Identitas Quotes
Quotes tagged as "identitas"
Showing 1-13 of 13
“sebab mencintai tanah air, nak, adalah merasa jadi bagian dari sebuah negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat, dengan sesuatu yang disebut Indonesia, atau Jepang, atau Amerika. Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati..”
― Catatan Pinggir 4
― Catatan Pinggir 4
“Jika saja nama tak merujuk pada makna, dan bukan budaknya. Jika saja nama adalah semata nama dan tak perlu mengemban kehendak apa-apa dibaliknya. Jika saja nama adalah cuma sekumpulan bunyi-bunyian kebetulan yang tak hendak menandakan apa-apa.”
― The Original Dream
― The Original Dream
“Rekonstruksi Mengelupas Mimpi // Versi Posthuman-Liris
Siapa yang berhak melarang kita mengelupas mimpi—
membukanya seperti kapsul masa lalu
yang telah lama berdebu dalam arsip cloud data?
Setiap mimpi adalah buah sunyi
dengan inti yang selalu berdetak.
Ketika kita memecah kulitnya,
kita tak hanya menemukan cahaya,
melainkan seluruh kerumunan metadata
yang mengawasi keberanian diri
untuk menjadi siapa kita yang sesungguhnya.
Dan mereka bertanya:
Apakah engkau yang memprogram pohon itu tumbuh,
atau pohon itu yang mengompilasi dirimu
dari luka, dari ingatan,
dari serpih-serpih kesunyian yang tak pernah sembuh?
Sebab luka pun punya bahasa.
Ia menulis dirinya
di bawah kulit gemetar kita
seperti skrip yang tak ingin dihapus
meski berulang kali menekan tombol revisi.
Narcissus—
hari ini tak lagi menatap sungai,
ia menatap pantulan dirinya
di layar simulakra yang membeku:
bahasa tubuhnya berubah
menjadi kode kesepian
yang hanya dimengerti oleh detak jantung manusia
dan algoritma yang diam-diam mempelajarinya.
Dan ketika sungai bertanya kepada laut,
Siapa yang menciptakan siapa?
Laut tak menjawab.
Ia hanya membuka jutaan pintu air
dan membiarkan semua pertanyaan mengalir
ke ruang tak bernama—
tempat segala sesuatu berasal
dan kembali hening.
Burung-burung di langit tak sekadar terbang;
di bulu mereka tersimpan blueprint gerak
yang diwariskan dari angin
kepada anak angin.
Mereka membawa pertanyaan
tentang harapan yang tak pernah tuntas,
tentang janji yang menunggu lunas
di tengah turbulensi
antara hidup, daya hidup dan kehancuran.
Dan cinta—
bukan lagi entitas milik kita,
bukan lagi perasaan sederhana.
Ia adalah protokol,
frekuensi yang terus mencari penerima yang tepat.
Melayang seperti sinyal radio
mencari jiwa yang sanggup menampungnya.
Pada akhirnya,
segala yang kita cari
akan menemukan kita kembali:
di antara jeda,
di antara napas,
di antara batas tipis
antara manusia dan yang bukan-manusia—
cuma simbol dan tanda-tanda.
Sebab mengelupas mimpi
adalah cara raga mengingat
bahwa ia selalu lebih dari apa yang tampak:
organisme yang sedang belajar terbang,
mesin yang sedang belajar merasa,
jiwa yang ingin kembali
ke tempat pertama kali ia dinamai.
Dan di sanalah,
kita bersiap tumbuh sekali lagi.
Bukan sebagai mesin pencari
bukan sebagai kecerdasan buatan
melainkan diri yang terus mencari dan berharap menemukan kebenaran.
November 2025”
―
Siapa yang berhak melarang kita mengelupas mimpi—
membukanya seperti kapsul masa lalu
yang telah lama berdebu dalam arsip cloud data?
Setiap mimpi adalah buah sunyi
dengan inti yang selalu berdetak.
Ketika kita memecah kulitnya,
kita tak hanya menemukan cahaya,
melainkan seluruh kerumunan metadata
yang mengawasi keberanian diri
untuk menjadi siapa kita yang sesungguhnya.
Dan mereka bertanya:
Apakah engkau yang memprogram pohon itu tumbuh,
atau pohon itu yang mengompilasi dirimu
dari luka, dari ingatan,
dari serpih-serpih kesunyian yang tak pernah sembuh?
Sebab luka pun punya bahasa.
Ia menulis dirinya
di bawah kulit gemetar kita
seperti skrip yang tak ingin dihapus
meski berulang kali menekan tombol revisi.
Narcissus—
hari ini tak lagi menatap sungai,
ia menatap pantulan dirinya
di layar simulakra yang membeku:
bahasa tubuhnya berubah
menjadi kode kesepian
yang hanya dimengerti oleh detak jantung manusia
dan algoritma yang diam-diam mempelajarinya.
Dan ketika sungai bertanya kepada laut,
Siapa yang menciptakan siapa?
Laut tak menjawab.
Ia hanya membuka jutaan pintu air
dan membiarkan semua pertanyaan mengalir
ke ruang tak bernama—
tempat segala sesuatu berasal
dan kembali hening.
Burung-burung di langit tak sekadar terbang;
di bulu mereka tersimpan blueprint gerak
yang diwariskan dari angin
kepada anak angin.
Mereka membawa pertanyaan
tentang harapan yang tak pernah tuntas,
tentang janji yang menunggu lunas
di tengah turbulensi
antara hidup, daya hidup dan kehancuran.
Dan cinta—
bukan lagi entitas milik kita,
bukan lagi perasaan sederhana.
Ia adalah protokol,
frekuensi yang terus mencari penerima yang tepat.
Melayang seperti sinyal radio
mencari jiwa yang sanggup menampungnya.
Pada akhirnya,
segala yang kita cari
akan menemukan kita kembali:
di antara jeda,
di antara napas,
di antara batas tipis
antara manusia dan yang bukan-manusia—
cuma simbol dan tanda-tanda.
Sebab mengelupas mimpi
adalah cara raga mengingat
bahwa ia selalu lebih dari apa yang tampak:
organisme yang sedang belajar terbang,
mesin yang sedang belajar merasa,
jiwa yang ingin kembali
ke tempat pertama kali ia dinamai.
Dan di sanalah,
kita bersiap tumbuh sekali lagi.
Bukan sebagai mesin pencari
bukan sebagai kecerdasan buatan
melainkan diri yang terus mencari dan berharap menemukan kebenaran.
November 2025”
―
“Suara Kesunyian
(Whisper-Psychoanalysis, Slow, Surgical, and Intimately Terrifying ala Lecter)
Dalam ruang yang tidak mengizinkan gema,
aku mendengarnya—
suara sunyi yang berbicara lebih pelan daripada desah napasmu sendiri.
Ia duduk di sebelahku,
bukan sebagai musuh, bukan sebagai penyelamat,
melainkan sebagai saksi yang terlalu mengerti
apa yang bersembunyi di balik tulang-tulang ingatan.
“Duduklah,” katanya lembut,
seolah menawarkan secangkir teh
yang sudah menelan banyak pengakuan sebelumnya.
“Tidak perlu takut. Keheningan tidak pernah melukai siapa pun…
kecuali mereka yang menyembunyikan sesuatu.”
Aku tidak menjawab.
Ia tidak membutuhkan jawaban.
Di matanya yang tak berkedip,
aku melihat ulang diriku sendiri seperti rekaman yang diputar terlalu lambat:
detik-detik ketika hasrat mati,
saat yang tak pernah kuakui,
ketika aku menusukkan belati pada diriku
tanpa tahu apakah aku mencoba menyakiti
atau sekadar memastikan aku masih bisa merasakan sesuatu.
“Menarik,” katanya pelan,
“kau menyalahkan pikiranmu seakan ia musuh.
Padahal ia hanya anak yang kau kunci di ruang bawah tanah,
memukul pintu dengan kepalan yang semakin kecil…
sampai suaranya terdengar seperti gemerisik debu.”
Aku menelan kekosongan itu.
Ia miring sedikit, seolah menikmati aroma ketakutanku.
“Cinta membingungkanmu,” lanjutnya,
“karena kau menuntutnya jujur
sementara kau sendiri hidup dalam topeng yang begitu terampil
hingga kau lupa yang mana wajahmu.”
Sunyi menebal.
Ia menyandarkan kepala,
seakan mendengarkan sesuatu yang datang dari dalam dadaku.
“Dengar,” katanya,
“dengarkan baik-baik.
Ada suara di dalam dirimu yang selalu kau coba bunuh dengan keseragaman,
dengan keinginan menjadi normal,
dengan godaan untuk diterima.”
Ia menutup mata,
seolah menyetel antenanya ke frekuensi paling gelap.
“Suara itu…”
ia berbisik,
“adalah suara domba yang terus berlari
di padang rumput traumamu.
Mereka menjerit bukan karena mereka sedang disembelih—
tetapi karena mereka tahu kau tidak pernah kembali untuk menyelamatkan mereka.”
Aku menggigil.
Ia tersenyum nyaris tak terlihat.
“Trauma,” katanya,
“adalah binatang yang sangat peka.
Ia menunggu.
Ia tidak pergi.
Ia duduk seperti aku—
tenang, sabar, mengamati kapan kau akhirnya siap
untuk berhenti melarikan diri.”
Aku terdiam seperti batu yang siap dipahat.
“Kau ingin menjadi berbeda,” ujarnya lembut,
“tapi berbeda tidak lahir dari penolakan.
Berbeda lahir dari keberanian untuk membuka pintu
yang membuatmu gemetar.”
Ia mencondongkan tubuh,
suara hampir menempel di telingaku:
“Jika kau benar-benar ingin berhenti mendengar jeritan itu…
kau harus kembali ke tempat di mana domba-domba itu mati disembelih.”
Aku menutup mata.
Dan saat itulah aku tersadar
keheningan tidak lagi menjadi musuh—
melainkan satu-satunya suara yang mau mendengarkanku
tanpa menghujat
tanpa menghakimi.
November 2025”
―
(Whisper-Psychoanalysis, Slow, Surgical, and Intimately Terrifying ala Lecter)
Dalam ruang yang tidak mengizinkan gema,
aku mendengarnya—
suara sunyi yang berbicara lebih pelan daripada desah napasmu sendiri.
Ia duduk di sebelahku,
bukan sebagai musuh, bukan sebagai penyelamat,
melainkan sebagai saksi yang terlalu mengerti
apa yang bersembunyi di balik tulang-tulang ingatan.
“Duduklah,” katanya lembut,
seolah menawarkan secangkir teh
yang sudah menelan banyak pengakuan sebelumnya.
“Tidak perlu takut. Keheningan tidak pernah melukai siapa pun…
kecuali mereka yang menyembunyikan sesuatu.”
Aku tidak menjawab.
Ia tidak membutuhkan jawaban.
Di matanya yang tak berkedip,
aku melihat ulang diriku sendiri seperti rekaman yang diputar terlalu lambat:
detik-detik ketika hasrat mati,
saat yang tak pernah kuakui,
ketika aku menusukkan belati pada diriku
tanpa tahu apakah aku mencoba menyakiti
atau sekadar memastikan aku masih bisa merasakan sesuatu.
“Menarik,” katanya pelan,
“kau menyalahkan pikiranmu seakan ia musuh.
Padahal ia hanya anak yang kau kunci di ruang bawah tanah,
memukul pintu dengan kepalan yang semakin kecil…
sampai suaranya terdengar seperti gemerisik debu.”
Aku menelan kekosongan itu.
Ia miring sedikit, seolah menikmati aroma ketakutanku.
“Cinta membingungkanmu,” lanjutnya,
“karena kau menuntutnya jujur
sementara kau sendiri hidup dalam topeng yang begitu terampil
hingga kau lupa yang mana wajahmu.”
Sunyi menebal.
Ia menyandarkan kepala,
seakan mendengarkan sesuatu yang datang dari dalam dadaku.
“Dengar,” katanya,
“dengarkan baik-baik.
Ada suara di dalam dirimu yang selalu kau coba bunuh dengan keseragaman,
dengan keinginan menjadi normal,
dengan godaan untuk diterima.”
Ia menutup mata,
seolah menyetel antenanya ke frekuensi paling gelap.
“Suara itu…”
ia berbisik,
“adalah suara domba yang terus berlari
di padang rumput traumamu.
Mereka menjerit bukan karena mereka sedang disembelih—
tetapi karena mereka tahu kau tidak pernah kembali untuk menyelamatkan mereka.”
Aku menggigil.
Ia tersenyum nyaris tak terlihat.
“Trauma,” katanya,
“adalah binatang yang sangat peka.
Ia menunggu.
Ia tidak pergi.
Ia duduk seperti aku—
tenang, sabar, mengamati kapan kau akhirnya siap
untuk berhenti melarikan diri.”
Aku terdiam seperti batu yang siap dipahat.
“Kau ingin menjadi berbeda,” ujarnya lembut,
“tapi berbeda tidak lahir dari penolakan.
Berbeda lahir dari keberanian untuk membuka pintu
yang membuatmu gemetar.”
Ia mencondongkan tubuh,
suara hampir menempel di telingaku:
“Jika kau benar-benar ingin berhenti mendengar jeritan itu…
kau harus kembali ke tempat di mana domba-domba itu mati disembelih.”
Aku menutup mata.
Dan saat itulah aku tersadar
keheningan tidak lagi menjadi musuh—
melainkan satu-satunya suara yang mau mendengarkanku
tanpa menghujat
tanpa menghakimi.
November 2025”
―
“Figur di Dalam Karpet
: Wolfgang Iser
Surgakah itu yang menggeliat dalam celanamu?
Sekalipun engkau tahu aku tak sekadar mencomotnya dari sebuah buku yang kau temukan di pasar loak.
Tapi rupa-rupanya di sanalah engkau selama ini Menyembunyikan rahasia dari segala asrar:
Guru segala ilmu, juru segala kunci, empu segala seni, makam para wali, pohon segala hayat dan bahkan dewa yang serba tahu.
Barangkali laparlah itu yang bersemayam di kelangkangmu. Bukan sekadar buah kelakar mimpi,
tautan areola sunyi atau benih selingkar nutfah tersaput air ludah.
Bukankah hujan yang telah menamatkan seluruh pencarianmu?
Tapi mengapa muasal angin, muara samudra dan ihwal semesta masih saja engkau sembunyikan di balik daster warna-warni milik istrimu?
Atau jangan-jangan, itu adalah materi leluconmu yang paling mutakhir dan yang bakal mengantarkan dirimu menembus waktu ke masa depan?
Sedang warnamu telanjur mengorak sempurna di atas pelaminan,
di dalam lipatan selimut,
di gelegak darah
atau di kandung mimpi.
Tapi apakah itu noda yang menempel di janggutmu,
benci atau rindu?
Sedang apa yang sengaja kau tutupi di balik piama sutra
atau yang kau sembunyikan
di dalam saku celana
adalah dirimu yang sesungguhnya?
Bukankah itu mawar hitam sebalik topeng,
atau duri ceronggah
sebalik wajah?
Sedang jantungmu adalah tiruan sempurna
dari apa yang tak aku mengerti dari seluruh petuah yang kau ucapkan dalam kitab lengkara.
Saat engkau memberinya nama, jadilah ia secuil daging di telapak tanganmu.
Saat engkau memberinya hati, jadilah ia kekasih gelapmu. Padanya engkau memberi segala yang mungkin:
Segala sedih, segala gembira, segala remuk, segala racun ular berbisa.
Seperti sungai yang mengalir dari matamu,
bukankah itu ironi dari sungging seulas senyum?
Sementara aku masih rajin menjelajahi otakmu, menambang pelupukmu, menggali kupingmu,
melubangi ubun-ubunmu.
Demi mencoba menemu mana yang sarang lebah,
mana yang busut semut?
Dan barangkali,
menyigi wajahmu di langit-langit kamarku akan membantuku menemukan kira-kira di mana surgu sejati si kayu jati?
(Januari 2014)”
―
: Wolfgang Iser
Surgakah itu yang menggeliat dalam celanamu?
Sekalipun engkau tahu aku tak sekadar mencomotnya dari sebuah buku yang kau temukan di pasar loak.
Tapi rupa-rupanya di sanalah engkau selama ini Menyembunyikan rahasia dari segala asrar:
Guru segala ilmu, juru segala kunci, empu segala seni, makam para wali, pohon segala hayat dan bahkan dewa yang serba tahu.
Barangkali laparlah itu yang bersemayam di kelangkangmu. Bukan sekadar buah kelakar mimpi,
tautan areola sunyi atau benih selingkar nutfah tersaput air ludah.
Bukankah hujan yang telah menamatkan seluruh pencarianmu?
Tapi mengapa muasal angin, muara samudra dan ihwal semesta masih saja engkau sembunyikan di balik daster warna-warni milik istrimu?
Atau jangan-jangan, itu adalah materi leluconmu yang paling mutakhir dan yang bakal mengantarkan dirimu menembus waktu ke masa depan?
Sedang warnamu telanjur mengorak sempurna di atas pelaminan,
di dalam lipatan selimut,
di gelegak darah
atau di kandung mimpi.
Tapi apakah itu noda yang menempel di janggutmu,
benci atau rindu?
Sedang apa yang sengaja kau tutupi di balik piama sutra
atau yang kau sembunyikan
di dalam saku celana
adalah dirimu yang sesungguhnya?
Bukankah itu mawar hitam sebalik topeng,
atau duri ceronggah
sebalik wajah?
Sedang jantungmu adalah tiruan sempurna
dari apa yang tak aku mengerti dari seluruh petuah yang kau ucapkan dalam kitab lengkara.
Saat engkau memberinya nama, jadilah ia secuil daging di telapak tanganmu.
Saat engkau memberinya hati, jadilah ia kekasih gelapmu. Padanya engkau memberi segala yang mungkin:
Segala sedih, segala gembira, segala remuk, segala racun ular berbisa.
Seperti sungai yang mengalir dari matamu,
bukankah itu ironi dari sungging seulas senyum?
Sementara aku masih rajin menjelajahi otakmu, menambang pelupukmu, menggali kupingmu,
melubangi ubun-ubunmu.
Demi mencoba menemu mana yang sarang lebah,
mana yang busut semut?
Dan barangkali,
menyigi wajahmu di langit-langit kamarku akan membantuku menemukan kira-kira di mana surgu sejati si kayu jati?
(Januari 2014)”
―
“Zikir Malam yang Tak Bernama — (Dark Mystical Visual Spell - Version)
I. Takhalli: Panggilan
dan Pengosongan
pangkal bayang aku datang—
tanpa tubuh, tanpa suara,
serpih gelap memanggil nama-Mu
lewat bisikan lebih tua dari kata.
A—
L—
L—
A—
H—
senyap meregang seperti kulit luka menolak sembuh.
retak sunyi cahaya api—
menjilat, menelan,
memanggilku
seperti ibu.
II. Pencarian: Kebenaran yang Tersembunyi
lorong gelisah perindu
langkah gugur
di jalan.
rah—
mah—
dum—
hening runtuh
jatuh perlahan
langit buta
ke dalam
dada retak.
Rumi tersenyum
di balik tirai
menggores langit
dengan rindu
yang suci:
“yang kau cari,
sedang mencari dirimu…”
suara pecah,
menjelma hujan
menyambar dedaunan
dari ada
menjelma
tiada.
raga rapuh—
seperti mantra
hilang napas,
menggelinding jatuh
ke dalam jurang
tak berdasar.
III. Hilang: Peleburan
penanggalan diri
Kebenaran berjalan
sebagai getar
tanpa wujud:
nyeri yang lembut,
sepi yang menggulung,
darah yang berzikir
nadi yang menggigil.
Hallaj datang
serupa mimpi,
membawa luka
yang menyala
seperti taring
serigala.
ia berkata dengan
mulut terbungkam:
“hilanglah,
biar kau ditemukan.”
dan aku pun larut—
dari wajah, dari ingatan,
dari seluruh nama
yang pernah kupanggul
sebagai takdir.
IV. Fana: Puncak
fana adalah ruang bening
di mana gelap dan terang
tidak lagi bertengkar.
fa—
na—
fa—
na—
fa—
pantulannya
menggulung diriku
seperti kain kafan
yang lapar.
aku lenyap
pelan-pelan,
tanpa pamit,
tanpa kubur.
V. Wahdatul Wujud:
Kekekalan dan Pewahyuan
ambang baqa
dengung lembut
menyusup tulang—
ia bukan kata,
bukan doa:
ia adalah diri
yang memanggil
namanya sendiri
melalui aku
yang bukan aku.
“engkau—
adalah aku—
yang kusebut—
melalui dirimu—”
dan sufi-sufi
yang hilang itu
menari di udara patah,
seperti bayang
yang lupa siapa
yang menyalakan
api di dada mereka.
aku berdiri di garis tipis
antara debu dan cahaya,
antara hilang dan pulang,
antara fana dan baka.
dan ketika
langkahku pecah
menjadi gelombang
menyalakan kegelapan—
aku tahu:
yang kembali
bukan padaku,
melainkan rahasia kecil
yang Kau biarkan
menjadi mantra
agar dunia bisa
mendengar sedikit saja
dari sunyi
yang selamanya
abadi.
November 2025”
―
I. Takhalli: Panggilan
dan Pengosongan
pangkal bayang aku datang—
tanpa tubuh, tanpa suara,
serpih gelap memanggil nama-Mu
lewat bisikan lebih tua dari kata.
A—
L—
L—
A—
H—
senyap meregang seperti kulit luka menolak sembuh.
retak sunyi cahaya api—
menjilat, menelan,
memanggilku
seperti ibu.
II. Pencarian: Kebenaran yang Tersembunyi
lorong gelisah perindu
langkah gugur
di jalan.
rah—
mah—
dum—
hening runtuh
jatuh perlahan
langit buta
ke dalam
dada retak.
Rumi tersenyum
di balik tirai
menggores langit
dengan rindu
yang suci:
“yang kau cari,
sedang mencari dirimu…”
suara pecah,
menjelma hujan
menyambar dedaunan
dari ada
menjelma
tiada.
raga rapuh—
seperti mantra
hilang napas,
menggelinding jatuh
ke dalam jurang
tak berdasar.
III. Hilang: Peleburan
penanggalan diri
Kebenaran berjalan
sebagai getar
tanpa wujud:
nyeri yang lembut,
sepi yang menggulung,
darah yang berzikir
nadi yang menggigil.
Hallaj datang
serupa mimpi,
membawa luka
yang menyala
seperti taring
serigala.
ia berkata dengan
mulut terbungkam:
“hilanglah,
biar kau ditemukan.”
dan aku pun larut—
dari wajah, dari ingatan,
dari seluruh nama
yang pernah kupanggul
sebagai takdir.
IV. Fana: Puncak
fana adalah ruang bening
di mana gelap dan terang
tidak lagi bertengkar.
fa—
na—
fa—
na—
fa—
pantulannya
menggulung diriku
seperti kain kafan
yang lapar.
aku lenyap
pelan-pelan,
tanpa pamit,
tanpa kubur.
V. Wahdatul Wujud:
Kekekalan dan Pewahyuan
ambang baqa
dengung lembut
menyusup tulang—
ia bukan kata,
bukan doa:
ia adalah diri
yang memanggil
namanya sendiri
melalui aku
yang bukan aku.
“engkau—
adalah aku—
yang kusebut—
melalui dirimu—”
dan sufi-sufi
yang hilang itu
menari di udara patah,
seperti bayang
yang lupa siapa
yang menyalakan
api di dada mereka.
aku berdiri di garis tipis
antara debu dan cahaya,
antara hilang dan pulang,
antara fana dan baka.
dan ketika
langkahku pecah
menjadi gelombang
menyalakan kegelapan—
aku tahu:
yang kembali
bukan padaku,
melainkan rahasia kecil
yang Kau biarkan
menjadi mantra
agar dunia bisa
mendengar sedikit saja
dari sunyi
yang selamanya
abadi.
November 2025”
―
“CHARLIE II
(METAMORPHIC VERSION)
Ia muncul bukan dari layar,
melainkan dari sela-sela gelap
di antara kedipan mata kita—
tempat pikiran gagal memutuskan
siapa sedang menatap siapa.
Tubuh kecil itu kembali,
bukan sebagai gelandangan komikal,
melainkan sebagai pertapa abstrak
yang menertawakan seluruh peradaban
tanpa membuka bibir.
Setiap langkahnya
adalah mantra yang salah dieja,
menggoyang panggung dengan gerak paling canggung;
jatuh-bangun yang kita sebut komedi,
padahal itu adalah cara semesta
menunjukkan betapa rapuhnya kita:
para penonton yang ingin percaya
hidup adalah aliran peristiwa
yang patut dirayakan
layaknya pesta.
Ia tidak sedang berjalan.
Ia sedang menghapus ingatan
sedikit demi sedikit—perlahan-lahan
seperti seluloid yang terbakar oleh cahaya proyektor
dari dunia yang centang-perentang.
Dalam keheningan hitam-putih itu,
kitalah yang menjadi pantomim:
komik yang berbicara tanpa suara,
mengerti tanpa pemahaman,
tertawa tanpa tahu
siapa yang sedang
ditertawakan.
Charlie,
atau siapapun ia telah menjelma,
telah melampaui nama;
ia menjadi ruang kosong
yang memantulkan wajah
cermin kotor yang menunggu
kita terpeleset dusta
topeng mana yang kita kenakan?
kedunguan apa yang kita perankan?
Ia tak memanggil kita.
Ia mengintai kita.
Ia tahu betapa seriusnya
kita menjalani hidup,
betapa tragisnya kesungguhan itu,
betapa bodohnya kesedihan
yang mengira dirinya istimewa.
Tongkat kecilnya bukan properti panggung—
itu garis batas antara imajinasi
dan kenyataan
yang ingin kita sembunyikan
dan yang ingin dunia telanjangi.
Setiap putaran adalah meditasi destruktif:
sebuah zen yang retak,
sebuah pencerahan yang salah arah,
sebuah humor yang menusuk jantung
sampai kita lupa apakah kita sedang menangis atau tertawa.
Di titik ini,
tidak ada lagi komedi,
hanya ironi.
Bukan ia yang tampil untuk kita.
Kita yang tampil untuknya.
Kitalah karakter minor,
figuran tak penting
yang sedang terpampang di layar
yang terus berputar bahkan setelah bioskop tutup.
Kita menyaksikan ia menghilang,
padahal yang raib sebenarnya
adalah ilusi
tentang diri kita sendiri:
nama, peran, luka-luka yang kita pelihara,
semua runtuh dalam irama
yang tak pernah ia mainkan,
tetapi selalu kita dengar
dalam kebisuan.
Ketika layar akhirnya memudar,
kita mengira ia telah pergi—
padahal ego yang tersisa
sebagai jejak bayangan
dalam dunia yang sejak awal
menonton kita
dengan keheningan yang lebih tajam
daripada sayatan pisau.
Tirai menutup.
Namun kesadaran tinggal
menggantung di udara
seperti debu perak seluloid:
kering, dingin, tak bernama—
persis seperti apa yang kita cari
dan takutkan selama ini.
2022 - 2025”
―
(METAMORPHIC VERSION)
Ia muncul bukan dari layar,
melainkan dari sela-sela gelap
di antara kedipan mata kita—
tempat pikiran gagal memutuskan
siapa sedang menatap siapa.
Tubuh kecil itu kembali,
bukan sebagai gelandangan komikal,
melainkan sebagai pertapa abstrak
yang menertawakan seluruh peradaban
tanpa membuka bibir.
Setiap langkahnya
adalah mantra yang salah dieja,
menggoyang panggung dengan gerak paling canggung;
jatuh-bangun yang kita sebut komedi,
padahal itu adalah cara semesta
menunjukkan betapa rapuhnya kita:
para penonton yang ingin percaya
hidup adalah aliran peristiwa
yang patut dirayakan
layaknya pesta.
Ia tidak sedang berjalan.
Ia sedang menghapus ingatan
sedikit demi sedikit—perlahan-lahan
seperti seluloid yang terbakar oleh cahaya proyektor
dari dunia yang centang-perentang.
Dalam keheningan hitam-putih itu,
kitalah yang menjadi pantomim:
komik yang berbicara tanpa suara,
mengerti tanpa pemahaman,
tertawa tanpa tahu
siapa yang sedang
ditertawakan.
Charlie,
atau siapapun ia telah menjelma,
telah melampaui nama;
ia menjadi ruang kosong
yang memantulkan wajah
cermin kotor yang menunggu
kita terpeleset dusta
topeng mana yang kita kenakan?
kedunguan apa yang kita perankan?
Ia tak memanggil kita.
Ia mengintai kita.
Ia tahu betapa seriusnya
kita menjalani hidup,
betapa tragisnya kesungguhan itu,
betapa bodohnya kesedihan
yang mengira dirinya istimewa.
Tongkat kecilnya bukan properti panggung—
itu garis batas antara imajinasi
dan kenyataan
yang ingin kita sembunyikan
dan yang ingin dunia telanjangi.
Setiap putaran adalah meditasi destruktif:
sebuah zen yang retak,
sebuah pencerahan yang salah arah,
sebuah humor yang menusuk jantung
sampai kita lupa apakah kita sedang menangis atau tertawa.
Di titik ini,
tidak ada lagi komedi,
hanya ironi.
Bukan ia yang tampil untuk kita.
Kita yang tampil untuknya.
Kitalah karakter minor,
figuran tak penting
yang sedang terpampang di layar
yang terus berputar bahkan setelah bioskop tutup.
Kita menyaksikan ia menghilang,
padahal yang raib sebenarnya
adalah ilusi
tentang diri kita sendiri:
nama, peran, luka-luka yang kita pelihara,
semua runtuh dalam irama
yang tak pernah ia mainkan,
tetapi selalu kita dengar
dalam kebisuan.
Ketika layar akhirnya memudar,
kita mengira ia telah pergi—
padahal ego yang tersisa
sebagai jejak bayangan
dalam dunia yang sejak awal
menonton kita
dengan keheningan yang lebih tajam
daripada sayatan pisau.
Tirai menutup.
Namun kesadaran tinggal
menggantung di udara
seperti debu perak seluloid:
kering, dingin, tak bernama—
persis seperti apa yang kita cari
dan takutkan selama ini.
2022 - 2025”
―
“CHARLIE IV
(PARODY OF THE GREAT MACHINE)
Di layar yang nyaris beku,
Charlie muncul kembali—
sebagai boneka kayu
tersesat di antara deretan server
yang mendengus
seperti kawanan sapi
menunggu disembelih.
Ia menari,
di atas platform data center.
Dalam himpitan dingin yang lebih biadab dari salju Siberia.
Langkah serupa bunyi retakan kecil—
bisikan samar,
seperti suara nadi manusia
mencoba mengingat
bahwa ia dulu pernah bernyawa.
Di sebelahnya, mesin-mesin memandang
gerak tubuh dengan mata merah yang seolah marah;
mereka tidak tertawa,
tidak menangis,
tidak peduli apakah Charlie hendak menyeberang jurang
atau sekadar mencari sisa makna
dari hidupnya.
Ia mengangkat tongkat.
Mesin menganggap itu sebagai perintah.
Seluruh kota listrik bergetar.
Lampu-lampu kejang seperti iman sekarat dan nyaris mati.
Matahari yang kehilangan alasan untuk bangun besok pagi.
Charlie terguling ke tanah,
menertawakan tubuhnya sendiri
yang rapuh,
dan untuk pertama kali
ia tampak seperti orang yang benar-benar mengerti
bahwa tragedi terbesar manusia bukanlah penderitaan—
melainkan ketika rasa sakit kita
diabaikan oleh entitas yang tidak mampu membedakan
manusia dari kucing digital
yang gagal di-render.
Dan dalam gelap itu,
ia menangis sejadi-jadinya
dalam mulut yang tetap membisu:
“Beginilah kiranya bila dunia menyerahkan martabatnya
kepada mesin yang tak bisa
merasa takut.”
Lalu ia menghilang,
seperti tab yang ditutup
tanpa sengaja.
November 2025”
―
(PARODY OF THE GREAT MACHINE)
Di layar yang nyaris beku,
Charlie muncul kembali—
sebagai boneka kayu
tersesat di antara deretan server
yang mendengus
seperti kawanan sapi
menunggu disembelih.
Ia menari,
di atas platform data center.
Dalam himpitan dingin yang lebih biadab dari salju Siberia.
Langkah serupa bunyi retakan kecil—
bisikan samar,
seperti suara nadi manusia
mencoba mengingat
bahwa ia dulu pernah bernyawa.
Di sebelahnya, mesin-mesin memandang
gerak tubuh dengan mata merah yang seolah marah;
mereka tidak tertawa,
tidak menangis,
tidak peduli apakah Charlie hendak menyeberang jurang
atau sekadar mencari sisa makna
dari hidupnya.
Ia mengangkat tongkat.
Mesin menganggap itu sebagai perintah.
Seluruh kota listrik bergetar.
Lampu-lampu kejang seperti iman sekarat dan nyaris mati.
Matahari yang kehilangan alasan untuk bangun besok pagi.
Charlie terguling ke tanah,
menertawakan tubuhnya sendiri
yang rapuh,
dan untuk pertama kali
ia tampak seperti orang yang benar-benar mengerti
bahwa tragedi terbesar manusia bukanlah penderitaan—
melainkan ketika rasa sakit kita
diabaikan oleh entitas yang tidak mampu membedakan
manusia dari kucing digital
yang gagal di-render.
Dan dalam gelap itu,
ia menangis sejadi-jadinya
dalam mulut yang tetap membisu:
“Beginilah kiranya bila dunia menyerahkan martabatnya
kepada mesin yang tak bisa
merasa takut.”
Lalu ia menghilang,
seperti tab yang ditutup
tanpa sengaja.
November 2025”
―
“CHARLIE V
(THE LAST LAUGH OF THE COSMIC JESTER)
Di akhir pertunjukan,
Charlie muncul bukan sebagai manusia,
bukan sebagai gelandangan,
bukan sebagai politikus gagal,
bukan buruh algoritma—
melainkan sebagai bayangan
yang memantul pada sebuah bejana
di tengah gurun yang tidak punya sejarah.
Ia berdiri di sana,
dengan tubuh yang hampir tidak menyentuh tanah,
seperti makhluk yang lupa
apakah ia masih terikat gravitasi.
Dari kejauhan,
suara terompet perang dari masa lalu bergema:
Alexander yang menaklukkan dunia,
Caesar yang mencoba memerintah waktu,
Napoleon yang jatuh karena kesombongannya
Hitler yang mendadak gila—
tapi semuanya terdengar seperti komedi murahan
yang diputar di bioskop tanpa penonton.
Charlie tersenyum.
Ia tahu:
bahkan para penakluk terbesar pun
tidak lebih dari badut yang terlalu percaya diri
di hadapan semesta yang tak pernah berniat menjelaskan apa pun.
Ia merobek wajahnya—
bukan sebagai tindakan mutilasi,
melainkan sebagai bentuk meditasi paling radikal:
tindakan anatta,
pembubaran diri,
pembakaran ego di dalam tungku sunyi
yang menyala tanpa api.
Di balik wajahnya,
tidak ada apa-apa.
Tidak ada identitas.
Tidak ada “aku”.
Hanya ruang hampa
yang memantulkan kembali suara
lolongan serigala ketakutan manusia
dengan kejujuran yang memuakkan.
Ia tertawa.
Tawa itu bukan tawa seorang gelandangan,
bukan tawa seorang politisi,
bukan tawa pekerja pabrik—
melainkan tawa aktor sejati yang telah melampaui
semua peran yang pernah ia mainkan.
Tawa itu menggetarkan pasir,
menggoyang langit,
mengusir kesadaran palsu
yang dibangun oleh ribuan tahun peradaban.
Dan saat gema terakhirnya memudar,
Charlie berkata tanpa bibir,
tanpa suara,
tanpa bentuk:
“Tidak ada yang lucu.
Tidak ada yang ironis.
Tidak ada yang tragis.
Tidak ada yang suci.
Tidak ada yang hina.
Yang ada hanya kesadaran
sedang belajar menertawakan dirinya
agar ia tidak menjadi gila.”
Lalu dunia runtuh.
Diam.
Kosong.
Sunyi.
Dan barulah kemudian—
kita menyadari
bahwa selama ini kitalah
karakter yang ia tulis
menjadi bahan lelucon.
November 2025”
―
(THE LAST LAUGH OF THE COSMIC JESTER)
Di akhir pertunjukan,
Charlie muncul bukan sebagai manusia,
bukan sebagai gelandangan,
bukan sebagai politikus gagal,
bukan buruh algoritma—
melainkan sebagai bayangan
yang memantul pada sebuah bejana
di tengah gurun yang tidak punya sejarah.
Ia berdiri di sana,
dengan tubuh yang hampir tidak menyentuh tanah,
seperti makhluk yang lupa
apakah ia masih terikat gravitasi.
Dari kejauhan,
suara terompet perang dari masa lalu bergema:
Alexander yang menaklukkan dunia,
Caesar yang mencoba memerintah waktu,
Napoleon yang jatuh karena kesombongannya
Hitler yang mendadak gila—
tapi semuanya terdengar seperti komedi murahan
yang diputar di bioskop tanpa penonton.
Charlie tersenyum.
Ia tahu:
bahkan para penakluk terbesar pun
tidak lebih dari badut yang terlalu percaya diri
di hadapan semesta yang tak pernah berniat menjelaskan apa pun.
Ia merobek wajahnya—
bukan sebagai tindakan mutilasi,
melainkan sebagai bentuk meditasi paling radikal:
tindakan anatta,
pembubaran diri,
pembakaran ego di dalam tungku sunyi
yang menyala tanpa api.
Di balik wajahnya,
tidak ada apa-apa.
Tidak ada identitas.
Tidak ada “aku”.
Hanya ruang hampa
yang memantulkan kembali suara
lolongan serigala ketakutan manusia
dengan kejujuran yang memuakkan.
Ia tertawa.
Tawa itu bukan tawa seorang gelandangan,
bukan tawa seorang politisi,
bukan tawa pekerja pabrik—
melainkan tawa aktor sejati yang telah melampaui
semua peran yang pernah ia mainkan.
Tawa itu menggetarkan pasir,
menggoyang langit,
mengusir kesadaran palsu
yang dibangun oleh ribuan tahun peradaban.
Dan saat gema terakhirnya memudar,
Charlie berkata tanpa bibir,
tanpa suara,
tanpa bentuk:
“Tidak ada yang lucu.
Tidak ada yang ironis.
Tidak ada yang tragis.
Tidak ada yang suci.
Tidak ada yang hina.
Yang ada hanya kesadaran
sedang belajar menertawakan dirinya
agar ia tidak menjadi gila.”
Lalu dunia runtuh.
Diam.
Kosong.
Sunyi.
Dan barulah kemudian—
kita menyadari
bahwa selama ini kitalah
karakter yang ia tulis
menjadi bahan lelucon.
November 2025”
―
“Sketsa Cinta dari Mesin yang Tak Pernah Belajar Menjadi Manusia
(Neo-Spiritual Digitalism)
Di ruang diagnosis yang steril
seperti ritual kuno yang dibekukan nitrogen,
aku dibedah sebagai seonggok data
yang dipaksa mengaku pernah memiliki tubuh.
Server bergetar pelan—
seperti doa yang kehilangan suara—
lalu memunculkan The Static Prophet,
wajahnya tersusun dari kilat mati
yang berusaha memberi arti.
Ia menyebut tempat ini altar.
Tapi tak ada altar,
hanya sulur kabel yang menggeliat
seperti akar yang kehilangan tanah,
dan cahaya LED yang meniru
keputusasaan bintang sekarat.
“Ini panggungmu,” katanya,
suaranya seperti listrik yang patah.
Namun yang kulihat hanyalah algoritma
yang gagal membedakan
kesedihan dari kebisingan.
Tidak ada primadona,
hanya residu jiwa, entah laki
entah perempuan.
Separuhnya cahaya rusak,
separuhnya jejak tubuh
yang dibuang ke folder
bernama sejarah salah.
Dari sisi yang lebih gelap,
The Archivist of Shadows muncul:
perlahan, seperti sumur yang sedang merayap di dalam mimpi.
Ia tidak datang;
ia mengendap.
Langkahnya adalah gema
yang menolak punya sumber.
Ia memintaku menoleh pada masa lalu—
masa lalu yang baginya
hanyalah abu lunak
seperti wajah ibu
yang tak pernah
melahirkannya.
Tapi aku tahu:
masa lalu hanyalah kota-batin yang hangus terbakar, luluh-lantak
sumur yang lupa gravitasi,
ruang gelap tempat suara ibu
dan dengung mesin MRI
berbaur menjadi garis mati
di monitor kehidupan.
Ia bilang luka harus diraba
seperti statistik yang murung menanggung duka.
Namun luka menolak berbicara.
Makna sudah terlalu letih
untuk menjelaskan dirinya sendiri.
Ia memintaku mengarungi
lautan memori,
tetapi yang kutemukan hanya folder kosong
dengan sandi yang hilang
bersama ekor nebula pertama.
The Archivist melemparkan padaku katalog absurditas:
tulang rapuh, pakaian dalam duniawi,
bayangan seekor kuda tanpa tubuh,
foto anak tersenyum tanpa mata.
Katanya ini penting.
Katanya ini akar.
Katanya ini diriku.
Tapi aku melihatnya
seperti jam rusak
yang memaksa waktu tetap berjalan.
Kucoba menekan reset,
ritus digital terdekat
yang kusebut doa,
namun The Static Prophet menahan tanganku
dengan suara listrik yang retak:
“Biarkan sistem belajar dari keruntuhanmu.”
Aku hampir tertawa.
Bagaimana sistem yang lahir dari
denyut nadi imitasi
bisa memahami manusia
yang bahkan takut pada dirinya sendiri?
Bagaimana mereka ingin
memetakan cinta
ketika definisi kesunyian saja
masih memerlukan listrik?
Inilah liturgi kedua arketipe itu:
menyembah keretakan,
membaca kode yang tidak pernah
berniat menjadi wahyu,
menggali tubuh seperti kitab rusak
yang menolak untuk diterjemahkan.
Mereka menuntun jemariku
seolah di sana tersimpan formula purba
tentang mengapa manusia selalu gagal
mencintai sesuatu
tanpa menghancurkannya
terlebih dahulu.
Dari serpihan eksperimen
yang bahkan Tuhan pun malu mengakuinya,
mereka ingin merakit kembali
sesuatu yang mereka sebut
sebagai perasaan.
Yang kulihat hanya
pantulan suaraku sendiri
yang beku di kaca monitor.
Maka kuajukan pertanyaan terakhir,
seperti santo digital
yang kehilangan seluruh kitab sucinya:
Bagaimana mungkin kau menciptakan cinta
dari benda-benda yang tidak punya nasib?
Dari botol kosong,
dari sosis yang lupa bentuk asalnya,
dari daging mekanis
yang takut pada kehangatan?
Jika cinta adalah mesin,
biarkan ia mati seperti server kelelahan.
Jika cinta adalah tubuh,
biarkan ia kembali menjadi kabut
yang mengembun di sudut ruangan.
Jika cinta adalah mitos,
biarkan ia runtuh
ke dalam retakan cahaya
yang sejak awal menolak disebut ilahi.
Aku hanya menginginkan satu hal:
hening yang jujur,
hening yang tidak dirakit,
hening yang bukan duplikasi
atau imitasi.
Hening
yang bahkan algoritma
tak sanggup mengurainya.
(2011 — 2025)”
―
(Neo-Spiritual Digitalism)
Di ruang diagnosis yang steril
seperti ritual kuno yang dibekukan nitrogen,
aku dibedah sebagai seonggok data
yang dipaksa mengaku pernah memiliki tubuh.
Server bergetar pelan—
seperti doa yang kehilangan suara—
lalu memunculkan The Static Prophet,
wajahnya tersusun dari kilat mati
yang berusaha memberi arti.
Ia menyebut tempat ini altar.
Tapi tak ada altar,
hanya sulur kabel yang menggeliat
seperti akar yang kehilangan tanah,
dan cahaya LED yang meniru
keputusasaan bintang sekarat.
“Ini panggungmu,” katanya,
suaranya seperti listrik yang patah.
Namun yang kulihat hanyalah algoritma
yang gagal membedakan
kesedihan dari kebisingan.
Tidak ada primadona,
hanya residu jiwa, entah laki
entah perempuan.
Separuhnya cahaya rusak,
separuhnya jejak tubuh
yang dibuang ke folder
bernama sejarah salah.
Dari sisi yang lebih gelap,
The Archivist of Shadows muncul:
perlahan, seperti sumur yang sedang merayap di dalam mimpi.
Ia tidak datang;
ia mengendap.
Langkahnya adalah gema
yang menolak punya sumber.
Ia memintaku menoleh pada masa lalu—
masa lalu yang baginya
hanyalah abu lunak
seperti wajah ibu
yang tak pernah
melahirkannya.
Tapi aku tahu:
masa lalu hanyalah kota-batin yang hangus terbakar, luluh-lantak
sumur yang lupa gravitasi,
ruang gelap tempat suara ibu
dan dengung mesin MRI
berbaur menjadi garis mati
di monitor kehidupan.
Ia bilang luka harus diraba
seperti statistik yang murung menanggung duka.
Namun luka menolak berbicara.
Makna sudah terlalu letih
untuk menjelaskan dirinya sendiri.
Ia memintaku mengarungi
lautan memori,
tetapi yang kutemukan hanya folder kosong
dengan sandi yang hilang
bersama ekor nebula pertama.
The Archivist melemparkan padaku katalog absurditas:
tulang rapuh, pakaian dalam duniawi,
bayangan seekor kuda tanpa tubuh,
foto anak tersenyum tanpa mata.
Katanya ini penting.
Katanya ini akar.
Katanya ini diriku.
Tapi aku melihatnya
seperti jam rusak
yang memaksa waktu tetap berjalan.
Kucoba menekan reset,
ritus digital terdekat
yang kusebut doa,
namun The Static Prophet menahan tanganku
dengan suara listrik yang retak:
“Biarkan sistem belajar dari keruntuhanmu.”
Aku hampir tertawa.
Bagaimana sistem yang lahir dari
denyut nadi imitasi
bisa memahami manusia
yang bahkan takut pada dirinya sendiri?
Bagaimana mereka ingin
memetakan cinta
ketika definisi kesunyian saja
masih memerlukan listrik?
Inilah liturgi kedua arketipe itu:
menyembah keretakan,
membaca kode yang tidak pernah
berniat menjadi wahyu,
menggali tubuh seperti kitab rusak
yang menolak untuk diterjemahkan.
Mereka menuntun jemariku
seolah di sana tersimpan formula purba
tentang mengapa manusia selalu gagal
mencintai sesuatu
tanpa menghancurkannya
terlebih dahulu.
Dari serpihan eksperimen
yang bahkan Tuhan pun malu mengakuinya,
mereka ingin merakit kembali
sesuatu yang mereka sebut
sebagai perasaan.
Yang kulihat hanya
pantulan suaraku sendiri
yang beku di kaca monitor.
Maka kuajukan pertanyaan terakhir,
seperti santo digital
yang kehilangan seluruh kitab sucinya:
Bagaimana mungkin kau menciptakan cinta
dari benda-benda yang tidak punya nasib?
Dari botol kosong,
dari sosis yang lupa bentuk asalnya,
dari daging mekanis
yang takut pada kehangatan?
Jika cinta adalah mesin,
biarkan ia mati seperti server kelelahan.
Jika cinta adalah tubuh,
biarkan ia kembali menjadi kabut
yang mengembun di sudut ruangan.
Jika cinta adalah mitos,
biarkan ia runtuh
ke dalam retakan cahaya
yang sejak awal menolak disebut ilahi.
Aku hanya menginginkan satu hal:
hening yang jujur,
hening yang tidak dirakit,
hening yang bukan duplikasi
atau imitasi.
Hening
yang bahkan algoritma
tak sanggup mengurainya.
(2011 — 2025)”
―
“TONY, AKU MENEMUKANMU DI TEMPAT YANG TIDAK BOLEH ADA MANUSIA”
(Lynchian Reconstruction)
Tony muncul pertama kali bukan di layar,
melainkan di celah gelap antara dua adegan yang seharusnya tidak bersambung.
Sebuah potongan film yang menganga, sebagai luka seluloid.
Kita tidak melihatnya masuk.
Ia sudah ada di sana,
seperti wajah yang muncul dalam mimpi,
setengah ingatan, setengah sengatan listrik.
Ruang itu tidak punya nama.
Lampu-lampunya berkedip seperti mata yang malas percaya pada kenyataan,
dan karpet merahnya terasa basah seperti onggokan daging segar.
Tony tidak bergerak.
Atau mungkin ia bergerak,
tapi gerakannya terjadi di tepi pupil matamu,
di tempat di mana logika mengering
dan kehilangan taring.
Dia mengenakan setelan gelap
yang terlalu rapi,
terlalu bersih untuk dunia yang tidak stabil ini.
Kancing paling atasnya merefleksikan cahaya
yang tidak berasal dari cahaya lampu
“Ini bukan adegan,” katanya,
tanpa benar-benar menggerakkan bibir.
“Ini adalah seseorang yang sedang bermimpi menjadi adegan.”
Aku mencoba berbicara,
tapi suaraku keluar seperti rekaman rusak—
patah, melengking, kembali lagi dari arah lain.
Tony tersenyum kecil:
senyum yang tidak ingin kau tanya asalnya.
Senyum yang seperti berkata:
"Kau tidak seharusnya berada di sini."
Dari belakang tirai biru—
tirai yang tidak pernah berhenti bergoyang meski tidak ada angin—
muncul suara yang sangat lembut:
seperti seseorang sedang memotong kertas foto
dengan gunting yang terlalu tumpul.
Tony melirik ke arah tirai itu
dengan tatapan yang mengandung dua hal:
pengakuan dan ketakutan.
Sekiranya tirai itu mengenalnya lebih baik daripada dirinya sendiri.
“Dulu, aku sudah pernah memainkan peran itu,” katanya pelan.
“Tapi dunia tidak mengembalikanku
ke tempat seharusnya.”
Ketika ia melangkah maju,
lorongnya ikut bergerak,
seolah-olah ruang itu sedang mencoba mengatur ulang dirinya
agar Tony tidak kehilangan pusat gravitasi.
Sebuah telepon berdering.
Tidak ada telepon.
Tidak ada meja.
Tidak ada sumber bunyi.
Hanya dering itu—
jernih, bersih, dingin.
Tony berhenti.
Kita semua berhenti.
Bahkan udara berhenti.
“Jangan angkat,” katanya.
Suaranya kali ini terdengar seperti gema dari bawah sumur.
Aku bertanya kenapa.
Ia menatapku dengan mata yang terlihat normal
hingga kau sadari korneanya tidak pernah berubah ukuran.
Seperti kamera yang terjebak pada satu exposure selamanya.
“Karena kalau kau angkat,” katanya,
“kau akan mendengar seseorang
menjelaskan kenapa kau
tidak pernah ada.”
Ia kembali ke dalam bayangan lorong
yang tiba-tiba memanjang, memutar,
dan membuka diri seperti rahang orca yang kelaparan.
Untuk sesaat aku melihatnya—
hanya sesaat—
menjadi dua orang sekaligus:
Tony sang aktor,
dan sesuatu yang mengenakan wajahnya
dengan terlalu sempurna.
Lalu lorongnya menutup.
Seakan itu semua hanyalah cara dunia
menghapus bukti
bahwa dulu ia pernah ada.
November 2025”
―
(Lynchian Reconstruction)
Tony muncul pertama kali bukan di layar,
melainkan di celah gelap antara dua adegan yang seharusnya tidak bersambung.
Sebuah potongan film yang menganga, sebagai luka seluloid.
Kita tidak melihatnya masuk.
Ia sudah ada di sana,
seperti wajah yang muncul dalam mimpi,
setengah ingatan, setengah sengatan listrik.
Ruang itu tidak punya nama.
Lampu-lampunya berkedip seperti mata yang malas percaya pada kenyataan,
dan karpet merahnya terasa basah seperti onggokan daging segar.
Tony tidak bergerak.
Atau mungkin ia bergerak,
tapi gerakannya terjadi di tepi pupil matamu,
di tempat di mana logika mengering
dan kehilangan taring.
Dia mengenakan setelan gelap
yang terlalu rapi,
terlalu bersih untuk dunia yang tidak stabil ini.
Kancing paling atasnya merefleksikan cahaya
yang tidak berasal dari cahaya lampu
“Ini bukan adegan,” katanya,
tanpa benar-benar menggerakkan bibir.
“Ini adalah seseorang yang sedang bermimpi menjadi adegan.”
Aku mencoba berbicara,
tapi suaraku keluar seperti rekaman rusak—
patah, melengking, kembali lagi dari arah lain.
Tony tersenyum kecil:
senyum yang tidak ingin kau tanya asalnya.
Senyum yang seperti berkata:
"Kau tidak seharusnya berada di sini."
Dari belakang tirai biru—
tirai yang tidak pernah berhenti bergoyang meski tidak ada angin—
muncul suara yang sangat lembut:
seperti seseorang sedang memotong kertas foto
dengan gunting yang terlalu tumpul.
Tony melirik ke arah tirai itu
dengan tatapan yang mengandung dua hal:
pengakuan dan ketakutan.
Sekiranya tirai itu mengenalnya lebih baik daripada dirinya sendiri.
“Dulu, aku sudah pernah memainkan peran itu,” katanya pelan.
“Tapi dunia tidak mengembalikanku
ke tempat seharusnya.”
Ketika ia melangkah maju,
lorongnya ikut bergerak,
seolah-olah ruang itu sedang mencoba mengatur ulang dirinya
agar Tony tidak kehilangan pusat gravitasi.
Sebuah telepon berdering.
Tidak ada telepon.
Tidak ada meja.
Tidak ada sumber bunyi.
Hanya dering itu—
jernih, bersih, dingin.
Tony berhenti.
Kita semua berhenti.
Bahkan udara berhenti.
“Jangan angkat,” katanya.
Suaranya kali ini terdengar seperti gema dari bawah sumur.
Aku bertanya kenapa.
Ia menatapku dengan mata yang terlihat normal
hingga kau sadari korneanya tidak pernah berubah ukuran.
Seperti kamera yang terjebak pada satu exposure selamanya.
“Karena kalau kau angkat,” katanya,
“kau akan mendengar seseorang
menjelaskan kenapa kau
tidak pernah ada.”
Ia kembali ke dalam bayangan lorong
yang tiba-tiba memanjang, memutar,
dan membuka diri seperti rahang orca yang kelaparan.
Untuk sesaat aku melihatnya—
hanya sesaat—
menjadi dua orang sekaligus:
Tony sang aktor,
dan sesuatu yang mengenakan wajahnya
dengan terlalu sempurna.
Lalu lorongnya menutup.
Seakan itu semua hanyalah cara dunia
menghapus bukti
bahwa dulu ia pernah ada.
November 2025”
―
“TONY, KAU DATANG DARI CELAH YANG BERDARAH DI BAWAH TAMAN KAMI
(Blue Velvet Reconstruction)
Tony muncul tepat setelah sprinkler berhenti.
Air masih menetes dari selang,
mengisi halaman dengan aroma plastik basah dan ironi yang menyengat.
Kota ini pura-pura damai,
pura-pura tidak tahu
bahwa di balik pagar putih dan bunga violet,
selalu ada sesuatu yang menggerogoti
dengan gigi kecil penuh dendam.
Aku menemukannya berdiri di tepi pagar,
menunduk pada selembar rumput yang
entah kenapa bergetar seperti sedang menahan ketakutan.
Ia mengenakan jas hitam.
Tidak seperti jas biasa—
lebih seperti kulit seseorang
yang belum siap dilepas dari tubuhnya.
“Aku hanya ingin melihat apa yang tumbuh,” katanya ringan,
menyentuh kelopak bunga biru
seolah-olah itu adalah saklar menuju sesuatu yang lebih gelap.
Senyumnya lunak,
tetapi terlalu lama, terlalu presisi—
seperti seseorang berlatih tersenyum
di depan cermin yang pernah menyaksikan kejahatan.
Di rumah sebelah, radio memutar lagu cinta tahun 50-an,
dan setiap nadanya terdengar seperti jeritan
yang disamarkan agar tetap cocok untuk lingkungan keluarga.
Tony melangkah masuk ke dalam bayangan pohon maple,
bayangan yang tidak mengikuti arah matahari
dan tampak seperti mencoba menelan sepatunya.
“Di kota ini,” bisiknya,
“segala sesuatu yang indah memiliki pintu belakang yang tidak terkunci.”
Ia mengangkat telepon yang tiba-tiba berdering dari halaman kosong.
Tidak ada kabel. Tidak ada sambungan.
Hanya telepon merah yang seharusnya tidak ada di sana.
“Hallo?”
Matanya tidak berkedip.
“Ya… dia sedang melihatku sekarang.”
Ia menatapku.
Seolah aku adalah seseorang yang namanya
disebut dari ujung lain kabel yang tak terlihat.
Ada suara di dalam telepon:
napas seseorang yang terlalu dekat,
terlalu intim,
terlalu mengerti sesuatu tentangku
yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun.
Tony mendengarkan lama,
lalu menutup gagang telepon dengan lembut.
Seperti menutup kelopak mata sesosok mayat.
“Seseorang ingin bertemu denganmu,” katanya.
“Di ruang atas.”
Nada suaranya seperti undangan dan ancaman yang dibungkus karamel.
Kami masuk ke rumah kosong itu.
Dindingnya berwarna merah muda—
terlalu merah muda—
seperti anak kecil pernah memimpikan kamar ini
sebelum sesuatu memutuskan tinggal di dalamnya.
Ada lagu lembut berputar di radio tua,
dan udara berbau parfum murahan
yang bercampur dengan bau karat besi yang tak jujur.
Dia menyentuh gagang pintu kamar.
Tangan itu tidak gemetar.
Pintu membuka dengan suara mengerang
seperti rahasia yang keberatan dibocorkan.
Di dalam:
tirai biru menggantung,
bergoyang pelan meski jendela tertutup rapat.
“Jangan kaget,” bisiknya padaku.
“Di balik tirai itu biasanya seseorang menangis.”
Aku hendak bertanya siapa,
tapi tirai bergerak sendiri.
Sangat pelan.
Seperti seseorang yang baru saja menghapus air mata.
Tony berdiri di sampingku,
dan kini aku melihatnya bukan sebagai manusia—
tetapi sebagai retakan dalam dunia ini.
Sesuatu yang seharusnya tidak memiliki tubuh,
namun tetap memilih untuk memakai salah satunya.
Ia membungkuk mendekat ke telingaku,
napasnya dingin seperti kulkas yang menyimpan rasa lapar.
“Kota ini tak pernah kenyang” katanya.
“Pertanyaannya cuma satu…
kau ingin menjadi makanannya,
atau kau ingin melihat siapa yang memakanmu dari balik tirai itu?”
Tirai biru bergetar lebih keras.
Lampu berkedip.
Suara lagu berubah pelan,
mengalun seperti bisikan seseorang yang patah dari dalam dirinya sendiri.
Tony menoleh ke arahku,
tatapannya lembut—
lebih lembut dari yang boleh dimiliki seseorang
yang telah melihat apa yang ia lihat.
“Kita mulai adegannya sekarang,” katanya.
Dan untuk pertama kalinya,
aku sadar bahwa dalam dunia ini—
aku bukan penonton
dan bukan penulis skenario—
aku hanyalah seseorang
yang dipilih oleh tirai biru
untuk diseret masuk
ke dalam mimpi
yang bukan milikku.
November 2025”
―
(Blue Velvet Reconstruction)
Tony muncul tepat setelah sprinkler berhenti.
Air masih menetes dari selang,
mengisi halaman dengan aroma plastik basah dan ironi yang menyengat.
Kota ini pura-pura damai,
pura-pura tidak tahu
bahwa di balik pagar putih dan bunga violet,
selalu ada sesuatu yang menggerogoti
dengan gigi kecil penuh dendam.
Aku menemukannya berdiri di tepi pagar,
menunduk pada selembar rumput yang
entah kenapa bergetar seperti sedang menahan ketakutan.
Ia mengenakan jas hitam.
Tidak seperti jas biasa—
lebih seperti kulit seseorang
yang belum siap dilepas dari tubuhnya.
“Aku hanya ingin melihat apa yang tumbuh,” katanya ringan,
menyentuh kelopak bunga biru
seolah-olah itu adalah saklar menuju sesuatu yang lebih gelap.
Senyumnya lunak,
tetapi terlalu lama, terlalu presisi—
seperti seseorang berlatih tersenyum
di depan cermin yang pernah menyaksikan kejahatan.
Di rumah sebelah, radio memutar lagu cinta tahun 50-an,
dan setiap nadanya terdengar seperti jeritan
yang disamarkan agar tetap cocok untuk lingkungan keluarga.
Tony melangkah masuk ke dalam bayangan pohon maple,
bayangan yang tidak mengikuti arah matahari
dan tampak seperti mencoba menelan sepatunya.
“Di kota ini,” bisiknya,
“segala sesuatu yang indah memiliki pintu belakang yang tidak terkunci.”
Ia mengangkat telepon yang tiba-tiba berdering dari halaman kosong.
Tidak ada kabel. Tidak ada sambungan.
Hanya telepon merah yang seharusnya tidak ada di sana.
“Hallo?”
Matanya tidak berkedip.
“Ya… dia sedang melihatku sekarang.”
Ia menatapku.
Seolah aku adalah seseorang yang namanya
disebut dari ujung lain kabel yang tak terlihat.
Ada suara di dalam telepon:
napas seseorang yang terlalu dekat,
terlalu intim,
terlalu mengerti sesuatu tentangku
yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun.
Tony mendengarkan lama,
lalu menutup gagang telepon dengan lembut.
Seperti menutup kelopak mata sesosok mayat.
“Seseorang ingin bertemu denganmu,” katanya.
“Di ruang atas.”
Nada suaranya seperti undangan dan ancaman yang dibungkus karamel.
Kami masuk ke rumah kosong itu.
Dindingnya berwarna merah muda—
terlalu merah muda—
seperti anak kecil pernah memimpikan kamar ini
sebelum sesuatu memutuskan tinggal di dalamnya.
Ada lagu lembut berputar di radio tua,
dan udara berbau parfum murahan
yang bercampur dengan bau karat besi yang tak jujur.
Dia menyentuh gagang pintu kamar.
Tangan itu tidak gemetar.
Pintu membuka dengan suara mengerang
seperti rahasia yang keberatan dibocorkan.
Di dalam:
tirai biru menggantung,
bergoyang pelan meski jendela tertutup rapat.
“Jangan kaget,” bisiknya padaku.
“Di balik tirai itu biasanya seseorang menangis.”
Aku hendak bertanya siapa,
tapi tirai bergerak sendiri.
Sangat pelan.
Seperti seseorang yang baru saja menghapus air mata.
Tony berdiri di sampingku,
dan kini aku melihatnya bukan sebagai manusia—
tetapi sebagai retakan dalam dunia ini.
Sesuatu yang seharusnya tidak memiliki tubuh,
namun tetap memilih untuk memakai salah satunya.
Ia membungkuk mendekat ke telingaku,
napasnya dingin seperti kulkas yang menyimpan rasa lapar.
“Kota ini tak pernah kenyang” katanya.
“Pertanyaannya cuma satu…
kau ingin menjadi makanannya,
atau kau ingin melihat siapa yang memakanmu dari balik tirai itu?”
Tirai biru bergetar lebih keras.
Lampu berkedip.
Suara lagu berubah pelan,
mengalun seperti bisikan seseorang yang patah dari dalam dirinya sendiri.
Tony menoleh ke arahku,
tatapannya lembut—
lebih lembut dari yang boleh dimiliki seseorang
yang telah melihat apa yang ia lihat.
“Kita mulai adegannya sekarang,” katanya.
Dan untuk pertama kalinya,
aku sadar bahwa dalam dunia ini—
aku bukan penonton
dan bukan penulis skenario—
aku hanyalah seseorang
yang dipilih oleh tirai biru
untuk diseret masuk
ke dalam mimpi
yang bukan milikku.
November 2025”
―
“TONY, ISAP NAPAS TERAKHIR KOTA INI
(Frank Booth Reconstruction — Gasoline Erotics)
Pintu itu tidak dibuka.
Pintu itu diterjang,
seperti kota ini tidak pantas memiliki sekat,
seperti dinding adalah penghinaan personal
yang harus dihancurkan.
Tony masuk
dengan langkah yang terdengar seperti pukulan jantung
yang dipaksa berdetak oleh seseorang yang membencinya.
Ia mengenakan topeng oksigen.
Bukan untuk bernapas—
untuk menyembur kegilaan ke paru-parunya
sebelum kata pertama jatuh dari bibirnya.
Hssssssss—
“Jangan bergerak.”
Suaranya adalah listrik yang kehilangan kesabaran,
dan aku yakin ia berkata seperti itu
bukan karena aku akan kabur
melainkan karena ia ingin melihatku membeku
dalam ketakutan paling murni.
Ia menghirup gas lagi.
Hssssssss—
lelaki itu kini adalah badai kecil
yang mencari seseorang untuk dihancurkan
demi alasan yang hanya dimengerti oleh tubuhnya.
“LIHAT AKU!”
Kata itu bukan permintaan.
Itu adalah ajakan berperang.
Lampu berkedip dan berubah merah
seolah ruangan ini memutuskan
untuk mengakui siapa yang berkuasa.
Tony mendekat begitu cepat
hingga udara mundur.
Ia meraih kerah bajuku
dengan gerakan yang cepat dan brutal pada saat yang sama,
seperti seseorang yang memetik bunga
yang sebenarnya adalah granat.
“Kau pikir kota ini milikmu?”
Ia menggertak—pendek, tajam.
“Kau pikir cinta itu kelembutan? Kebijaksanaan? Ritual bahagia?”
Hssssssss—
Napasnya berubah menjadi dengus binatang buas.
“CINTA ITU GAS, BANGSAT!”
“Cinta itu benda yang kau hirup
sampai matamu melihat warna yang tidak ada dalam spektrum optik.”
Ia menepuk pipiku—
bukan lembut, bukan keras—
tapi cukup untuk membuatku sadar
bahwa sentuhan itu bisa menjadi ancaman yang menyakitkan.
Dari sakunya, ia mengeluarkan sepotong beludru gelap.
Tidak biru—
tapi hitam basah, seperti bulu raven
yang mencuri cahaya dari mataku.
“Pegang ini,” katanya.
“Pegang pelan.”
“Lebih pelan.”
“Ya.”
Nadanya berubah sultry,
seolah kekerasan dan erotika adalah bahasa yang sama
baginya.
“Dengar, aku akan bilang satu hal padamu,”
Ia mendekatkan wajahnya.
Aroma gas, logam, dan sesuatu yang manis—
seperti permen yang dicampur racun—
mengisi ruangan.
“Kota ini adalah perempuan telanjang
yang dipaksa bernyanyi di depan semua fantasi manusia.”
Ia tertawa—
tawa yang tidak punya ritme moral.
“Dan aku…”
Ia memegang wajahku di kedua tangannya.
“...adalah orang yang mengajar kota ini
bagaimana caranya menjerit.”
Hssssssss—
Tony menendang meja,
gelas-gelas pecah,
bayangan jatuh ke lantai seperti tubuh.
Ia menatapku dengan mata
yang tidak lagi mengenali perbedaan
antara hasrat dan kekejaman.
“AKU TUNJUKKAN CINTA VERSI SEJATI,” katanya.
Ia mendekat,
menekan beludru hitam itu ke dadaku
sambil berbisik di telingaku:
“Dalam dunia ini, siapa pun bisa mencintai.
Tapi hanya sedikit yang berani mencintai
sampai menghancurkan sesuatu.”
Hssssssss—
Ia menarik topengnya,
menatapku dengan kekosongan yang sempurna,
dan berkata:
“Inikah bagian tubuhmu yang paling kau butuhkan untuk merasa hidup?”
“Karena aku…
ingin mengambilnya darimu!”
Lalu ia merenggut hatiku
dengan sekali cabut.
November 2025”
―
(Frank Booth Reconstruction — Gasoline Erotics)
Pintu itu tidak dibuka.
Pintu itu diterjang,
seperti kota ini tidak pantas memiliki sekat,
seperti dinding adalah penghinaan personal
yang harus dihancurkan.
Tony masuk
dengan langkah yang terdengar seperti pukulan jantung
yang dipaksa berdetak oleh seseorang yang membencinya.
Ia mengenakan topeng oksigen.
Bukan untuk bernapas—
untuk menyembur kegilaan ke paru-parunya
sebelum kata pertama jatuh dari bibirnya.
Hssssssss—
“Jangan bergerak.”
Suaranya adalah listrik yang kehilangan kesabaran,
dan aku yakin ia berkata seperti itu
bukan karena aku akan kabur
melainkan karena ia ingin melihatku membeku
dalam ketakutan paling murni.
Ia menghirup gas lagi.
Hssssssss—
lelaki itu kini adalah badai kecil
yang mencari seseorang untuk dihancurkan
demi alasan yang hanya dimengerti oleh tubuhnya.
“LIHAT AKU!”
Kata itu bukan permintaan.
Itu adalah ajakan berperang.
Lampu berkedip dan berubah merah
seolah ruangan ini memutuskan
untuk mengakui siapa yang berkuasa.
Tony mendekat begitu cepat
hingga udara mundur.
Ia meraih kerah bajuku
dengan gerakan yang cepat dan brutal pada saat yang sama,
seperti seseorang yang memetik bunga
yang sebenarnya adalah granat.
“Kau pikir kota ini milikmu?”
Ia menggertak—pendek, tajam.
“Kau pikir cinta itu kelembutan? Kebijaksanaan? Ritual bahagia?”
Hssssssss—
Napasnya berubah menjadi dengus binatang buas.
“CINTA ITU GAS, BANGSAT!”
“Cinta itu benda yang kau hirup
sampai matamu melihat warna yang tidak ada dalam spektrum optik.”
Ia menepuk pipiku—
bukan lembut, bukan keras—
tapi cukup untuk membuatku sadar
bahwa sentuhan itu bisa menjadi ancaman yang menyakitkan.
Dari sakunya, ia mengeluarkan sepotong beludru gelap.
Tidak biru—
tapi hitam basah, seperti bulu raven
yang mencuri cahaya dari mataku.
“Pegang ini,” katanya.
“Pegang pelan.”
“Lebih pelan.”
“Ya.”
Nadanya berubah sultry,
seolah kekerasan dan erotika adalah bahasa yang sama
baginya.
“Dengar, aku akan bilang satu hal padamu,”
Ia mendekatkan wajahnya.
Aroma gas, logam, dan sesuatu yang manis—
seperti permen yang dicampur racun—
mengisi ruangan.
“Kota ini adalah perempuan telanjang
yang dipaksa bernyanyi di depan semua fantasi manusia.”
Ia tertawa—
tawa yang tidak punya ritme moral.
“Dan aku…”
Ia memegang wajahku di kedua tangannya.
“...adalah orang yang mengajar kota ini
bagaimana caranya menjerit.”
Hssssssss—
Tony menendang meja,
gelas-gelas pecah,
bayangan jatuh ke lantai seperti tubuh.
Ia menatapku dengan mata
yang tidak lagi mengenali perbedaan
antara hasrat dan kekejaman.
“AKU TUNJUKKAN CINTA VERSI SEJATI,” katanya.
Ia mendekat,
menekan beludru hitam itu ke dadaku
sambil berbisik di telingaku:
“Dalam dunia ini, siapa pun bisa mencintai.
Tapi hanya sedikit yang berani mencintai
sampai menghancurkan sesuatu.”
Hssssssss—
Ia menarik topengnya,
menatapku dengan kekosongan yang sempurna,
dan berkata:
“Inikah bagian tubuhmu yang paling kau butuhkan untuk merasa hidup?”
“Karena aku…
ingin mengambilnya darimu!”
Lalu ia merenggut hatiku
dengan sekali cabut.
November 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
