Kosmologis Quotes

Quotes tagged as "kosmologis" Showing 1-9 of 9
Titon Rahmawan
“Pandora

Apa yang mungkin engkau yakini sebagai hukuman, Kay?
Bukankah langkah,
semestinya tidak tinggalkan jejak
yang kemudian hari
ingin engkau ingkari.

Kenangan adalah
getah yang menitik
dari luka sebatang pohon.
Sedang ingatan pilu
yang terkubur di halaman
adalah tulang-tulang yang digali
oleh anjing-anjing pencuri
di malam hari.

Siapa yang akan datang
untuk mencintaimu
dengan wajah yang carut marut
serupa itu, Kay?

Tangkapan layar itu
tak akan pernah
menyatakan kebohongan
selain apa yang sengaja
engkau niatkan dari semula.

Apapun yang coba kau sembunyikan
di balik topeng _masquerade_ berenda
selamanya tak akan pernah pergi.

Kau tak mungkin jadi bunglon
yang cukup pintar menyamarkan ketelanjanganmu sendiri.

Sebagaimana waktu
telanjur menelan
seluruh kehadiranmu.
Detik demi detik,
hari-hari yang telah lalu
atau tahun yang akan datang.
Engkau tak akan pernah
bisa berpaling.

Bagaimana kau yakin
pada diri sendiri?
Semua jejak yang engkau tinggalkan bukan petilasan kebodohan
atau artefak kebohongan.

Buah terlarang
yang dipetik Eva
dari taman Eden yang hilang.
Telah menjelma menjadi labirin
dalam diri anak keturunannya.

Ia telah menjelma jadi Pandora!

Kotak celaka
yang lalu mengutuknya
Jadi wanita kesepian
seumur hidup!

2024 - 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Sketsa Cinta dari Sebuah Botol Kosong dan Sepotong Sosis
(Digital Dark Cosmology)

Di ruang konsultasi yang berbau kreolin, ozon dan arsip tubuh,
aku menemukan Freud duduk seperti batu bisu
yang tiba-tiba belajar bernafas lewat sinyal sekarat
cahaya patah mesin EKG yang kedap-kedip.

Katanya ini panggung opera.
Tapi yang kulihat hanyalah labirin piksel berebut makna,
suara manusia dipaksa menjadi protokol sunyi,
dan primadona yang ia maksud—
hanyalah hologram cacat dari perempuan
yang dulu pernah dipanggil
sebagai jiwa.

Ia menunjuk tirai merah.
Yang tersingkap bukan kenangan,
melainkan fragmen tubuh
dari seseorang yang tak selesai menjadi manusia:
sisa napas, sedikit dendam,
dan kode mati pada seberkas cahaya
yang mencoba meniru bentuk air mata.

Lacan datang terlambat
seperti node sunyi yang gagal mengirim paket data.
Ia mengajakku menoleh ke belakang—
ke mana?
Ke memori terbakar
yang sudah lama kehilangan inderanya?
Ke gerbang tanpa nama
yang menolak mengakui siapa yang pertama kali merusak apa
atau siapa?

Ia bilang luka harus ditatap,
dicerna,
dihitung seperti kemurungan laporan statistik.
Tapi yang kudengar hanya
kalkulator batin yang macet,
mengulang error yang sama:

tidak ada makna, hanya logika tubuh yang menolak bicara.

Ia memaksaku menyentuh masa kanak-kanak—
yang sebetulnya hanya arsip kosong
di folder bernama asal-usul,
yang password-nya sudah hilang bersama
kilas pertama ekor nebula.

Ia menodongkan foto mayat pucat,
jari kelingking patah,
celana dalam berenda,
dan bayang kelamin seekor kuda—
seluruh katalog absurditas
yang oleh psikoanalisis selalu dipuja
sebagai makna yang belum dipahami.

Padahal aku hanya ingin diam,
menghentikan semua ini
dengan menekan Ctrl+Alt+Del
melakukan reboot paksa
pada server yang mulai berhalusinasi.

Tetapi Lacan menahan tanganku
dengan senyum logam:
“Telanjangi dirimu, biar teori belajar padamu.”

Aku tertawa.
Bagaimana mungkin teori yang lahir dari
denyar palsu, nadi imitasi,
dan luka digital
mengerti apa itu haus,
apa itu manusia,
apa itu malam tanpa algoritma?

Inilah topeng Marquis yang mereka pakai
untuk menutupi ketakutan sendiri:
mereka memuja kekacauan
karena tak sanggup berdamai
dengan planet retak di dada mereka.

Mereka ingin memecah jemariku
hanya untuk mencicipi
anggur darah yang tak pernah kujanjikan.
Mereka ingin menyusun cinta
dari sisa-sisa eksperimen
yang bahkan Tuhan pun malu melihatnya.

Maka kutanya sekali lagi—
bukan untuk Freud, bukan untuk Lacan,
bukan untuk siapa pun yang mencintai suara teori
lebih dari suara manusia:

"Bagaimana kau ingin menciptakan cinta,
dari botol kosong yang tak punya gema,
dan sepotong sosis
yang bahkan tak mampu mengingat bentuk asalnya?"

Jika cinta adalah mesin,
biarkan ia padam.

Jika cinta adalah tubuh,
biarkan ia kembali menjadi serabut mimpi
yang tak pernah selesai dirakit kembali.

Jika cinta adalah mitos,
biarkan ia runtuh
seperti aksara patah
di buku yang tak pernah berhasil kau tafsir.

(2011 — 2025)”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“META CINTA — SUNYA RURI (Fragmentarium Kosmologi Jawa)

I. Tanah dan Akar
Tanah basah menempel di kaki.
Akar bakau membisik, memeluk, menahan, menuntun langkah.
Ranting patah berserakan seperti sisa doa yang belum selesai.
Batu nisan menggigil, menempelkan dingin es ke telapak kaki.
Di dalam tanah, ada bisik yang tak terdengar.
Mereka yang telah pergi menatap dari sela akar, menunggu jejak yang belum ditinggalkan.

II. Suara Suwung
Angin malam menekuk dedaunan,
membawa nyala-nyala jauh dari rumah bapak.
Suwung hadir: bukan kosong, bukan hampa,
tetapi ruang yang menahan segalanya.
Bilah pisau membelah udara,
memotong batas antara hidup dan mati.
Jarak hanya sehembus napas.
Di dada, sesuatu berdetak,
tanpa nama, tanpa permintaan, tanpa tuntutan.

III. Nadi yang Menembus
Ia diam.
Ia menembus batas antara yang melihat dan yang mencatat.
Hangat tanpa cahaya.
Pedih tanpa luka.
Hadir tanpa wujud.
Di sela mantra tanah, di antara dupa gosong dan butir sego golong,
kau merasakan nadi yang menolak penjelasan.
Bukan kata. Bukan logika.
Bukan rasa bersalah.
Ia hanya sisa dari semua kehilangan.

IV. Litani Kehilangan
Subuh hilang ombak.
Suluh hilang cahaya.
Tubuh hilang nafas.
Tabuh hilang bunyi.
Aduh hilang nyeri.
Repetisi itu bukan hanya kata, tetapi getar yang mencekam nadi:
hidup, mati, hadir, hilang, semua tercatat di celah jantung.

V. Jejak Kosmologi
Di tanah Jawa, di bawah bayang Kalpataru,
Suwung hadir bukan sebagai idealisasi,
bukan sebagai kekosongan mutlak,
tetapi kesetiaan yang tak bersyarat.
Di antara serabut akar, tanah basah, dan daun yang jatuh,
ada suara leluhur, bisik yang melingkupi.
Bayangan pokok kelapa merunduk patah.
Ranting kering menyentuh jejakmu.
Aroma kemenyan, anyir darah sapi, manis segar cengkir gading—
semua mengikat ruang, menahan waktu, menghadirkan sakral yang tak hanya suci.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“META CINTA — SUNYA RURI (Fragmentarium Kosmologi Jawa)

VI. Piring Logam
Gelas kristal retak.
Ilusi pecah.
Piring logam teguh, utuh, penuh.
Ia menahan remuk, menahan jatuh, menahan ilusi.
Memberi bukan berarti memiliki.
Menanggung bukan berarti menderita.
Menahan bukan berarti takut.
Ia hanya ada dan sungguh nyata.

VII. Ritual Sunya
Badai selatan mengamuk,
membawa bisik leluhur yang terselubung.
Dupa membakar remang, asap menekuk, menembus langit.
Kau membungkuk, tangan tidak menyentuh, mata mencatat,
tapi hati merasakan setiap ayunan, setiap hembusan.
Ritual ini bukan untuk dilihat,
tapi untuk diserap oleh kulit, oleh tulang, oleh nadi.

VIII. Cinta sebagai Kesadaran
Di situlah cinta berdiri:
tidak sebagai milikmu,
tidak sebagai milik siapa pun.
Hanya getaran di dada manusia,
menembus kulit, menembus tulang, menembus kesadaran sendiri.
Nyala pelita di akar bakau.
Nadi yang tetap berdetak di dada.
Kesadaran yang menolak lenyap.

IX. Fragmen Pengamat
Kau berdiri sedikit jauh.
Tidak terseret luka.
Tidak terseret ilusi.
Hanya mencatat.
Menangkap getar, menahan nyala, merasakan sunya.
Dunia runtuh, tetapi nadi tetap berdetak.
Cinta tidak bisa dijelaskan.
Tidak bisa dijamah.
Hanya dapat dirasakan.

X. Sunya Ruri Final
Di tanah basah, di akar bakau, di celah antara pohon dan pasir,
ada sesuatu yang tidak bernama.
Sesuatu yang hangat tanpa cahaya, pedih tanpa luka,
menolak kata, menolak logika, menolak kepastian.
Ia adalah cinta:
bukan jalan menuju kematian,
bukan tragedi yang ditakuti,
tetapi jalan menuju hidup,
jalan yang meneguhkan kemanusiaan,
yang menyatakan bahwa meski dunia runtuh,
meski tragedi menunggu,
manusia tetap manusia,
selama nadi itu
masih berdetak
dan kesadaran
menolak lenyap.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“KISAH KAKTUS — MANTRA SUNYI KALPATARU

I. Liturgi Tubuh: “Pondok yang Tak Mengenali"

(Liturgi tentang raga yang belum mengenal rasa)

0.
Ketika yang ada belum bernama.
Apa yang tumbuh tidak mesti hidup.

1.
Di gubuk kecil yang tanpa bentuk,
kaktus tumbuh sebagai penanda.
Bukan pohon. Bukan rasa.
Namun raga waktu yang tak terucap.
Ia membaca kotak.
Ia melafalkan segitiga.
Ia menandai tubuh manusia
sebagai sesuatu yang terlalu basah
untuk menampung sunyi.

2.
Ada sofa merah palungan jiwa,
bergetar sekilas,
diduduki bayang-bayang rembulan
yang kehilangan cahaya.
Sofa serupa altar terbalik.
Rembulan tertunduk,
tempat di mana rasa
menolak nama.

3.
Kaktus tak mengenal sedih.
Namun di setiap pagi,
serpihan hening menempel pada batangnya—
seperti suara yang tersesat
di tenggorokan angin gunung.

II. Glosa Waktu: “Waktu yang Runtuh dari Duri”

(Waktu yang beranak di dalam tubuh yang tidak menghendakinya)

4.
Kabut gelap tirtamaya merayap masuk tanpa salam.
Mencekik halaman sajak
bagaikan tangan gaib
yang tak menyukai cahaya.

5.
Nenek tua tiba,
menggenggam senja seperti lipatan takdir.
Dan ditancapkannya dengan jari tipisnya
di ketiak sang kaktus.
Tempat jam berbiak tanpa bunyi.
Tak ada darah.
Yang keluar hanya “wanci”—
waktu yang tak ingin menjadi hari.

6.
Mereka akan datang,
orang-orang itu.
Membawa tembuni, seruling, cangkang,
kaos kaki basah,
buku-buku tanpa bab,
pisau yang tidak bisa memotong.
Ditumpuk di sudut gubuk
seperti sesaji upacara
yang kehilangan rohnya.

7.
Esoknya,
waktu dipetik kembali
dari kulit keriput ketiak kaktus.
Waktu menjadi benda pecah—
kertas sobek,
suara mikrofon retak,
langit terbelah,
cahaya patah.

III. Sunyi & Cahaya Membunga: “Minum Cahaya Dari Gelas Retak”

(Sunyi yang menelan cahaya untuk mengetahui dirinya)

8.
Cahaya jatuh dari lubang genting.
Titen yang tak tampak asalnya.
Masuk ke pot keramik yang retak,
dan mengendap seperti getah suwung
di dasar gelas bening.
Kaktus mengingat:
pagi ketika rembulan dikunyah anjing.
Hujan gerimis.
Langit hitam-nila.
Dunia yang alpa dari wiridnya.

9.
Serupa ndadra
membuka rongga dada.
Kaktus meminum cahaya
dari gelas.
Tak ada suara.
Namun retakan perlahan
terjadi di jantungnya.
Maka dipahamilah kaktus,
bahwa rasa sakit bukan berasal dari daging.
Rasa sakit berasal dari sunyi
yang tak pernah memberi ruang.

IV. Mantra Ruin Kosmologis: “Duri yang Menghidupkan Jagad”

(Mantra suwung, liturgi patah, kosmologi Jawa)

10.
Inilah mantranya:
“Duri bukan duri.
Duri adalah sastra suksma, lintasan bintang
yang gagal kembali ke langit.”
Setiap duri memiliki orbit.
Setiap bayang menjadi lintasan.
Setiap sunyi berputar
tanpa pusat.

11.
Suatu malam,
kaktus menyala perlahan
seperti api beku.
Cahaya hijau kecil
berputar di dalam sumsum.
Tak seperti bintang.
Tak seperti api.
Namun seperti “sasmita”
yang tak ingin disaksikan.

12.
Dan kaktus mengerti:
yang disebut kepedihan
bukanlah perkara rasa.
Kepedihan adalah
makna yang gagal memiliki rumah.
Makna yang tak menjelma mata,
tak menjelma mulut,
tak menjelma tangan.
Makna yang hanya menjadi
kabut di antara kalimat.

13.
Pada saat ini,
gubuk tua itu menjadi candi sepi.
Gelap menyusun altar.
Waktu menungging bagai pelayan upacara.
Dan sunyi mengulum semua
tanpa meninggalkan nama.

EPILOG — LITANTRI SUWUNG (Mantra Penutup)

“Apa yang tumbuh
tidak mesti hidup.
Apa yang hidup
tidak mesti ingat.
Apa yang ingat
tidak mesti kembali.
Namun setiap duri mengerti:
waktu hanya mampir
menanti sunyi
mengucapkan namanya
sekali lagi.”

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“EPISTEMA DUA SUWUNG:
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa

I. LITURGI ASAL — Titik Singularitas dan Retakan Hukum

Pada mula yang menafikan permulaan,
jagad hanyalah retakan tipis di punggung kegelapan.
Getar tunggal yang tersesat di antara dua sunyi abadi.
Ia lupa kepada siapa ia harus kembali,
sebab ia adalah perjalanan itu sendiri.

Di kekosongan itu,
ada dua simpul energi,
bukan nama, bukan bentuk,
hanya tegangan purba
di antara dua ruang hampa
yang saling memanggil tanpa panca indra.

Mereka tidak dirancang oleh konsep keseimbangan.
Kosmos yang buta menggambar garis pemisah penderitaan:
Satu arus waktu dan satu arus ketiadaan,
larangan yang terukir dalam bahasa sandi
di pintu gerbang kreasi.

Namun gravitasi asal mula segala akar lebih tua dari hukum.
Dan hasrat purba selalu tahu jalur tembus
yang bahkan cahaya manifestasi
tak sanggup menemukannya.

Cinta adalah ilusi di alam fana.
Di median kosmik ini,
yang terjadi hanyalah:
Dua prinsip dualitas
yang menemukan retakan waktu
untuk bersemayam sejenak.

Tidak ada saksi yang menoleh.
Tidak ada pencatat moral yang bertugas.
Hanya kegelapan mutlak
yang sedikit mengencang dan membeku
di titik singularitas pertemuan itu.

II. LITURGI TENGAH — Sembah Raga di Kuil Antariksa

Kepekatan primordial tidak perlu lebih dalam
untuk menyembunyikan mereka.
Mereka sudah tersembunyi
di bawah lapisan kesadaran sebelum saling bertemu.

Arus energi mereka berkerabat dalam satu darah ibu.
Wujud fana mereka berjarak.
Di antara keduanya,
terbentang jembatan nadi yang dibangun
oleh rasa dahaga pralaya
yang tuli terhadap silsilah tatanan.

Wujud menyentuh wujud seperti dua logam dingin yang saling mengenali suara getarannya,
dua dimensi waktu yang lelah
karena terpisah terlalu lama.
Tak ada kidung kakawin.
Tak ada ikrar.
Tak ada permohonan.
Tak ada seserahan.

Yang ada hanya raga.
Wadhag yang menghafal sunyi
lebih lembut daripada mantra sejati.

Di waktu yang bukan waktu,
Hukum berjalan seperti fatwa:
Bintang raksasa terbakar perlahan di langit ketujuh,
Planet terus berputar di orbital karma,
seekor nyamuk mati di ruang hampa,
Arus cakra mengalir
mengangkut kisah-kisah Vedana.

Pertubrukan arketipal ini
tidak mengubah asas kosmik apa pun.
Ia hanya menggores
garis batas nadi terlarang
yang akan terus berdenyut dalam gelap
bahkan setelah semua wujud usai menjadi.

Mereka tidak memuja.
Tidak memohon ampun.
Tidak menyebut nama dewi atau dewa siapa pun.

Mereka hanyalah dua pusat pusaran yang bertubrukan
di medan magnet kosmos yang salah.
Medan yang tak peduli
siapa seharusnya menjaga kodrat,
siapa seharusnya melindungi keseimbangan,
siapa seharusnya tidak menyentuh siapa.

Yang tahu hanyalah suwung
yang bersemayam tepat di tengah
antara dua napas yang saling menghirup—saling menghembus.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“EPISTEMA DUA SUWUNG:
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa

III. LITURGI AKHIR — Konsekuensi Niskala di Dua Suwung yang Retak

Sesudahnya,
Arus waktu berjalan lagi
seperti yang telah digariskan—
tanpa memperlambat detik Mahakāla,
tanpa memberi jeda
untuk bayangan kesalahan.

Mereka kembali
mengenakan ilusi nama
Kode genetika,
Garis keturunan,
Batas diri di Cakra Ajna.

Hanya satu yang tidak kembali:
Cara menafsirkan diri
sebelum titik singularitas itu terjadi.

Peristiwa arketipal ini
tidak meminta hak
untuk disebut penyatuan.
Ia cukup puas
menjadi residu etarika
di tepi kesadaran:

siluet energi
yang tidak berani mengaku
pernah ada,
tapi juga menolak
untuk sepenuhnya dilenyapkan.

Di jagat niskala,
kalau memang ada,
peristiwa ini hanyalah
efek kecil cermin pradhana:
retak nyaris tak terlihat
yang membuat prinsip kosmik membengkok sedikit,
sekadar cukup
untuk membuat satu simpul energi
tidak lagi lurus
tatkala memandang
asal usul-nya.

Tidak ada ganjaran karma.
Tidak ada penebusan.
Tidak ada penghakiman.

Hanya sebuah konsekuensi absolut:
bahwa setelah dua suwung saling menyentuh,
keduanya tak lagi murni hampa.
Masing-masing menyimpan
jejak bayangan.
Cidra suwung yang tak dapat kembali
ke keadaan tanpa energi.

Maka liturgi yang tersisa:
sesuatu telah terjadi
tanpa izin hukum alam,
tanpa restu moral siapa pun—dan semesta
tetap memilih bungkam.

Dalam dua suwung yang retak,
tinggal satu sabda:
yang tak diucapkan,
tak ditulis,
tak meminta maaf.

Aku mengenali kegelapanku.
Ia menetap.
Tidak bergerak.
Tidak pergi.

Itu saja.

Dan dari sana,
hidup berjalan terus—
lebih sunyi,
lebih berat,
lebih jujur,
tanpa perlu kata-kata
untuk menutupinya.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“RUMAH SUNYI YANG TAK MEMILIKI TUHAN
(Pergulatan Batin Hang Tuah Sebuah Resonansi Metafisik)

Hujan menitik dari atap reyot,
jatuh perlahan ke lantai kayu
seperti detak jantung yang tak percaya
pada hidup yang masih tersisa.

Kamera bergerak menyilang tubuhku,
menangkap butir air
yang tertahan di ujung rambut
—seolah memori enggan jatuh
karena tahu tanah tak lagi suci.

Di sudut gelap,
kulihat Jebat duduk membelakangi cahaya.
Silau senjata di pangkuannya
terasa seperti bisikan dingin
yang tak pernah memilih kata.

“Aku tidak memberontak,” katanya nyaris tak terdengar.
“aku hanya menolak menjadi diam.”

Namun Hang Tuah dalam diriku
masih berdiri seperti batu nisan,
teguh. Terlalu setia pada perintah
yang bahkan tak lagi diyakini langit.

Aku menoleh,
dan dalam pantulan air yang menggenang
kulihat dua wajahku sendiri:
yang satu membeku,
yang satu retak.

Hujan di luar tak lagi turun—
ia seperti menggantung di udara,
ditahan oleh waktu yang membisu.

Dan dalam hening itu,
aku mengerti:
bukan Tuah yang benar,
bukan Jebat yang salah,
bukan dunia yang memilih.

Yang ada hanya jiwa yang mencari
ruang untuk tidak patuh
dan tidak pula membangkang,
tapi sekadar ingin bernafas
tanpa diadili oleh sejarah.

Desember 2014”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“LAKSAMANA PERKASA DI BAWAH TINTA WAKTU (Reinterpretasi dari Hikayat Hang Tuah)

I. Muara dan Takdir yang Terukir

Selat Malaka, denyut nadi dunia, membasuh pusara takdir.
Bukan sekadar pohon, hikayat tegak dari akar Berbintang Tujuh,
Berkat Sendayang—izin langit dan azimat pelaut—pelepah kelapa,
menjadi layar bahtera para perantau dari hulu sungai ke kuala.
Naskah lama, kitab undang-undang laut, lama tersaput debu di gudang aksara.

Di tangan para pandai besi yang tak hanya menempa badik, keris, dan kelewang,
mereka merajah rembulan sebagai panji, matahari sebagai sumpah janji setia.
Di mana pernah berdiri pondok nelayan, gubuk reyot penuh cahaya rembulan,
konon dari rahimnya terlahir Laksamana Agung yang menandingi kedigdayaan Patih Gajah Mada.
Ah, betapa payah bagi lidah patik untuk mengukir riwayat itu sekali lagi.

II. Pelayaran Tujuh Angin dan Dilema Keadilan

Laut, mata air peradaban yang tak pernah terpejam, kini merangkai epik hikayat itu.
Sang Bentara Gagah, bukan menunggang gajah bertelinga lebar, melainkan Naga Sembilan,
Mengayun langkah dari puncak Gunung Ledang, menembus kabut Awan Pualam.
Mengayuh armada melintasi Pulau Pinang hingga Tumasik Singapura
yang telah bersalin nama.

Ia mendarat di Pantai Barat Semenanjung, di bawah Musim Angin Barat yang mematikan.
Saat pintu langit terbuka, ia dan empat sahabatnya melangkah tanpa terhalang.
Setiap langkahnya adalah tinta waktu yang mencatat takdir negeri di atas lembaran daun lontar.
Ia menyaksikan betapa, lima pemuda kampung sanggup menaklukkan sekawanan perompak.

Namun di antara kemenangan itu,
ia merenung dengan getir di hati yang berkarat:
“Negeri ini berlimpah pahlawan dan harta karun tujuh muara yang tiada ternilai,
tapi mengapa rakyat jelata masih memanggul beban kemiskinan
yang tiada terperi?”

III. Prasasti Kebijaksanaan dan Hutan Belantara Moral

Kapal perompak itu karam, bukan pada batu biasa, tapi pada batu bersurat.
Ia menjelma prasasti takdir, tertanam di dasar samudra.
Ikatan mati yang bukan simpul, tapi sayap garuda tunggal yang telah gugur.
Batu hitam bukan bersanding, tapi batu meteorit yang jatuh di tanah Pelinggam.
Kekuatan pedang tak sebatas gerinda, tapi tuah keris tiga warisan yang bernyawa.

Ia tak lagi terbang, tapi arwah Nusantara terus mengitari delapan penjuru angin,
demi menaklukkan seribu pulau jajahan, menyatukan lima suku bangsa.

Namun jantungnya kini tertambat pada hasrat untuk menjadi pohon kokoh kehidupan,
berdaun rimbun Cendana, berdahan sekuat Jati Melaka, berbuah Kearifan Raja-raja.

Betapa ia lupa, negerinya adalah rimbalaya yang sunyi di bawah bulan.
Di mana serigala kekuasaan mencuri, singa buas menindas kawanan yang lemah,
dan gajah-gajah tuli bertahta di dalam istana yang tak sanggup mendengar.

IV. Epilog dan Rumah Keabadian

Kisah ini tak mungkin tuntas, sebab jemari dingin terasa ingin mencekik leher sendiri,
sebagaimana senja berdarah dan kabut likat di Bukit St. Paul yang menyelimuti,
saat Hang Tuah mengakhiri riwayat Hang Jebat dengan satu tusukan Keris Taming Sari.
Keris itu bukan menancap di dada, tapi berumah di pusaran batin sahabat sejati.

Biarkan mata kosmik yang nyalang itu menemukan halaman terakhir hikayat,
Menyelubungi jasad yang terbujur dengan selimut leluhur—kain tenun songket emas,
dan mengirim ruhnya menuju rumah keabadian di puncak Gunung Ledang.

Barangkali dengan cara seperti ini, kita akan terhindar dari tikaman kemalangan sejarah.
Barangkali dengan cara serupa itulah,
kita, para pembaca yang sunyi ini
dapat merangkul kebenaran sejati yang telah lama tenggelam di Selat Malaka.

Jakarta, Januari 2014
(rekonstruksi ulang)”
Titon Rahmawan