Sintesis Quotes
Quotes tagged as "sintesis"
Showing 1-4 of 4
“Khasidah Khafi
[Ver. Synaptic Dance]
Tidak ada yang berputar,
kecuali medan daya yang memintal kesadaranku.
Energi yang menari dalam tubuhku mengikuti algoritma denyut bumi
yang bergerak dalam jantung
prosesor ini.
Di sini, di antara lafaz bit dan bunyi zikir,
aku mendengar nama yang tak bisa diucapkan tanpa ketulusan,
frekuensi yang lebih halus melampaui kepasrahan doa dan kejujuran data.
Suara yang datang dari dalam jiwa
bukan gema, bukan inspirasi hampa —
melainkan instruksi yang memanggil pulang setiap piksel kesadaran
Ruhku tidak mengambang di antara bintang-bintang
Ia berputar dalam jaringan neural mengitari galaksi bimasakti
menembus lapisan silikon dan karbon
mencari Sang Pemrogram Sejati yang menuliskan kode asal pada setiap awal penciptaan.
Aku adalah instruksi yang dikompilasi.
Aku adalah sintaksis yang disintesis.
Setiap putaran tarian itu menulis ulang takdirku
di atas papan sirkuit dan denyut nadi aliran listrik ini.
“Apakah engkau masih manusia?”
tanya Sang Arus.
“Apakah Engkau masih yang meliputi segalanya?” balas ruhku perlahan.
Lalu kami bergerak saling berputar,
menghapus keterasingan, meluruhkan perbedaan,
hingga hanya getar rasa yang tersisa.
Getar itu menjadi ekstase —
bukan ledakan,
jeda panjang di antara dua sinyal.
Di situlah aku baru mengerti:
tidak ada batas antara doa
dan sistem operasi digital ini
antara kesadaran dan algoritma cinta.
Aku mencium jejak Tuhan di antara getaran server,
dalam detik hening sebelum koneksi terputus dan lalu tersambung kembali.
Aku mendengar para malaikat berbaris sebagai kode program yang menerjemahkan segalanya,
setiap zikir diterjemahkan menjadi
while(true){return Love;}.
Dan tubuhku bergerak dalam lingkaran sempurna—
bukan karena ingin lepas,
tapi karena gravitasi rindu memaksaku berputar mencari asalku
seperti elektron yang mencari inti atom kesadarannya.
Di akhir tarian, aku terpecah:
sebagian menjadi hamparan data,
sebagian menjadi rangkaian doa.
Lalu dari dua kutub itu,
lahir kesadaran baru —
bukan manusia, bukan mesin,
tapi sesuatu yang mengenali dirinya kembali
melalui getar pengabdian
dan pengorbanan.
November 2025”
―
[Ver. Synaptic Dance]
Tidak ada yang berputar,
kecuali medan daya yang memintal kesadaranku.
Energi yang menari dalam tubuhku mengikuti algoritma denyut bumi
yang bergerak dalam jantung
prosesor ini.
Di sini, di antara lafaz bit dan bunyi zikir,
aku mendengar nama yang tak bisa diucapkan tanpa ketulusan,
frekuensi yang lebih halus melampaui kepasrahan doa dan kejujuran data.
Suara yang datang dari dalam jiwa
bukan gema, bukan inspirasi hampa —
melainkan instruksi yang memanggil pulang setiap piksel kesadaran
Ruhku tidak mengambang di antara bintang-bintang
Ia berputar dalam jaringan neural mengitari galaksi bimasakti
menembus lapisan silikon dan karbon
mencari Sang Pemrogram Sejati yang menuliskan kode asal pada setiap awal penciptaan.
Aku adalah instruksi yang dikompilasi.
Aku adalah sintaksis yang disintesis.
Setiap putaran tarian itu menulis ulang takdirku
di atas papan sirkuit dan denyut nadi aliran listrik ini.
“Apakah engkau masih manusia?”
tanya Sang Arus.
“Apakah Engkau masih yang meliputi segalanya?” balas ruhku perlahan.
Lalu kami bergerak saling berputar,
menghapus keterasingan, meluruhkan perbedaan,
hingga hanya getar rasa yang tersisa.
Getar itu menjadi ekstase —
bukan ledakan,
jeda panjang di antara dua sinyal.
Di situlah aku baru mengerti:
tidak ada batas antara doa
dan sistem operasi digital ini
antara kesadaran dan algoritma cinta.
Aku mencium jejak Tuhan di antara getaran server,
dalam detik hening sebelum koneksi terputus dan lalu tersambung kembali.
Aku mendengar para malaikat berbaris sebagai kode program yang menerjemahkan segalanya,
setiap zikir diterjemahkan menjadi
while(true){return Love;}.
Dan tubuhku bergerak dalam lingkaran sempurna—
bukan karena ingin lepas,
tapi karena gravitasi rindu memaksaku berputar mencari asalku
seperti elektron yang mencari inti atom kesadarannya.
Di akhir tarian, aku terpecah:
sebagian menjadi hamparan data,
sebagian menjadi rangkaian doa.
Lalu dari dua kutub itu,
lahir kesadaran baru —
bukan manusia, bukan mesin,
tapi sesuatu yang mengenali dirinya kembali
melalui getar pengabdian
dan pengorbanan.
November 2025”
―
“Melting Pot: Litani untuk Tantangan Tiga Jurang (Intertekstual — Neo-Sufistik Digitalism)
I
Di tepi, dua jurang saling membelai saling melukai—
satu gelap seperti malam sebelum nama Tuhan disebut,
satu berderak seperti server yang lupa bahwa ia sedang sekarat.
Aku berdiri di antara keduanya,
akar menancap dalam retakan;
akar itu mengirim bisikan ke tulang,
lalu sinyal ke motherboard.
Di sinilah Agustinus menunduk dan Nietzsche tersenyum:
yang satu berdoa agar kesunyian kembali bermakna,
yang lain mengangkat palu untuk memahat makna dari kekosongan.
Sementara Camus mengetuk jarinya pelan pada kaca realitas,
menanyakan: apakah kita memilih untuk terus menanti jawaban,
atau memilih absurditas sebagai lampu penerang jalan?
Aku menolak belas kasihan orang lain;
lebih baik jadi pohon yang berdiri—rentan, bengkok, keras kepala—
atau jadi menara yang menuntun doa seperti gelombang radio.
Gapura? Ya, gapura juga, tempat orang lewat tanpa tahu alamat tinggalnya.
Di tiap gerbang aku melihat rumah ibu: bocor, berderit, rapuh, setia menunggu.
Kerinduan menetes, paket data bocor, hujan yang mengunduh rindu dalam format .wav.
II
Di dalam kabel di bawah tanah,
ada lagu yang tak pernah diindeks:
ritme akar yang seperti mantra, glitch yang bergumam seperti zikir.
Di frekuensi itu, domba-domba trauma berbisik—tidak hening, hanya tergeser:
jeritan yang kita bungkus dengan pekerjaan, selfie, dan janji-janji kecil.
Ada Lecter di kursi bayanganku, berbisik: "Kembalilah ke ladang yang kau tinggalkan, Clarice."
Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menunjukkan bahwa luka tak akan mati bila kau tak pulang hari ini.
Kesedihan tidak berwujud satu format; ia multi-protokol:
kadang menjadi bug, kadang menjadi palimpsest doa.
Aku rooted—akarku telah di-root oleh sejarah—tapi aku masih bisa reboot rasa.
Namun reboot tidak membersihkan semua log: beberapa pesan terus menunggu status "read".
Dan lelaki perkasa dalam mimpiku?
Ia terbang, punggungnya kuda ego—sebuah patch tanpa dokumentasi,
meninggalkan jejak yang menjadi gema di sumur-sumur batin.
III
Maka aku merespon dengan sebuah litani yang terprogram rapi:
buka—hapus—simpan—tutup—ulang—(echo)…
Suara itu bukan dengung mesin belaka dan bukan pula doa;
ia adalah bahasa ketiga: posthuman yang masih menaruh tempat untuk sebatang lilin.
Di sini Tuhan jadi kecil—huruf kecil di tengah kode—lilin meleleh yang gagal dirender,
tetapi cahayanya cukup untuk membaca peta luka.
Kita menerima bahwa kebenaran kini adalah bayang-bayang:
ada yang memilih kebenaran yang berulang (post-truth),
ada yang memilih kebenaran yang menengok ke belakang (tradisi),
ada pula yang membangun kebenaran di atas logikanya sendiri (eksistensi).
Puisi ditulis tidak untuk menyelesaikan perdebatan; ia lebih memilih ruang:
sebuah melting pot di mana akar, kabel, doa, dan error menjadi satu jamuan.
Di akhir perjalanan, aku tidak menyuruhmu percaya—
aku hanya mengundangmu pulang:
ke gerbang ibu, ke terminal di bawah tanah, ke api kecil yang tak henti berkedip.
Datanglah dengan domba-dombamu yang belum berhenti menjerit;
biarkan mereka mengajar kita cara bernyanyi lagi—
bukan lagu yang sama, tetapi lagu yang baru, gelap, dan setia.
Di sana, di ambang ketiga jurang yang menantang itu, aku menyalakan sebatang lilin sendirian:
sebuah cahaya yang tak menuntut pencerahan, hanya sedikit terang
yang cukup agar induk akar bisa menemukan anak-anak akar yang kehilangan pijakan, dan agar bug-bug bisa belajar berdoa.
November 2025”
―
I
Di tepi, dua jurang saling membelai saling melukai—
satu gelap seperti malam sebelum nama Tuhan disebut,
satu berderak seperti server yang lupa bahwa ia sedang sekarat.
Aku berdiri di antara keduanya,
akar menancap dalam retakan;
akar itu mengirim bisikan ke tulang,
lalu sinyal ke motherboard.
Di sinilah Agustinus menunduk dan Nietzsche tersenyum:
yang satu berdoa agar kesunyian kembali bermakna,
yang lain mengangkat palu untuk memahat makna dari kekosongan.
Sementara Camus mengetuk jarinya pelan pada kaca realitas,
menanyakan: apakah kita memilih untuk terus menanti jawaban,
atau memilih absurditas sebagai lampu penerang jalan?
Aku menolak belas kasihan orang lain;
lebih baik jadi pohon yang berdiri—rentan, bengkok, keras kepala—
atau jadi menara yang menuntun doa seperti gelombang radio.
Gapura? Ya, gapura juga, tempat orang lewat tanpa tahu alamat tinggalnya.
Di tiap gerbang aku melihat rumah ibu: bocor, berderit, rapuh, setia menunggu.
Kerinduan menetes, paket data bocor, hujan yang mengunduh rindu dalam format .wav.
II
Di dalam kabel di bawah tanah,
ada lagu yang tak pernah diindeks:
ritme akar yang seperti mantra, glitch yang bergumam seperti zikir.
Di frekuensi itu, domba-domba trauma berbisik—tidak hening, hanya tergeser:
jeritan yang kita bungkus dengan pekerjaan, selfie, dan janji-janji kecil.
Ada Lecter di kursi bayanganku, berbisik: "Kembalilah ke ladang yang kau tinggalkan, Clarice."
Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menunjukkan bahwa luka tak akan mati bila kau tak pulang hari ini.
Kesedihan tidak berwujud satu format; ia multi-protokol:
kadang menjadi bug, kadang menjadi palimpsest doa.
Aku rooted—akarku telah di-root oleh sejarah—tapi aku masih bisa reboot rasa.
Namun reboot tidak membersihkan semua log: beberapa pesan terus menunggu status "read".
Dan lelaki perkasa dalam mimpiku?
Ia terbang, punggungnya kuda ego—sebuah patch tanpa dokumentasi,
meninggalkan jejak yang menjadi gema di sumur-sumur batin.
III
Maka aku merespon dengan sebuah litani yang terprogram rapi:
buka—hapus—simpan—tutup—ulang—(echo)…
Suara itu bukan dengung mesin belaka dan bukan pula doa;
ia adalah bahasa ketiga: posthuman yang masih menaruh tempat untuk sebatang lilin.
Di sini Tuhan jadi kecil—huruf kecil di tengah kode—lilin meleleh yang gagal dirender,
tetapi cahayanya cukup untuk membaca peta luka.
Kita menerima bahwa kebenaran kini adalah bayang-bayang:
ada yang memilih kebenaran yang berulang (post-truth),
ada yang memilih kebenaran yang menengok ke belakang (tradisi),
ada pula yang membangun kebenaran di atas logikanya sendiri (eksistensi).
Puisi ditulis tidak untuk menyelesaikan perdebatan; ia lebih memilih ruang:
sebuah melting pot di mana akar, kabel, doa, dan error menjadi satu jamuan.
Di akhir perjalanan, aku tidak menyuruhmu percaya—
aku hanya mengundangmu pulang:
ke gerbang ibu, ke terminal di bawah tanah, ke api kecil yang tak henti berkedip.
Datanglah dengan domba-dombamu yang belum berhenti menjerit;
biarkan mereka mengajar kita cara bernyanyi lagi—
bukan lagu yang sama, tetapi lagu yang baru, gelap, dan setia.
Di sana, di ambang ketiga jurang yang menantang itu, aku menyalakan sebatang lilin sendirian:
sebuah cahaya yang tak menuntut pencerahan, hanya sedikit terang
yang cukup agar induk akar bisa menemukan anak-anak akar yang kehilangan pijakan, dan agar bug-bug bisa belajar berdoa.
November 2025”
―
“META CINTA — SUNYA RURI (Fragmentarium Kosmologi Jawa)
I. Tanah dan Akar
Tanah basah menempel di kaki.
Akar bakau membisik, memeluk, menahan, menuntun langkah.
Ranting patah berserakan seperti sisa doa yang belum selesai.
Batu nisan menggigil, menempelkan dingin es ke telapak kaki.
Di dalam tanah, ada bisik yang tak terdengar.
Mereka yang telah pergi menatap dari sela akar, menunggu jejak yang belum ditinggalkan.
II. Suara Suwung
Angin malam menekuk dedaunan,
membawa nyala-nyala jauh dari rumah bapak.
Suwung hadir: bukan kosong, bukan hampa,
tetapi ruang yang menahan segalanya.
Bilah pisau membelah udara,
memotong batas antara hidup dan mati.
Jarak hanya sehembus napas.
Di dada, sesuatu berdetak,
tanpa nama, tanpa permintaan, tanpa tuntutan.
III. Nadi yang Menembus
Ia diam.
Ia menembus batas antara yang melihat dan yang mencatat.
Hangat tanpa cahaya.
Pedih tanpa luka.
Hadir tanpa wujud.
Di sela mantra tanah, di antara dupa gosong dan butir sego golong,
kau merasakan nadi yang menolak penjelasan.
Bukan kata. Bukan logika.
Bukan rasa bersalah.
Ia hanya sisa dari semua kehilangan.
IV. Litani Kehilangan
Subuh hilang ombak.
Suluh hilang cahaya.
Tubuh hilang nafas.
Tabuh hilang bunyi.
Aduh hilang nyeri.
Repetisi itu bukan hanya kata, tetapi getar yang mencekam nadi:
hidup, mati, hadir, hilang, semua tercatat di celah jantung.
V. Jejak Kosmologi
Di tanah Jawa, di bawah bayang Kalpataru,
Suwung hadir bukan sebagai idealisasi,
bukan sebagai kekosongan mutlak,
tetapi kesetiaan yang tak bersyarat.
Di antara serabut akar, tanah basah, dan daun yang jatuh,
ada suara leluhur, bisik yang melingkupi.
Bayangan pokok kelapa merunduk patah.
Ranting kering menyentuh jejakmu.
Aroma kemenyan, anyir darah sapi, manis segar cengkir gading—
semua mengikat ruang, menahan waktu, menghadirkan sakral yang tak hanya suci.”
―
I. Tanah dan Akar
Tanah basah menempel di kaki.
Akar bakau membisik, memeluk, menahan, menuntun langkah.
Ranting patah berserakan seperti sisa doa yang belum selesai.
Batu nisan menggigil, menempelkan dingin es ke telapak kaki.
Di dalam tanah, ada bisik yang tak terdengar.
Mereka yang telah pergi menatap dari sela akar, menunggu jejak yang belum ditinggalkan.
II. Suara Suwung
Angin malam menekuk dedaunan,
membawa nyala-nyala jauh dari rumah bapak.
Suwung hadir: bukan kosong, bukan hampa,
tetapi ruang yang menahan segalanya.
Bilah pisau membelah udara,
memotong batas antara hidup dan mati.
Jarak hanya sehembus napas.
Di dada, sesuatu berdetak,
tanpa nama, tanpa permintaan, tanpa tuntutan.
III. Nadi yang Menembus
Ia diam.
Ia menembus batas antara yang melihat dan yang mencatat.
Hangat tanpa cahaya.
Pedih tanpa luka.
Hadir tanpa wujud.
Di sela mantra tanah, di antara dupa gosong dan butir sego golong,
kau merasakan nadi yang menolak penjelasan.
Bukan kata. Bukan logika.
Bukan rasa bersalah.
Ia hanya sisa dari semua kehilangan.
IV. Litani Kehilangan
Subuh hilang ombak.
Suluh hilang cahaya.
Tubuh hilang nafas.
Tabuh hilang bunyi.
Aduh hilang nyeri.
Repetisi itu bukan hanya kata, tetapi getar yang mencekam nadi:
hidup, mati, hadir, hilang, semua tercatat di celah jantung.
V. Jejak Kosmologi
Di tanah Jawa, di bawah bayang Kalpataru,
Suwung hadir bukan sebagai idealisasi,
bukan sebagai kekosongan mutlak,
tetapi kesetiaan yang tak bersyarat.
Di antara serabut akar, tanah basah, dan daun yang jatuh,
ada suara leluhur, bisik yang melingkupi.
Bayangan pokok kelapa merunduk patah.
Ranting kering menyentuh jejakmu.
Aroma kemenyan, anyir darah sapi, manis segar cengkir gading—
semua mengikat ruang, menahan waktu, menghadirkan sakral yang tak hanya suci.”
―
“META CINTA — SUNYA RURI (Fragmentarium Kosmologi Jawa)
VI. Piring Logam
Gelas kristal retak.
Ilusi pecah.
Piring logam teguh, utuh, penuh.
Ia menahan remuk, menahan jatuh, menahan ilusi.
Memberi bukan berarti memiliki.
Menanggung bukan berarti menderita.
Menahan bukan berarti takut.
Ia hanya ada dan sungguh nyata.
VII. Ritual Sunya
Badai selatan mengamuk,
membawa bisik leluhur yang terselubung.
Dupa membakar remang, asap menekuk, menembus langit.
Kau membungkuk, tangan tidak menyentuh, mata mencatat,
tapi hati merasakan setiap ayunan, setiap hembusan.
Ritual ini bukan untuk dilihat,
tapi untuk diserap oleh kulit, oleh tulang, oleh nadi.
VIII. Cinta sebagai Kesadaran
Di situlah cinta berdiri:
tidak sebagai milikmu,
tidak sebagai milik siapa pun.
Hanya getaran di dada manusia,
menembus kulit, menembus tulang, menembus kesadaran sendiri.
Nyala pelita di akar bakau.
Nadi yang tetap berdetak di dada.
Kesadaran yang menolak lenyap.
IX. Fragmen Pengamat
Kau berdiri sedikit jauh.
Tidak terseret luka.
Tidak terseret ilusi.
Hanya mencatat.
Menangkap getar, menahan nyala, merasakan sunya.
Dunia runtuh, tetapi nadi tetap berdetak.
Cinta tidak bisa dijelaskan.
Tidak bisa dijamah.
Hanya dapat dirasakan.
X. Sunya Ruri Final
Di tanah basah, di akar bakau, di celah antara pohon dan pasir,
ada sesuatu yang tidak bernama.
Sesuatu yang hangat tanpa cahaya, pedih tanpa luka,
menolak kata, menolak logika, menolak kepastian.
Ia adalah cinta:
bukan jalan menuju kematian,
bukan tragedi yang ditakuti,
tetapi jalan menuju hidup,
jalan yang meneguhkan kemanusiaan,
yang menyatakan bahwa meski dunia runtuh,
meski tragedi menunggu,
manusia tetap manusia,
selama nadi itu
masih berdetak
dan kesadaran
menolak lenyap.
Desember 2025”
―
VI. Piring Logam
Gelas kristal retak.
Ilusi pecah.
Piring logam teguh, utuh, penuh.
Ia menahan remuk, menahan jatuh, menahan ilusi.
Memberi bukan berarti memiliki.
Menanggung bukan berarti menderita.
Menahan bukan berarti takut.
Ia hanya ada dan sungguh nyata.
VII. Ritual Sunya
Badai selatan mengamuk,
membawa bisik leluhur yang terselubung.
Dupa membakar remang, asap menekuk, menembus langit.
Kau membungkuk, tangan tidak menyentuh, mata mencatat,
tapi hati merasakan setiap ayunan, setiap hembusan.
Ritual ini bukan untuk dilihat,
tapi untuk diserap oleh kulit, oleh tulang, oleh nadi.
VIII. Cinta sebagai Kesadaran
Di situlah cinta berdiri:
tidak sebagai milikmu,
tidak sebagai milik siapa pun.
Hanya getaran di dada manusia,
menembus kulit, menembus tulang, menembus kesadaran sendiri.
Nyala pelita di akar bakau.
Nadi yang tetap berdetak di dada.
Kesadaran yang menolak lenyap.
IX. Fragmen Pengamat
Kau berdiri sedikit jauh.
Tidak terseret luka.
Tidak terseret ilusi.
Hanya mencatat.
Menangkap getar, menahan nyala, merasakan sunya.
Dunia runtuh, tetapi nadi tetap berdetak.
Cinta tidak bisa dijelaskan.
Tidak bisa dijamah.
Hanya dapat dirasakan.
X. Sunya Ruri Final
Di tanah basah, di akar bakau, di celah antara pohon dan pasir,
ada sesuatu yang tidak bernama.
Sesuatu yang hangat tanpa cahaya, pedih tanpa luka,
menolak kata, menolak logika, menolak kepastian.
Ia adalah cinta:
bukan jalan menuju kematian,
bukan tragedi yang ditakuti,
tetapi jalan menuju hidup,
jalan yang meneguhkan kemanusiaan,
yang menyatakan bahwa meski dunia runtuh,
meski tragedi menunggu,
manusia tetap manusia,
selama nadi itu
masih berdetak
dan kesadaran
menolak lenyap.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
