Jawa Quotes

Quotes tagged as "jawa" Showing 1-13 of 13
Pramoedya Ananta Toer
“Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawanisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.”
Pramoedya Ananta Toer, Saya Terbakar Amarah Sendirian!

Pramoedya Ananta Toer
“Sejak zaman kompeni, Aceh punya keberanian individu, Jawa punya keberanian kelompok. Beda sekali.”
Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer
“Jawanisme dan kolonialisme Jawa sudah bertindak jauh lebih brutal terhadap penduduk yang tinggal di Negara kepulauan yang luas ini daripada yang dulu dilakukan oleh penguasa penjajah asing .”
Pramoedya Ananta Toer, Saya Terbakar Amarah Sendirian!

Syed Muhammad Naquib al-Attas
“Justru sesungguhnya akibat konsep yang singkat mengenai tinjauan dan luasan pengkajian bahasa, kesusasteraan dan kebudayaan Melayu itu, sehingga disamarkan hanya sebagai “Pengajian Melayu”, telah pula membawa akibat2 yang mempengaruhi penyingkiran bidang ilmiah tertentu dari pengajian Melayu, seperti pengkajian2 bahasa dan kesusasteraan Arab, bahasa dan kesusasteraan Farsi, bahasa dan kesusasteraan Sanskrit, yang kesemuanya telah memberi sumbangan yang berkesan dalam perkembangan bahasa dan kesusasteraan Melayu. Tambahan pula, bidang2 seperti sejarah pemikiran, falsafah, dan ilmu2 yang berkaitan dengan metodoloji penyelidikan ilmiah, kajian2 mengenai teori2 yang memang berkembang dengan pesatnya di Eropa, dewasa itu dan sekarang, semua ini diabaikan dalam pengkajian bidang2 kechil tertentu saja.”
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusasteraan Melayu

Victoria Tunggono
“Kegagalan untuk bersyukur adalah awal rentetan keluhan dalam hidup”
Victoria Tunggono, Gerbang Nuswantara

Victoria Tunggono
“Kenali sejarah dan leluhurmu, maka kamu akan tahu jati dirimu sebenarnya.”
Victoria Tunggono, Gerbang Nuswantara

“Asah Isah Olah Obah”
Khabib Bima Setiyawan

Pramoedya Ananta Toer
“Jawanisme adalah taat dan setia kepada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme.”
Pramoedya Ananta Toer, Saya Terbakar Amarah Sendirian!

Titon Rahmawan
“Variasi Suluk Tambangraras                         
Buku Kesembilan
: Elizabeth D. Inandiak

Inilah jantra sang Amongraga:
sedhakep awe-awe.
Serupa lintah yang lapar dan haus tenggelam dalam api samadi,
pulut ngelangut dalam pertapaan, terbuai bunyi gending Ladrang Rarangis. Tembang lamat-lamat mengalun,
batin lanjur tercebur dalam suara kidung Tri Kawula Gusana.
Seperti getah memikat balam, mambang terbang ngawang uwung ke jantung pulung.
Merangsek rubeda. Menjimak paksa ruda pari peksa Randa Sembada.

Matak aji jaran goyang: memagut bibir, menggerayang pinggang, meremas sintal buah dada.
Sungguh tiada beda watak manusia atau kera.
Jati ketlusupan ruyung.
Seratus lembing memburai usus menembus jantung.
Merasuk mabuk di bantun kidung Catur Wanara Rukem.

Gamelan sakti mengukir mimpi, memaksa turun dewi hapsari,
melucuti pakaian yang dikenakannya satu persatu.
Basah lidah menganak tuak.
Sloki demi sloki menantang mati.
Pada bunyi gong ke-12
kidung Sapta Kukila Wresa,
melupa umur, mengulur timba sembarang sumur.
Lupa japa segala mantra.
Lupa jampi segala kendi.
Di tempur Sungai Centhini
muntah api segala farji.

Rubuh segala tubuh.
Muspra segala radi.
Obah polah segala salah.
Singkap segala wadi.
Klenthing wadhah masin.
Bergaung kidung Nawa Wagra Lupa, menjelmalah ia jadi ular sawah yang menelan mentah-mentah seratus gajah. Bumi berputar bagai gasingan.
Bulan berjumpalitan seperti monyet kena tulup.
Sepuluh liman gergasi terkapar mati digempur nafsu tiada terbendung.

Tapi belum lagi usai kidung pamungkas, diteluhnya purusa lingga sang gandarwa hingga mengejang di sela-sela paha. Lembing mendesing menembus langit, telanjur kepayang menunggangi malam. Menyungsang batang pisang, memamah daun keladi.
Mabuk berat menimba hasrat,
hingga muncrat segala hayat.

Maret 2011”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Variasi Suluk: Suara yang Tersesat dalam Tubuh

Ada suara lama yang memanggilmu.
Bukan tembang, bukan kidung,
melainkan gema yang kehilangan asal-usulnya,
mengambang di udara seperti serpihan mimpi
yang tak pernah selesai ditidurkan.

Kau mencoba menjadikannya doa.
Tapi setiap doa adalah luka yang belum sembuh;
ia menetes di antara sela-sela tulang,
merembes perlahan
ke sumur gelap yang kau gali selama bertahun-tahun.

Tubuhmu,
yang dulu kau banggakan sebagai altar,
kini tinggal reruntuhan yang memantulkan kembali
semua hasrat yang kau kira telah kau jinakkan.
Ia berdengung pelan,
seperti mesin tua yang dipaksa hidup
di tengah badai yang tak memilih korban.

Kau menyebutnya laku.
Padahal lebih tepat disebut pelarian.
Segala mantra yang kau pacu ke langit
jatuh kembali ke wajahmu,
meninggalkan jelaga tipis
yang tak pernah sempat kau bersihkan.

Ada malam-malam
ketika engkau merasa disentuh sesuatu
yang lebih tua dari dirimu sendiri.
Bukan dewa,
bukan malaikat,
hanya bayang yang ingin
menumpang tidur
di tubuh yang kau biarkan terbuka.

Setiap keinginan
meninggalkan lubang baru.
Setiap lubang
menuntut satu lagi bagian dari dirimu.
Begitu seterusnya,
hingga kau tak tahu lagi
mana yang lebih dalam:
hasratmu,
atau kehampaan yang memanggilmu pulang.

Ada denting jauh—
suara yang mengingatkanmu
betapa kecilnya engkau
di hadapan gelap yang terus tumbuh.
Gelap itu tidak mengancam.
Ia hanya menunggu.
Seperti seseorang yang tahu
bahwa semua jalan, pada akhirnya,
akan kembali kepadanya.

Kau pernah mengejar ekstase
seperti mengejar cahaya yang jatuh dari langit.
Kini engkau tahu:
setiap cahaya menyisakan abu,
dan abunya menempel di napasmu
sepanjang malam.

Ritual gagal.
Bukan karena kurangnya mantra,
melainkan karena tubuh
tak lagi percaya
pada apa pun selain retakan.

Engkau mencoba melupakan,
tapi bahkan lupa pun
memiliki caranya sendiri untuk mengingat.
Ia mengintai dari balik kelopak mata,
menunggu kau lengah
agar bisa merayap masuk
dan menduduki detak jantungmu.

Pada akhirnya,
semua suara yang kau puja
kembali padamu—
bukan sebagai wahyu,
melainkan sebagai sunyi
yang tak bisa kaubunuh.

Sunyi itu berdiri di ambang pintu,
mengangkat wajahnya perlahan,
dan kau melihat dirimu sendiri
di dalam retakannya.

Tidak ada ekstase.
Tidak ada penebusan.
Hanya tubuh
yang menua di hadapan gelap.
Dan gelap
yang sabar menunggu
kau berhenti melawan.

Desember 2025.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Variasi Suluk Tembang Raras – Genealogi Saras Dialogis

Saras berdiri di ambang pintu yang bahkan tidak ia kenali.
Di belakangnya masa lalu menetes seperti air yang sulit ia tampung;
di depannya masa kini bergetar, kabur, seolah baru saja dicetak dari
bayangan yang salah mengingat dirinya.

Ia tidak tahu pintu mana yang benar.
Ia hanya tahu retakan yang makin melebar itu menggigil,
memanggil sesuatu yang lebih tua dari bahasa,
lebih tajam dari ketakutan.

Maka muncullah suara pertama—dingin, berdebu,
seperti batu yang lama disembunyikan malam.

SUWUNG:
"Kau mencari jawaban, anak waktu.
Namun dirimu sendiri masih bayang di balik kaca.
Mana yang kau pilih: jejak yang tak dapat kembali,
atau dunia yang selalu mengkhianatimu dengan wujud baru?"

Saras menunduk. Ia tidak paham apakah ia sedang ditanya,
atau sedang dihakimi.

Lalu suara kedua muncul—lebih hangat,
lebih manusiawi, tapi tetap menyimpan sesuatu yang liar.

AMONGRAGA:
"Jangan kau kira masa kini lebih benar dari mimpimu.
Tubuhmu menyimpan ingatan yang lebih jujur dari akalmu.
Mengapa kau biarkan logika dan nafsu bertengkar
di ruang sempit dadamu?"

Saras menggigit bibirnya.
Ia tahu suara itu berbicara tentang kegelisahan
yang ia simpan seperti batu panas di bawah lidah:
keinginan untuk melompat ke gelap,
tapi juga ketakutan akan cahaya yang telanjang.

SARAS (berbisik):
"Aku tidak tahu mana aku yang sebenarnya.
Yang di masa lalu terasa asing,
yang di masa kini kabur,
yang di masa depan meragukan.
Semua pintu bagiku seperti ilusi."

Suara Suwung dan Amongraga saling bersilangan,
seperti dua arus sungai yang menolak bercampur.

SUWUNG:
"Itu karena kau terlalu percaya pada batas.
Hitam–putih hanyalah cara dunia memudahkan dirinya sendiri.
Kesadaranmu bukan padat, ia kabut; biarkan ia bentuk dirinya."

AMONGRAGA:
"Namun jangan abaikan tubuhmu.
Tubuh tahu duluan apa yang rohmu sembunyikan.
Tidak semua ilusi adalah kebohongan;
kadang ia hanya anak bungsu dari kenyataan."

Saras terdiam.
Ia tidak ingin menjadi perantara dua dunia;
Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia mencari dirinya,
yang ia temukan adalah paradoks baru.

Suara Suwung merayap lembut:

SUWUNG:
"Ambang adalah rumahmu.
Kau bukan dicipta untuk memilih,
tetapi untuk mengungkap apa yang membuat pilihan itu mungkin."

Suara Amongraga menambahkan:

AMONGRAGA:
"Dan jangan takut pada keinginanmu sendiri.
Kadang nafsu lebih jujur daripada pikiran yang pura-pura bijak."

Saras mengangkat wajahnya.
Untuk pertama kali, ia melihat bahwa retakan itu
bukan ancaman—melainkan peta.

Ia tidak perlu memilih pintu.
Ia adalah pintu itu sendiri.

Dan ketika ia menyadari itu,
suara Suwung dan Amongraga
tidak hilang atau pergi—
mereka kembali diam
di tempat mereka lahir:

kedalaman dirinya sendiri.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Suluk Suwung: Percakapan yang Tak Pernah Selesai Antara Suwung dan Amongraga

1.
AMONGRAGA:
Aku mendengarmu dari jauh—
gema yang berjalan tanpa tubuh,
seperti bayang yang lupa asalnya.
Apa yang kau cari di celah-celah
gelap ini?

SUWUNG:
Aku tidak mencari.
Aku hanya diam.
Diam yang terlalu lama,
hingga berubah menjadi bentuk
yang tak punya nama.

2.
AMONGRAGA:
Diam juga bagian dari suluk.
Ia jembatan menuju terang.
Mengapa kau menjadikannya liang?

SUWUNG:
Karena terangmu terlalu ribut.
Dan setiap mantra yang kau sebut
meninggalkan debu di nafas manusia.

3.
AMONGRAGA:
Aku berjalan dari kidung ke kidung,
dari tubuh ke tubuh,
hingga segala kenikmatan
mengungkit pintu-pintu wahyu.

SUWUNG:
Aku tahu.
Itulah jejak yang kau tinggalkan
di dada sejarah.
Tapi apa yang kau temukan?
Selain tubuh yang terus meminta
tanpa pernah selesai?

4.
AMONGRAGA:
Aku mencari puncak.
Puncak yang melampaui dunia.
Di sanalah aku menanggalkan daging
seperti menanggalkan bayang-bayangku.

SUWUNG:
Dan aku mencari dasar.
Dasar yang menelan dunia.
Dasar tempat segala suara berhenti
dan hanya retakan yang berbicara.

5.
AMONGRAGA:
Retakan juga bisa menjadi jendela.
Mengapa kau memilih menjadikannya rumah?

SUWUNG:
Karena rumah yang kau buat
ditopang oleh api.
Aku lelah menjadi tubuh
yang terus kau bakar
demi sebuah cahaya
yang tak pernah sampai.

6.
AMONGRAGA:
Lalu mengapa kau datang padaku?
Mengapa engkau memanggil namaku
dari jauh—
seperti anak yang kehilangan jalan pulang?

SUWUNG:
Aku ingin tahu
apakah seseorang sepertimu
pernah merasa kosong.
Atau kau memang menutupinya
dengan nyala yang memabukkan.

7.
AMONGRAGA:
Aku tak pernah kosong.
Aku penuh.
Penuh dengan bunyi,
dengan tubuh-tubuh,
dengan api yang naik turun
seperti nafas yang tak mau padam.

SUWUNG:
Maka di sanalah perbedaan kita.
Engkau penuh.
Dan aku kosong.
Tapi keduanya
sama-sama tak menjawab
apa-apa.

8.
AMONGRAGA:
Apa itu yang kau sebut suwung?
Hening yang menolak segala bentuk?

SUWUNG:
Suwung adalah tempat
di mana setiap jawaban
mati sebelum sempat disebutkan.
Sebuah ruang
yang tidak ingin menang.
Tidak ingin selamat.
Tidak ingin terlahir kembali.

9.
AMONGRAGA:
Jika begitu, apa yang kau inginkan dariku?

SUWUNG:
Aku ingin melihat
apa yang tetap berada pada dirimu
ketika seluruh kidungmu
aku bungkam.
Ketika seluruh tubuhmu
aku lepaskan.
Ketika seluruh cahaya
aku padamkan.

10.
AMONGRAGA:
Dan apa yang kau lihat?

SUWUNG:
Hanya satu hal:
bahwa bahkan engkau pun,
pada akhirnya,
adalah pintu yang tidak menuju
siapa-siapa.

11.
AMONGRAGA:
Jika aku pintu,
maka mengapa engkau tidak masuk?

SUWUNG:
Karena tidak ada apa pun di dalam.
Dan tidak ada apa pun di luar.
Yang ada hanyalah aku.
Dan bahkan aku
tidak sedang mencari diriku sendiri.

12.
AMONGRAGA:
Kalau begitu,
mengapa engkau tetap berdiri
di ambangku?

SUWUNG:
Karena di antara terangmu yang berisik
dan gelapku yang sunyi,
ambang adalah satu-satunya tempat
yang tidak memaksaku memilih.

13.
AMONGRAGA:
Engkau suluk yang patah.
Suluk yang menolak puncak.

SUWUNG:
Dan engkau
adalah doa yang terlalu keras
hingga lupa
bagaimana cara menjadi sunyi.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“KISAH KAKTUS — MANTRA SUNYI KALPATARU

I. Liturgi Tubuh: “Pondok yang Tak Mengenali"

(Liturgi tentang raga yang belum mengenal rasa)

0.
Ketika yang ada belum bernama.
Apa yang tumbuh tidak mesti hidup.

1.
Di gubuk kecil yang tanpa bentuk,
kaktus tumbuh sebagai penanda.
Bukan pohon. Bukan rasa.
Namun raga waktu yang tak terucap.
Ia membaca kotak.
Ia melafalkan segitiga.
Ia menandai tubuh manusia
sebagai sesuatu yang terlalu basah
untuk menampung sunyi.

2.
Ada sofa merah palungan jiwa,
bergetar sekilas,
diduduki bayang-bayang rembulan
yang kehilangan cahaya.
Sofa serupa altar terbalik.
Rembulan tertunduk,
tempat di mana rasa
menolak nama.

3.
Kaktus tak mengenal sedih.
Namun di setiap pagi,
serpihan hening menempel pada batangnya—
seperti suara yang tersesat
di tenggorokan angin gunung.

II. Glosa Waktu: “Waktu yang Runtuh dari Duri”

(Waktu yang beranak di dalam tubuh yang tidak menghendakinya)

4.
Kabut gelap tirtamaya merayap masuk tanpa salam.
Mencekik halaman sajak
bagaikan tangan gaib
yang tak menyukai cahaya.

5.
Nenek tua tiba,
menggenggam senja seperti lipatan takdir.
Dan ditancapkannya dengan jari tipisnya
di ketiak sang kaktus.
Tempat jam berbiak tanpa bunyi.
Tak ada darah.
Yang keluar hanya “wanci”—
waktu yang tak ingin menjadi hari.

6.
Mereka akan datang,
orang-orang itu.
Membawa tembuni, seruling, cangkang,
kaos kaki basah,
buku-buku tanpa bab,
pisau yang tidak bisa memotong.
Ditumpuk di sudut gubuk
seperti sesaji upacara
yang kehilangan rohnya.

7.
Esoknya,
waktu dipetik kembali
dari kulit keriput ketiak kaktus.
Waktu menjadi benda pecah—
kertas sobek,
suara mikrofon retak,
langit terbelah,
cahaya patah.

III. Sunyi & Cahaya Membunga: “Minum Cahaya Dari Gelas Retak”

(Sunyi yang menelan cahaya untuk mengetahui dirinya)

8.
Cahaya jatuh dari lubang genting.
Titen yang tak tampak asalnya.
Masuk ke pot keramik yang retak,
dan mengendap seperti getah suwung
di dasar gelas bening.
Kaktus mengingat:
pagi ketika rembulan dikunyah anjing.
Hujan gerimis.
Langit hitam-nila.
Dunia yang alpa dari wiridnya.

9.
Serupa ndadra
membuka rongga dada.
Kaktus meminum cahaya
dari gelas.
Tak ada suara.
Namun retakan perlahan
terjadi di jantungnya.
Maka dipahamilah kaktus,
bahwa rasa sakit bukan berasal dari daging.
Rasa sakit berasal dari sunyi
yang tak pernah memberi ruang.

IV. Mantra Ruin Kosmologis: “Duri yang Menghidupkan Jagad”

(Mantra suwung, liturgi patah, kosmologi Jawa)

10.
Inilah mantranya:
“Duri bukan duri.
Duri adalah sastra suksma, lintasan bintang
yang gagal kembali ke langit.”
Setiap duri memiliki orbit.
Setiap bayang menjadi lintasan.
Setiap sunyi berputar
tanpa pusat.

11.
Suatu malam,
kaktus menyala perlahan
seperti api beku.
Cahaya hijau kecil
berputar di dalam sumsum.
Tak seperti bintang.
Tak seperti api.
Namun seperti “sasmita”
yang tak ingin disaksikan.

12.
Dan kaktus mengerti:
yang disebut kepedihan
bukanlah perkara rasa.
Kepedihan adalah
makna yang gagal memiliki rumah.
Makna yang tak menjelma mata,
tak menjelma mulut,
tak menjelma tangan.
Makna yang hanya menjadi
kabut di antara kalimat.

13.
Pada saat ini,
gubuk tua itu menjadi candi sepi.
Gelap menyusun altar.
Waktu menungging bagai pelayan upacara.
Dan sunyi mengulum semua
tanpa meninggalkan nama.

EPILOG — LITANTRI SUWUNG (Mantra Penutup)

“Apa yang tumbuh
tidak mesti hidup.
Apa yang hidup
tidak mesti ingat.
Apa yang ingat
tidak mesti kembali.
Namun setiap duri mengerti:
waktu hanya mampir
menanti sunyi
mengucapkan namanya
sekali lagi.”

Desember 2025”
Titon Rahmawan