Budaya Quotes
Quotes tagged as "budaya"
Showing 1-30 of 46
“Anak-anak muda jaman sekarang itu lucu dan agak susah dimengerti. Mereka cukup bersemangat membuat berbagai macam proposal untuk kegiatan organisasi yang mereka ikuti. Tapi proposal hidup yang berisi visi dan strateginya meraih mimpi, justru lupa mereka buat sendiri.”
―
―
“Nilai akhir dari proses pendidikan, sejatinya terrekapitulasi dari keberhasilannya menciptakan perubahan pada dirinya dan lingkungan. Itulah fungsi daripada pendidikan yang sesungguhnya.”
―
―
“Kita tidak akan jatuh oleh hadangan gunung. Tetapi kerikil, justru yang paling kerap membuat kita jatuh terhuyung.”
―
―
“Orang-orang besar tumbuh bersama keputusan-keputusan besar yang diambilnya. Bukan oleh kemudahan-kemudahan hidup yang didapatnya.”
―
―
“bukannya teknik bertanam yang merupakan faktor yang paling penting, melainkan lebih kepada pikiran petaninya.”
― The One-Straw Revolution
― The One-Straw Revolution
“Jangan menilai perempuan dari fisiknya. Tapi hatinya. Jangan menilai laki-laki dari kekayaannya. Tapi jiwa dan dedikasinya. Karena perabot kehidupan (fisik, jabatan, atau pun kekayaan), sungguh bersifat sementara. Tapi hati dan jiwa, adalah yang kekal dan menentukan segalanya.”
―
―
“Kawan-kawan baik di sekolah maupun di bangku kuliah sebaiknya tidak lupa. Bahwa nilai yang tinggi dalam sebuah ujian hanyalah hasil transformasi daya rekam ingatan; bukan nilai dari pertumbuhan pemikiran. Nilai akhir dari proses pendidikan, sejatinya terrekapitulasi dari keberhasilannya menciptakan perubahan pada dirinya dan lingkungan. Itulah fungsi daripada pendidikan yang sesungguhnya.”
―
―
“Dalam sebuah riset, di tahun 2015, dalam 1 hari terdapat rata-rata 200 kecelakaan di Indonesia. Beberapa kecelakaan di antaranya menyebabkan kecacatan fisik dan menghabiskan harta korban dan keluarganya. Ini seharusnya membuat kita mengerti, tentang bagaimana cara memilih calon pasangan hidup kita nanti. Jangan menilai perempuan dari fisiknya. Tapi hatinya. Jangan menilai laki-laki dari kekayaannya. Tapi jiwa dan dedikasinya. Karena perabot kehidupan (fisik, jabatan, atau pun kekayaan), sungguh bersifat sementara. Tapi hati dan jiwa, adalah yang kekal dan menentukan segalanya.”
―
―
“Orang kita kan memang suka barang impor, suka latah dan ikut-ikutan. Seringkali tanpa mengerti maksud dan latar belakangnya. Orang Barat sekuler, ikut sekuler. Mereka liberal, ikut liberal. Mereka kritik Bible, kita kritik Al-Qur'an. Nanti, mereka hancur, kita pun ikut hancur.”
― Orientalis & Diabolisme Pemikiran
― Orientalis & Diabolisme Pemikiran
“Budaya tidak pernah berakhir, selalu ada yang baru. Selalu ada bentuk kesenian yang baru, gerak tari, lagu, lukisan. Budaya adalah kisah tanpa akhir...”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Harapan baik itu bisa dibilang menjadi dasar hidup masyarakat dan perkembangan budaya. Salah satu harapan masyarakat, keluarga, dan orang tua adalah kedewasaan seorang anak. Menjadi dewasa adalah berani menghadapi tantangan, berani mengambil risiko, berani bertanggung jawab.”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Sebab "budaya" tidaklah sinonim dengan sains, sastra, atau bidang spesialisasi lainnya, namun sebuah cara memandang hal ihwal, sebuah pendekatan yang mampu menangkap apapun yang berkaitan dengan manusia.”
― The Storyteller
― The Storyteller
“Mengenalkan dan mempertahankan budaya itu penting, supaya manusia bisa mengenal dirinya sendiri dan lebih saling menghargai, dan sebagainya.”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Budaya bukan saja sesuatu yang kuno dan tradisional. Budaya adalah sesuatu yang organik. Setiap lagu baru, pakaian jenis baru, film baru, cerita yang baru... semua itu adalah hasil budaya. Budaya itu hidup dan terus berkembang.”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Dengan bercerita, kita bisa menyampaikan nilai-nilai universal yang diakui setiap budaya. Sehingga, berbagai budaya yang unik sebetulnya bisa hidup berdampingan dengan harmonis.”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Aku baca dari buku-buku Winnetou-nya Karl May dan buku tentang peran Indian, Bury My Heart at Wounded Knee, mereka digusur dan ditindas oleh orang kulit putih yang menginginkan tanah mereka. Aku rasa suku-suku lain, indigenous people di seluruh dunia mengalami hal yang sama. Keunikan budaya mereka tidak dimengerti dan dihargai, hanya dilihat sebagai perbedaan yang tidak bisa diterima.”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Sayangnya banyak sekali ragam bahasa yang menghilang setiap tahunnya. Penuturnya semakin berkurang, dan akhirnya habis. Generasi yang lebih muda tidak lagi menggunakan bahasa daerah mereka. Selain bahasa beberapa budaya lain juga mengalami hal yang sama. Pelakunya makin sedikit, dan akhirnya hilang.”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Menurutku, keunikan budaya harus dibagikan supaya ada pemahaman umum bahwa keunikan itu bukan sesuatu untuk ditakuti, bukan sesuatu yang harus dihancurkan...”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Musik, lagu, dan tarian adalah bentuk budaya yang bertujuan memengaruhi emosi manusia, seperti kau merasa senang melihat tarian Thousand hands Bodhisattva. Bentuk budaya ini juga menyampaikan tradisi turun-temurun, menyampaikan kisah dan nilai-nilai utama seperti tarian ini menceritakan pengorbanan si putri bungsu.”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Ada banyak sekali yang ingin kusampaikan padamu. Ada banyak sekali yang bisa kita lihat. Dunia kita ini sangat kaya budayanya. Banyak sekali harta karun tersembunyi yang bisa kita eksplorasi.”
― Man's Defender
― Man's Defender
“Jika secara budaya perempuan senantiasa dijejali narasi bahwa kalau tidak memenuhi kewajibannya (dalam hubungan seks) atau tidak memberikan servis yang terbaik kepada suaminya maka akan ada perempuan lain yang antri, tentu saja konsep pemaksaan hubungan seks akan dihapus dari laci kesadarannya.”
― Merebut Tafsir
― Merebut Tafsir
“Misi membudayakan rakyat dengan membaca buku hanya boleh tercapai tatkala semua pihak merangkul tenaga, bermula daripada ibu bapa di rumah sehinggalah kepada pucuk pimpinan negara.”
―
―
“Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya budaya mereka. Bertolak-belakang dengan budaya menulis karena merupakan kerja kreatif.”
― Saya Terbakar Amarah Sendirian!
― Saya Terbakar Amarah Sendirian!
“Jawanisme adalah taat dan setia kepada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme.”
― Saya Terbakar Amarah Sendirian!
― Saya Terbakar Amarah Sendirian!
“Semua ini sudah direncanakan oleh rezim Soeharto, sehingga tumbuh budaya yang tidak usah berpikir dan gampang untuk diperintah. Jadi dua pilar yang dibangun pasca tahun 1965 adalah hiburan dan penindasan.”
― Saya Terbakar Amarah Sendirian!
― Saya Terbakar Amarah Sendirian!
“IKATAN DUA KELANA: HANG TUAH — HANG JEBAT
Fragmen I — Dermaga: Air, Darah, Dua Takdir
Di dermaga, papan lapuk menulis namanya dengan butiran garam,
mengubur sumpah dan huruf-huruf usang yang dikenang para pelaut.
Pandangan membeku: tali yang memeluk tiang, bekas sol sepatu, puing janji hampa di bibir kayu.
Ada dua tubuh di sini, tegak di perbatasan air dan darat:
satu mengikat layar ke Takdir Raja,
satu menengadah ke Laut Lepas—
mereka berbicara tanpa suara;
kata-kata hanyalah air asin yang membakar di ujung kuku.
“Apakah engkau Sahabat Sejati?” tanya yang satu, dari cengkeraman dermaga.
“Apakah engkau Pengkhianat Busuk?” jawab yang lain, dari balik gelombang amarah.
Mereka adalah dua nama yang terukir pada satu tulang rusuk Adam; Tuah dan Jebat,
dua bayangan kosmik yang saling menunggu ditelan arus fatalitas.
Fragmen II — Pasar & Laut: Jejak Rempah, Harga Nyawa
Pasar bernafas di bawah langit emas perdagangan dan debu rempah—
adas, kayu manis, cengkih, lada: urat nadi Malaka diikat kecil dengan tali kasar.
Pedagang menulis perjanjian darah di atas daun lontar;
nama Sultan tertanda dengan Cap Bintang Tujuh yang mengontrol pelayaran nasib.
Di antara gerimis untung dan rugi, Suara Undang-Undang Laut merendah kejam:
“Setiap layar memberi urusan upeti, tiap sumpah memiliki harga diri.”
Jebat menyentuh peta—garis jalur, titik-titik pelabuhan yang seperti luka yang menganga.
Tuah memandang Merchant Asing yang menawar masa depan kedaulatan negeri.
Lautan modal menelan kata-kata mereka hingga retak,
kembali meludahkan jejak-jejak yang jadi alasan mutlak istana bergerak.
Fragmen III — Istana Retak: Norma, Nadi, Kematian Batin
Di dalam istana, kain Songket berwarna darah pagi,
pedang berbisik di kamar yang dindingnya bergetar oleh perintah dingin.
Sumpah bukan dikalungkan, tapi dijeratkan di leher seperti tali gantungan.
“Kesetiaan adalah batu nisan nurani,” ujar ruang itu, suara tanpa wajah.
“Keberanian adalah pengkhianatan yang tak suci,” balas udara yang bergetar.
Tuah menekan telapak pada Taming Sari—
sebuah benda yang tidak hanya terbuat dari besi, tapi dari kewajiban mutlak Sang Raja.
Jebat melihat wajah rakyat yang menahan napas di bawah bayang-bayang tiang hukuman istana.
Dan ketika keris menuntun Tuah pada nadi sahabatnya,
bukan hanya daging yang pecah di lantai marmer:
yang terburai adalah perjanjian panjang antara kedaulatan tiran dan martabat manusia.
Fragmen IV — Kabut Ledang & Hening Penghakiman
Kabut Ledang bukan embun, ia adalah air mata sejarah yang menutup mata kota.
Hanya dingin yang mengingatkan bahwa sesuatu yang besar telah mati.
Di antara kabut, dua wajah menyatu di pantulan air—pasang aurut takdir yang sama, namun dua mata yang berlumur darah.
Tuhan—jika ada—adalah Kilasan Sunyi di sela-sela kabut,
bukan penghakim, tapi Saksi Agung yang memilih Bisu Abadi.
Tuah dan Jebat berdiri, tubuh mereka saling menghantui seperti dua kapal terkutuk yang saling bertabrakan di laut malam.
Tidak ada Kemenangan Layak, tidak ada Pengampunan Utuh.
Hanya Arus Besar: sejarah yang memuntahkan segala yang ditelannya.
Kita—penonton, penggugat, penimbang—menyaksikan bagaimana manusia sejati berdiri
ketika semua sumpah Telah dinyatakan hampa.
Di akhir pertempuran, Laut menelan kata “Benar” dan “Salah” dengan tenang.
Yang tersisa hanyalah nama—berulang, retak, dan dingin—sebuah perintah:
“Bangunlah! Engkau boleh memilih untuk tak lagi menjadi bayangan.
Jadilah Cahaya yang menerangi segalanya!”
Desember 2025”
―
Fragmen I — Dermaga: Air, Darah, Dua Takdir
Di dermaga, papan lapuk menulis namanya dengan butiran garam,
mengubur sumpah dan huruf-huruf usang yang dikenang para pelaut.
Pandangan membeku: tali yang memeluk tiang, bekas sol sepatu, puing janji hampa di bibir kayu.
Ada dua tubuh di sini, tegak di perbatasan air dan darat:
satu mengikat layar ke Takdir Raja,
satu menengadah ke Laut Lepas—
mereka berbicara tanpa suara;
kata-kata hanyalah air asin yang membakar di ujung kuku.
“Apakah engkau Sahabat Sejati?” tanya yang satu, dari cengkeraman dermaga.
“Apakah engkau Pengkhianat Busuk?” jawab yang lain, dari balik gelombang amarah.
Mereka adalah dua nama yang terukir pada satu tulang rusuk Adam; Tuah dan Jebat,
dua bayangan kosmik yang saling menunggu ditelan arus fatalitas.
Fragmen II — Pasar & Laut: Jejak Rempah, Harga Nyawa
Pasar bernafas di bawah langit emas perdagangan dan debu rempah—
adas, kayu manis, cengkih, lada: urat nadi Malaka diikat kecil dengan tali kasar.
Pedagang menulis perjanjian darah di atas daun lontar;
nama Sultan tertanda dengan Cap Bintang Tujuh yang mengontrol pelayaran nasib.
Di antara gerimis untung dan rugi, Suara Undang-Undang Laut merendah kejam:
“Setiap layar memberi urusan upeti, tiap sumpah memiliki harga diri.”
Jebat menyentuh peta—garis jalur, titik-titik pelabuhan yang seperti luka yang menganga.
Tuah memandang Merchant Asing yang menawar masa depan kedaulatan negeri.
Lautan modal menelan kata-kata mereka hingga retak,
kembali meludahkan jejak-jejak yang jadi alasan mutlak istana bergerak.
Fragmen III — Istana Retak: Norma, Nadi, Kematian Batin
Di dalam istana, kain Songket berwarna darah pagi,
pedang berbisik di kamar yang dindingnya bergetar oleh perintah dingin.
Sumpah bukan dikalungkan, tapi dijeratkan di leher seperti tali gantungan.
“Kesetiaan adalah batu nisan nurani,” ujar ruang itu, suara tanpa wajah.
“Keberanian adalah pengkhianatan yang tak suci,” balas udara yang bergetar.
Tuah menekan telapak pada Taming Sari—
sebuah benda yang tidak hanya terbuat dari besi, tapi dari kewajiban mutlak Sang Raja.
Jebat melihat wajah rakyat yang menahan napas di bawah bayang-bayang tiang hukuman istana.
Dan ketika keris menuntun Tuah pada nadi sahabatnya,
bukan hanya daging yang pecah di lantai marmer:
yang terburai adalah perjanjian panjang antara kedaulatan tiran dan martabat manusia.
Fragmen IV — Kabut Ledang & Hening Penghakiman
Kabut Ledang bukan embun, ia adalah air mata sejarah yang menutup mata kota.
Hanya dingin yang mengingatkan bahwa sesuatu yang besar telah mati.
Di antara kabut, dua wajah menyatu di pantulan air—pasang aurut takdir yang sama, namun dua mata yang berlumur darah.
Tuhan—jika ada—adalah Kilasan Sunyi di sela-sela kabut,
bukan penghakim, tapi Saksi Agung yang memilih Bisu Abadi.
Tuah dan Jebat berdiri, tubuh mereka saling menghantui seperti dua kapal terkutuk yang saling bertabrakan di laut malam.
Tidak ada Kemenangan Layak, tidak ada Pengampunan Utuh.
Hanya Arus Besar: sejarah yang memuntahkan segala yang ditelannya.
Kita—penonton, penggugat, penimbang—menyaksikan bagaimana manusia sejati berdiri
ketika semua sumpah Telah dinyatakan hampa.
Di akhir pertempuran, Laut menelan kata “Benar” dan “Salah” dengan tenang.
Yang tersisa hanyalah nama—berulang, retak, dan dingin—sebuah perintah:
“Bangunlah! Engkau boleh memilih untuk tak lagi menjadi bayangan.
Jadilah Cahaya yang menerangi segalanya!”
Desember 2025”
―
“LAUT YANG MENGENANG
DUA BAYANGAN
Fragmen I — Laut Yang Mengasah Ingatan
Laut membuka kelopaknya pelan,
seperti ibu tua yang tak pernah berhenti
menyebut nama kedua anaknya
yang tak kunjung pulang.
Dalam kabut asin, dayung-dayung perahu
mengiris fajar tipis—
di kejauhan, layar-layar kapal Tiongkok, Gujarat, Arab,
berdiri seperti kitab-kitab raksasa
yang menuliskan nasib manusia.
Gelombang itu tahu:
sebelum Tuah lahir dari sumpah
dan Jebat dari luka,
ada nadi besar yang tak berhenti memanggil—
nadi yang tak tunduk pada raja mana pun,
nadi yang menyimpan seluruh rahasia
tentang siapa sesungguhnya yang berdaulat:
manusia, atau rasa takutnya sendiri.
Fragmen II — Pelabuhan Urat Nadi Zaman
Pelabuhan berdenyut seperti jantung basah.
Suara pedagang Pasai, Makassar, Champa,
menyilang di udara:
serak, cepat, waspada—
setiap transaksi adalah pertaruhan jiwa.
Di pasar ikan yang licin,
tumpukan garam mengkilap seperti tulang-tulang
dari sejarah yang tak ingin dilupakan.
Bocah-bocah menjerit di antara karung lada,
dan seorang perempuan tua
menawar kain sutra
dengan tangan gemetar oleh kelaparan yang diwariskan.
Di balik hiruk pikuk itu,
para syahbandar mencatat angka-angka
yang tak pernah memihak rakyat.
Pelayaran besar sedang berlangsung:
rempah bergerak,
emas bergerak,
manusia menggerak
dan digerakkan.
Dari tepi dermaga,
Tuah kecil dan Jebat kecil
memandang kapal-kapal tak dikenal,
merekam napas pertama mereka
kepada dunia.
Fragmen III — Istana:
Takut yang Menjadi Hukum
Dinding istana berlantai marmer dingin
menggemakan
bisik-bisik yang lebih tajam dari keris.
Para bendahara menggeser angka,
para pembesar menggeser kesetiaan,
para tabib menggeser kebenaran.
Raja duduk seperti bayang-bayang
yang ketakutannya menjelma jadi
ritual harian.
Setiap mata tertunduk—
bukan hormat,
melainkan ketakutan agar tidak
ikut ditarik ke liang intrik.
Di sini, sumpah setia menjadi mata rantai,
dan keadilan hanyalah pantulan cahaya
dari lampu minyak yang hampir padam.
Tuah tumbuh di bawah atap ini—
belajar bahwa setia bisa berarti bisu,
bahwa patuh bisa berarti sekarat.
Sementara Jebat, di lorong lain,
belajar bahwa diam adalah dosa
yang diperintahkan oleh para penguasa
untuk melanggengkan ketidakadilan.”
―
DUA BAYANGAN
Fragmen I — Laut Yang Mengasah Ingatan
Laut membuka kelopaknya pelan,
seperti ibu tua yang tak pernah berhenti
menyebut nama kedua anaknya
yang tak kunjung pulang.
Dalam kabut asin, dayung-dayung perahu
mengiris fajar tipis—
di kejauhan, layar-layar kapal Tiongkok, Gujarat, Arab,
berdiri seperti kitab-kitab raksasa
yang menuliskan nasib manusia.
Gelombang itu tahu:
sebelum Tuah lahir dari sumpah
dan Jebat dari luka,
ada nadi besar yang tak berhenti memanggil—
nadi yang tak tunduk pada raja mana pun,
nadi yang menyimpan seluruh rahasia
tentang siapa sesungguhnya yang berdaulat:
manusia, atau rasa takutnya sendiri.
Fragmen II — Pelabuhan Urat Nadi Zaman
Pelabuhan berdenyut seperti jantung basah.
Suara pedagang Pasai, Makassar, Champa,
menyilang di udara:
serak, cepat, waspada—
setiap transaksi adalah pertaruhan jiwa.
Di pasar ikan yang licin,
tumpukan garam mengkilap seperti tulang-tulang
dari sejarah yang tak ingin dilupakan.
Bocah-bocah menjerit di antara karung lada,
dan seorang perempuan tua
menawar kain sutra
dengan tangan gemetar oleh kelaparan yang diwariskan.
Di balik hiruk pikuk itu,
para syahbandar mencatat angka-angka
yang tak pernah memihak rakyat.
Pelayaran besar sedang berlangsung:
rempah bergerak,
emas bergerak,
manusia menggerak
dan digerakkan.
Dari tepi dermaga,
Tuah kecil dan Jebat kecil
memandang kapal-kapal tak dikenal,
merekam napas pertama mereka
kepada dunia.
Fragmen III — Istana:
Takut yang Menjadi Hukum
Dinding istana berlantai marmer dingin
menggemakan
bisik-bisik yang lebih tajam dari keris.
Para bendahara menggeser angka,
para pembesar menggeser kesetiaan,
para tabib menggeser kebenaran.
Raja duduk seperti bayang-bayang
yang ketakutannya menjelma jadi
ritual harian.
Setiap mata tertunduk—
bukan hormat,
melainkan ketakutan agar tidak
ikut ditarik ke liang intrik.
Di sini, sumpah setia menjadi mata rantai,
dan keadilan hanyalah pantulan cahaya
dari lampu minyak yang hampir padam.
Tuah tumbuh di bawah atap ini—
belajar bahwa setia bisa berarti bisu,
bahwa patuh bisa berarti sekarat.
Sementara Jebat, di lorong lain,
belajar bahwa diam adalah dosa
yang diperintahkan oleh para penguasa
untuk melanggengkan ketidakadilan.”
―
“LAUT YANG MENGENANG
DUA BAYANGAN
Fragmen IV — Dua Tubuh yang Saling Menghantui
Malam di istana jatuh seperti kapak.
Angin lembab membawa bau darah
yang belum mengering dari sejarah.
Di ruang sepi,
dua sosok berdiri—
bukan lagi Tuah dan Jebat,
melainkan dua luka yang mencari
siapa yang harus menanggung
cacat zaman ini.
Keris bergetar di tangan,
tapi yang sebenarnya mereka tusuk
adalah pertanyaan yang tak pernah dijawab:
Apakah kesetiaan
adalah memberi segala pada penguasa?
Ataukah kesetiaan
adalah membela manusia dari penguasanya?
Setiap langkah pecah seperti bongkah es di dasar sumur.
Setiap tatapan adalah cermin retak
yang memantulkan dua takdir
yang tak bisa berhenti
mencintai dan mengkhianati
dunia yang sama.
Fragmen V —
Rakyat: Bayang-Bayang
yang Tak Pernah Ditanya
Di luar istana,
rakyat berkumpul seperti kabut—
tak terlihat,
tapi menentukan musim.
Mereka mengasuh luka
yang diwariskan dari kerajaan
ke kerajaan,
dari penjajah ke penjajah,
dari pemimpin ke pemimpin
yang semuanya mengaku penyelamat.
Di pasar malam,
seorang lelaki kehilangan anaknya
karena jerat pajak yang terlalu tinggi.
Di kampung nelayan,
perempuan-perempuan menjerang air asin
untuk mengelabui rasa lapar.
Rakyat menonton duel Tuah–Jebat
melalui kabar yang tak pasti:
siapa bajingan?
siapa pahlawan?
siapa pembebas?
Atau mungkin pertanyaannya salah:
siapa yang sebenarnya memanfaatkan keduanya?
siapa yang menciptakan perpecahan ini
agar istana tetap aman
dan rakyat tetap tiarap?
Fragmen VI — Pertanyaan yang Diwariskan
Layar-layar modern berkedip
seperti kapal-kapal tua yang kembali dari perjalanan jauh.
Kita hidup di antara
penguasa yang tak takut pada rakyatnya,
dan rakyat yang diajari
untuk mencintai para penguasa
lebih dari dirinya sendiri.
Tuah hidup di kita
setiap kali kita memilih diam
atas ketidakadilan yang kita lihat.
Jebat hidup di kita
setiap kali kita berteriak
tanpa memahami bagaimana
suara kita dimanfaatkan.
Dan laut—
ah, laut itu masih memanggil,
seakan berkata:
“Anak-anakku,
kalian bertengkar terlalu lama
di atas geladak perahu yang sama.
Kalian lupa bahwa badai datang
tanpa memilih siapa yang setia
dan siapa yang memberontak.”
Kita berdiri di sini,
saksi tanpa nama,
penimbang tanpa mahkota:
Di manakah manusia seharusnya berdiri—
pada sumpah,
atau pada nurani?
Desember 2025”
―
DUA BAYANGAN
Fragmen IV — Dua Tubuh yang Saling Menghantui
Malam di istana jatuh seperti kapak.
Angin lembab membawa bau darah
yang belum mengering dari sejarah.
Di ruang sepi,
dua sosok berdiri—
bukan lagi Tuah dan Jebat,
melainkan dua luka yang mencari
siapa yang harus menanggung
cacat zaman ini.
Keris bergetar di tangan,
tapi yang sebenarnya mereka tusuk
adalah pertanyaan yang tak pernah dijawab:
Apakah kesetiaan
adalah memberi segala pada penguasa?
Ataukah kesetiaan
adalah membela manusia dari penguasanya?
Setiap langkah pecah seperti bongkah es di dasar sumur.
Setiap tatapan adalah cermin retak
yang memantulkan dua takdir
yang tak bisa berhenti
mencintai dan mengkhianati
dunia yang sama.
Fragmen V —
Rakyat: Bayang-Bayang
yang Tak Pernah Ditanya
Di luar istana,
rakyat berkumpul seperti kabut—
tak terlihat,
tapi menentukan musim.
Mereka mengasuh luka
yang diwariskan dari kerajaan
ke kerajaan,
dari penjajah ke penjajah,
dari pemimpin ke pemimpin
yang semuanya mengaku penyelamat.
Di pasar malam,
seorang lelaki kehilangan anaknya
karena jerat pajak yang terlalu tinggi.
Di kampung nelayan,
perempuan-perempuan menjerang air asin
untuk mengelabui rasa lapar.
Rakyat menonton duel Tuah–Jebat
melalui kabar yang tak pasti:
siapa bajingan?
siapa pahlawan?
siapa pembebas?
Atau mungkin pertanyaannya salah:
siapa yang sebenarnya memanfaatkan keduanya?
siapa yang menciptakan perpecahan ini
agar istana tetap aman
dan rakyat tetap tiarap?
Fragmen VI — Pertanyaan yang Diwariskan
Layar-layar modern berkedip
seperti kapal-kapal tua yang kembali dari perjalanan jauh.
Kita hidup di antara
penguasa yang tak takut pada rakyatnya,
dan rakyat yang diajari
untuk mencintai para penguasa
lebih dari dirinya sendiri.
Tuah hidup di kita
setiap kali kita memilih diam
atas ketidakadilan yang kita lihat.
Jebat hidup di kita
setiap kali kita berteriak
tanpa memahami bagaimana
suara kita dimanfaatkan.
Dan laut—
ah, laut itu masih memanggil,
seakan berkata:
“Anak-anakku,
kalian bertengkar terlalu lama
di atas geladak perahu yang sama.
Kalian lupa bahwa badai datang
tanpa memilih siapa yang setia
dan siapa yang memberontak.”
Kita berdiri di sini,
saksi tanpa nama,
penimbang tanpa mahkota:
Di manakah manusia seharusnya berdiri—
pada sumpah,
atau pada nurani?
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
