Fakta dalam Fiksi
Waktu saya duduk di SMA kelas 1, tiga tahun setelah saya memutuskan bahwa cita-cita saya adalah menjadi penulis, guru bahasa Indonesia memberikan tugas menulis cerpen dengan tema bebas.
Wah! Ini kesempatan emas! Jarang sekali ada tugas seperti ini!
Entah bagaimana sistem pendidikan sekarang, saya sudah lama tidak sekolah…hehehe..(dilarang nebak umur!!). Setelah bermukim di negara Barat dan punya anak, mata saya jadi terbuka. Kurikulum luar itu sangat menghargai creative thinking. Setiap minggu anak saya diberi PR presentasi. Dia harus menyiapkan ‘news’ (bahan cerita) yang harus dia ceritakan di depan kelas. Apa saja temanya, boleh tentang ‘my weekend’ atau ‘my favourite thing’. Ini dari sejak TK lho ya, umur 5 tahun. Plus, di sekolah tiap minggu dia harus menulis diary tentang apa saja yang dia mau, ditambah gambar2. Jadi seperti karangan singkat.
Anyway, balik ke cerita saya.
Sebagai seorang bakal penulis, saya menanggapi tantangan yang jarang ada itu dengan sangat serius. Tema yang saya pilih adalah tema horor. Ini kejadian nyata. Waktu adik saya masih kecil, dia melihat bayang2 Engkong di sebuah kamar yang gelap. Padahal Engkong sedang dirawat di rumah sakit, dan tiga hari berikutnya, dia meninggal. Fenomena yang sering kita dengar yah..entah apa itu, mungkin arwahnya sudah jalan-jalan sewaktu dia koma.
Cerita inilah yang saya angkat dalam cerpen saya dan saya pamer2kan ke teman-teman yg duduk di sebelah2 saya. Saya bangga karena berani mengambil tema yang unik, apalagi based on true story.
Seminggu kemudian guru selesai membaca dan menilai. Tidak disangka, dia dari ‘singgasana’ nya di depan kelas mengkritik tulisan saya.
“Di cerita ini disebutkan bahwa adik penulis yang berusia tiga tahun menangis keras-keras, dan penulis baru tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah mereka besar dan membahas kejadian di masa lalu itu. Anak umur tiga tahun sudah lancar berbicara. Seharusnya itu bisa dikomunikasikan saat kejadian. Kisah ini tidak masuk akal.”
JEDERRR…saya merasa ditampar di muka..walaupun guru itu tidak menyebut nama saya, tapi teman2 yang sudah saya pamer2in itu tentu saja tahu. Sejak saat itu saya jadi berhati-hati sekali dalam menulis. Sefiktif apapun cerita saya, ada fakta2 yang harus diperhatikan. Dan ini sedikit banyak menghantui saya, sehingga mungkin, saya tidak akan pernah bisa menulis cerita super fiktif macam Harry Potter atau genre sci fi.
Sewaktu menulis Only Hope kemarin, karena format-nya dibuat per hari, saya sampai men-download runutan peristiwa tsunami dan ledakan PLTN Jepang per hari, dan bahkan saya cari tahu persisnya jam berapa gempa terjadi, serta gempa-gempa susulannya. Supaya saya tidak menyisakan ruang bagi orang yang mengalami sendiri/tahu betul dan kemudian bilang, “Ngaco tuuh!!!”
Wah! Ini kesempatan emas! Jarang sekali ada tugas seperti ini!
Entah bagaimana sistem pendidikan sekarang, saya sudah lama tidak sekolah…hehehe..(dilarang nebak umur!!). Setelah bermukim di negara Barat dan punya anak, mata saya jadi terbuka. Kurikulum luar itu sangat menghargai creative thinking. Setiap minggu anak saya diberi PR presentasi. Dia harus menyiapkan ‘news’ (bahan cerita) yang harus dia ceritakan di depan kelas. Apa saja temanya, boleh tentang ‘my weekend’ atau ‘my favourite thing’. Ini dari sejak TK lho ya, umur 5 tahun. Plus, di sekolah tiap minggu dia harus menulis diary tentang apa saja yang dia mau, ditambah gambar2. Jadi seperti karangan singkat.
Anyway, balik ke cerita saya.
Sebagai seorang bakal penulis, saya menanggapi tantangan yang jarang ada itu dengan sangat serius. Tema yang saya pilih adalah tema horor. Ini kejadian nyata. Waktu adik saya masih kecil, dia melihat bayang2 Engkong di sebuah kamar yang gelap. Padahal Engkong sedang dirawat di rumah sakit, dan tiga hari berikutnya, dia meninggal. Fenomena yang sering kita dengar yah..entah apa itu, mungkin arwahnya sudah jalan-jalan sewaktu dia koma.
Cerita inilah yang saya angkat dalam cerpen saya dan saya pamer2kan ke teman-teman yg duduk di sebelah2 saya. Saya bangga karena berani mengambil tema yang unik, apalagi based on true story.
Seminggu kemudian guru selesai membaca dan menilai. Tidak disangka, dia dari ‘singgasana’ nya di depan kelas mengkritik tulisan saya.
“Di cerita ini disebutkan bahwa adik penulis yang berusia tiga tahun menangis keras-keras, dan penulis baru tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah mereka besar dan membahas kejadian di masa lalu itu. Anak umur tiga tahun sudah lancar berbicara. Seharusnya itu bisa dikomunikasikan saat kejadian. Kisah ini tidak masuk akal.”
JEDERRR…saya merasa ditampar di muka..walaupun guru itu tidak menyebut nama saya, tapi teman2 yang sudah saya pamer2in itu tentu saja tahu. Sejak saat itu saya jadi berhati-hati sekali dalam menulis. Sefiktif apapun cerita saya, ada fakta2 yang harus diperhatikan. Dan ini sedikit banyak menghantui saya, sehingga mungkin, saya tidak akan pernah bisa menulis cerita super fiktif macam Harry Potter atau genre sci fi.
Sewaktu menulis Only Hope kemarin, karena format-nya dibuat per hari, saya sampai men-download runutan peristiwa tsunami dan ledakan PLTN Jepang per hari, dan bahkan saya cari tahu persisnya jam berapa gempa terjadi, serta gempa-gempa susulannya. Supaya saya tidak menyisakan ruang bagi orang yang mengalami sendiri/tahu betul dan kemudian bilang, “Ngaco tuuh!!!”
Published on November 27, 2014 03:11
No comments have been added yet.


