Puisi Quotes

Quotes tagged as "puisi" Showing 1-30 of 615
Chairil Anwar
“Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”
Chairil Anwar

Sapardi Djoko Damono
“Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang,
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.”
Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono
“JARAK

dan Adam turun di hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit; kosong sepi”
Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni

Chairil Anwar
“sekali berarti sesudah itu mati”
Chairil Anwar

Goenawan Mohamad
“Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cincong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk pemikiran, untuk puisi—seperti kenyataan tentang cinta dan mati?”
Goenawan Mohamad, CATATAN PINGGIR 2

“ke Lethe, murung penuh hantu memandang
bintang dan neraka
menjemur mereka dan aku.”
Bagus Dwi Hananto, Dinosaurus Malam Hari
tags: puisi

Usman Awang
“Tajam keris raja, tajam lagi pena pujangga.”
Usman Awang

Helvy Tiana Rosa
“Kita perlu jatuh cinta atau patah hati untuk dapat membuat puisi yang bagus.”
Helvy Tiana Rosa

Leila S. Chudori
“Dan bibirnya adalah sepotong puisi yang belum selesai. Aku yakin, hanya bibirku yang bisa menyelesaikannya menjadi sebuah puisi yang lengkap.”
Leila S. Chudori, Pulang

Goenawan Mohamad
“Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin.”
Goenawan Mohamad, CATATAN PINGGIR 3

Helvy Tiana Rosa

Puisi bisa menjadi semacam magnet yang melekatkan kita pada seseorang, bahkan bila kita membencinya. Puisi yang kita tak tulis tak akan perah mati, bahkan bila kita mati.”
Helvy Tiana Rosa, Risalah Cinta

Kassim Ahmad
“Kian lama kita mati dalam setia
Kali ini kita hidup dalam durhaka!”
Kassim Ahmad
tags: puisi

Sam Haidy
“Malam adalah ladang pembantaian abadi
Jiwa-jiwa tandus yang digerus sepi
Yang tak menyisakan apa-apa selain puisi”
Sam Haidy, Malaikat Cacat

Sam Haidy
“Senja melarutkanku di batas waktu
Ketika ada dan tiada sejenak menyatu
Ada yang beringsut menjauh
Ada yang perlahan merengkuh

Bayanganku mengais sisa terang
Sebelum terkubur malam panjang”
Sam Haidy, Nocturnal Journal

“Delusi leluasa beranjak dari linimasa, menerka jarak dari lesatnya sang warsa.

Kau tau kenapa kata ingin itu ada?
Itu karena kata butuh masih terasa begitu asing di kepala.”
Robi Aulia Abdi

Goenawan Mohamad
“Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.”
Goenawan Mohamad, CATATAN PINGGIR 3

Avianti Armand
“Di baris ke tujuh sebelah kiri, empat kursi dari
ujung, Tuhan duduk dan menangis. Di
tangannya tergenggam sebuah dadu. Pada
semua sisinya tertulis: dosa.”
Avianti Armand, Perempuan Yang Dihapus Namanya
tags: puisi

Goenawan Mohamad
“Seseorang pernah mengatakan, guna puisi adalah dengan hadir tanpa guna. Ia tak bisa dijual. Ia menegaskan tak semua bisa dijual.”
Goenawan Mohamad, Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali
tags: puisi

Sam Haidy
“Manakala hidup terasa menjepit
Tengadahlah ke langit
Di sana kau akan melihat
Bebanmu menyusut berjuta kali lipat”
Sam Haidy

“Dulu kita pernah tertawa,
bahkan berbagi senja sepiring berdua.

Dulu kita pernah merdu di telinga,
namun kini ia hanya sebatas kata.”
Robi Aulia Abdi

“Rindu adalah rezim yang tak pernah bisa dikudeta.”
Ilham Gunawan

Sam Haidy
“Ada yang perlahan binasa setiap kali puisi tercipta.
Ia selalu meminta nyawa dari kenangan atau impianmu.
Ia tak segan merampas tidurmu dan meretas bangunmu.
Kelak, ia akan terus bersuara dari dalam kuburmu....”
Sam Haidy, Malaikat Cacat

“Rindu adalah perkara ruh, bukan perkara jasad. Merindukanmu barangkali omong kosong yang masuk akal. Sedangkan, perpisahan hanyalah perkara mata dan ingatan, sama sekali tak berlaku pada hati dan jiwa.”
Ilham Gunawan

“Bahasa terpisah daripada tulisan jati diri, membawa tajam tapi tak menikam.”
Shapiai Mohd. Ramly

“Sebuah puisi adalah suatu pengalaman kehidupan yang terungkap - betapapun sukar dalam kesakitan; dan dalam kesempatan.”
Leo AWS, Gelombang Cengkerama dan Tsunami
tags: puisi

“Pelukmu bagiku adalah teduh, tempat berlabuh segala asa yang tiba untuk berkeluh.”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)

Titon Rahmawan
“ARSIP YANG TIDAK PERNAH MEMBUTUHKAN NAMA

Aku tidak lahir.
Aku dicatat.

Bukan dengan doa,
melainkan dengan ukuran:
panjang leher, kejernihan kulit,
ketenangan yang bisa dijual.

Di mana pun aku muncul,
prosedurnya sama.

Istana—
atau gereja,
atau senat,
atau ruang pengadilan—
hanya berbeda arsitektur.
Koridornya selalu sama:
sempit, panjang, suara bisikan
yang bekerja seperti mata uang.

Di sana keputusan tidak dibuat,
hanya dipindahkan
sampai menemukan tubuh
yang cukup lunak
untuk menampung kesalahan.

Aku pernah dipanggil selir.
Di negeri lain aku dipanggil ratu.
Di tempat lain lagi
aku tidak dipanggil apa pun—
hanya dituding.

Tuduhannya berubah-ubah:
terlalu cantik,
terlalu cerdas,
terlalu subur,
terlalu mandul,
terlalu sunyi,
terlalu terlihat.

Mekanismenya tetap sama.

Ketika lumbung kosong
dan tentara mulai menghitung hari,
ketika iman retak
dan suksesi macet,
ketika negara kehabisan bahasa,
mereka memerlukan satu hal
yang cepat dan murah.

Tubuh.

Mereka menyebutnya cinta
agar keputusan tidak terdengar seperti pisau.

Mereka menyebutnya iman
agar darah tampak suci.

Mereka menyebutnya hukum
agar tidak perlu menjawab apa pun.

Aku pernah menari
sambil ditimbang.

Aku pernah menulis
dan tulisanku dijadikan jerat.

Aku pernah melahirkan harapan
lalu dipenggal
agar garis keturunan tetap rapi.

Aku pernah dikurung lama
supaya kematianku tampak sah.

Di satu arsip aku dikenang
sebagai bunga yang menjatuhkan kerajaan.
Di arsip lain
sebagai leher yang menghalangi stabilitas.
Di arsip lain lagi
sebagai bid’ah yang perlu dibersihkan.

Nama-namaku tercecer:
Hypatia,
Xiao Guanyin,
Anne Boleyn—
dan banyak yang bahkan tidak sempat ditulis.

Nama bukan inti.
Ia hanya label pada berkas.

Perhatikan baik-baik:
aku tidak pernah diadili
karena apa yang kulakukan,
melainkan karena waktu
memerlukan akhir yang cepat.

Aku mati
bukan karena salah,
melainkan karena fungsi.

Mereka selalu berkata:
“Demi ketenangan.”

Dan ketenangan
selalu menuntut
satu leher yang tidak membalas,
satu suara yang bisa dihentikan
tanpa gempa administratif.

Setelah itu,
sejarah dibersihkan.

Puisi ditulis.
Doa disusun.
Lukisan digantung.

Kesedihan dipelihara
agar pertanyaan mati.

Aku tidak menjadi arwah.
Aku menjadi contoh.

Bukan agar dihindari,
melainkan agar diulang
dengan lebih rapi.

Lihatlah sekelilingmu.
Nama boleh berganti.
Pakaian boleh berubah.
Bahasanya tetap Eufemisme.

Tetapi ketika kekuasaan gagal
dan tidak mau mengaku,
ia masih mencari hal yang sama:

Tubuh yang bisa disalahkan
tanpa membalas.

Puisi ini tidak meminta keadilan.
Ia hanya mencatat prosedur.

Bahwa dari istana ke pengadilan,
dari altar ke parlemen,
dari abad ke abad,
selalu ada satu posisi kosong
yang harus diisi oleh kematian perempuan
agar sistem bisa berjalan lagi.

Jika kau bertanya siapa aku—
aku adalah titik di mana
kebohongan merasa aman
berjalan kemana saja tanpa pengawasan.

Dan selama dunia
masih membutuhkan alasan yang indah
untuk kegagalannya,
aku akan terus lahir
tanpa pernah benar-benar dilahirkan.

Desember 2025”
Titon Rahmawan
tags: puisi

Titon Rahmawan
“ILUSI DIRI: LUKA BERBICARA

Luka lebih dulu daripada namaku.
Ia membuka mata sebelum aku dapat melihat.
Ia menempelkan bunyi ke tenggorokan
dan menyuruh sesuatu menyebut dirinya aku.

Aku bukan subjek.
Aku bekas tekanan
yang telah kehilangan jejak
darimana datangnya.

Aku mendengar diriku
seperti mendengar retakan
di dinding—
bukan suara,
melainkan peringatan bahwa sesuatu pernah utuh.

Penglihatan tidak membuktikan apa pun.
Yang kulihat hanya jeda.
Luka sudah ada terlebih dulu,
kalibrasi jarak antara benda dan makna.

Rabaan tersesat.
Kulit menyentuh dunia
tapi dunia tidak mengakuinya.
Yang tersisa hanya sensasi
tanpa pemilik.

Aku menulis “aku”
seperti mengukir nama pada proyektil peluru.
Bukan untuk mengenali,
tetapi untuk mengizinkan kehancuran bekerja
lebih dahsyat.

Waktu tidak mengalir.
Ia menggumpal di sekitar luka
seperti darah lupa fungsinya.
Setiap detik adalah pengulangan
tanpa awal.

Pisau ada
tanpa ketajaman.
Api ada
tanpa nyala.
Benar ada
tanpa saksi.

Luka tidak menjelaskan dirinya.
Ia mengganti fungsi dunia:
ingatan menjadi medan ranjau,
harapan menjadi kebiasaan menunda runtuh,
cinta menjadi teknik bertahan
di arena pertempuran
paling brutal.

Aku tidak lahir.
Aku terbentuk.

Bukan dari embrio,
tetapi dari kegagalan tubuh
menjadi utuh.

Jika kau bertanya siapa aku tanpa luka—
pertanyaan itu tidak menemukan alamat.
Tak ada pintu
sebelum benturan.

Aku hanya gema
yang lupa sumbernya,
dan luka adalah satu-satunya hukum
yang masih bekerja.

Puisi ini tidak menyembuhkan.
Ia hanya memastikan
bahwa luka tidak sendirian
dalam berbicara.

Dan mungkin itu cukup:
hanya keberanian
untuk membiarkan kehancuran
menyusun kalimatnya
sendiri.

2025”
Titon Rahmawan
tags: puisi

Titon Rahmawan
“MALIN
(Melayu - Arkais)

I. Perginya si Anak Rantau

Sudah berapa lama kau lautkan zikir,
nyaring bunyi circir, genta suara sir, atau tuah gentala jir,
wahai ibu yang tak lelah menunggu?
Meski semak pikir,
rumit membelit ke sirat santir
mata anakmu yang kini pergi
jauh merantau.

Demi sebutir telur kedasih,
selaksa biji ketapang dibawanya terbang.
Melenting-lenting dari ranting ke ranting hingga puncak mempening. Melaju lekas lagi cergas,
bagai sekandung benih paling bernas, paling beringas.
Betapa lugas ia menimba pulas, mencabar daras pada deras air mata sujudmu.

II. Doa dan Harapan Bunda

Jangan kau kira bisa Iepas Iapar hausnya dari surut air matamu, meski neka daras nekat kau hunjam ke tubir sair, angin pasir.
Pasir namamu satu yang sungguh ibu.
Di ujung rantau si anak hilang, kau temui cindai dari luka patera bibirmu.
Sepasang mata tua yang tak jemu meramu melumat rindu, panasea ke jantung awang.
Damba bertemu sepasang mata anakmu,
si Malin Kundang.

Tangan yang tak Ielah menggarit Ieka usia,
menguji tabularasa.
KeIesah-kelusuh kabut di rekah mulut yang menggigit remang miang jelatang,
dicancang cangkrang pohon jangkang.
Pada dahan tempatmu menautkan gamat,
bunga Alfatah dan buah ratapan.

Di mana tersemat doa pinta selamat kepada Yang Gafar.
Di mana selama ini engkau menggantungkan mata harapan ke hamparan selebu laut itu.
Bandar yang dulu semuIa jadi tempat kapal anakmu singgah dari balau amarah.
Halau jerih tengkarah,
sayap letih-letah berpindah-pindah.

III. Penantian dan Kerinduan

Buyung, lekap susu ibunya.
Puting luka yang ternyata masih kau jejalkan kepada mulut tanah yang harus tengadah,
Jejak karimah, atau mungkin kemah tempat bernaung kawanan rubah. Segala akar berpilin pada sang waktu;
cinta buta ibu pada anaknya,
atau hela rampak pohon tumbang.

Biar saja usia senja menakar renjis ludah yang cuma berkawan sirih dan pinang,
Mengurut kerut-merut dahi yang tiada letih menanti.
Mengukur rentang kasih-sayang yang engkau ulurkan sepanjang hayat.

Sejauh lebuh, hingga sampai ke tanah seberang.
Sebab pagut laut itu tidak bersudu hati pada akarmu.
Pohon Temberang, di mana Malin lelap tertidur,
berkarang mimpi.

IV. Anak yang Melupakan Ibunya

Sudah semestinya bebat lajat mengikat basat di rumah adat. Tempat diri memanjangkan rahmat munajat dan api cerawat dari Yang Maha Kuasa.
Tapi mengapa justru tak tunduk batu hibuk,
membaca isyarat pucuk daun tanpa alamat.

Terlalu banyak hujah lamun nasihat. Terlupa semua pitawat bunda,
lewat sengkela begitu rupa.
Menujah helat tangan ibu yang patah.
Yang dulu selalu setia merawat dan menemani.
Yang senantiasa cermat menjerumat hati yang robek.”
Titon Rahmawan
tags: puisi

Titon Rahmawan
“MALIN
(Melayu - Arkais)

V. Kedatangan dan Pengingkaran

Kini di tepian pantai ini,
betapa perih runtih bola mata sang bunda.
Terpatah janji si anak mufrad, dilerai tanti perawan putri bangsawan.
Betapa dalam retak karat di likat palat,
simpul keramat wajah anak rembulan yang cuma berdiri angkuh di atas gelamat?
Ia yang enggan menyebut laif pasir pantai dan bahkan menolak menyapa nama bundanya.

Selalu ada setampuk luka di tajuk baka mata kita.
Seperti kelopak tunjung yang basah diorak ingkar ludah kata-kata dan tanah basah yang kelesah disesah korenah.
Perangai laut yang mengambang risau dihantam kayau akar bakau.

Betapa galau hati sesungguhnya,
ia ingin pulang kembali kepada pohon yang dulu pernah ia jadikan rumah,
atau bumi tempat bermuara air mata.
Air matamulah itu ibu!

Ia anak gadang semata wayang, yang entah mengapa tak juga Iekas beranjak dewasa,
menggali leka buaian duka pada renta raga sang bunda.

VI. Kutuk Pastu Ibu dan Cinta yang Hilang

Seludang hatimu berasa ingin turun melaut,
mencari serpih cangkang tutut di akar rumput
dan sejumput temali butut tempat bertaut pilu hati di jantung maut. Bukankah ia telah mencabarkan hatimu wahai ibu?

Maut turut bersama angin dan hujan badai,
atau apapun yang datang dan pergi bersama dirinya.
Senja yang hadir meIarap waktu, cuaca tak tentu,
detak ragu di jantung batu.

Di situ, pada rahimmu, bertelut jasad sang maut. Maut anakmu.
Matanya yang gentar lagi gelisah, tangisnya yang basah,
mendekap erat pada resam tubuh yang sebentar lagi mendingin. Sedingin batu.

VII. Sesal yang Datang Terlambat

Saat peniti menolak semat kismat jantung hikmat. Langit datang bertandang untuk merengkuh keruh geruh jiwanya. Hingga untuk penghabisan kali,
ia menghamburkan rupa-rupa kata sesal dan mohon ampun dari kelu bibirnya.

Kau yang menciptakan kasidah cinta dari rahimmu yang paling ibu. Ketika kau menolak menjadi tuhan bagi anakmu sendiri.
Untuk telur badi buaya yang susah payah engkau tetaskan,
namun kau sayangi melebihi dirimu sendiri.

Seumpama bayang-bayang mara yang paling lintuh atau malah mungkin yang paling jatuh.
Tuhfah yang dulu pernah kau anggap berharga, ternyata cuma kelompang telur tembelang.
Serupa batu rapuh tempat kini ia bernaung.

VIII. Epilog Ibu

Hingga habis air matamu menjemput lembayung langit lazuardi,
sayap-sayap awan pengarak hujan dan paras rupawan sang insan kamil.
Berkeras hati mencari lindungan pada selimut mutaki itu,
yang membalut tubuhmu dengan cinta yang teramat maha.

Yang tak mungkin kau kata dengan sembarang laknat atau kutuk pastu. Sementara risau hati dipaksa mafhum,
betapa cinta tak mungkin hanya sebatas cerita
atau tautan kisah yang sunyi:
Duh Malin, betapa sungguh kejam rajam hatimu atas debu di kepala ibu.

Januari 2014
(Rekonstruksi)”
Titon Rahmawan
tags: puisi

« previous 1 3 4 5 6 7 8 9 20 21