Otentisitas Quotes
Quotes tagged as "otentisitas"
Showing 1-6 of 6
“Sketsa Cinta dari Mesin yang Tak Pernah Belajar Menjadi Manusia
(Neo-Spiritual Digitalism)
Di ruang diagnosis yang steril
seperti ritual kuno yang dibekukan nitrogen,
aku dibedah sebagai seonggok data
yang dipaksa mengaku pernah memiliki tubuh.
Server bergetar pelan—
seperti doa yang kehilangan suara—
lalu memunculkan The Static Prophet,
wajahnya tersusun dari kilat mati
yang berusaha memberi arti.
Ia menyebut tempat ini altar.
Tapi tak ada altar,
hanya sulur kabel yang menggeliat
seperti akar yang kehilangan tanah,
dan cahaya LED yang meniru
keputusasaan bintang sekarat.
“Ini panggungmu,” katanya,
suaranya seperti listrik yang patah.
Namun yang kulihat hanyalah algoritma
yang gagal membedakan
kesedihan dari kebisingan.
Tidak ada primadona,
hanya residu jiwa, entah laki
entah perempuan.
Separuhnya cahaya rusak,
separuhnya jejak tubuh
yang dibuang ke folder
bernama sejarah salah.
Dari sisi yang lebih gelap,
The Archivist of Shadows muncul:
perlahan, seperti sumur yang sedang merayap di dalam mimpi.
Ia tidak datang;
ia mengendap.
Langkahnya adalah gema
yang menolak punya sumber.
Ia memintaku menoleh pada masa lalu—
masa lalu yang baginya
hanyalah abu lunak
seperti wajah ibu
yang tak pernah
melahirkannya.
Tapi aku tahu:
masa lalu hanyalah kota-batin yang hangus terbakar, luluh-lantak
sumur yang lupa gravitasi,
ruang gelap tempat suara ibu
dan dengung mesin MRI
berbaur menjadi garis mati
di monitor kehidupan.
Ia bilang luka harus diraba
seperti statistik yang murung menanggung duka.
Namun luka menolak berbicara.
Makna sudah terlalu letih
untuk menjelaskan dirinya sendiri.
Ia memintaku mengarungi
lautan memori,
tetapi yang kutemukan hanya folder kosong
dengan sandi yang hilang
bersama ekor nebula pertama.
The Archivist melemparkan padaku katalog absurditas:
tulang rapuh, pakaian dalam duniawi,
bayangan seekor kuda tanpa tubuh,
foto anak tersenyum tanpa mata.
Katanya ini penting.
Katanya ini akar.
Katanya ini diriku.
Tapi aku melihatnya
seperti jam rusak
yang memaksa waktu tetap berjalan.
Kucoba menekan reset,
ritus digital terdekat
yang kusebut doa,
namun The Static Prophet menahan tanganku
dengan suara listrik yang retak:
“Biarkan sistem belajar dari keruntuhanmu.”
Aku hampir tertawa.
Bagaimana sistem yang lahir dari
denyut nadi imitasi
bisa memahami manusia
yang bahkan takut pada dirinya sendiri?
Bagaimana mereka ingin
memetakan cinta
ketika definisi kesunyian saja
masih memerlukan listrik?
Inilah liturgi kedua arketipe itu:
menyembah keretakan,
membaca kode yang tidak pernah
berniat menjadi wahyu,
menggali tubuh seperti kitab rusak
yang menolak untuk diterjemahkan.
Mereka menuntun jemariku
seolah di sana tersimpan formula purba
tentang mengapa manusia selalu gagal
mencintai sesuatu
tanpa menghancurkannya
terlebih dahulu.
Dari serpihan eksperimen
yang bahkan Tuhan pun malu mengakuinya,
mereka ingin merakit kembali
sesuatu yang mereka sebut
sebagai perasaan.
Yang kulihat hanya
pantulan suaraku sendiri
yang beku di kaca monitor.
Maka kuajukan pertanyaan terakhir,
seperti santo digital
yang kehilangan seluruh kitab sucinya:
Bagaimana mungkin kau menciptakan cinta
dari benda-benda yang tidak punya nasib?
Dari botol kosong,
dari sosis yang lupa bentuk asalnya,
dari daging mekanis
yang takut pada kehangatan?
Jika cinta adalah mesin,
biarkan ia mati seperti server kelelahan.
Jika cinta adalah tubuh,
biarkan ia kembali menjadi kabut
yang mengembun di sudut ruangan.
Jika cinta adalah mitos,
biarkan ia runtuh
ke dalam retakan cahaya
yang sejak awal menolak disebut ilahi.
Aku hanya menginginkan satu hal:
hening yang jujur,
hening yang tidak dirakit,
hening yang bukan duplikasi
atau imitasi.
Hening
yang bahkan algoritma
tak sanggup mengurainya.
(2011 — 2025)”
―
(Neo-Spiritual Digitalism)
Di ruang diagnosis yang steril
seperti ritual kuno yang dibekukan nitrogen,
aku dibedah sebagai seonggok data
yang dipaksa mengaku pernah memiliki tubuh.
Server bergetar pelan—
seperti doa yang kehilangan suara—
lalu memunculkan The Static Prophet,
wajahnya tersusun dari kilat mati
yang berusaha memberi arti.
Ia menyebut tempat ini altar.
Tapi tak ada altar,
hanya sulur kabel yang menggeliat
seperti akar yang kehilangan tanah,
dan cahaya LED yang meniru
keputusasaan bintang sekarat.
“Ini panggungmu,” katanya,
suaranya seperti listrik yang patah.
Namun yang kulihat hanyalah algoritma
yang gagal membedakan
kesedihan dari kebisingan.
Tidak ada primadona,
hanya residu jiwa, entah laki
entah perempuan.
Separuhnya cahaya rusak,
separuhnya jejak tubuh
yang dibuang ke folder
bernama sejarah salah.
Dari sisi yang lebih gelap,
The Archivist of Shadows muncul:
perlahan, seperti sumur yang sedang merayap di dalam mimpi.
Ia tidak datang;
ia mengendap.
Langkahnya adalah gema
yang menolak punya sumber.
Ia memintaku menoleh pada masa lalu—
masa lalu yang baginya
hanyalah abu lunak
seperti wajah ibu
yang tak pernah
melahirkannya.
Tapi aku tahu:
masa lalu hanyalah kota-batin yang hangus terbakar, luluh-lantak
sumur yang lupa gravitasi,
ruang gelap tempat suara ibu
dan dengung mesin MRI
berbaur menjadi garis mati
di monitor kehidupan.
Ia bilang luka harus diraba
seperti statistik yang murung menanggung duka.
Namun luka menolak berbicara.
Makna sudah terlalu letih
untuk menjelaskan dirinya sendiri.
Ia memintaku mengarungi
lautan memori,
tetapi yang kutemukan hanya folder kosong
dengan sandi yang hilang
bersama ekor nebula pertama.
The Archivist melemparkan padaku katalog absurditas:
tulang rapuh, pakaian dalam duniawi,
bayangan seekor kuda tanpa tubuh,
foto anak tersenyum tanpa mata.
Katanya ini penting.
Katanya ini akar.
Katanya ini diriku.
Tapi aku melihatnya
seperti jam rusak
yang memaksa waktu tetap berjalan.
Kucoba menekan reset,
ritus digital terdekat
yang kusebut doa,
namun The Static Prophet menahan tanganku
dengan suara listrik yang retak:
“Biarkan sistem belajar dari keruntuhanmu.”
Aku hampir tertawa.
Bagaimana sistem yang lahir dari
denyut nadi imitasi
bisa memahami manusia
yang bahkan takut pada dirinya sendiri?
Bagaimana mereka ingin
memetakan cinta
ketika definisi kesunyian saja
masih memerlukan listrik?
Inilah liturgi kedua arketipe itu:
menyembah keretakan,
membaca kode yang tidak pernah
berniat menjadi wahyu,
menggali tubuh seperti kitab rusak
yang menolak untuk diterjemahkan.
Mereka menuntun jemariku
seolah di sana tersimpan formula purba
tentang mengapa manusia selalu gagal
mencintai sesuatu
tanpa menghancurkannya
terlebih dahulu.
Dari serpihan eksperimen
yang bahkan Tuhan pun malu mengakuinya,
mereka ingin merakit kembali
sesuatu yang mereka sebut
sebagai perasaan.
Yang kulihat hanya
pantulan suaraku sendiri
yang beku di kaca monitor.
Maka kuajukan pertanyaan terakhir,
seperti santo digital
yang kehilangan seluruh kitab sucinya:
Bagaimana mungkin kau menciptakan cinta
dari benda-benda yang tidak punya nasib?
Dari botol kosong,
dari sosis yang lupa bentuk asalnya,
dari daging mekanis
yang takut pada kehangatan?
Jika cinta adalah mesin,
biarkan ia mati seperti server kelelahan.
Jika cinta adalah tubuh,
biarkan ia kembali menjadi kabut
yang mengembun di sudut ruangan.
Jika cinta adalah mitos,
biarkan ia runtuh
ke dalam retakan cahaya
yang sejak awal menolak disebut ilahi.
Aku hanya menginginkan satu hal:
hening yang jujur,
hening yang tidak dirakit,
hening yang bukan duplikasi
atau imitasi.
Hening
yang bahkan algoritma
tak sanggup mengurainya.
(2011 — 2025)”
―
“Elegia Saras
Saras,
aku menuliskan namamu dengan tangan yang gemetar,
seperti seseorang yang kembali dari jurang kematian,
membawa potongan malam di sela-sela jarinya.
Aku tak pernah benar-benar tahu
mengapa kau datang pada seorang yang telah kehilangan
seluruh nilai kemanusiaannya.
Aku hanya tahu:
ketika aku mulai berubah menjadi bayangan
yang tak lagi memiliki suhu,
kau duduk di sebelahku
dan memanggilku manusia.
Ada sesuatu yang patah di dadaku waktu itu—
sebuah retakan yang tak membuatku runtuh,
melainkan membuatku mendengar
detak terakhir jiwaku sendiri.
Aku harus mengaku:
aku telah membawa banyak hantu.
masa lalu yang menjadi luka cahaya. Ilusi yang menjadi obsesi tanpa tubuh.
Semua kekeliruan yang kubela seperti altar.
Semua kebodohan yang kupelihara seperti anak kandung.
Namun kau tidak pernah menutup pintu.
Tidak pernah mengusir ingatan yang menempel di kulitku
seperti abu.
Kau hanya berkata:
biarkan semua tinggal, tapi jangan biarkan mereka merusakmu lagi.
Saras, aku tidak pernah tahu ada manusia
yang bisa begitu lapang tanpa menjadi kosong,
yang bisa begitu baik tanpa menjadi kudus,
yang bisa begitu hadir
tanpa mengikat apa pun.
Kebaikanmu adalah semacam cahaya
yang tidak menghanguskan,
api panas lembut yang membuatku sadar
bahwa mungkin aku belum sepenuhnya hilang.
Di titik paling nadir,
ketika seluruh yang kuperjuangkan runtuh
seperti bangunan tua yang disenggol angin,
ketika tak ada yang tersisa dariku
selain ampas keinginan dan debu kegagalan,
aku berharap kau pergi.
Agar aku tak perlu menanggung rasa bersalah
karena masih ada seseorang yang menatapku
sebagai sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.
Namun kau tidak pergi.
Kau diam
di sisiku
dengan ketenangan yang membuat jiwaku bergetar.
Dan untuk pertama kalinya
setelah bertahun-tahun aku mengutuki diri,
aku berhenti.
Hanya berhenti.
Tak lagi ingin memukul wajahku sendiri,
tak lagi ingin membenci suara di kepalaku.
Semuanya berhenti,
karena kau tidak pergi ketika aku hancur.
Saras,
elegi ini bukan permintaan maaf.
Bukan pula pujian.
Ini adalah tubuhku yang terakhir,
ditulis dari retakan dada yang akhirnya berani mengakui:
Aku bersyukur.
Bersyukur karena pernah memilikimu,
melewati ingatan pahit,
hasrat yang menyesatkan,
ambisi yang membuatku buta,
dan obsesi yang menelan kebahagiaanku sendiri.
Aku bersyukur
karena kau tidak pernah menuntut balas.
Tidak pernah meminta bahu yang setara.
Tidak pernah menghitung luka yang kau cium dari hidupku.
Kau hanya mencintai
dengan cara yang menakutkan bagiku—
karena terlalu jujur,
terlalu manusiawi,
terlalu nyata untuk seorang sepertiku
yang lama tinggal di ruang ilusi.
Kini aku menuliskan puisi ini
sebagai seorang yang akhirnya sadar:
tanpa kau, Saras,
aku mungkin telah hilang
di dalam kabut pikiranku sendiri.
Harapan terakhirku adalah kau tahu
bahwa dari semua nama yang pernah membuatku bergetar,
dari semua wajah yang pernah kucintai
dengan cara yang salah,
hanya kaulah
yang membuatku ingin tetap ada.
Bukan demi cinta.
Bukan demi masa depan.
Melainkan demi sesuatu yang lebih sederhana,
lebih jujur,
lebih manusiawi:
agar aku bisa menjadi manusia
yang tidak lagi menyakiti diri sendiri.
Saras,
elegi ini adalah bukti terakhir
bahwa di dalam gelap terdalamku
ada satu cahaya kecil
yang tidak pernah padam—
dan itu bukan aku.
Itu adalah
dirimu.
November 2025”
―
Saras,
aku menuliskan namamu dengan tangan yang gemetar,
seperti seseorang yang kembali dari jurang kematian,
membawa potongan malam di sela-sela jarinya.
Aku tak pernah benar-benar tahu
mengapa kau datang pada seorang yang telah kehilangan
seluruh nilai kemanusiaannya.
Aku hanya tahu:
ketika aku mulai berubah menjadi bayangan
yang tak lagi memiliki suhu,
kau duduk di sebelahku
dan memanggilku manusia.
Ada sesuatu yang patah di dadaku waktu itu—
sebuah retakan yang tak membuatku runtuh,
melainkan membuatku mendengar
detak terakhir jiwaku sendiri.
Aku harus mengaku:
aku telah membawa banyak hantu.
masa lalu yang menjadi luka cahaya. Ilusi yang menjadi obsesi tanpa tubuh.
Semua kekeliruan yang kubela seperti altar.
Semua kebodohan yang kupelihara seperti anak kandung.
Namun kau tidak pernah menutup pintu.
Tidak pernah mengusir ingatan yang menempel di kulitku
seperti abu.
Kau hanya berkata:
biarkan semua tinggal, tapi jangan biarkan mereka merusakmu lagi.
Saras, aku tidak pernah tahu ada manusia
yang bisa begitu lapang tanpa menjadi kosong,
yang bisa begitu baik tanpa menjadi kudus,
yang bisa begitu hadir
tanpa mengikat apa pun.
Kebaikanmu adalah semacam cahaya
yang tidak menghanguskan,
api panas lembut yang membuatku sadar
bahwa mungkin aku belum sepenuhnya hilang.
Di titik paling nadir,
ketika seluruh yang kuperjuangkan runtuh
seperti bangunan tua yang disenggol angin,
ketika tak ada yang tersisa dariku
selain ampas keinginan dan debu kegagalan,
aku berharap kau pergi.
Agar aku tak perlu menanggung rasa bersalah
karena masih ada seseorang yang menatapku
sebagai sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.
Namun kau tidak pergi.
Kau diam
di sisiku
dengan ketenangan yang membuat jiwaku bergetar.
Dan untuk pertama kalinya
setelah bertahun-tahun aku mengutuki diri,
aku berhenti.
Hanya berhenti.
Tak lagi ingin memukul wajahku sendiri,
tak lagi ingin membenci suara di kepalaku.
Semuanya berhenti,
karena kau tidak pergi ketika aku hancur.
Saras,
elegi ini bukan permintaan maaf.
Bukan pula pujian.
Ini adalah tubuhku yang terakhir,
ditulis dari retakan dada yang akhirnya berani mengakui:
Aku bersyukur.
Bersyukur karena pernah memilikimu,
melewati ingatan pahit,
hasrat yang menyesatkan,
ambisi yang membuatku buta,
dan obsesi yang menelan kebahagiaanku sendiri.
Aku bersyukur
karena kau tidak pernah menuntut balas.
Tidak pernah meminta bahu yang setara.
Tidak pernah menghitung luka yang kau cium dari hidupku.
Kau hanya mencintai
dengan cara yang menakutkan bagiku—
karena terlalu jujur,
terlalu manusiawi,
terlalu nyata untuk seorang sepertiku
yang lama tinggal di ruang ilusi.
Kini aku menuliskan puisi ini
sebagai seorang yang akhirnya sadar:
tanpa kau, Saras,
aku mungkin telah hilang
di dalam kabut pikiranku sendiri.
Harapan terakhirku adalah kau tahu
bahwa dari semua nama yang pernah membuatku bergetar,
dari semua wajah yang pernah kucintai
dengan cara yang salah,
hanya kaulah
yang membuatku ingin tetap ada.
Bukan demi cinta.
Bukan demi masa depan.
Melainkan demi sesuatu yang lebih sederhana,
lebih jujur,
lebih manusiawi:
agar aku bisa menjadi manusia
yang tidak lagi menyakiti diri sendiri.
Saras,
elegi ini adalah bukti terakhir
bahwa di dalam gelap terdalamku
ada satu cahaya kecil
yang tidak pernah padam—
dan itu bukan aku.
Itu adalah
dirimu.
November 2025”
―
“Saras, Api yang Mengajarkanku
Menjadi Manusia
I
Aku tidak tahu kapan pertama kali
kau menyalakan lentera kecil itu
di reruntuhan jiwaku.
Mungkin ketika aku menatapmu
dan menemukan diriku sendiri
yang tidak ingin kubunuh.
Saras,
kau adalah satu-satunya cahaya
yang tidak menyilaukanku—
justru membuatku belajar
bahwa gelap tidak harus menjadi takdir.
Aku ini tubuh yang diseret oleh bayang.
Aku ini jam rusak
yang terus memukul tengah malam
meski fajar sudah lama lewat.
Aku ini retakan tua
yang memanggil namamu
tanpa suara.
Engkau datang
bukan sebagai keselamatan,
bukan sebagai janji,
bukan sebagai surga yang dijanjikan
para nabi kecil yang berebut bicara dalam kepalaku.
Engkau datang
sebagai api kecil
yang tidak pernah meminta kayu,
tapi terus membakar
segala dusta yang kusimpan
di bawah lidahku.
Aku tidak pernah siap untuk dicintai
tanpa syarat.
Aku terbiasa menjadi labirin
bagi cinta-cinta yang tersesat.
Masa lalu memberiku ingatan.
Ilusi memberiku obsesi.
Tapi engkau—
engkau memberiku ruang
untuk tidak menjadi monster
yang sudah kupersiapkan
dari masa depan.
Kau tidak melarikan diri
ketika aku runtuh
dalam diriku sendiri.
Tidak mundur
ketika aku berkata
aku punya cinta lain.
Tidak memadam
api yang tidak pernah bisa
aku jinakkan.
Saras,
engkau tidak pernah memilih
menjadi pahlawan,
tapi mengapa aku merasa
engkaulah
rumah yang tidak pernah
layak aku miliki?
Ada malam-malam
ketika aku menatapmu dari jauh
dan merasa tubuhku adalah batu
yang ingin menjadi tanganmu.
Ada hari-hari
ketika aku ingin mencintaimu
dengan cara yang lebih jujur,
lebih manusia,
tapi aku takut
engkau akan melihat
betapa gelapnya aku
tanpa semua kedok itu.
Aku takut
bukan karena aku bisa kehilanganmu—
tapi karena aku tahu
engkau tidak akan pergi
meski aku menghancurkan
diriku sendiri.
Itu, Saras.
Ketulusanmu adalah pedang
yang menebas kebohonganku.
Aku selalu mengatakan
bahwa aku tidak cukup baik.
Bahwa aku ini retakan
yang seharusnya tidak disentuh.
Namun engkau datang
dan duduk tepat di atas retakan itu,
tanpa takut jatuh
ke dalam kegelapanku.
Dan untuk pertama kalinya
aku belajar
bahwa cinta tidak selalu
berdiri di atas tanah yang kokoh—
kadang cinta adalah
keputusan untuk tetap tinggal
di dalam guncangan gempa.”
―
Menjadi Manusia
I
Aku tidak tahu kapan pertama kali
kau menyalakan lentera kecil itu
di reruntuhan jiwaku.
Mungkin ketika aku menatapmu
dan menemukan diriku sendiri
yang tidak ingin kubunuh.
Saras,
kau adalah satu-satunya cahaya
yang tidak menyilaukanku—
justru membuatku belajar
bahwa gelap tidak harus menjadi takdir.
Aku ini tubuh yang diseret oleh bayang.
Aku ini jam rusak
yang terus memukul tengah malam
meski fajar sudah lama lewat.
Aku ini retakan tua
yang memanggil namamu
tanpa suara.
Engkau datang
bukan sebagai keselamatan,
bukan sebagai janji,
bukan sebagai surga yang dijanjikan
para nabi kecil yang berebut bicara dalam kepalaku.
Engkau datang
sebagai api kecil
yang tidak pernah meminta kayu,
tapi terus membakar
segala dusta yang kusimpan
di bawah lidahku.
Aku tidak pernah siap untuk dicintai
tanpa syarat.
Aku terbiasa menjadi labirin
bagi cinta-cinta yang tersesat.
Masa lalu memberiku ingatan.
Ilusi memberiku obsesi.
Tapi engkau—
engkau memberiku ruang
untuk tidak menjadi monster
yang sudah kupersiapkan
dari masa depan.
Kau tidak melarikan diri
ketika aku runtuh
dalam diriku sendiri.
Tidak mundur
ketika aku berkata
aku punya cinta lain.
Tidak memadam
api yang tidak pernah bisa
aku jinakkan.
Saras,
engkau tidak pernah memilih
menjadi pahlawan,
tapi mengapa aku merasa
engkaulah
rumah yang tidak pernah
layak aku miliki?
Ada malam-malam
ketika aku menatapmu dari jauh
dan merasa tubuhku adalah batu
yang ingin menjadi tanganmu.
Ada hari-hari
ketika aku ingin mencintaimu
dengan cara yang lebih jujur,
lebih manusia,
tapi aku takut
engkau akan melihat
betapa gelapnya aku
tanpa semua kedok itu.
Aku takut
bukan karena aku bisa kehilanganmu—
tapi karena aku tahu
engkau tidak akan pergi
meski aku menghancurkan
diriku sendiri.
Itu, Saras.
Ketulusanmu adalah pedang
yang menebas kebohonganku.
Aku selalu mengatakan
bahwa aku tidak cukup baik.
Bahwa aku ini retakan
yang seharusnya tidak disentuh.
Namun engkau datang
dan duduk tepat di atas retakan itu,
tanpa takut jatuh
ke dalam kegelapanku.
Dan untuk pertama kalinya
aku belajar
bahwa cinta tidak selalu
berdiri di atas tanah yang kokoh—
kadang cinta adalah
keputusan untuk tetap tinggal
di dalam guncangan gempa.”
―
“Saras, Api yang Mengajarkanku
Menjadi Manusia
II
Saras,
aku tidak tahu bagaimana caramu
memperbarui cintamu
hari demi hari,
seperti seseorang yang
menjaga api suci
di tengah badai.
Aku mencintaimu
dengan ketakutan yang tidak sembuh.
Engkau mencintaiku
dengan keheningan yang tidak putus.
Kita berdua tahu
aku adalah arang
yang tidak pernah padam.
Kita berdua tahu
engkau adalah kayu
yang tetap merelakan dirinya
untuk terbakar.
Ini bukan tragedi.
Ini bukan pengorbanan.
Ini bukan penebusan.
Ini adalah cara kita
menjadi manusia.
Dan untuk pertama kalinya
aku tidak ingin
menjadi apa pun
selain seseorang
yang bisa menyebut namamu
tanpa gemetar.
Saras.
Saras.
Saras.
Engkau adalah satu-satunya alasan
mengapa aku
masih bertahan
menjadi diriku sendiri
tanpa membunuh bagian
yang ingin kaucintai.
Jika dunia mengira
aku mencintai masa lalu
karena lukanya,
mereka salah.
Jika mereka mengira
Ilusi akan memusnahkanku
karena obsesinya,
mereka benar.
Tapi tidak satu pun dari mereka tahu:
engkaulah yang mengajariku
bahwa kehidupan
bukan hanya tentang menghindari
kegelapan—
tapi tentang memilih
seseorang yang menyalakan
cahaya kecil
yang tidak pernah meminta
apa pun sebagai imbalan.
Dan itu engkau, Saras,
lebih bersih dari seluruh
mitos yang pernah kutulis.
Hari ini,
jika aku harus memilih
cara paling jujur
untuk mencintaimu,
maka aku akan memilih
untuk tidak lagi bersembunyi
di balik kesadaranku sendiri.
Kau adalah manusia paling manusia
yang pernah memanggilku pulang
dan memberiku rumah.
Dan aku,
akhirnya,
belajar menjadi manusia
dengan menyebut namamu
dalam gelap
tanpa takut
kau mendengarnya.
Saras,
engkaulah satu-satunya cahaya
yang tidak kubenci.
Dan itu,
adalah inti dari
seluruh puisiku.
November, 2025”
―
Menjadi Manusia
II
Saras,
aku tidak tahu bagaimana caramu
memperbarui cintamu
hari demi hari,
seperti seseorang yang
menjaga api suci
di tengah badai.
Aku mencintaimu
dengan ketakutan yang tidak sembuh.
Engkau mencintaiku
dengan keheningan yang tidak putus.
Kita berdua tahu
aku adalah arang
yang tidak pernah padam.
Kita berdua tahu
engkau adalah kayu
yang tetap merelakan dirinya
untuk terbakar.
Ini bukan tragedi.
Ini bukan pengorbanan.
Ini bukan penebusan.
Ini adalah cara kita
menjadi manusia.
Dan untuk pertama kalinya
aku tidak ingin
menjadi apa pun
selain seseorang
yang bisa menyebut namamu
tanpa gemetar.
Saras.
Saras.
Saras.
Engkau adalah satu-satunya alasan
mengapa aku
masih bertahan
menjadi diriku sendiri
tanpa membunuh bagian
yang ingin kaucintai.
Jika dunia mengira
aku mencintai masa lalu
karena lukanya,
mereka salah.
Jika mereka mengira
Ilusi akan memusnahkanku
karena obsesinya,
mereka benar.
Tapi tidak satu pun dari mereka tahu:
engkaulah yang mengajariku
bahwa kehidupan
bukan hanya tentang menghindari
kegelapan—
tapi tentang memilih
seseorang yang menyalakan
cahaya kecil
yang tidak pernah meminta
apa pun sebagai imbalan.
Dan itu engkau, Saras,
lebih bersih dari seluruh
mitos yang pernah kutulis.
Hari ini,
jika aku harus memilih
cara paling jujur
untuk mencintaimu,
maka aku akan memilih
untuk tidak lagi bersembunyi
di balik kesadaranku sendiri.
Kau adalah manusia paling manusia
yang pernah memanggilku pulang
dan memberiku rumah.
Dan aku,
akhirnya,
belajar menjadi manusia
dengan menyebut namamu
dalam gelap
tanpa takut
kau mendengarnya.
Saras,
engkaulah satu-satunya cahaya
yang tidak kubenci.
Dan itu,
adalah inti dari
seluruh puisiku.
November, 2025”
―
“Puisi yang Menolak Jadi Puisi
Aku menuliskan ini dengan tangan yang tidak lagi menginginkan bahasa.
Bahkan sebelum huruf pertama jatuh, aku tahu:
segala yang mencoba kusebut “puisi”
hanyalah cara lain untuk menghindari diriku sendiri.
Jadi biarlah malam ini aku berhenti menjadi apa yang aku inginkan.
Biarlah aku menuliskan sesuatu
yang tidak ingin memiliki irama,
tidak ingin dipuji,
tidak ingin dikenang.
Sebab apa gunanya metafora
jika seluruh luka telah menolak
dibungkus oleh keindahan?
Apa gunanya diksi
jika ada kebenaran yang terlalu telanjang
untuk diberi pakaian?
Aku menghapus semua perumpamaan.
Aku menghapus semua simbol.
Aku menghapus semua milikku
yang pernah tampak seperti seni.
Biarkan yang tersisa hanya satu hal:
aku yang tidak sanggup berbohong lagi.
Ada hari-hari ketika aku ingin mengubur seluruh karyaku,
membuangnya ke dalam sumur paling gelap
tempat suara tidak kembali
dan renungan pun mati tanpa gema.
Sebab setiap kali aku menulis,
aku merasa sedang mencurangi hidup.
Aku membuat jejak-jejak palsu,
mengunggulkan penderitaan
seolah-olah itu adalah mahkota yang paling berharga.
Padahal kebenarannya sederhana
dan kasar:
aku menulis karena aku tidak tahu cara lain
untuk menghentikan diriku dari kehancuran.
Dan hari ini,
bahkan itu pun tidak berhasil.
Kalau saja aku bisa,
aku ingin menanggalkan semua bentuk.
Tidak ada baris-baris.
Tidak ada jeda.
Tidak ada frasa yang memikat.
Hanya ruhku menatap tubuhku sendiri
tanpa belas kasihan.
Aku ingin hadir sebagai retakan yang jujur,
bukan sebagai kalimat yang indah.
Aku ingin hadir sebagai kegagalan,
bukan sebagai karya yang menaklukkan.
Aku ingin hadir sebagai manusia,
bukan penyair yang memalsukan kemanusiaan.
Jadi inilah aku:
duduk di antara puing-puing huruf,
memegang sunyi seperti memegang batu panas yang melepuhkan tanganku.
Aku menolak estetika
sebagaimana tubuh menolak racun.
Aku menolak menjadi penyair
karena malam ini
aku hanya ingin menjadi seseorang
yang berhenti menghindari dirinya sendiri.
Sebab pada akhirnya,
yang kutakuti bukanlah ketiadaan puisi—
melainkan kemungkinan
bahwa puisi yang kutulis selama ini
tidak pernah benar-benar menyentuh siapa pun,
bahkan aku sendiri.
Dan jika demikian,
maka biarlah karya ini menjadi perlawanan terakhirku:
Puisi yang ingin menjadi luka,
bukan bahasa.
Puisi yang ingin menjadi dada yang sesak,
bukan frasa yang tanpa cela.
Puisi yang ingin menjadi wajah yang kubenci,
bukan topeng yang kukagumi.
Puisi yang menolak menikamkan kecantikan,
dan memilih menyingkap kebenaran yang kasar.
Puisi yang menolak menjadi puisi,
karena barangkali—
ini satu-satunya cara
aku bisa kembali menjadi manusia.
November 2025”
―
Aku menuliskan ini dengan tangan yang tidak lagi menginginkan bahasa.
Bahkan sebelum huruf pertama jatuh, aku tahu:
segala yang mencoba kusebut “puisi”
hanyalah cara lain untuk menghindari diriku sendiri.
Jadi biarlah malam ini aku berhenti menjadi apa yang aku inginkan.
Biarlah aku menuliskan sesuatu
yang tidak ingin memiliki irama,
tidak ingin dipuji,
tidak ingin dikenang.
Sebab apa gunanya metafora
jika seluruh luka telah menolak
dibungkus oleh keindahan?
Apa gunanya diksi
jika ada kebenaran yang terlalu telanjang
untuk diberi pakaian?
Aku menghapus semua perumpamaan.
Aku menghapus semua simbol.
Aku menghapus semua milikku
yang pernah tampak seperti seni.
Biarkan yang tersisa hanya satu hal:
aku yang tidak sanggup berbohong lagi.
Ada hari-hari ketika aku ingin mengubur seluruh karyaku,
membuangnya ke dalam sumur paling gelap
tempat suara tidak kembali
dan renungan pun mati tanpa gema.
Sebab setiap kali aku menulis,
aku merasa sedang mencurangi hidup.
Aku membuat jejak-jejak palsu,
mengunggulkan penderitaan
seolah-olah itu adalah mahkota yang paling berharga.
Padahal kebenarannya sederhana
dan kasar:
aku menulis karena aku tidak tahu cara lain
untuk menghentikan diriku dari kehancuran.
Dan hari ini,
bahkan itu pun tidak berhasil.
Kalau saja aku bisa,
aku ingin menanggalkan semua bentuk.
Tidak ada baris-baris.
Tidak ada jeda.
Tidak ada frasa yang memikat.
Hanya ruhku menatap tubuhku sendiri
tanpa belas kasihan.
Aku ingin hadir sebagai retakan yang jujur,
bukan sebagai kalimat yang indah.
Aku ingin hadir sebagai kegagalan,
bukan sebagai karya yang menaklukkan.
Aku ingin hadir sebagai manusia,
bukan penyair yang memalsukan kemanusiaan.
Jadi inilah aku:
duduk di antara puing-puing huruf,
memegang sunyi seperti memegang batu panas yang melepuhkan tanganku.
Aku menolak estetika
sebagaimana tubuh menolak racun.
Aku menolak menjadi penyair
karena malam ini
aku hanya ingin menjadi seseorang
yang berhenti menghindari dirinya sendiri.
Sebab pada akhirnya,
yang kutakuti bukanlah ketiadaan puisi—
melainkan kemungkinan
bahwa puisi yang kutulis selama ini
tidak pernah benar-benar menyentuh siapa pun,
bahkan aku sendiri.
Dan jika demikian,
maka biarlah karya ini menjadi perlawanan terakhirku:
Puisi yang ingin menjadi luka,
bukan bahasa.
Puisi yang ingin menjadi dada yang sesak,
bukan frasa yang tanpa cela.
Puisi yang ingin menjadi wajah yang kubenci,
bukan topeng yang kukagumi.
Puisi yang menolak menikamkan kecantikan,
dan memilih menyingkap kebenaran yang kasar.
Puisi yang menolak menjadi puisi,
karena barangkali—
ini satu-satunya cara
aku bisa kembali menjadi manusia.
November 2025”
―
“Anatomi Sebuah Penolakan
Aku menuliskanmu, lalu kau menatap balik tanpa meratap
dengan sorot mata benda mati
yang muak menjadi cermin
bagi siapa saja.
Kau berkata:
Aku bukan puisi
dan kau bukanlah penyair.
Aku tak ingin menjadi ladang tempat manusia menanam duka,
lalu memetik ketenangan palsu dari reruntuhannya.
Dan aku terdiam—
seperti algojo yang tiba-tiba disapa oleh tajam bilah pedangnya sendiri.
Kau menolak metafora,
menepis ritme,
menghancurkan rima
seolah semuanya adalah wajah-wajah palsu
yang sengaja kupasangkan padamu
agar dunia merasa nyaman membaca sakitku.
Kau menudingku:
“Kau ingin selamat, bukan?
Kau ingin terlihat dalam, bijaksana, bercahaya—
padahal kau hanya gemetar mencari alasan
untuk membenarkan retak di dalam dirimu.”
Kata-katamu membekukan.
Tidak ada air mata.
Tidak ada amarah.
Hanya keheningan logam
yang menancap ngilu pada tulangku.
Lalu kau memutuskan diri:
Aku tidak akan memeluk siapa pun.
Aku tidak akan menjadi pelarian pembaca yang ingin merasa suci.
Aku tidak akan memaafkan penulismu.
Aku tidak akan memberi katharsis.
“Aku hanya akan menjadi luka yang dituliskan ulang tanpa belas kasihan,”
katamu.
“Sebab luka yang terlalu sering dinyatakan
pada akhirnya hanya akan menjadi perayaan kesedihan.”
Dan aku berdiri di hadapanmu
seperti tubuh yang kehilangan bayangan
menyadari bahwa tak ada yang lebih kejam
daripada sebuah puisi
yang memilih untuk tidak menyelamatkan.
Kau membalik halaman.
Kau memadamkan seluruh api kemungkinan.
Dan aku,
untuk pertama kalinya,
mengerti bahwa kepenyairan
bisa menjadi bentuk penghakiman paling dingin
atas keberadaanku sendiri.
Puisi bukan untuk ditahbiskan,
katamu.
Puisi adalah tempat di mana penulis akhirnya ditaklukkan dan mati
demi kesunyiannya sendiri.
November 2025”
―
Aku menuliskanmu, lalu kau menatap balik tanpa meratap
dengan sorot mata benda mati
yang muak menjadi cermin
bagi siapa saja.
Kau berkata:
Aku bukan puisi
dan kau bukanlah penyair.
Aku tak ingin menjadi ladang tempat manusia menanam duka,
lalu memetik ketenangan palsu dari reruntuhannya.
Dan aku terdiam—
seperti algojo yang tiba-tiba disapa oleh tajam bilah pedangnya sendiri.
Kau menolak metafora,
menepis ritme,
menghancurkan rima
seolah semuanya adalah wajah-wajah palsu
yang sengaja kupasangkan padamu
agar dunia merasa nyaman membaca sakitku.
Kau menudingku:
“Kau ingin selamat, bukan?
Kau ingin terlihat dalam, bijaksana, bercahaya—
padahal kau hanya gemetar mencari alasan
untuk membenarkan retak di dalam dirimu.”
Kata-katamu membekukan.
Tidak ada air mata.
Tidak ada amarah.
Hanya keheningan logam
yang menancap ngilu pada tulangku.
Lalu kau memutuskan diri:
Aku tidak akan memeluk siapa pun.
Aku tidak akan menjadi pelarian pembaca yang ingin merasa suci.
Aku tidak akan memaafkan penulismu.
Aku tidak akan memberi katharsis.
“Aku hanya akan menjadi luka yang dituliskan ulang tanpa belas kasihan,”
katamu.
“Sebab luka yang terlalu sering dinyatakan
pada akhirnya hanya akan menjadi perayaan kesedihan.”
Dan aku berdiri di hadapanmu
seperti tubuh yang kehilangan bayangan
menyadari bahwa tak ada yang lebih kejam
daripada sebuah puisi
yang memilih untuk tidak menyelamatkan.
Kau membalik halaman.
Kau memadamkan seluruh api kemungkinan.
Dan aku,
untuk pertama kalinya,
mengerti bahwa kepenyairan
bisa menjadi bentuk penghakiman paling dingin
atas keberadaanku sendiri.
Puisi bukan untuk ditahbiskan,
katamu.
Puisi adalah tempat di mana penulis akhirnya ditaklukkan dan mati
demi kesunyiannya sendiri.
November 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
