Anak Ketiga

Cerpen Achmad Muchtar; Ilustrasi oleh Rian Gusman Widagdo.


MAS Anton sejak lama menginginkan anak laki-laki. Sudah dua kali dia mendampingi istrinya melahirkan tetapi tak kunjung melahirkan bayi laki-laki. Oleh karena itu, Mas Anton berencana mempunyai anak satu lagi dan anak itu harus berjenis kelamin laki-laki.


Bagi Mas Anton, bayi laki-lakinya kelak akan mewarisi dan tinggal di rumah barunya, karena biasanya anak perempuan setelah dikawinkan akan ikut suaminya. Mas Anton punya kekhawatiran, setelah anak-anaknya yang perempuan semua itu sudah menikah, rumahnya akan sepi ditinggal anak-anaknya yang ikut suami. Terlebih rumah yang dia anggap mewah itu tidak akan ada yang merawatnya ketika dia dan istrinya menjadi kakek-nenek.


Mas Anton sudah punya rumah sendiri, setelah ayahnya meninggal. Dia mewarisi kekayaan ayahnya dan kemudian memboyong keluarganya—istri dan kedua anak perempuannya—ke rumah barunya yang berada di belakang rumahku. Rumah itu merupakan satu-satunya yang menggunakan batako sebagai bahan bangunan di kampungku. Semua rumah di kampungku memakai batu bata yang dibuat sendiri oleh warga kampung yang berprofesi sebagai pembuat batu bata di sawah sebagai bahan bangunan. Kata Mas Anton, rumah orang-orang kota—tempat Mas Anton tinggal dulu—semuanya memakai batako. Mas Anton dulu tinggal di daerah kota sebelum membuat rumah di sini. Bisa dibilang rumahnya kecil, tetapi dihuni oleh banyak keluarga—termasuk keluarga Mas Anton.


Sudah sepuluh tahun, Mas Anton menikah dengan Mbak Sinta—kakakku—dan mereka dikaruniai dua anak yang ternyata perempuan semua. Saat kelahiran anak pertama, Mas Anton menyerahkan semua jenis kelamin anaknya kepada yang Kuasa. Karena merupakan kelahiran anak pertama, Mas Anton dulu tak mengharapkan bayinya akan berjenis kelamin apa, karena menurutnya, bayinya lahir dengan selamat dan tidak cacat pun sudah merupakan harapan. Lalu,  mereka dikaruniai anak perempuan dan mereka sangat bersyukur.


Setelah anak pertamanya besar dan sudah bersekolah, Mas Anton ingin mempunyai anak lagi. Kali ini, Mas Anton mengharapkan bayinya akan berjenis kelamin laki-laki. Tidak seperti kelahiran pertama yang jenis kelamin anaknya dia serahkan kepada Tuhannya—apakah jenis kelamin anaknya laki-laki atau perempuan, Mas Anton tidak masalah, yang penting sehat dan tidak cacat. Namun, kali ini dia mengharapkan agar anaknya berjenis kelamin sesuai dengan apa yang diharapkan. Kali ini pula dia tidak pasrah seperti kelahiran anak pertamanya. Dia sangat berharap istrinya mengandung bayi laki-laki dan dia sangat kecewa ketika Tuhan tidak mengabulkan apa yang dia harapkan. Ternyata, anak keduanya berjenis kelamin sama dengan anak pertamanya, bukan laki-laki. Kecewa yang melanda Mas Anton berangsur-angsur hilang lantaran orang-orang yang menjenguk Mbak Sinta, memuji bayinya yang cantik. Namun, Mas Anton tetap ingin mempunyai anak laki-laki.


Setelah anak-anaknya besar-besar, Mas Anton ingin mempunyai anak lagi. Hal ini sangat ditentang oleh ibuku. Ibuku merasa, sebagai suami, Mas anton kurang becus mengurus rumah tangga. Lihat saja kelakuan Mas Anton yang bermalas-malasan. Dulu, aku menganggap Mas Anton itu orang kaya karena saat dijodohkan dengan kakakku, dandanan Mas Anton sangat rapi dan bergaya anak kantoran. Dia juga selalu membawa makanan dan buah-buahan lezat dari kota. Motornya pun merek terbaru kala itu. Dia sering membelikan aku makanan dan mainan. Aku pun sering dia ajak jalan-jalan ke berbagai tempat wisata bersama Mbak Sinta. Ternyata, setelah aku besar dan mengerti, semua uang yang dia gunakan itu bukan uang hasil jerih payahnya. Itu uang ayahnya.


Aku sangat menyesal mempunyai kakak ipar yang pengangguran. Bayangkan, Mas Anton sudah dikaruniai dua anak dan dia tidak bekerja. Dia malah beperan sebagai istri dengan mengurusi anak-anaknya dan mencuci pakaian sedangkan Mbak Sinta susah payah banting tulang. Memang Mas Anton pernah bekerja, tetapi tidak tahan lama karena yang aku dengar, Mas Anton kurang suka dengan pekerjaannya. Katanya, Mas Anton itu lulusan teknik mesin, tetapi kerjanya tidak sesuai dengan jurusannya. Mungkin dia malu. Menurutku, bukan lelaki sejati namanya kalau bekerja kasar demi anak istrinya saja malu.


Sudah berkali-kali Mbak Sinta diperingatkan ibuku untuk segera berhenti bekerja dan memaksa Mas Anton untuk bekerja, tetapi Mbak Sinta tidak berani menyuruh suami, takut kualat katanya. Maka, saat mereka pindah rumah dari kota ke belakang rumahku, kabar tentang Mas Anton yang pengangguran padahal sudah beranak dua pun menyebar ke seluruh kampung. Malulah dia. Maka, Mas Anton pun mau ketika diajak ikut bekerja oleh warga kampung. Namun, baru beberapa hari, Mas Anton sudah sering absen. Kata warga kampung, Mas Anton tidak kuat dengan pekerjaannya yang harus berkotor-kotor ria, tetapi kata Mbak Sinta, Mas Anton sakit. Padahal yang aku lihat, Mas Anton tidak kelihatan sedang sakit.


Dulu, ketika Mas Anton membangun rumah di belakang rumahku, para warga kampung mengira, Mas Anton itu orang kaya dan mempunyai penghasilan yang besar karena bisa membangun rumah yang lumayan besar. Namun, ternyata segala dugaan itu meleset, uang pembangunan rumah itu bukan dari hasil keringat Mas Anton, melainkan jatah warisan dari almarhum ayahnya. Kebetulan, Ayah Mas Anton meninggalkan warisan yang lumayan melimpah kepada anak-anaknya yang berjumlah empat orang. Bisa jadi, Mas Anton membangun rumah itu tanpa keringat karena dia mempekerjakan buruh bangunan kampung sini. Dia tinggal memberi upah saja.


Dari situlah kejengkelan ibuku kepada Mas Anton semakin menjadi-jadi. Namun, ibuku tidak berani meluapkan kejengkelannya kepada Mas Anton langsung, tetapi dia luapkan pada Mbak Sinta. Ibuku memang tidak tega jika harus memarahi Mas Anton yang sudah tidak mempunyai ayah ditambah ibunya yang sudah renta. Dan puncaknya, ketika Mbak Sinta menceritakan pada ibunya kalau Mas Anton ingin mempunyai anak lagi. Ibuku langsung memarahi habis-habisan Mbak Sinta. Namun, Mbak Sinta malah membela Mas Anton. Katanya, Mas Anton ingin sekali mempunyai anak laki-laki dan dia akan bekerja lebih giat dan tidak akan malu lagi kalau harus berkotor-kotor ria. Dia sudah menjamin bahwa Mas Anton akan menerima gaji pertamanya minggu depan. Namun, ibuku tetap tidak bisa seratus persen setuju.


Untuk lebih meyakinkan ibuku, Mas Anton meminta izin secara langsung kepada ibuku. Katanya, dia akan bertanggung jawab dan berjanji untuk tidak membiarkan istrinya bekerja. Bagaimana ibu tidak luluh hatinya saat dia berjanji sambil mencium tangan dan berlinangan air mata. Ibuku memang mengizinkan, tetapi Mas Antonlah yang harus menafkahi Mbak Sinta dan ketiga anaknya kelak—kalau anak ketiga sudah lahir—dan Mas Anton pun berjanji.


Mbak Sinta dan Mas Anton lalu diberi resep oleh ibu agar kelak bayi yang dilahirkan Mbak Sinta berjenis kelamin laki-laki. Kata ibu, itu resep dari nenek moyang. Mulai dari makanan, ada pantangan dan ada anjuran, seperti Mbak Sinta diharuskan makan daging dan ikan asin, lalu Mas Anton diharuskan minum minuman berkafein. Ibuku menambahkan lagi anjuran, kali ini dengan suara bisik-bisik, dalam melakukannya, mereka tidak boleh sembarangan dengan asal ada nafsu, tetapi ibuku manganjurkan agar Mas Anton mandi air dingin dulu, dan waktu untuk melakukannya itu pun harus pada malam hari ketika bulan tampak hanya seperempatnya saja dari bumi, dan dilakukan pada tanggal-tanggal ganjil. Lalu, ibuku membisikkan sesuatu ke telinga Mas Anton, katanya dia harus miring dan Mbak Sinta harus menikmati lebih dulu. Entah apa yang dikatakan ibu barusan aku tidak tahu. Mas Anton hanya manggut-manggut dan tersipu malu. Lalu, ibu juga membisikkan sesuatu ke telinga Mbak Sinta, katanya, bilas dengan soda sampai bersih, aku tidak tahu apa yang dibilas, mungkin rambutnya yang panjang ketika mandi.


Setelah itu, aku melihat Mas Anton dan Mbak Sinta sering berdua dan tidak memedulikan kedua anaknya. Kedua anaknya sering dititipkan pada ibuku dan kedua anaknya sesekali  menginap di kamarku. Itu membuatku tidak nyaman. Untuk urusan jajan pun, kedua anak ini selalu minta kepada ibuku yang sehari-harinya berdagang di pasar. Hal ini sangat menjengkelkan karena uang sakukulah yang menjadi korban. Maklum, Mbak Sinta sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai karyawati perusahaan rokok setelah dia hamil.


***


Sembilan bulan kemudian, Mas Anton tampak harap-harap cemas dengan kelahiran anak ketiganya. Namun, dia sesekali optimis, sebab hasil pemeriksaan USG menyatakan kalau jenis kelamin anaknya kemungkinan besar laki-laki. Maka, saat istrinya melahirkan, dia siap siaga dan menyaksikan sendiri proses kelahiran anak ketiganya. Mas Anton terkejut dan kecewa. Ternyata anak ketiganya berjenis kelamin perempuan. Kekecewaannya pun sama seperti ketika dia mendapatkan telepon dari bosnya kalau dia dipecat karena terlalu sering minta izin untuk menemani istrinya. Aku turut berduka cita.


Bantul, 25 Januari 2014


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 14, 2016 23:00
No comments have been added yet.