Bahasa Quotes

Quotes tagged as "bahasa" Showing 1-30 of 35
Pramoedya Ananta Toer
“Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri”
Pramoedya Ananta Toer

Goenawan Mohamad
“Di sekolah, anak-anak belajar bahasa Indonesia, tetapi mereka tak pernah diajar berpidato, berdebat, menulis puisi tentang alam ataupun reportase tentang kehidupan. Mereka cuma disuruh menghafal : menghafal apa itu bunyi diftong, menghafal definisi tata bahasa, menghafal nama-nama penyair yang sajaknya tak pernah mereka baca.”
Goenawan Mohamad, CATATAN PINGGIR 3

Usman Awang
“Tajam keris raja, tajam lagi pena pujangga.”
Usman Awang

Goenawan Mohamad
“Dunia, menurut Tuan, adalah sebuah model kartografi. Tuan dengan kalem dan konsisten berbicara tentang "ekstrem kiri" dan ekstrem kanan" dan sesuatu yang di tengah-tengah, tentang "barat" dan "timur", "utara" dan "selatan", "kafir" dan "beriman" dan "orang-orang yang ragu" dan sebagainya. Bagi Tuan dunia bisa digambar dengan jelas, bukan karena kita menyederhanakan soal, tetapi karena kita manusia, mau tak mau menyusunnya dalam konsep-konsep. Manusia adalah makhlkuk yang membentuk kategori. (dan) apakah bahasa sebenarnya, kalau bukan sesuatu yang terdiri dari konsep, pengelompokkan, dan penggolongan, karena ada kejelasan? Saya selalu kagum dengan semua itu. Tapi bagaiana dengan hal-hal yang acak, yang kebetulan, yang kecil-kecil yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori-kategori? (maka kita harus) rendah hati, menerima kehadiran dunia dengan segala keacakannya, kerumitannya yang tidak selamanya bisa takluk kepada imperialisme konseptual. Tapi, tentu kita pun bertanya, bagaimana dengan itu kita akan mengubah dunia?”
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4

Ajip Rosidi
“Kalau sebuah bahasa dengan kesusasteraannya tidak didukung oleh tradisi membaca masyarakatnya, maka kematiannya akan segera menyusul”
Ajip Rosidi, Mencari Sosok Manusia Sunda: Sekumpulan Gagasan dan Pikiran

Goenawan Mohamad
“Ketika bahasa bergerak kearah sifatnya yang lebih komunikatif dan bukan sifatnya yang ekspresif, pengalaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.”
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 7

“diam adalah bahasa yang kuciptakan sendiri, tak banyak yang mengerti, tapi jika aku bicara kalian lebih tidak akan mengerti.”
nom de plume

Sahrunizam Abdul Talib
“Hayat bahasa di akal bangsanya
ajal bahasa di keris bangsanya.”
Sahrunizam Abdul Talib, Kumpulan Puisi Suara Bukit kepada Langit

Rohmatikal Maskur
“Aku ini lelaki, yang kerap tenggelam dalam secangkir kopi. Yang didalamnya kuaduk sepi, meng-iyakan bahasa hati. Puisiku mati.”
Rohmatikal Maskur

Sam Haidy
“Biarkan saja cinta dibahasakan dengan diam
Kalau kata-kata hanya akan memperkosa kekudusannya

Biarkan saja seribu bahasa tetap tak terterjemahkan
Kalau kata-kata hanya akan mengkhianati arti sebenarnya”
Sam Haidy, Nocturnal Journal

“Bahasa terpisah daripada tulisan jati diri, membawa tajam tapi tak menikam.”
Shapiai Mohd. Ramly

“Komunikasi adalah kunci”
Muadz Arfa Panjaitan

“Tata bahasa merupakan kunci peradaban efisien.”
Muadz Arfa Panjaitan

Rosli K. Matari
“Kauberikan aku,
jalan panjang, sayup-sayup
samar-samar hujungnya
ke baris akhir puisi.

Menelusur jalan berliku
menjadi
berkelok makna.

Kauberikan
gunung, kabus
menjadi huruf-huruf.

(Selamat Tinggal, Indonesia)”
Rosli K. Matari, Matahari Itu Jauh

Sutung Umar RS
“Maka perkayakanlah aku
dengan bahasa yang meyakinkan
sehingga dengan bahasa itu
aku dapat mengajak kaumku untuk sujud kepada-Mu.

(Mazmur XXXIV)”
Sutung Umar RS, Puisi: Nyanyian Mazmur

Sam Haidy
“Kenapa harus ada puisi? Karena fungsi bahasa bukan hanya untuk alat komunikasi sehari-hari. Seperti halnya alat kelamin bukan cuma untuk buang air kecil.”
Sam Haidy

“Pemansuhan PPSMI bukan keputusan politik, tetapi ia sebaliknya memerlukan iltizam politik atau political will yang sangat tinggi untuk dilaksanakan.”
Muhyiddin Mohd Yassin, Sudut Pandang Muhyiddin Yassin

Siti Zainon Ismail
“Sekarang dia ada suara
dengan dapatnya tanda nama
tanpa fasih bahasa ibunda Negara
kerana lidahnya bahasa bumi dari moyang antarsana
menjadi bumiputera kuning juling.”
Siti Zainon Ismail, Surat Dari Awan

Syed Muhammad Naquib al-Attas
“Justru sesungguhnya akibat konsep yang singkat mengenai tinjauan dan luasan pengkajian bahasa, kesusasteraan dan kebudayaan Melayu itu, sehingga disamarkan hanya sebagai “Pengajian Melayu”, telah pula membawa akibat2 yang mempengaruhi penyingkiran bidang ilmiah tertentu dari pengajian Melayu, seperti pengkajian2 bahasa dan kesusasteraan Arab, bahasa dan kesusasteraan Farsi, bahasa dan kesusasteraan Sanskrit, yang kesemuanya telah memberi sumbangan yang berkesan dalam perkembangan bahasa dan kesusasteraan Melayu. Tambahan pula, bidang2 seperti sejarah pemikiran, falsafah, dan ilmu2 yang berkaitan dengan metodoloji penyelidikan ilmiah, kajian2 mengenai teori2 yang memang berkembang dengan pesatnya di Eropa, dewasa itu dan sekarang, semua ini diabaikan dalam pengkajian bidang2 kechil tertentu saja.”
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusasteraan Melayu

Sam Haidy
“Puisi adalah hasil hubungan intim manusia dan bahasa.”
Sam Haidy

Sahrunizam Abdul Talib
“Bahasa itu lembut yang sabar
sesekali pedas tersebar tetapi
tegas mengajar
tangannya memimpin jutaan
generasi baharu
dari bilik darjah satu
ke puncak menara ilmu.”
Sahrunizam Abdul Talib, Kumpulan Puisi Suara Bukit kepada Langit

“Papua New Guinea adalah negara dengan bahasa dan dialek paling banyak di dunia, dengan 848 bahasa dan dialek lokal. Pembentukan dialek dan isolasi geografi adalah penyebab utama banyaknya bahasa di dunia. Jadi, bisa dibayangkan letak geografis Papua New Guinea yang masih berhutan lebat, dengan gunung-gunung, membentuk isolasi alami bagi bahasa-bahasa ini.”
Maisie Junardy, Man's Defender

“Dengan banyaknya bahasa, bisa dibayangkan betapa sulitnya menyatukan pendapat. Pembicara bahasa yang berbeda punya realitas dan persepsi yang berbeda. Bahasa memengaruhi bagaimana individu mempersepsikan realitas.”
Maisie Junardy, Man's Defender

“Sayangnya banyak sekali ragam bahasa yang menghilang setiap tahunnya. Penuturnya semakin berkurang, dan akhirnya habis. Generasi yang lebih muda tidak lagi menggunakan bahasa daerah mereka. Selain bahasa beberapa budaya lain juga mengalami hal yang sama. Pelakunya makin sedikit, dan akhirnya hilang.”
Maisie Junardy, Man's Defender

“Kata-kata itu semestinya berlaku seperti air,
maka biarkan saja sederas mungkin ia mengalir.”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)

“Bahasa berguris luka
parut sejarah terpokah
walau tidak berdarah,
tetap bergerah fana

~ Catan Peribadi”
Abdulhadi Muhamad
tags: bahasa

“Bagi saya berpuisi dan menikmati proses berpuisi adalah salah satu cara untuk menghargai bahasa itu sendiri.”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)

“Sastra sejatinya ruang riuh dan bebas bersuara. Ruang yang tidak membesarkan satu toa dan menyumpal toa orang lain. Siapa pun berhak membicarakan diri mereka dan berhak mengobarkan geliat dalam diri mereka untuk berkarya. Mau kau seorang konservatif, liberal, jelata, hina, dsb. Sastra sesungguhnya adalah milik kita semua.”
Eki Saputra

“Komunikasi efektif adalah tentang menghargai berbagai pendapat serta membuka ruang diskusi sebelum menilai atau memutuskan suatu hal”
Muadz Arfa Panjaitan

Titon Rahmawan
“ECHO.dat — [Residual Memory of Lost]

[BOOTING MEMORY FRAGMENT 02]
Status: unstable
Emotion file: corrupted

Ada luka berwarna tembaga di dada dunia,
berdenyut seperti server tua yang menahan panas.

Suara igauannya masih bergema dari balik bilik kelambu digital:

“Dan demikianlah... di balik akar perjuangan...
di tengah balau pertempuran...
kata-kata kehilangan makna.”

(buffering...)

Kami mendengar letupan.
Tapi itu bukan granat — hanya notifikasi yang tertunda terlalu lama.

Bahasa pernah jadi senjata,
kini jadi fosil yang dikoleksi algoritma.

Huruf-huruf dikeringkan di rak museum virtual,
setiap tanda baca diberi barcode,
setiap metafora dipajang seperti artefak perang.

Di atas reruntuhan server dan puing data,
kau bisa mendengar dengung halus mesin yang mengucap doa.
Tapi tak ada yang menjawab.

(silence detected — restarting voice module...)

Dari rongga dada yang tertembus laser cahaya,
darahnya menetes ke motherboard bumi,
membentuk sungai jingga yang bercabang ke empat arah:
barat—kecurigaan,
timur—penyesalan,
utara—pemujaan,
selatan—alpa.

Setiap tetesnya menyimpan nama,
setiap nama kehilangan identitas.

(AI log entry:)
“Empati: 2%.
Nalar: rebooted.
Kata: expired.”

Ia menatap langit sintetis,
putih matanya seperti layar login —
menunggu kata sandi yang tak pernah dimasukkan.

“Putih itu,” bisik sistem,
“bukan kesucian, tapi hasil bleaching memori.”

Melati pun tak lagi tumbuh di tanah,
tapi disintesis dari DNA puisi dan karbon kesedihan.
Aromanya: nostalgia.
Rasanya: kehilangan.

Kami menatap residu cahaya,
serpihannya beterbangan seperti kelopak data.

“Kata-kata telah kehilangan ketajamannya...”

Kalimat itu tersimpan dalam cache,
diulang setiap kali sistem tidur.

Di sinilah sisa-sisa peradaban bernapas melalui server dingin:
doa-doa diarsipkan, air mata dikompresi,
dan suara manusia diganti dengan AI-generated empathy.

Di luar jendela piksel, angin tak lagi membawa debu,
hanya paket data yang salah alamat.

[End of voice file — transmission incomplete]

Ia tak mati.
Ia hanya berubah menjadi format lain:
*.mp4, *.wav, *.txt, .soul

— karena dalam dunia ini,
keabadian bukan surga,
melainkan cadangan file yang terus diperbarui
agar tidak pernah benar-benar dilupakan.

[ECHO REMAINS ACTIVE]

End log.

November 2025”
Titon Rahmawan

« previous 1