,

Makna Quotes

Quotes tagged as "makna" Showing 1-22 of 22
Pramoedya Ananta Toer
“Setiap pengalaman yang tidak dinilai baik oleh dirinya sendiri ataupun orang lain akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan”
Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2

Lenang Manggala
“Kita semua bisa melakukannya, jika Isra' Mi'raj didefinisikan sebagai perjalanan menuju ruang pemaknaan. Buroqnya? Kesabaran dan pikiran yang terbuka.”
Lenang Manggala

Rohmatikal Maskur
“Kadang kita perlu jauh, untuk tau arti dekat. Kadang kita perlu tau letihnya mengejar, untuk memahami makna jalan bersama.”
Rohmatikal Maskur

T. Alias Taib
“kau yang ghairah menggayakan
kulitmu
mengapa tidak kaubentangkan
isimu?

(Catatan Tentang Sahabat, 4)”
T. Alias Taib, Opera

Dian Nafi
“Dan ketika salah satu ilmu mendatangkan mudhorot, silahkan dievaluasi dan dimaknai kembali ilmunya”
Dian Nafi, Sarvatraesa: Sang Petualang

Kusumastuti
“Mereka terdiam.Tanpa kata, namun bukan tanpa makna. Ketika cinta menebarkan mantranya, Sebuah senyum mampu membuka seluruh bulir rasa.”
Kusumastuti, Blue Vino

Rohmatikal Maskur
“Nyatanya ada sesuatu yang tak berakhir meski telah berhenti. Kadang “selesai” juga tak selalu bermakna benar benar selesai.”
Rohmatikal Maskur

Dian Nafi
“Air mata pun berbeda arti dan maknanya. Tergantung mata air apa yang mengalirkannya. Dan matahari serta mata hati apa yang melelehkannya.”
Dian Nafi, Matahari Mata Hati

Wan Mohd Nor Wan Daud
“Saifuddin al-Amidi (1233 Masihi) dalam kitabnya yang terkenal Abkar al-Afkar telah mengumpul dan menganalisis semua takrif ilmu yang terdapat pada zamannya secara terperinci. Beliau mendapati bahawa takrif yang dikemukakan oleh Fakhruddin al-Razi (meninggal dunia 1209 Masihi) adalah yang terbaik. Takrif itu, yang diketengahkan semula dan diperbaiki lagi oleh Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas ialah seperti yang berikut:

Merujuk kepada Allah sebagai asal segala ilmu, ia (ilmu) adalah ketibaan makna sesuatu ke dalam diri seseorang. Apabila merujuk kepada diri sebagai pentafsir, ilmu adalah ketibaan diri seseorang kepada makna tentang sesuatu.
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Satu Penjelasan

Rosli K. Matari
“Kauberikan buih berserakan
Untuk kuertikan apa sahaja.

Tetapi aku turut memerlukan rhu
Sebagai pembanding makna.

(Ingatan Terhadap Laut Yang Jauh)”
Rosli K. Matari, Hanya Langit Meratap

T. Alias Taib
“seratus kenyang pun datang
kalau tak biasa lapar
tak kausua nikmatnya
seratus cinta pun berkembang
kalau tak pernah luka
tak kausua nikmatnya

(apakah yang lebih nikmat)”
T. Alias Taib, Seberkas Kunci

T. Alias Taib
“kusimpan duniaku di dalam saku seluar
duniaku menyimpan seluruh perbatasan hidupku

(duniaku)”
T. Alias Taib, Seberkas Kunci

Zaen Kasturi
“tak perlu tanda tanya
kerana kita adalah buku rahsia yang telah lama terbuka
sejak kata pertama jatuh mencari makna,” bisik benih kepada tanah
yang menumbuh dan menyuburkannya

(siapa di antara sela rerumputan)”
Zaen Kasturi, Fajar Lingkung Lembayung

T. Alias Taib
“air mengalir
di antara kerikil-kerikil
menempuh perut hutan

ke kaki bukit
yang berkata padanya
di mana bentukmu?

(bentuk)”
T. Alias Taib, Seberkas Kunci

T. Alias Taib
“aku hanya merasa cemburu terhadap kebebasanmu
bertahun-tahun di jantung paya yang kecil
bersihkan lumut yang menyelubungi selaput matamu

(tanya keli pada pengail)”
T. Alias Taib, Seberkas Kunci

“Faktor-faktor yang melahirkan cinta adalah keimanan, keislaman, dan kemanusiaan serta berbagai mata rantai nurani yang kokoh dan benteng maknawi yang tangguh

(Badiuzzaman Said Nursi dalam Novel Api Tauhid)”
Habiburrahman El Shirazy

Nukila Amal
“Jika saja nama tak merujuk pada makna, dan bukan budaknya. Jika saja nama adalah semata nama dan tak perlu mengemban kehendak apa-apa dibaliknya. Jika saja nama adalah cuma sekumpulan bunyi-bunyian kebetulan yang tak hendak menandakan apa-apa.”
Nukila Amal, The Original Dream

“Kotak Kayu Tua:
Ada dalam sebuah kotak kayu tua,
sang penanda waktu menjalankan tugasnya,
dengan selembar kaca melindunginya;

ada dalam sebuah ruang,
kotak kayu besar nan tua itu
diletakan di sisi kanan tuan-nya,
yang duduk juga menjalankan tugasnya;

mereka bercakap dalam syahdu,
memahami segelintir makna
dari sebuah hakikat tentang semesta ...
.... kita bicara soal waktu

— Epaphras Ericson Thomas”
Epaphras Ericson Thomas

“Kotak Kayu Tua:
Ada dalam sebuah kotak kayu tua,
sang penanda waktu menjalankan tugasnya,
dengan selembar kaca melindunginya;

ada dalam sebuah ruang,
kotak kayu besar nan tua itu
diletakan di sisi kanan tuan-nya,
yang duduk juga menjalankan tugasnya;

mereka bercakap dalam syahdu,
memahami segelintir makna
dari sebuah hakikat tentang semesta ...
.... kita bicara soal waktu”
Epaphras Ericson Thomas

“Makna hadir dari proses menemukan berbagai cara berbeda untuk berkontribusi, untuk bermanfaat bagi orang lain di sekitar kita.”
Afutami, Menjadi: Seni Membangun Kesadaran tentang Diri dan Sekitar

Nailal Fahmi
“Ia tak peduli walau hanya seperti
berbicara kepada diri sendiri,
“Dalam setiap puisi yang kueja,
selalu ada kata yang gagap menangkap makna.”
Nailal Fahmi, Pada Suatu Hari yang Biasa

Titon Rahmawan
“Protokol Keberadaan
// (Dekonstruksi: Sartre · Camus · Derrida)

Di ruang tanpa tripod penyangga—
aku berdiri sendirian, kata-kata bergetar.
Kebebasan? kata itu berdaki pada bibirku seperti tinta lama yang telah mengering.
Kudeklarasikan: aku memilih—
lalu sistem membaca ulang pilihanku,
menemukan trace yang tak pernah kuketik: jejak-jejak luka,
différance yang tersisa.

Camus menaruh batu di pangkuanku; aku menolak mengangkatnya.
Ia bilang: lakukan pemberontakan,
hidup menuntut upaya menanggung absurditas.
Aku bertanya: siapa yang menulis perintah itu dalam log jam;
apakah log memberi status: sah atau hanya pesan error yang terulang?

Sartre berbisik: kau adalah keputusan; kau bukan takdir.
Tapi siapa yang menyetujui keputusan itu ketika kata 'aku' sendiri
adalah naskah yang dapat dipanggil ulang, dikopi, di-paste ke tubuh lain?
Kebebasan itu jadi modul: terinstal, terhapus, di-restore oleh cinta dan kerinduan.

Derrida tersenyum dalam bayangannya—bukan menghina, melainkan menyodorkan sebilah pisau:
“Bongkar premisnya. Baca ulang tanda-tanda. Perhatikan sisipan yang kau anggap pasti.”
Sekali kuteruskan kata “hak”, ia menjadi pantulan: hak untuk memilih 》 hak yang dimaknai 》 hak yang dibaca ulang.
Selalu ada kemungkinan lain di balik tiap premis—sebuah residu yang tak bisa dimusnahkan.

Jadi aku menulis dengan alfabet yang tak terikat:
kata seperti partikel, seperti byte; mereka bergerak, meninggalkan jejak,
membentuk makna bukan sebagai titik, tapi sebagai radiasi—gelombang yang menunda kehadiran.
Aku menunggu diferensiasi itu: makna yang datang telat, menunda, menggoda, melepaskan diri.

Ketika aku menolak keabadian—aku merdeka; ketika aku menuntut makna—aku terjerat.
Absurd bukanlah lubang kecil; ia adalah kondisi komputasi yang terus-menerus crash.
Kita reboot, kita mencari error log, kita menambal dengan mitos, doa, slogan, retorika—
lalu satu baris kode lagi menghapus semuanya, meninggalkan prompt: > Siapa kamu?

Maka puisi bukanlah jawaban—ia adalah protokol:
baca—hapus—tunda—ulang.
Dalam ritme itu aku menemukan sebuah rahmat sirkuler:
kebebasan yang diakui sebagai kebebasan untuk tetap ragu
atau selamanya ambigu.

Aku menapaki ruang antara kata
dan bisikan.
Di sana, warna hitam bukan nihil;
ia adalah pagar yang memaksa pandang.
Di sana, doa bukanlah mukjizat; ia menjadi setitik delay yang menyelamatkan kita dari aksi.
Di sana, aku mengakui: aku mungkin hanya efek samping dari keputusan yang belum kumengerti.

Tapi ada pula sesuatu yang tak bisa di-deconstruct: getar tak terbaca di dada,
ketika aku memilih untuk menanggung, bukan hanya berargumen tentang siapa yang harus menanggung.
Ada keberanian yang tidak perlu diideologikan—hanya dipraktikkan:
memilih lagi, meski tahu teks bisa berubah rupa di saat kita membacanya.

Di ujungnya, kita tidak akan menemukan definisi yang bertahan seutuhnya;
kita menemukan sebuah kebiasaan: berani membuka kata, menunggu trace, mendengar gema.
Itu bukan absurd semata; itu adalah ritual perulangan yang membawa kita pada perjumpaan—
bukan dengan kebenaran yang tunggal, melainkan dengan kebenaran yang berkorelasi:
kebenaran yang bersedia menjadi ruang tunggu tempat bertemu, bukan batu yang membebani.

Jadi datanglah, pilih:
tetap berpegang pada batu yang membuatmu runtuh, atau berdiri di ambang uraian,
tempat kata-kata menjadi medan peperangan, dan kebebasan adalah aktivitas terus-menerus—
sebuah kerja pikiran, bukan klaim monumental.

Di sana, antara deklarasi dan keraguan, kita mendirikan puisi ini:
sebuah protokol kecil untuk hidup yang tidak puas dengan kepastian,
sebuah doa yang bisa di-debug, namun tak pernah sepenuhnya dapat dimusnahkan.

November 2025”
Titon Rahmawan