De Sentimentalism Quotes

Quotes tagged as "de-sentimentalism" Showing 1-1 of 1
Titon Rahmawan
“PANGKUR: Tubuh yang Ditanggalkan Cuaca

Langit pecah.
Bumi menerima sisanya: mayat cuaca yang membeku di atas punggung manusia.
Air turun tanpa ampun—bukan hujan,
melainkan penderitaan yang kehilangan tempat berpijak.

Tubuh-tubuh tergeletak seperti huruf-huruf patah
yang tak sanggup lagi membentuk doa.
Di sela retakan tanah,
ada bisik yang mungkin hembusan terakhir napas Tuhan yang kelelahan,
atau hanya suara angin yang menolak membawa nama-nama kita.

Air melesat dari segala penjuru
seperti pemburu mengejar mangsa,
melumpuhkan harapan, ingatan,
kemanusiaan.
Ia turun sebagai fenomena, bukan pesan atau teguran:
sebagai kadar yang tak tertanggungkan.

Air mata membeku seperti tulang tua.
Jalan tenggelam dalam dendam.
Setiap langkah memantulkan gema
dari sesuatu yang lama mati,
tapi belum selesai dikuburkan:
hutan ingatan.

Rimbun cahaya bergulung
seperti batang kayu terpenggal
di bawah cahaya yang dingin.
Angka mengambang ratusan
jumlahnya
serupa wajah-wajah saling melewati
tanpa saling mengenal,
seolah mata mereka terbuat dari beling
yang baru saja diangkat dari perut api.

Ribuan gergaji jatuh di tanah.
Tak ada suara.
Hanya getarnya yang merayap di pori-pori bumi,
menyentuh dengkul manusia
yang tiba-tiba ingin runtuh.

Kata-kata saling menikam di layar kaca
tanpa niat, tanpa dendam pribadi.
Hanya refleks dari kelelahan yang terlalu tua,
terlalu lama menunggu belas kasihan
dari langit yang kini berlubang
sebesar telapak tangan raksasa.

Di mata kita, luka mengeras seperti kerak besi.
Di dada kita, sesak berkibar seperti bendera yang setengah ditelan lumpur.
Manusia berjalan seperti bangkai
yang belum selesai dikremasi,
menyisakan bau asin kemanusiaan
yang remuk.

Segala keegoisan berhamburan di jalan:
orang-orang saling mendahului, saling memotong napas,
berebut udara seakan oksigen hanya untuk satu dada.
Kedunguan merayap di ubun-ubun
seperti jamur hitam yang tumbuh pada bangkai pohon tumbang.

Ada bayi diangkat dari air—
suara tangisnya pendek, hampir mirip batuk rejan.
Ada ibu yang memeluk nama anaknya
tanpa bisa lagi menemukan tubuhnya.

Di kejauhan,
seekor anjing berdiri di atas atap rumah—
matanya merah, bukan karena marah,
tapi karena dunia telah menolak mengenangnya.

Mawar liar terhanyut di selokan:
keindahan yang diinjak tanpa sengaja, tanpa rasa.
Air melahap kelopaknya
secepat manusia melupakan peristiwa.

Bau bangkai menyelinap ke bulu mata.
Pekat lumpur bercampur asin keringat, menempel seperti dendam tua
yang tak pernah berhasil ditebus
oleh siapa pun.

Meraba denyut lirih
paru-paru bumi yang tersengal
seperti ingin berhenti bernapas.
Baru menyadari—
yang tenggelam bukan hanya tubuh,
melainkan sisa kesadaran yang dulu pernah menyebut dirinya manusia.

Desember 2025”
Titon Rahmawan