Eksistensi Quotes

Quotes tagged as "eksistensi" Showing 1-3 of 3
Titon Rahmawan
“Pandora

Apa yang mungkin engkau yakini sebagai hukuman, Kay?
Bukankah langkah,
semestinya tidak tinggalkan jejak
yang kemudian hari
ingin engkau ingkari.

Kenangan adalah
getah yang menitik
dari luka sebatang pohon.
Sedang ingatan pilu
yang terkubur di halaman
adalah tulang-tulang yang digali
oleh anjing-anjing pencuri
di malam hari.

Siapa yang akan datang
untuk mencintaimu
dengan wajah yang carut marut
serupa itu, Kay?

Tangkapan layar itu
tak akan pernah
menyatakan kebohongan
selain apa yang sengaja
engkau niatkan dari semula.

Apapun yang coba kau sembunyikan
di balik topeng _masquerade_ berenda
selamanya tak akan pernah pergi.

Kau tak mungkin jadi bunglon
yang cukup pintar menyamarkan ketelanjanganmu sendiri.

Sebagaimana waktu
telanjur menelan
seluruh kehadiranmu.
Detik demi detik,
hari-hari yang telah lalu
atau tahun yang akan datang.
Engkau tak akan pernah
bisa berpaling.

Bagaimana kau yakin
pada diri sendiri?
Semua jejak yang engkau tinggalkan bukan petilasan kebodohan
atau artefak kebohongan.

Buah terlarang
yang dipetik Eva
dari taman Eden yang hilang.
Telah menjelma menjadi labirin
dalam diri anak keturunannya.

Ia telah menjelma jadi Pandora!

Kotak celaka
yang lalu mengutuknya
Jadi wanita kesepian
seumur hidup!

2024 - 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Protokol Keberadaan
// (Dekonstruksi: Sartre · Camus · Derrida)

Di ruang tanpa tripod penyangga—
aku berdiri sendirian, kata-kata bergetar.
Kebebasan? kata itu berdaki pada bibirku seperti tinta lama yang telah mengering.
Kudeklarasikan: aku memilih—
lalu sistem membaca ulang pilihanku,
menemukan trace yang tak pernah kuketik: jejak-jejak luka,
différance yang tersisa.

Camus menaruh batu di pangkuanku; aku menolak mengangkatnya.
Ia bilang: lakukan pemberontakan,
hidup menuntut upaya menanggung absurditas.
Aku bertanya: siapa yang menulis perintah itu dalam log jam;
apakah log memberi status: sah atau hanya pesan error yang terulang?

Sartre berbisik: kau adalah keputusan; kau bukan takdir.
Tapi siapa yang menyetujui keputusan itu ketika kata 'aku' sendiri
adalah naskah yang dapat dipanggil ulang, dikopi, di-paste ke tubuh lain?
Kebebasan itu jadi modul: terinstal, terhapus, di-restore oleh cinta dan kerinduan.

Derrida tersenyum dalam bayangannya—bukan menghina, melainkan menyodorkan sebilah pisau:
“Bongkar premisnya. Baca ulang tanda-tanda. Perhatikan sisipan yang kau anggap pasti.”
Sekali kuteruskan kata “hak”, ia menjadi pantulan: hak untuk memilih 》 hak yang dimaknai 》 hak yang dibaca ulang.
Selalu ada kemungkinan lain di balik tiap premis—sebuah residu yang tak bisa dimusnahkan.

Jadi aku menulis dengan alfabet yang tak terikat:
kata seperti partikel, seperti byte; mereka bergerak, meninggalkan jejak,
membentuk makna bukan sebagai titik, tapi sebagai radiasi—gelombang yang menunda kehadiran.
Aku menunggu diferensiasi itu: makna yang datang telat, menunda, menggoda, melepaskan diri.

Ketika aku menolak keabadian—aku merdeka; ketika aku menuntut makna—aku terjerat.
Absurd bukanlah lubang kecil; ia adalah kondisi komputasi yang terus-menerus crash.
Kita reboot, kita mencari error log, kita menambal dengan mitos, doa, slogan, retorika—
lalu satu baris kode lagi menghapus semuanya, meninggalkan prompt: > Siapa kamu?

Maka puisi bukanlah jawaban—ia adalah protokol:
baca—hapus—tunda—ulang.
Dalam ritme itu aku menemukan sebuah rahmat sirkuler:
kebebasan yang diakui sebagai kebebasan untuk tetap ragu
atau selamanya ambigu.

Aku menapaki ruang antara kata
dan bisikan.
Di sana, warna hitam bukan nihil;
ia adalah pagar yang memaksa pandang.
Di sana, doa bukanlah mukjizat; ia menjadi setitik delay yang menyelamatkan kita dari aksi.
Di sana, aku mengakui: aku mungkin hanya efek samping dari keputusan yang belum kumengerti.

Tapi ada pula sesuatu yang tak bisa di-deconstruct: getar tak terbaca di dada,
ketika aku memilih untuk menanggung, bukan hanya berargumen tentang siapa yang harus menanggung.
Ada keberanian yang tidak perlu diideologikan—hanya dipraktikkan:
memilih lagi, meski tahu teks bisa berubah rupa di saat kita membacanya.

Di ujungnya, kita tidak akan menemukan definisi yang bertahan seutuhnya;
kita menemukan sebuah kebiasaan: berani membuka kata, menunggu trace, mendengar gema.
Itu bukan absurd semata; itu adalah ritual perulangan yang membawa kita pada perjumpaan—
bukan dengan kebenaran yang tunggal, melainkan dengan kebenaran yang berkorelasi:
kebenaran yang bersedia menjadi ruang tunggu tempat bertemu, bukan batu yang membebani.

Jadi datanglah, pilih:
tetap berpegang pada batu yang membuatmu runtuh, atau berdiri di ambang uraian,
tempat kata-kata menjadi medan peperangan, dan kebebasan adalah aktivitas terus-menerus—
sebuah kerja pikiran, bukan klaim monumental.

Di sana, antara deklarasi dan keraguan, kita mendirikan puisi ini:
sebuah protokol kecil untuk hidup yang tidak puas dengan kepastian,
sebuah doa yang bisa di-debug, namun tak pernah sepenuhnya dapat dimusnahkan.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“KAMAR MAYAT KATA-KATA

Aku membuka dadaku
seperti Sylvia membuka oven
tempat ia hendak membakar dirinya:
tanpa upacara,
tanpa metafora,
tanpa perhiasan bahasa
yang berusaha menutupi bau tubuh
yang sudah terlalu lama membusuk.

Inilah luka yang tidak berkafan.

Aku menulis bukan untuk sembuh—
hanya memastikan, rasa sakit itu
benar-benar nyata,
ia tidak bersembunyi
di balik diksi yang manis,
goresan pisau yang tidak menyamar sebagai harapan
demi membuat dunia merasa nyaman.

Nyaman adalah kebohongan.

Aku ingin mereka melihat
bagaimana kata-kata itu bergetar
di bawah ketiadaan cahaya,
bagaimana kenyataan menyeret dirinya melewati undakan tangga,
memecahkan cermin,
meretakkan rahang kesadaran,
mencabuti kuku-kuku yang tersisa
dari ibu jari batin.

Ini bukan kamar
hotel mewah.
Ini kamar mayat
tempat jasad puisi
diotopsi.

Setiap kata yang kau baca
adalah organ yang baru dipotong:
masih hangat,
masih berdarah,
masih membawa jejak ketakutan terakhirnya.

Aku meletakkannya di atas
nampan logam
tanpa penutup,
tanpa formalin,
tanpa doa.

Lihatlah: — ketakutan yang dikikis sampai tersisa tulang
— kemarahan yang dipaksa menelan lidahnya sendiri
— rasa bersalah yang dipakukan ke dinding
— harapan yang dibakar hingga tak berbentuk.

Ini bukan metafora,
ini pembersihan.
Penyembelihan kasar.
Eksorsisme penuh sadar.

Aku akan mengulang ritual Sylvia menulis dengan pisau;
biar aku tajamkan pisaunya
dan memasukannya lebih dalam.

Aku tidak mencari atribut indah.
Keindahan hanya membuat
luka terasa sopan.
Aku ingin luka ini menatapmu
tanpa kulit,
tanpa nama,
tanpa riasan.

Karena hanya ketika tubuh bahasa dikeluarkan dari kulitnya,
barulah kebenaran berdiri
tanpa takut, tanpa gemetar.

Maka inilah kebenaran itu:
bahwa aku telah menghabiskan hidup
menjadi aktor dalam drama
rasa sakitku sendiri,
mengecat wajahku dengan metafora
agar tampak seperti seni,
padahal aku hanyalah manusia
yang tidak pernah selesai melawan hegemoni teror sendiri.

Hari ini aku mengakhiri sandiwara itu
menanggalkan semua ornamen.
membiarkan yang tersisa
hanya daging mentah
yang masih berdarah.

Dan jika kau merasa ngeri,
bagus!
Rasa ngeri adalah bukti
bahwa kau masih hidup.

Inilah tandanya:
ruang putih,
dingin besi,
bau anyir logam,
kesunyian yang menyalak,
jiwa yang dibaringkan
telanjang
tanpa penutup,
tanpa belas kasihan,
tanpa penjelasan.

Tubuh remuk puisi
yang tidak menuntut dipahami
hanya menuntut jujur.

Karena kadang,
satu-satunya cara
untuk tetap hidup
adalah membiarkan
sebagian dari dirimu mati
di atas halaman kertas kosong
tanpa tulisan.

November 2025”
Titon Rahmawan