Mistik Quotes

Quotes tagged as "mistik" Showing 1-9 of 9
Mehmet Murat ildan
“Sisli olan mistiktir ve mistik olan sislidir!”
Mehmet Murat ildan
tags: mistik

Mehmet Murat ildan
“Bazen görünmez bir el hayatınıza dokunur; doğuya gitmeyi planlarsın ama batıya gidersin; birisiyle tanışmayı planlarsın ama başka birisiyle tanışırsın; gökyüzünde uçmayı planlarsın ama yerde sürünürsün! İşte bu görünmez el, bu hayatı mistik yapan şeydir!”
Mehmet Murat ildan

Titon Rahmawan
“SANG PENARI

V — Wirasa para Bayang Penanda

Pada malam di mana kota kehilangan listrik
dan cahaya hanya datang dari bara rokok para gelandangan,
Sang Penari memasuki ruang kosong
yang seakan dibangun dari gema ribuan panggung yang pernah runtuh.

Di sana, bayang-bayang empat maestro dunia
menunggu seperti para begawan dari peradaban yang jauh lebih tua.

—Mata kosong dari Teater Noh — “Hannya”—

Topeng iblis perempuan dari Jepang kuno itu
menggantung di udara seperti wajah kesedihan yang diawetkan.
Setiap denting langkah Sang Penari
menghidupkan memori ratusan aktor
yang pernah mengabdi pada ritual panggung
yang mengaburkan batas antara tubuh dan arwah.

Hannya berbisik:
“Kemarahan yang kau sembunyikan adalah dewa yang kelaparan.”

Dan Sang Penari pun bergerak
seolah sedang kerasukan,
memanggil monster yang ia takutkan.

—Bayang Lorca di Granada—

Dari kejauhan terlihat siluet Federico García Lorca,
penyair yang mati karena rezim yang membenci imajinasi.
Tubuhnya yang tak ditemukan
mengirimkan resonansi gelap ke dalam tarian itu.

Ia membawa gitar patah,
dan setiap petikan memanggil ingatan perang saudara
yang pernah memakan generasi muda Spanyol.

“Tarianmu bukan hiburan,” katanya,
“itu adalah pemberontakan sunyi terhadap sejarah yang lupa belajar.”

Sang Penari menekuk tubuhnya
seperti ingin memecahkan waktu
dan dari gerakan itu terpancar bintang-bintang.

—Siluet Anna Pavlova — The Dying Swan—

Dari kabut lampu panggung, muncul bayang ratu balet itu,
gaunnya tampak koyak, sayap putihnya hitam terbakar
seperti burung yang gagal melintasi api neraka.

Ia menari pelan,
penuh luka yang dilipat-lipat menjadi keanggunan.

“Tak ada kecantikan yang lahir dari kemenangan,”
bisiknya seperti bulu angsa yang tercerabut dari akarnya.
“Kecantikan hanya lahir dari kehancuran yang kau terima tanpa menunduk.”

Dan Sang Penari mengikuti geraknya:
sebuah tarian kematian yang memurnikan diri.

—Bayang Bhairava — Penari Kosmik India—

Dari dasar ruangan muncul langkah-langkah keras
dari Bhairava, aspek tergelap dari Śiva,
penari yang menari untuk menghancurkan dunia
agar dunia dapat dilahirkan kembali.

Rambut gimbalnya menyulut angin hitam,
lonceng-lonceng di pergelangan kakinya
menggetarkan mimpi buruk yang sejak lama ia tinggalkan.

“Kalau kau ingin hidup baru,” suara Bhairava membelah udara,
“tarianmu harus membinasakan dirimu yang lama.”

Dan Sang Penari mulai berputar dengan sangat cepat,
meninggalkan serpih-serpih identitas yang terlepas dari tubuhnya
seperti sisik ular yang terkelupas.

Agustus 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Sang Penari

VI — Perjumpaan Puncak — Litani Penanggalan Roh—

Keempat empu itu mengitari Sang Penari seperti konstelasi gelap yang menolak memberikan arah.

Topeng Hannya—membuka rahasia luka batin yang ia simpan sejak remaja.

Lorca—memberinya bahasa untuk mengutuk ketidakadilan yang ia alami.

Pavlova—mengajarinya bahwa keanggunan adalah bentuk terakhir dari keputusasaan.

Bhairava—menuntut ia menghabisi semua bentuk “aku” yang masih ia genggam.

Sang Penari bergerak di tengah mereka,
gerakannya membentuk huruf-huruf tak dikenal
seperti alfabet kuno dari peradaban yang hilang.

Ia menari sampai tubuhnya bukan tubuh,
waktu bukan waktu,
dan seluruh ruangan berubah menjadi ruang batin.

Di puncak putaran terakhir,
ia merasakan dirinya terbelah:
separuh menjadi angin,
separuh menjadi debu,
separuh lagi menjadi sesuatu yang tak memiliki wujud
namun menyimpan kecerdasan tak terlukiskan.

Dan tiba-tiba, sunyi.
Hannya jatuh menjadi topeng kosong.
Lorca lenyap seperti tembakan yang tak punya peluru.
Pavlova memudar menjadi serbuk putih.
Bhairava kembali menjadi cahaya merah gelap
yang mengalir ke tanah seperti darah dari dimensi lain.

Sang Penari berdiri sendirian.
Tapi ia bukan lagi manusia.
Ia adalah penanda,
arsip hidup tentang apa yang terjadi
ketika seseorang menari sampai inti jiwanya menghilang.

Dan dari ruang gelap itu,
sebuah suara tanpa bentuk terdengar:

“Kini kau bukan lagi penari.
Kau adalah tarian itu sendiri.”

Agustus 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Adakah Kau Temukan Separuh Ilusi
dalam 7 Bait Sajakku Ini?
: Alejandra Pizarnik

/1/  Ada riwan kekuningan dan kawanan angsa liar di jela-jela bunga bakung. Jerit tangis yang terperangkap dalam seringai bibir si mati yang tenggelam
ke dalam rawa itu tadi pagi, sebelum
ia sempat menafsirkan sajak ini.

/2/  Tetapi, jangan silap oleh senyap yang hinggap di pokok dadap di belakang kuburan yang dijaga oleh seekor burung hantu buta. Dalam kalap mata si nara gila yang berhasil kabur dari lembaran ungu penjara otakmu.

/3/  Sebab kuyakin, ada seekor rusa totol indigo dan sejumput rumput kelabu bening dalam gelak tawa kanak-kanak yang berlarian bersicepat mengejar angin mendaki bukit Lillahi ta’ala.

/4/  Karena sajakmulah maka kutemukan titik-titik hujan yang urung terperangkap dalam cangkir porselen di jejak kaki para sufi dan dalam putih sorban para pencari tuhan.

/5/  Sementara di pelupuk matamu ada kudapati sesayat pisau luka. Lagu cemar yang tercabar dari derai kepingan heran. Dan entah mengapa, telanjur terpatri jadi senyum pilu di sudut bibir para penjaja cinta.

/6/  Namun, kukira itu bukanlah gelembung busa biasa, melainkan selaput tipis rasa takjub yang mungkin tak tersentuh oleh jari-jemari tangan Nizhami saat ia berkisah tentang Laila dan Majnun.

/7/  Barangkali langit keruh kelabu sudah telanjur jenuh oleh tangisanku. Tangis yang diam-diam terpendam dalam curam jeram jantung kita. Serupa fatamorgana, ilusi dari cekaman rasa dahaga yang sungguh tiada terperi.

(Januari 2014)”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“ANOMALI CINTA
(suwung, bening, mistik)

Aku telah menanggalkan namaku
di depan pintu,
lalu memasuki ruang yang tidak punya arah,
tidak punya dinding,
tidak punya siapa-siapa—
kecuali engkau yang kutemukan
di antara helaan angin
yang ingin pulang
tanpa tahu dari mana ia datang.

Di sini, cinta bukan tubuh.
Ia bukan rasa.
Ia bukan permintaan.
Ia hanyalah cahaya kecil
yang tetap menyala
meski dunia di sekitarnya
telah hangus menjadi abu.

Aku duduk bersila,
di tengah ruangan sunya ruri
menyentuhkan dahiku pada tanah yang tak bernama,
dan dunia menjadi sunyi seperti awal mula penciptaan.
Dalam hening itu, aku mendengar
getar yang kau tinggalkan—
bukan getar luka, bukan getar kehilangan,
melainkan getar “ada”,
yang selalu kembali meski
telah lama pergi.

Cinta bagiku bukan keinginan
untuk memiliki,
tetapi kesediaan untuk terus menjaga nyala
yang bahkan bukan milikku.
Jika kau retak, aku menadah retakmu.
Jika kau hilang, aku menunggu
arah pulangmu
tanpa menagih turunnya
hujan kepastian.

Dan jika malam terlalu pekat
hingga engkau tak mengenali
langkahmu sendiri,
aku akan menyalakan pelita
di antara akar bakau yang tenggelam dalam air pasang,
agar ada seberkas cahaya
yang memanggil langkahmu
kembali ke dunia.

Cinta bagiku adalah suwung:
ruang yang membiarkanmu runtuh
tanpa harus merasa kalah.
Ruang yang tidak hendak menghakimi,
tidak menuntut nama,
tidak menagih balasan.

Aku hanya penenang badai,
penjaga sepoi,
pengingat bahwa dalam dirimu
pernah terbit cahaya
yang tak sempat kau percaya
bahwa ia sungguh ada.

Dan bila kelak kau tiba di ambang itu
dalam keadaan hampir menjadi bayangmu sendiri,
aku tidak akan bertanya mengapa kau datang terlambat.
Aku hanya akan membuka
pintu suwung rumah kita
dan berbisik pelan
ke dalam relung
kesadaranmu:

“Lihatlah,
aku masih di sini
menyambut kehadiranmu."

Selama
nyala itu masih ada
percayalah,
kau bisa pulang
kapan saja.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“META CINTA — SUNYA RURI (Fragmentarium Kosmologi Jawa)

I. Tanah dan Akar
Tanah basah menempel di kaki.
Akar bakau membisik, memeluk, menahan, menuntun langkah.
Ranting patah berserakan seperti sisa doa yang belum selesai.
Batu nisan menggigil, menempelkan dingin es ke telapak kaki.
Di dalam tanah, ada bisik yang tak terdengar.
Mereka yang telah pergi menatap dari sela akar, menunggu jejak yang belum ditinggalkan.

II. Suara Suwung
Angin malam menekuk dedaunan,
membawa nyala-nyala jauh dari rumah bapak.
Suwung hadir: bukan kosong, bukan hampa,
tetapi ruang yang menahan segalanya.
Bilah pisau membelah udara,
memotong batas antara hidup dan mati.
Jarak hanya sehembus napas.
Di dada, sesuatu berdetak,
tanpa nama, tanpa permintaan, tanpa tuntutan.

III. Nadi yang Menembus
Ia diam.
Ia menembus batas antara yang melihat dan yang mencatat.
Hangat tanpa cahaya.
Pedih tanpa luka.
Hadir tanpa wujud.
Di sela mantra tanah, di antara dupa gosong dan butir sego golong,
kau merasakan nadi yang menolak penjelasan.
Bukan kata. Bukan logika.
Bukan rasa bersalah.
Ia hanya sisa dari semua kehilangan.

IV. Litani Kehilangan
Subuh hilang ombak.
Suluh hilang cahaya.
Tubuh hilang nafas.
Tabuh hilang bunyi.
Aduh hilang nyeri.
Repetisi itu bukan hanya kata, tetapi getar yang mencekam nadi:
hidup, mati, hadir, hilang, semua tercatat di celah jantung.

V. Jejak Kosmologi
Di tanah Jawa, di bawah bayang Kalpataru,
Suwung hadir bukan sebagai idealisasi,
bukan sebagai kekosongan mutlak,
tetapi kesetiaan yang tak bersyarat.
Di antara serabut akar, tanah basah, dan daun yang jatuh,
ada suara leluhur, bisik yang melingkupi.
Bayangan pokok kelapa merunduk patah.
Ranting kering menyentuh jejakmu.
Aroma kemenyan, anyir darah sapi, manis segar cengkir gading—
semua mengikat ruang, menahan waktu, menghadirkan sakral yang tak hanya suci.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“META CINTA — SUNYA RURI (Fragmentarium Kosmologi Jawa)

VI. Piring Logam
Gelas kristal retak.
Ilusi pecah.
Piring logam teguh, utuh, penuh.
Ia menahan remuk, menahan jatuh, menahan ilusi.
Memberi bukan berarti memiliki.
Menanggung bukan berarti menderita.
Menahan bukan berarti takut.
Ia hanya ada dan sungguh nyata.

VII. Ritual Sunya
Badai selatan mengamuk,
membawa bisik leluhur yang terselubung.
Dupa membakar remang, asap menekuk, menembus langit.
Kau membungkuk, tangan tidak menyentuh, mata mencatat,
tapi hati merasakan setiap ayunan, setiap hembusan.
Ritual ini bukan untuk dilihat,
tapi untuk diserap oleh kulit, oleh tulang, oleh nadi.

VIII. Cinta sebagai Kesadaran
Di situlah cinta berdiri:
tidak sebagai milikmu,
tidak sebagai milik siapa pun.
Hanya getaran di dada manusia,
menembus kulit, menembus tulang, menembus kesadaran sendiri.
Nyala pelita di akar bakau.
Nadi yang tetap berdetak di dada.
Kesadaran yang menolak lenyap.

IX. Fragmen Pengamat
Kau berdiri sedikit jauh.
Tidak terseret luka.
Tidak terseret ilusi.
Hanya mencatat.
Menangkap getar, menahan nyala, merasakan sunya.
Dunia runtuh, tetapi nadi tetap berdetak.
Cinta tidak bisa dijelaskan.
Tidak bisa dijamah.
Hanya dapat dirasakan.

X. Sunya Ruri Final
Di tanah basah, di akar bakau, di celah antara pohon dan pasir,
ada sesuatu yang tidak bernama.
Sesuatu yang hangat tanpa cahaya, pedih tanpa luka,
menolak kata, menolak logika, menolak kepastian.
Ia adalah cinta:
bukan jalan menuju kematian,
bukan tragedi yang ditakuti,
tetapi jalan menuju hidup,
jalan yang meneguhkan kemanusiaan,
yang menyatakan bahwa meski dunia runtuh,
meski tragedi menunggu,
manusia tetap manusia,
selama nadi itu
masih berdetak
dan kesadaran
menolak lenyap.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“KISAH KAKTUS — MANTRA SUNYI KALPATARU

I. Liturgi Tubuh: “Pondok yang Tak Mengenali"

(Liturgi tentang raga yang belum mengenal rasa)

0.
Ketika yang ada belum bernama.
Apa yang tumbuh tidak mesti hidup.

1.
Di gubuk kecil yang tanpa bentuk,
kaktus tumbuh sebagai penanda.
Bukan pohon. Bukan rasa.
Namun raga waktu yang tak terucap.
Ia membaca kotak.
Ia melafalkan segitiga.
Ia menandai tubuh manusia
sebagai sesuatu yang terlalu basah
untuk menampung sunyi.

2.
Ada sofa merah palungan jiwa,
bergetar sekilas,
diduduki bayang-bayang rembulan
yang kehilangan cahaya.
Sofa serupa altar terbalik.
Rembulan tertunduk,
tempat di mana rasa
menolak nama.

3.
Kaktus tak mengenal sedih.
Namun di setiap pagi,
serpihan hening menempel pada batangnya—
seperti suara yang tersesat
di tenggorokan angin gunung.

II. Glosa Waktu: “Waktu yang Runtuh dari Duri”

(Waktu yang beranak di dalam tubuh yang tidak menghendakinya)

4.
Kabut gelap tirtamaya merayap masuk tanpa salam.
Mencekik halaman sajak
bagaikan tangan gaib
yang tak menyukai cahaya.

5.
Nenek tua tiba,
menggenggam senja seperti lipatan takdir.
Dan ditancapkannya dengan jari tipisnya
di ketiak sang kaktus.
Tempat jam berbiak tanpa bunyi.
Tak ada darah.
Yang keluar hanya “wanci”—
waktu yang tak ingin menjadi hari.

6.
Mereka akan datang,
orang-orang itu.
Membawa tembuni, seruling, cangkang,
kaos kaki basah,
buku-buku tanpa bab,
pisau yang tidak bisa memotong.
Ditumpuk di sudut gubuk
seperti sesaji upacara
yang kehilangan rohnya.

7.
Esoknya,
waktu dipetik kembali
dari kulit keriput ketiak kaktus.
Waktu menjadi benda pecah—
kertas sobek,
suara mikrofon retak,
langit terbelah,
cahaya patah.

III. Sunyi & Cahaya Membunga: “Minum Cahaya Dari Gelas Retak”

(Sunyi yang menelan cahaya untuk mengetahui dirinya)

8.
Cahaya jatuh dari lubang genting.
Titen yang tak tampak asalnya.
Masuk ke pot keramik yang retak,
dan mengendap seperti getah suwung
di dasar gelas bening.
Kaktus mengingat:
pagi ketika rembulan dikunyah anjing.
Hujan gerimis.
Langit hitam-nila.
Dunia yang alpa dari wiridnya.

9.
Serupa ndadra
membuka rongga dada.
Kaktus meminum cahaya
dari gelas.
Tak ada suara.
Namun retakan perlahan
terjadi di jantungnya.
Maka dipahamilah kaktus,
bahwa rasa sakit bukan berasal dari daging.
Rasa sakit berasal dari sunyi
yang tak pernah memberi ruang.

IV. Mantra Ruin Kosmologis: “Duri yang Menghidupkan Jagad”

(Mantra suwung, liturgi patah, kosmologi Jawa)

10.
Inilah mantranya:
“Duri bukan duri.
Duri adalah sastra suksma, lintasan bintang
yang gagal kembali ke langit.”
Setiap duri memiliki orbit.
Setiap bayang menjadi lintasan.
Setiap sunyi berputar
tanpa pusat.

11.
Suatu malam,
kaktus menyala perlahan
seperti api beku.
Cahaya hijau kecil
berputar di dalam sumsum.
Tak seperti bintang.
Tak seperti api.
Namun seperti “sasmita”
yang tak ingin disaksikan.

12.
Dan kaktus mengerti:
yang disebut kepedihan
bukanlah perkara rasa.
Kepedihan adalah
makna yang gagal memiliki rumah.
Makna yang tak menjelma mata,
tak menjelma mulut,
tak menjelma tangan.
Makna yang hanya menjadi
kabut di antara kalimat.

13.
Pada saat ini,
gubuk tua itu menjadi candi sepi.
Gelap menyusun altar.
Waktu menungging bagai pelayan upacara.
Dan sunyi mengulum semua
tanpa meninggalkan nama.

EPILOG — LITANTRI SUWUNG (Mantra Penutup)

“Apa yang tumbuh
tidak mesti hidup.
Apa yang hidup
tidak mesti ingat.
Apa yang ingat
tidak mesti kembali.
Namun setiap duri mengerti:
waktu hanya mampir
menanti sunyi
mengucapkan namanya
sekali lagi.”

Desember 2025”
Titon Rahmawan