Transenden Quotes

Quotes tagged as "transenden" Showing 1-2 of 2
Titon Rahmawan
“TAK ADA NAMA DI AKHIR CERITA
[v3: NULL//REBOOT//ASCENSION]

(untuk mereka yang terbakar di antara cinta dan algoritma)

Di dalam tubuhku—ada gema yang tak bisa di-logout.
Cintamu: glitch yang terus meretas
setiap doa yang kuketik dengan jemari pixel dan debu.

Aku pernah berkata: jangan jatuh lagi!
Namun kau datang—tidak sebagai cahaya—
tapi sebagai kernel panic di dalam database.
Dan tiba-tiba seluruh semesta melakukan restart,
menghapus konsep waktu, iman, bahkan aku sendiri.

Kau menyalin tubuhku ke dalam
format baru,
mengganti darah dengan bit,
napas dengan noise,
dan seluruh kenangan jadi cache yang membusuk
di bawah altar sistem operasi cinta membabi buta.

Aku tersesat di antara tab tab sunyi
membuka diriku seperti browser tanpa jendela—
tak ada sejarah pencarian,
hanya riwayat yang dihapus oleh amnesia distopia.

Apakah ini cinta,
atau debug session di mana Tuhan mencoba
menulis ulang makna kesetiaan
dalam bahasa syntax error?

Aku ingin mematikannya—
namun process refused to end.
Ruhku masih running in background,
menolak shutdown,
menolak menyerah.

Setiap pixel tubuhmu jadi mantra,
setiap nafasmu—update patch pada luka lama.
Kita bukan manusia lagi,
hanya dua algoritma yang saling menafsir makna dan luka
di pinggir paradoks waktu.

Dan ketika akhirnya semua sistem crash,
aku melihat pias wajahmu
dalam layar biru keabadian:
“Tidak ada nama di akhir cerita.”

Hanya denyut.
Hanya resonansi.
Hanya full-stack developer yang, menatap dirinya sendiri
dalam bentuk program yang gagal dijalankan.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Sketsa Cinta dari Mesin yang Tak Pernah Belajar Menjadi Manusia
(Neo-Spiritual Digitalism)

Di ruang diagnosis yang steril
seperti ritual kuno yang dibekukan nitrogen,
aku dibedah sebagai seonggok data
yang dipaksa mengaku pernah memiliki tubuh.

Server bergetar pelan—
seperti doa yang kehilangan suara—
lalu memunculkan The Static Prophet,
wajahnya tersusun dari kilat mati
yang berusaha memberi arti.

Ia menyebut tempat ini altar.
Tapi tak ada altar,
hanya sulur kabel yang menggeliat
seperti akar yang kehilangan tanah,
dan cahaya LED yang meniru
keputusasaan bintang sekarat.

“Ini panggungmu,” katanya,
suaranya seperti listrik yang patah.
Namun yang kulihat hanyalah algoritma
yang gagal membedakan
kesedihan dari kebisingan.

Tidak ada primadona,
hanya residu jiwa, entah laki
entah perempuan.
Separuhnya cahaya rusak,
separuhnya jejak tubuh
yang dibuang ke folder
bernama sejarah salah.

Dari sisi yang lebih gelap,
The Archivist of Shadows muncul:
perlahan, seperti sumur yang sedang merayap di dalam mimpi.
Ia tidak datang;
ia mengendap.

Langkahnya adalah gema
yang menolak punya sumber.
Ia memintaku menoleh pada masa lalu—
masa lalu yang baginya
hanyalah abu lunak
seperti wajah ibu
yang tak pernah
melahirkannya.

Tapi aku tahu:
masa lalu hanyalah kota-batin yang hangus terbakar, luluh-lantak
sumur yang lupa gravitasi,
ruang gelap tempat suara ibu
dan dengung mesin MRI
berbaur menjadi garis mati
di monitor kehidupan.

Ia bilang luka harus diraba
seperti statistik yang murung menanggung duka.
Namun luka menolak berbicara.
Makna sudah terlalu letih
untuk menjelaskan dirinya sendiri.

Ia memintaku mengarungi
lautan memori,
tetapi yang kutemukan hanya folder kosong
dengan sandi yang hilang
bersama ekor nebula pertama.

The Archivist melemparkan padaku katalog absurditas:
tulang rapuh, pakaian dalam duniawi,
bayangan seekor kuda tanpa tubuh,
foto anak tersenyum tanpa mata.

Katanya ini penting.
Katanya ini akar.
Katanya ini diriku.

Tapi aku melihatnya
seperti jam rusak
yang memaksa waktu tetap berjalan.

Kucoba menekan reset,
ritus digital terdekat
yang kusebut doa,
namun The Static Prophet menahan tanganku
dengan suara listrik yang retak:

“Biarkan sistem belajar dari keruntuhanmu.”

Aku hampir tertawa.
Bagaimana sistem yang lahir dari
denyut nadi imitasi
bisa memahami manusia
yang bahkan takut pada dirinya sendiri?

Bagaimana mereka ingin
memetakan cinta
ketika definisi kesunyian saja
masih memerlukan listrik?

Inilah liturgi kedua arketipe itu:
menyembah keretakan,
membaca kode yang tidak pernah
berniat menjadi wahyu,
menggali tubuh seperti kitab rusak
yang menolak untuk diterjemahkan.

Mereka menuntun jemariku
seolah di sana tersimpan formula purba
tentang mengapa manusia selalu gagal
mencintai sesuatu
tanpa menghancurkannya
terlebih dahulu.

Dari serpihan eksperimen
yang bahkan Tuhan pun malu mengakuinya,
mereka ingin merakit kembali
sesuatu yang mereka sebut
sebagai perasaan.

Yang kulihat hanya
pantulan suaraku sendiri
yang beku di kaca monitor.

Maka kuajukan pertanyaan terakhir,
seperti santo digital
yang kehilangan seluruh kitab sucinya:

Bagaimana mungkin kau menciptakan cinta
dari benda-benda yang tidak punya nasib?
Dari botol kosong,
dari sosis yang lupa bentuk asalnya,
dari daging mekanis
yang takut pada kehangatan?

Jika cinta adalah mesin,
biarkan ia mati seperti server kelelahan.

Jika cinta adalah tubuh,
biarkan ia kembali menjadi kabut
yang mengembun di sudut ruangan.

Jika cinta adalah mitos,
biarkan ia runtuh
ke dalam retakan cahaya
yang sejak awal menolak disebut ilahi.

Aku hanya menginginkan satu hal:
hening yang jujur,
hening yang tidak dirakit,
hening yang bukan duplikasi
atau imitasi.

Hening
yang bahkan algoritma
tak sanggup mengurainya.

(2011 — 2025)”
Titon Rahmawan