April Mop

Cerpen Achmad Muchtar; Ilustrasi oleh Rian Gusman Widagdo.


BERAPA lama lagi aku harus memendam rasa. Bukankah rasa yang tak terucap selamanya akan menggerogoti hati dan pikiran? Anak-anak di bawah umur sekarang banyak yang sudah berpacaran. Setidaknya, mereka mengklaim pernah pacaran—aku terkekeh lantaran mungkin pacaran yang dimaksud hanya ikut-ikutan orang dewasa. Lucu. Mereka bisa dengan lancar mengucapkan perasaannya.  Terlepas menganggapnya sebagai guyonan belaka. Namun, mereka memang lebih berani daripada orang sebesar aku.


Orang bilang, cinta itu indah. Aku tak percaya bukan berarti aku pernah tersakiti oleh cinta. Namun nasibku sebagai seseorang yang mungkin akan single selamanya. Mengaku-ngaku bahwa single itu prinsip dan jomblo itu nasib. Sebenarnya aku berkata lain. Aku butuh seseorang untuk mendampingi hidupku karena aku tak mau jika ke mana-mana sendiri. Sudah terbiasa dengan melihat pasangan-pasangan memadu kasih, membuatku bercermin.


Aku tidak meludah ketika menatap bayangan mayaku. Aku tidak kelaparan setiap pagi. Aku berganti baju yang tidak sama setiap hari. Tiap bulan aku mendapat gaji. Uangku melimpah bukan berarti aku sudah bisa tenang. Aku semakin cemas. Sudah saatnya aku menikah.


Di mata orang-orang, aku sempurna. Tak terasa berapa puluh perempuan yang telah kutolak. Aku tahu, Ibu, aku memang sudah saatnya menikah. Apalagi rumah ini sepi. Bukan berarti dengan mengenalkan perempuan-perempuan kepadaku lantas membuatku laku. Kodrat laki-lakiku terancam. Lebih baik aku mencari sendiri siapakah pendampingku.


Batinku terasa goyah. Beban psikologis kuhadapi. Cemooh orang yang menganggap aku tidak suka perempuan semakin meremas otak. Aku menganggapnya sebagai lelucon yang tak lucu tentunya. Biarkan saja. Celakanya, jika aku tak sendiri, aku selalu berdua dengan laki-laki. Lipatan dahiku makin rapat―pantesan.


Sepi di setiap malam minggu adalah tangisanku. Film-film romantis pun aku anggap sebagai film horor tragis. Aku sangat membenci genre film ini. Bukan berarti aku tak punya hati, hanya benci jika harus menonton orang-orang yang berpasangan memadu kasih. Tidak hanya melalui film aku menangis ketika melihat pasangan memadu kasih, ketika hadir di pesta pernikahan pun aku bersembunyi. Merengek-rengek meminta seorang perempuan untuk pura-pura menjadi pasangan pun agaknya tidak masuk akal—aku terkekeh.


Saudara-saudara mendesak. Semakin terhimpit saja aku pada tuntutan sosial. Bukankah hidup itu pilihan? Kenapa orang lain mesti ikut campur? Lucu. Memang kehidupan tak lain berupa panggung komedi belaka. Semuanya lucu―aku terkekeh dan terkekeh lagi.


Di tiap malam tak henti-hentinya aku berdoa. Hingga aku telah merasakan kejenuhan dalam berdoa. Aku sudah hafal kalimat apa saja yang aku ucapkan. Aku bosan mengucapkan satu nama yang berulang-ulang kuturutkan dalam doa, tapi nihil.


Namanya Annisa, naluri lelakiku tergugah untuk melindunginya. Muncul suatu perasaan ingin menjaganya. Ingin menjadi sandaran hatinya. Hanya dia. Namun, sepertinya kata-kataku sudah terpenjara dan kuncinya telah hilang hingga tak ada seorang pun bisa membukanya. Inilah aku. Hanya bisa mengagumi tanpa bisa mengatakan.


Aku percaya setiap orang pasti pernah merasakannya. Rasa cinta yang berkecamuk di mana mulut tertutup. Hanya mata yang mungkin berbicara. Sialnya, tidak setiap perempuan mampu membaca mata lelaki. Bahkan tak jarang menganggapnya hidung belang.


Bukan kecantikan yang membuatku mengaguminya. Insting lelakikulah yang memberi pertanda, dia layak menjadi pendampingku. Cantiknya memang sudah terkenal, sebagai pujaan setiap lelaki normal. Semua tahu bahwa anak santri itu tak hanya cantik dari luar. Sempurna.


Bukan soal aku lelaki atau bukan jika aku tak mampu mengucapkannya. Aku masih percaya siapa pun pasti pernah mengalaminya. Aku yakin yang berhasil mengungkapkannya pasti dibantu oleh peri cinta dengan panahnya. Aku percaya para peri cinta tak akan mendekati orang yang rajin beribadah. Apalagi seorang santri. Aku terkekeh dengan anggapanku sendiri ini. Lelucon yang kuciptakan sendiri, yang menurutku tak lucu―aku terkekeh lagi.


Bukankah setiap orang berjodoh? Namun, hanya sedikit orang yang mempunyai jodoh orang yang dicintainya. Kalau aku menikah dengan Annisa, aku yakin aku mendapat jodoh sekaligus cintaku. Ah, bagai pungguk merindukan bulan. Ilmu agamaku tak ada apa-apanya dengan ilmu agama yang ia peroleh dari pesantren. Aku berkaca.


Barusan temanku memberikan satu pertanyaan bodohnya: Apakah aku pernah mengagumi seorang perempuan? Entah mengapa aku tiba-tiba salah tingkah. Aku merasa tersudut. Aku merasa ditelanjangi dengan tatapan di balik kacamatanya. Kemudian hening. Dikiranya aku tak pernah punya rasa dengan perempuan―aku kembali terkekeh.


Aku berkaca. Gila. Pertanyaan bodoh seperti itu bisa membuatku tak bisa bergerak. Pertanyaan bodoh yang menusuk naluriku. Memang aku belum pernah pacaran. Namun, dalam hal mengagumi seseorang, aku pernah, bahkan sering. Anggapan agama yang mengklaim bahwa pacaran itu dosalah yang menjadi tameng ketika pertanyaan yang lagi-lagi kuanggap bodoh itu kudengar.


Parahnya lagi, ketika aku menghadiri pesta perkawinan, aku paranoid. Aku sedih lantaran harus datang sendiri. Membeli kado dan membawanya seorang diri. Pertanyaan bodoh bermunculan: kapan kawin? Aku hanya tersenyum kecut. Aku tidak akan menjawab Maymaybe yes, maybe no. Lha wong aku belum punya pasangan, kok, ditanya kapan kawin? Orang-orang semakin lucu saja dengan pertanyaan bodohnya. Kalaupun pertanyaan bodoh itu terjawab, juga kelak bakal ada bertanyaan bodoh lagi yang muncul lalu muncul lagi pertanyaan bodoh yang sangat mudah ditebak.


Disangka tidak suka perempuan, kini aku merasa dilema. Kalau tidak pergi dengan teman laki-laki, ya aku pergi sendirian. Teganya. Tak selamanya sendiri itu bebas. Aku malah tertekan. Ketika makan di restoran sendirian, aku sulit mencerna makanan. Lihat, banyak pasangan di masing-masing meja. Sedangkan aku, berpasangan dengan kosong. Jika restoran penuh, terpaksa aku harus menangis berhadapan dengan sepasang orang di satu meja makan. Nasib.


Terus kuyakini dan kuhayati dalam hati, mencoba membenarkan bahwa sendiri itu lebih baik. Persetan orang mengiming-imingi bahwa mempunyai pasangan itu bahagia. Ah, aku abaikan saja anggapan ini. Memang aku kesepian, namun aku sangat menikmatinya.


Aku kurang yakin bisa menikah sebelum umur 26 tahun, karena hari pertama April esok mungkin terlalu menyedihkan. Apa ada waktu lain untuk menyembunyikan maluku? Pikiranku berkecamuk menatap kalender dan pandanganku terfokus tanggal yang kulingkari. Sudah saatnya aku menikah. Aku sudah dewasa. Menurutku menikah itu merupakan tuntutan sosial untuk bisa berbaur dengan masyarakat―aku terkekeh.


Kumisku semakin tebal membuatku harus sering-sering mencukur. Sebelum berkepala tiga, aku harus memberi kado terindah buat Bunda. Tekanan batin telah menyeruak berteriak dalam alam bawah sadar. Terpendam terlalu dalam. Sebuah kata cinta yang terpenjara di mana kuncinya tak pernah bisa ditemukan lagi. Hanya dia.


Dia memang cantik, tapi sekali lagi kukatakan bahwa bukan kecantikannyalah yang membuatku yakin bahwa dia jodoh sekaligus cintaku. Terlepas apakah dia mengetahui perasaanku sebelum aku mengatakan sebuah kepastian itu. Naluri lelakikulah yang membuat radar-sinyal untuk menjaganya, untuk melindunginya. Setiap wanita memang menagih kesetiaan kepada setiap lelaki untuk menjadi penjaganya.


Ada perasaan tidak pantas ketika membayangkan dia menjadi istriku. Tak perlu ditanya lagi. Perempuan sesempurna dia memang hanya cocok bagi lelaki yang sempurna pula. Aku kembali berkaca. Mungkinkah aku sesempurna apa yang dia pikirkan mengenai lelaki idamannya?


Dia memang teka-teki. Bahkan bagi orang yang sudah mengenalnya sejak SD. Payah. Tak pernah aku bisa membaca hatinya. Semenjak kami sama-sama menjadi remaja, jarak kami menjauh. Tentu karena tuntutan agama, juga sosial. Lagi-lagi aku terkekeh. Tuntutan sosial membuat orang-orang semakin terkungkung pada aturan yang menyedihkan.


Karena tuntutan sosial dan kebetulan esok adalah hari jadiku, maka mungkin inilah rencana besar yang kususun untuk hari ini dengan menaruh harapan pada peri cinta. Semoga saja. Bukankah dia hanya perlu menjawab: ya atau tidak? Itu saja. Tapi aku dilanda kegalauan. Apakah dia mau menerimaku?


***


PESTA dimulai. Aku telah mempersiapkan semuanya. Aku cukup beruntung mempunyai tanggal lahir 1 April. Ratusan undangan hadir dengan pasangan dan kado mereka. Hidangan di tepi kolam renang ramai disantap. Tak kulihat dia dimanapun. Apakah dia tidak akan datang? Jelas-jelas dia kemarin berjanji akan datang di hadapanku tapi sampai menjelang tengah malam dia belum juga hadir. Kutanya sahabat dekatnya. Annisa tadi datang, coba kamu tengok halaman rumah, katanya.


Kubuktikan, Annisa memang berada di halaman depan. Sayangnya dia telah berpasangan dengan seorang lelaki. Sial. Skenarioku gagal. Sebenarnya aku ingin menyatakan cinta dan aku menunggu hari ini, sebab aku bisa beralasan April Mop jika saja Annisa menolak cintaku.


Bantul, 25 Mei 2013


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 01, 2016 05:00
No comments have been added yet.