Ketika Hanya Ada Kata
Saya percaya pada penciptaan makna di balik kata, terutama pada kata-kata sederhana.
ALMARHUM ayah saya pernah bertanya pada saya, ternyata cukup keji bila diingat-ingat lagi, “Mau kasih makan apa keluargamu nanti? Apa mereka bisa kenyang dengan kata-kata?” Pertanyaan itu kembali lagi ke ingatan saya hari ini, tatkala cuma sepi tergolek di sini. Saya masih ingat apa jawaban saya dan di kemudian hari ini yang menjadi motivasi utama saya dalam menulis, entah itu esai, entah itu puisi, entah itu cerpen, entah itu coret-coretan untuk diri sendiri.
“Pak, jangan khawatir. Kata-kata memang tidak bisa dimakan. Namun kata-kata yang saya tuliskan akan menjadi rejeki yang tak hanya mengenyangkan perut yang lapar, tetapi mengenyangkan mereka yang selama ini lapar sanubarinya.”
Sayang, ayah saya keburu meninggal sebelum saya bisa membuktikan. Pertanyaan ayah saya itu dipicu karena “kegilaan” saya dengan menulis. Ayah saya tahu persis, sejak saya pergi meninggalkan sekolah calon pastor di Mertoyudan, Magelang, kegiatan saya tak pernah jauh dari menulis. Bahkan di sekolah itu pun, di tengah kesibukan membuat lagu, komposisi, dan urusan kurikulum sekolah, saya disibukkan dengan kegiatan majalah dinding, mengurus administrasi majalah sekolah, menjaga perpustakaan dan membaca banyak sekali buku.
Usai dari sana lalu masuk ke universitas ternama di Jakarta, kembali lagi ayah saya menyaksikan saya menumpang memfotokopi ratusan lembar newsletter/majalah yang saya buat sendiri di mesin fotokopi kantor tempatnya bekerja, meminta uang untuk mencuci rol-rol film berisi liputan, menyisihkan uang tabungan untuk pergi ke percetakan, dan segala hal yang baginya membuat saya menjadi sosok yang susah dipahami dari perspektif seorang anggota BP-7, tokoh Golkar, dan Katolik sejati: saya hanya calon pastor gagal, aktivis anti-militer dan Orde Baru, dan atheis.
Saya kira pandangan yang sama tentang “kegilaan” juga melekat pada beberapa teman baik saya, semisal pada Andy Yentriyani. Suatu hari ia berkata, “Yang lo lakukan itu gila. Gue gak rela lo habis-habisan hanya untuk menghidupi media menulis ini.” Atau mungkin di banyak lainnya.
Saya tidak pernah menyanggah pandangan itu. Malah belakangan ini, terutama di pagi yang sepi ini, saya mengamini bila saya memang gila melakukan ini semua: menulis, membuat media, membangun jaringan, merawat pertemanan. Bahwa kegilaan itu tidak bisa dihentikan bahkan di umur yang sudah tak lagi muda ini, itu yang membuat saya meringis setiap kali teringat pertanyaan ayah saya.
Saya malah berolok-olok, ketika semuanya tidak musnah tiada dan yang tersisa hanya ada kata, maka saya akan menjadikannya bermakna. Setidaknya untuk diri saya sendiri agar tak merasa sepi.
Ketika saya menulis memori ini, tentang kata-kata, saya tersadar, ternyata sudah cukup lama saya tak menulis, entah itu esai, entah itu cerpen, entah itu puisi. Pantas saja sepi. Maka izinkan saya menulis lagi.


