dan aku geletak selama seminggu setelah berhasil memenangkan pertarungan melawan puisi gila ini...
Published on May 24, 2010 19:36
Lilac Towel
May 25th is the "Wear The Lilac" day for Sir Terry Pratchett (author of the Discworld series) who's been diagnosed of having a rare type of Alzheimer AND "Carry a Towel" day as a tribute for Douglas Adams (author of The Hitchhiker's Guide to the Galaxy). Er. Can I just wear a lilac towel?
More information here:
http://en.wikipedia.org/wiki/Towel_Day
http://www.matchitforpratchett.org/20...
More information here:
http://en.wikipedia.org/wiki/Towel_Day
http://www.matchitforpratchett.org/20...
Published on May 24, 2010 18:18
May 17, 2010
Pengumuman
Pengumuman 1:
Untuk teman-teman yg request friend-nya aku ignore di FB, mohon maaf sebesar-besarnya, karena account aku di sana bersifat pribadi. Bukan karena alasan lain kok. Silakan follow aku di Twitter (pdchusfani), di arweneldarin.multiply.com, kirim mail langsung ke bookaholic.hobbit@gmail.com, atau di sini. Terima kasih atas pengertiannya, mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung ya. Mohon maaf sebesar-besarnya sekali lagi.
Pengumuman 2:
Kalau di antara teman-teman ada yang mau membeli buku-buku terjemahanku langsung melalui aku, bisa dapat diskon 20%. Ini KHUSUS untuk anak-anak Goodreads Indonesia. Silakan hubungi Mbak Truly Rudiono (agen 007 Goodreads Indonesia). Terima kasih.
Untuk teman-teman yg request friend-nya aku ignore di FB, mohon maaf sebesar-besarnya, karena account aku di sana bersifat pribadi. Bukan karena alasan lain kok. Silakan follow aku di Twitter (pdchusfani), di arweneldarin.multiply.com, kirim mail langsung ke bookaholic.hobbit@gmail.com, atau di sini. Terima kasih atas pengertiannya, mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung ya. Mohon maaf sebesar-besarnya sekali lagi.
Pengumuman 2:
Kalau di antara teman-teman ada yang mau membeli buku-buku terjemahanku langsung melalui aku, bisa dapat diskon 20%. Ini KHUSUS untuk anak-anak Goodreads Indonesia. Silakan hubungi Mbak Truly Rudiono (agen 007 Goodreads Indonesia). Terima kasih.
Published on May 17, 2010 20:52
May 3, 2010
Menulis, Menerjemahkan, Menyunting dan Mengulas
Buatku, apa pun kegiatan yang kulakukan, kujadikan itu pembelajaran. Mulai dari mencuci piring (oh, kalau panci terbuat dari bahan ini, menggosoknya harus begini) sampai mengendalikan mobil di tanah berlumpur (kalau menekan gas segini, bakal terbalik nih). Apalagi jika membicarakan profesi. Menulis, menerjemahkan, menyunting dan mengulas adalah sumber pelajaran yang akan terus aku dapatkan sampai kapan pun.
Menulis adalah kegiatanku yang sudah mendarah daging. Bukan berarti hanya menulis novel atau artikel, tapi menulis dalam format dan media apa pun juga. Pertama kali aku menulis cerita lengkap adalah saat berusia enam tahun, meski hanya satu halaman buku tulis, tapi cerita itu memiliki awal, pertengahan, dan akhir. Dengan menulis aku belajar berkomunikasi, aku belajar bercerita kepada orang lain. Banyak membaca adalah salah satu pendukung dalam meningkatkan kemahiran menulis. Bagaimana membangun plot yang baik, bagaimana berbahasa yang baik, bagaimana menyampaikan suatu maksud kepada pembaca dan dimengerti. Semakin banyak aku menulis, semakin banyak pelajaran yang kudapatkan. "Menulislah tentang sesuatu yang benar-benar kauketahui" adalah nasihat bijak yang selalu kupegang. Untuk mengetahui sesuatu, aku harus mencari tahu, harus belajar. Maka riset adalah proses pembelajaran lain dalam menulis.
Menerjemahkan sudah menjadi profesiku selama tujuh tahun. Dengan menerjemahkan aku belajar untuk menyampaikan kembali maksud sang penulis dengan baik dan benar, tidak mengubah apa pun. Kemampuanku berbahasa asing terasah, begitu pula berbahasa Indonesia. Mengalihbahasakan sebuah naskah menuntutku untuk mencari padanan yang pas, gaya bahasa yang pas, dan menghormati sang penulis. Untuk beberapa naskah aku bahkan berkomunikasi langsung dengan penulisnya demi mendapatkan hasil maksimal.
Menyunting menuntutku mengasah bahasa asing dan bahasa Indonesia dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi, selain belajar untuk menjadi semakin jeli dan teliti. Dengan menyunting aku belajar menghormati sang penerjemah, tidak mengubah gaya bahasanya tapi hanya memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Ini membuatku menekan rasa egois yang bisa saja keluar dalam pikiran, "Kalau aku yang menerjemahkan, aku akan memakai gaya seperti ini, seperti itu, dan lain-lain." Memang terkadang aku mengganti beberapa kata dengan sinonim, tapi hanya jika terjadi pengulangan. Aku akan menghormati pilihan kata dan bahasa sang penerjemah, selama tidak melenceng dari naskah aslinya.
Mengulas buku untuk dinilai apakah layak diterbitkan di sini adalah pengalaman baru yang menyenangkan. Di sini aku belajar untuk menganalisis dengan subjektif, tidak hanya berdasarkan kegemaranku saja. Apa yang diinginkan pembaca di sini? Apakah kisah seperti ini akan mampu terjual? Apakah ada yang bertentangan dengan moral dan nilai-nilai yang dipegang oleh bangsa kita? Apakah naskah ini layak dibaca masyarakat luas?
Belajar adalah proses sehari-hari. Dari sekian kegiatan di atas, aku tidak bisa memilih mana yang lebih kusukai, karena masing-masing memiliki kelebihan. Selama masih berhubungan dengan buku, dengan senang hati aku belajar dan belajar lagi. Belajar adalah pilihan. Jika aku tidak belajar dari pengalaman dan dari orang lain, aku tidak akan bisa memberikan yang terbaik kepada pembaca. Dan itu sama saja seperti mencoreng profesi sendiri. Aku memilih untuk tidak mengecewakan, maka aku belajar.
Menulis adalah kegiatanku yang sudah mendarah daging. Bukan berarti hanya menulis novel atau artikel, tapi menulis dalam format dan media apa pun juga. Pertama kali aku menulis cerita lengkap adalah saat berusia enam tahun, meski hanya satu halaman buku tulis, tapi cerita itu memiliki awal, pertengahan, dan akhir. Dengan menulis aku belajar berkomunikasi, aku belajar bercerita kepada orang lain. Banyak membaca adalah salah satu pendukung dalam meningkatkan kemahiran menulis. Bagaimana membangun plot yang baik, bagaimana berbahasa yang baik, bagaimana menyampaikan suatu maksud kepada pembaca dan dimengerti. Semakin banyak aku menulis, semakin banyak pelajaran yang kudapatkan. "Menulislah tentang sesuatu yang benar-benar kauketahui" adalah nasihat bijak yang selalu kupegang. Untuk mengetahui sesuatu, aku harus mencari tahu, harus belajar. Maka riset adalah proses pembelajaran lain dalam menulis.
Menerjemahkan sudah menjadi profesiku selama tujuh tahun. Dengan menerjemahkan aku belajar untuk menyampaikan kembali maksud sang penulis dengan baik dan benar, tidak mengubah apa pun. Kemampuanku berbahasa asing terasah, begitu pula berbahasa Indonesia. Mengalihbahasakan sebuah naskah menuntutku untuk mencari padanan yang pas, gaya bahasa yang pas, dan menghormati sang penulis. Untuk beberapa naskah aku bahkan berkomunikasi langsung dengan penulisnya demi mendapatkan hasil maksimal.
Menyunting menuntutku mengasah bahasa asing dan bahasa Indonesia dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi, selain belajar untuk menjadi semakin jeli dan teliti. Dengan menyunting aku belajar menghormati sang penerjemah, tidak mengubah gaya bahasanya tapi hanya memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Ini membuatku menekan rasa egois yang bisa saja keluar dalam pikiran, "Kalau aku yang menerjemahkan, aku akan memakai gaya seperti ini, seperti itu, dan lain-lain." Memang terkadang aku mengganti beberapa kata dengan sinonim, tapi hanya jika terjadi pengulangan. Aku akan menghormati pilihan kata dan bahasa sang penerjemah, selama tidak melenceng dari naskah aslinya.
Mengulas buku untuk dinilai apakah layak diterbitkan di sini adalah pengalaman baru yang menyenangkan. Di sini aku belajar untuk menganalisis dengan subjektif, tidak hanya berdasarkan kegemaranku saja. Apa yang diinginkan pembaca di sini? Apakah kisah seperti ini akan mampu terjual? Apakah ada yang bertentangan dengan moral dan nilai-nilai yang dipegang oleh bangsa kita? Apakah naskah ini layak dibaca masyarakat luas?
Belajar adalah proses sehari-hari. Dari sekian kegiatan di atas, aku tidak bisa memilih mana yang lebih kusukai, karena masing-masing memiliki kelebihan. Selama masih berhubungan dengan buku, dengan senang hati aku belajar dan belajar lagi. Belajar adalah pilihan. Jika aku tidak belajar dari pengalaman dan dari orang lain, aku tidak akan bisa memberikan yang terbaik kepada pembaca. Dan itu sama saja seperti mencoreng profesi sendiri. Aku memilih untuk tidak mengecewakan, maka aku belajar.
Published on May 03, 2010 04:58


