Metafisika Quotes
Quotes tagged as "metafisika"
Showing 1-2 of 2
“KISAH KAKTUS — MANTRA SUNYI KALPATARU
I. Liturgi Tubuh: “Pondok yang Tak Mengenali"
(Liturgi tentang raga yang belum mengenal rasa)
0.
Ketika yang ada belum bernama.
Apa yang tumbuh tidak mesti hidup.
1.
Di gubuk kecil yang tanpa bentuk,
kaktus tumbuh sebagai penanda.
Bukan pohon. Bukan rasa.
Namun raga waktu yang tak terucap.
Ia membaca kotak.
Ia melafalkan segitiga.
Ia menandai tubuh manusia
sebagai sesuatu yang terlalu basah
untuk menampung sunyi.
2.
Ada sofa merah palungan jiwa,
bergetar sekilas,
diduduki bayang-bayang rembulan
yang kehilangan cahaya.
Sofa serupa altar terbalik.
Rembulan tertunduk,
tempat di mana rasa
menolak nama.
3.
Kaktus tak mengenal sedih.
Namun di setiap pagi,
serpihan hening menempel pada batangnya—
seperti suara yang tersesat
di tenggorokan angin gunung.
II. Glosa Waktu: “Waktu yang Runtuh dari Duri”
(Waktu yang beranak di dalam tubuh yang tidak menghendakinya)
4.
Kabut gelap tirtamaya merayap masuk tanpa salam.
Mencekik halaman sajak
bagaikan tangan gaib
yang tak menyukai cahaya.
5.
Nenek tua tiba,
menggenggam senja seperti lipatan takdir.
Dan ditancapkannya dengan jari tipisnya
di ketiak sang kaktus.
Tempat jam berbiak tanpa bunyi.
Tak ada darah.
Yang keluar hanya “wanci”—
waktu yang tak ingin menjadi hari.
6.
Mereka akan datang,
orang-orang itu.
Membawa tembuni, seruling, cangkang,
kaos kaki basah,
buku-buku tanpa bab,
pisau yang tidak bisa memotong.
Ditumpuk di sudut gubuk
seperti sesaji upacara
yang kehilangan rohnya.
7.
Esoknya,
waktu dipetik kembali
dari kulit keriput ketiak kaktus.
Waktu menjadi benda pecah—
kertas sobek,
suara mikrofon retak,
langit terbelah,
cahaya patah.
III. Sunyi & Cahaya Membunga: “Minum Cahaya Dari Gelas Retak”
(Sunyi yang menelan cahaya untuk mengetahui dirinya)
8.
Cahaya jatuh dari lubang genting.
Titen yang tak tampak asalnya.
Masuk ke pot keramik yang retak,
dan mengendap seperti getah suwung
di dasar gelas bening.
Kaktus mengingat:
pagi ketika rembulan dikunyah anjing.
Hujan gerimis.
Langit hitam-nila.
Dunia yang alpa dari wiridnya.
9.
Serupa ndadra
membuka rongga dada.
Kaktus meminum cahaya
dari gelas.
Tak ada suara.
Namun retakan perlahan
terjadi di jantungnya.
Maka dipahamilah kaktus,
bahwa rasa sakit bukan berasal dari daging.
Rasa sakit berasal dari sunyi
yang tak pernah memberi ruang.
IV. Mantra Ruin Kosmologis: “Duri yang Menghidupkan Jagad”
(Mantra suwung, liturgi patah, kosmologi Jawa)
10.
Inilah mantranya:
“Duri bukan duri.
Duri adalah sastra suksma, lintasan bintang
yang gagal kembali ke langit.”
Setiap duri memiliki orbit.
Setiap bayang menjadi lintasan.
Setiap sunyi berputar
tanpa pusat.
11.
Suatu malam,
kaktus menyala perlahan
seperti api beku.
Cahaya hijau kecil
berputar di dalam sumsum.
Tak seperti bintang.
Tak seperti api.
Namun seperti “sasmita”
yang tak ingin disaksikan.
12.
Dan kaktus mengerti:
yang disebut kepedihan
bukanlah perkara rasa.
Kepedihan adalah
makna yang gagal memiliki rumah.
Makna yang tak menjelma mata,
tak menjelma mulut,
tak menjelma tangan.
Makna yang hanya menjadi
kabut di antara kalimat.
13.
Pada saat ini,
gubuk tua itu menjadi candi sepi.
Gelap menyusun altar.
Waktu menungging bagai pelayan upacara.
Dan sunyi mengulum semua
tanpa meninggalkan nama.
EPILOG — LITANTRI SUWUNG (Mantra Penutup)
“Apa yang tumbuh
tidak mesti hidup.
Apa yang hidup
tidak mesti ingat.
Apa yang ingat
tidak mesti kembali.
Namun setiap duri mengerti:
waktu hanya mampir
menanti sunyi
mengucapkan namanya
sekali lagi.”
Desember 2025”
―
I. Liturgi Tubuh: “Pondok yang Tak Mengenali"
(Liturgi tentang raga yang belum mengenal rasa)
0.
Ketika yang ada belum bernama.
Apa yang tumbuh tidak mesti hidup.
1.
Di gubuk kecil yang tanpa bentuk,
kaktus tumbuh sebagai penanda.
Bukan pohon. Bukan rasa.
Namun raga waktu yang tak terucap.
Ia membaca kotak.
Ia melafalkan segitiga.
Ia menandai tubuh manusia
sebagai sesuatu yang terlalu basah
untuk menampung sunyi.
2.
Ada sofa merah palungan jiwa,
bergetar sekilas,
diduduki bayang-bayang rembulan
yang kehilangan cahaya.
Sofa serupa altar terbalik.
Rembulan tertunduk,
tempat di mana rasa
menolak nama.
3.
Kaktus tak mengenal sedih.
Namun di setiap pagi,
serpihan hening menempel pada batangnya—
seperti suara yang tersesat
di tenggorokan angin gunung.
II. Glosa Waktu: “Waktu yang Runtuh dari Duri”
(Waktu yang beranak di dalam tubuh yang tidak menghendakinya)
4.
Kabut gelap tirtamaya merayap masuk tanpa salam.
Mencekik halaman sajak
bagaikan tangan gaib
yang tak menyukai cahaya.
5.
Nenek tua tiba,
menggenggam senja seperti lipatan takdir.
Dan ditancapkannya dengan jari tipisnya
di ketiak sang kaktus.
Tempat jam berbiak tanpa bunyi.
Tak ada darah.
Yang keluar hanya “wanci”—
waktu yang tak ingin menjadi hari.
6.
Mereka akan datang,
orang-orang itu.
Membawa tembuni, seruling, cangkang,
kaos kaki basah,
buku-buku tanpa bab,
pisau yang tidak bisa memotong.
Ditumpuk di sudut gubuk
seperti sesaji upacara
yang kehilangan rohnya.
7.
Esoknya,
waktu dipetik kembali
dari kulit keriput ketiak kaktus.
Waktu menjadi benda pecah—
kertas sobek,
suara mikrofon retak,
langit terbelah,
cahaya patah.
III. Sunyi & Cahaya Membunga: “Minum Cahaya Dari Gelas Retak”
(Sunyi yang menelan cahaya untuk mengetahui dirinya)
8.
Cahaya jatuh dari lubang genting.
Titen yang tak tampak asalnya.
Masuk ke pot keramik yang retak,
dan mengendap seperti getah suwung
di dasar gelas bening.
Kaktus mengingat:
pagi ketika rembulan dikunyah anjing.
Hujan gerimis.
Langit hitam-nila.
Dunia yang alpa dari wiridnya.
9.
Serupa ndadra
membuka rongga dada.
Kaktus meminum cahaya
dari gelas.
Tak ada suara.
Namun retakan perlahan
terjadi di jantungnya.
Maka dipahamilah kaktus,
bahwa rasa sakit bukan berasal dari daging.
Rasa sakit berasal dari sunyi
yang tak pernah memberi ruang.
IV. Mantra Ruin Kosmologis: “Duri yang Menghidupkan Jagad”
(Mantra suwung, liturgi patah, kosmologi Jawa)
10.
Inilah mantranya:
“Duri bukan duri.
Duri adalah sastra suksma, lintasan bintang
yang gagal kembali ke langit.”
Setiap duri memiliki orbit.
Setiap bayang menjadi lintasan.
Setiap sunyi berputar
tanpa pusat.
11.
Suatu malam,
kaktus menyala perlahan
seperti api beku.
Cahaya hijau kecil
berputar di dalam sumsum.
Tak seperti bintang.
Tak seperti api.
Namun seperti “sasmita”
yang tak ingin disaksikan.
12.
Dan kaktus mengerti:
yang disebut kepedihan
bukanlah perkara rasa.
Kepedihan adalah
makna yang gagal memiliki rumah.
Makna yang tak menjelma mata,
tak menjelma mulut,
tak menjelma tangan.
Makna yang hanya menjadi
kabut di antara kalimat.
13.
Pada saat ini,
gubuk tua itu menjadi candi sepi.
Gelap menyusun altar.
Waktu menungging bagai pelayan upacara.
Dan sunyi mengulum semua
tanpa meninggalkan nama.
EPILOG — LITANTRI SUWUNG (Mantra Penutup)
“Apa yang tumbuh
tidak mesti hidup.
Apa yang hidup
tidak mesti ingat.
Apa yang ingat
tidak mesti kembali.
Namun setiap duri mengerti:
waktu hanya mampir
menanti sunyi
mengucapkan namanya
sekali lagi.”
Desember 2025”
―
“TRIPTIK TRIMURTI KEMBANG: SANGKAN PARANING DUMADI
(Kidung Kosmogonis dalam Tiga Siklus Penciptaan)
I. PADMA — ”Wiji Brahman ing Samudra Pradhana”
Padma muncul dari lumpur hening mula-mula,
dari titik suwung yang terbelah.
Bukan lumpur bumi, tapi lumpur Pradhana
tempat materi masih samar dan belum bernama.
Ia tegak laksana sabda dadi
yang diucapkan oleh Hyang Wening,
sebuah mantra yang melupakan lidah pertamanya
sebab ia adalah getaran sebelum waktu ada.
Air di sekelilingnya memucat,
bukan air semenjana, melainkan Tirta Kamandanu yang beku,
menahan napas di tepi Bhurloka,
mendengar derap para resi sejati
yang berjalan melintasi batas kesadaran tanpa bayangan.
Kelopak itu membuka diri
bukan sebagai bunga, melainkan sebagai Candi Tirtayasa,
sebuah yoni retak, menolak menyimpan rahasia Manikmaya
yang lebih tua dari ingatan para dewa.
Di ujung daun,
menggantung aksara tunggal yang menggigil—
cahaya yang pernah menjadi sumbu jagad,
sebelum bhagawan waktu membebaskannya kembali
ke dalam nirwana sunyi.
Padma tidak mekar untuk Tri Loka.
Ia mekar untuk Kalpasastra
yang telah kehilangan pusat kosong-nya.
Ia adalah kembalinya Yang Tak Pernah Pergi.
II. KEMUNING — ”Jiwatman ing Mandala Bhuwahloka”
Kemuning menggantung di udara madya loka,
seperti Sasmitaning Gusti yang tertunda,
sebuah gapura yang gagal menjejak tanah perwujudan.
Kuningnya bukanlah warna,
tetapi wanci kencana,
yang terhambur dari perut akasa,
ketika para hyang niskala
meninggalkan panggung bhuwana.
Di permukaan kelopaknya,
aku melihat lintasan rekaman karmaphala yang halus,
serupa prasasti kuno
yang tergores di pupil mata ketiga.
Kemuning berdiri di antara dua suwung:
Suwung Pradhana sebelum cipta,
Suwung Pralaya setelah bubar.
Ia tidak memikat bhramara, kumbang pengecap madu.
Ia memikat Dharma.
Dan laku jiwa datang seperti bayu prana, sang angin kehidupan:
dinginnya adalah disiplin, patahnya adalah pengertian, kaburnya adalah waskita,
membawa kabar lelampahan
dari arah yang tidak pernah dipertanyakan jejer manungsa.
III. MAWAR — ”Maya Sukma lan Titah Wusananing Jagad”
Mawar tumbuh dari celah watu waringin
yang ditinggalkan api tunggal sedalam tiga yuga.
Merahnya bukan darah manungsa,
tetapi gema tapa brata yang pernah terbakar
oleh rasa sejati yang telah melampaui vedana.
Duri-durinya tegak laksana panah cakra, pusaran energi
yang menolak bergerak,
sebab tahu setiap gerak
adalah pengkhianatan kecil pada keabadian wiyata.
Ketika ananta bayu, angin tak berakhir melewati tubuhnya,
aku mendengar suara lirih,
serupa Gending Gadhung Mangkara,
yang dimainkan di ruangan Swa-loka,
tempat roh-roh purba masih belajar
mengenali wujud niskala mereka sendiri.
Mawar menguasai medan Karmala
bukan dengan kecantikan fana,
melainkan dengan tatu kasampurnan
yang tahu bagaimana menjaga dirinya
tetap tak bernama
di hadapan takdir.
Dan pada puncak kelopaknya,
suwung sejati duduk
menunggu wekasane tumitah
yang bahkan Hyang Wening
belum berkenan memberi tafsir.
Desember 2025”
―
(Kidung Kosmogonis dalam Tiga Siklus Penciptaan)
I. PADMA — ”Wiji Brahman ing Samudra Pradhana”
Padma muncul dari lumpur hening mula-mula,
dari titik suwung yang terbelah.
Bukan lumpur bumi, tapi lumpur Pradhana
tempat materi masih samar dan belum bernama.
Ia tegak laksana sabda dadi
yang diucapkan oleh Hyang Wening,
sebuah mantra yang melupakan lidah pertamanya
sebab ia adalah getaran sebelum waktu ada.
Air di sekelilingnya memucat,
bukan air semenjana, melainkan Tirta Kamandanu yang beku,
menahan napas di tepi Bhurloka,
mendengar derap para resi sejati
yang berjalan melintasi batas kesadaran tanpa bayangan.
Kelopak itu membuka diri
bukan sebagai bunga, melainkan sebagai Candi Tirtayasa,
sebuah yoni retak, menolak menyimpan rahasia Manikmaya
yang lebih tua dari ingatan para dewa.
Di ujung daun,
menggantung aksara tunggal yang menggigil—
cahaya yang pernah menjadi sumbu jagad,
sebelum bhagawan waktu membebaskannya kembali
ke dalam nirwana sunyi.
Padma tidak mekar untuk Tri Loka.
Ia mekar untuk Kalpasastra
yang telah kehilangan pusat kosong-nya.
Ia adalah kembalinya Yang Tak Pernah Pergi.
II. KEMUNING — ”Jiwatman ing Mandala Bhuwahloka”
Kemuning menggantung di udara madya loka,
seperti Sasmitaning Gusti yang tertunda,
sebuah gapura yang gagal menjejak tanah perwujudan.
Kuningnya bukanlah warna,
tetapi wanci kencana,
yang terhambur dari perut akasa,
ketika para hyang niskala
meninggalkan panggung bhuwana.
Di permukaan kelopaknya,
aku melihat lintasan rekaman karmaphala yang halus,
serupa prasasti kuno
yang tergores di pupil mata ketiga.
Kemuning berdiri di antara dua suwung:
Suwung Pradhana sebelum cipta,
Suwung Pralaya setelah bubar.
Ia tidak memikat bhramara, kumbang pengecap madu.
Ia memikat Dharma.
Dan laku jiwa datang seperti bayu prana, sang angin kehidupan:
dinginnya adalah disiplin, patahnya adalah pengertian, kaburnya adalah waskita,
membawa kabar lelampahan
dari arah yang tidak pernah dipertanyakan jejer manungsa.
III. MAWAR — ”Maya Sukma lan Titah Wusananing Jagad”
Mawar tumbuh dari celah watu waringin
yang ditinggalkan api tunggal sedalam tiga yuga.
Merahnya bukan darah manungsa,
tetapi gema tapa brata yang pernah terbakar
oleh rasa sejati yang telah melampaui vedana.
Duri-durinya tegak laksana panah cakra, pusaran energi
yang menolak bergerak,
sebab tahu setiap gerak
adalah pengkhianatan kecil pada keabadian wiyata.
Ketika ananta bayu, angin tak berakhir melewati tubuhnya,
aku mendengar suara lirih,
serupa Gending Gadhung Mangkara,
yang dimainkan di ruangan Swa-loka,
tempat roh-roh purba masih belajar
mengenali wujud niskala mereka sendiri.
Mawar menguasai medan Karmala
bukan dengan kecantikan fana,
melainkan dengan tatu kasampurnan
yang tahu bagaimana menjaga dirinya
tetap tak bernama
di hadapan takdir.
Dan pada puncak kelopaknya,
suwung sejati duduk
menunggu wekasane tumitah
yang bahkan Hyang Wening
belum berkenan memberi tafsir.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
