Klinis Quotes

Quotes tagged as "klinis" Showing 1-3 of 3
Titon Rahmawan
“Anatomi Sebuah Penolakan

Aku menuliskanmu, lalu kau menatap balik tanpa meratap
dengan sorot mata benda mati
yang muak menjadi cermin
bagi siapa saja.

Kau berkata:
Aku bukan puisi
dan kau bukanlah penyair.
Aku tak ingin menjadi ladang tempat manusia menanam duka,
lalu memetik ketenangan palsu dari reruntuhannya.

Dan aku terdiam—
seperti algojo yang tiba-tiba disapa oleh tajam bilah pedangnya sendiri.

Kau menolak metafora,
menepis ritme,
menghancurkan rima
seolah semuanya adalah wajah-wajah palsu
yang sengaja kupasangkan padamu
agar dunia merasa nyaman membaca sakitku.

Kau menudingku:
“Kau ingin selamat, bukan?
Kau ingin terlihat dalam, bijaksana, bercahaya—
padahal kau hanya gemetar mencari alasan
untuk membenarkan retak di dalam dirimu.”

Kata-katamu membekukan.
Tidak ada air mata.
Tidak ada amarah.
Hanya keheningan logam
yang menancap ngilu pada tulangku.

Lalu kau memutuskan diri:
Aku tidak akan memeluk siapa pun.
Aku tidak akan menjadi pelarian pembaca yang ingin merasa suci.
Aku tidak akan memaafkan penulismu.
Aku tidak akan memberi katharsis.

“Aku hanya akan menjadi luka yang dituliskan ulang tanpa belas kasihan,”
katamu.
“Sebab luka yang terlalu sering dinyatakan
pada akhirnya hanya akan menjadi perayaan kesedihan.”

Dan aku berdiri di hadapanmu
seperti tubuh yang kehilangan bayangan
menyadari bahwa tak ada yang lebih kejam
daripada sebuah puisi
yang memilih untuk tidak menyelamatkan.

Kau membalik halaman.
Kau memadamkan seluruh api kemungkinan.

Dan aku,
untuk pertama kalinya,
mengerti bahwa kepenyairan
bisa menjadi bentuk penghakiman paling dingin
atas keberadaanku sendiri.

Puisi bukan untuk ditahbiskan,
katamu.
Puisi adalah tempat di mana penulis akhirnya ditaklukkan dan mati
demi kesunyiannya sendiri.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“ANATOMI CINTA
(dingin, klinis, nihilistik)

Aku masuk ruang autopsi itu dibayangi pretensi dan halusinasi.
Aku nyalakan lampu neon dingin yang mengiris mata.
Aku kenakan sarung tangan lateks dan pisau bedah #11.
Ini tubuh yang harus dibedah dengan presisi dan tanpa empati.

Aku mulai dari permukaan:
kulit tipis yang dulu kau sebut rasa.
Warnanya pucat, tak lebih dari jaringan mati
yang dibentuk oleh harapan yang tak pernah terwujud.

Dengan pisau mikro,
aku membuka lapisan idealisasi—
ia terkelupas dengan mudah,
seperti cat murahan yang dikerat dari dinding lembap.

Di bawahnya tidak ada otot kerelaan atau pengabdian,
tidak ada tendon komitmen,
tidak ada saraf yang merespon sentuhan.
Hanya kepingan-kepingan fantasi
yang mencair ketika terkena cahaya.

Aku memeriksa tulang-tulangnya:
rapuh, menyerupai serpihan,
retak bahkan sebelum disentuh.
Ini bukan kerangka cinta,
ini bangkai ilusi yang dipoles dengan ingatan palsu.

Aku membelah rongga dada:
kosong.
Tak ada jantung.
Tak ada paru-paru.
Tak ada vena yang menyalurkan kehangatan.
Hanya gema langkahku sendiri,
memantul seperti seseorang yang terjebak
di lorong rumah sakit tua.

Aku mengangkat kepalanya,
mengupas kulit batok pikirannya:
di sana kutemukan diriku—
berkali-kali memahat wajahmu
dengan imajinasi yang kupaksakan
agar tampak suci dan tak tersentuh.

Apa yang aku temukan:
ternyata aku mencintai
pantulanku sendiri
lebih dari dirimu.

Aku mengambil sampel terakhir:
sisa-sisa asa yang tak pernah
kau beri.
Kumasukkan ke dalam tabung formalin—
diam, mengambang, tanpa makna.

Kesimpulan autopsi:
Cinta ini mati bukan karena kehilanganmu.
Cinta ini mati karena aku
mengira ilusi bisa berubah
menjadi manusia.

Dan kini, dengan tangan yang masih berlumur darah dari nyala yang telah mendingin,
aku menutup kembali tubuh yang tak pernah hidup itu.
Pada labelnya kutuliskan:

“Penyebab kematian:
Idealisasi yang berlebihan.
Subjek: Tidak pernah ada.”

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“KISAH KAKTUS
(Dalam 6 Fragmentarium)

1. Fragmentarium Patah — Reruntuhan Melekat di Kulit Hijau

Kaktus tumbuh dari retakan
yang tidak pernah kita selesaikan.

Tubuhnya menyimpan
bekas-bekas gerak pecah:
duri sebagai kalimat yang patah,
bulu halus sebagai notulen
dari luka yang pernah tertunda.

Di pondok itu
waktu rebah dalam bentuk geometri rusak—
segitiga yang hilang satu sisi,
kotak yang kehilangan dinding.

Kaktus tidak mengenal kesedihan.
Tetapi setiap pagi
aku menemukan serpih hening
menempel di batangnya,
seperti ingatan yang gagal kembali
ke tubuh manusia.

2. Fragmentarium Gelap — Litani yang Bernafas dalam Kabut Hitam

Kabut menebal.
Mengubur halaman sajak
dengan logika yang tak ingin diingat.

Nenek itu datang,
menanam senja di ketiak kaktus,
menusuk dengan jarinya
seolah membuka pintu rahasia
yang sembunyi di antara lipatan
kulit hijau mengeras.

Dari ketiak itulah
waktu keluar:
hitam, pekat,
berbau dingin
seperti logam tua.

Orang-orang datang,
menjejali ruangan
dengan benda yang tak meminta dikasihi—
tembuni, seruling,
vas, cangkang,
kaos kaki basah.

Semua bergerak
di bawah cahaya gelap
yang memanjat batang kaktus
seperti doa yang tersesat.

3. Fragmentarium Dingin — Anatomi Luka yang Tidak Menginginkan Kehangatan

Cahaya masuk
lewat genting pecah.

Ia mengenai pot keramik,
dan gelas bening
menyimpan dinginnya
seperti rahim yang menolak
janin takdir.

Kaktus melihat bulan
dikunyah anjing
di pagi gerimis—
peristiwa itu menetes
ke dalam memori hijau
yang belum tahu arah.

Sebelum arti datang,
dingin menata dirinya
di jantung kaktus.

Ketika duri dicabut,
bukan darah yang jatuh,
melainkan partikel sepi
yang bergetar
seperti denting logam
di ruang operasi.

4. Fragmentarium Klinis — Manual Bedah dari Tubuh yang Tidak Mengerti Diri Sendiri

Setiap duri adalah instruksi.
Setiap bulu halus adalah catatan diagnostik.

Kaktus:
organ penyimpan air,
organ pengukur waktu,
organ yang mengganti fungsi rasa
dengan kalkulasi ketahanan.

Nenek itu memetik waktu
dari lipatan keriputnya—
gestur itu klinis,
seperti meraba denyut pasien
yang tidak ingin hidup
dan tidak ingin mati.

Waktu:
objek, bukan cerita.
Unit, bukan luka.

Sampai suara mikrofon pecah
di mulutnya,
memecahkan halaman sajak
menjadi angka-angka
yang tidak merindukan makna.

5. Fragmentarium Sunyi — Rongga yang Menghindari Semua Nama

Kaktus adalah rongga.
Yang tumbuh hanyalah sunyi.

Di tubuhnya
tidak ada kata yang menetap.
Hanya gema yang datang,
menyentuh sejenak,
lalu melesap
ke dalam dinding pondok
yang tidak mencatat siapa pun.

Bayangan duduk di sofa merah
dan tidak berkata apa-apa.
Bulan ikut duduk,
lebih diam dari bayangan itu.

Kaktus tidak memahami kesedihan.
Tetapi ia mengerti
betapa sunyi dapat menyamar
menjadi cahaya,
betapa cahaya dapat menyamar
menjadi air mata
yang tidak pernah menetes.

6. Fragmentarium Kosmologis — Topologi Duri, Cahaya, dan Takdir yang Melengkung

Kaktus meminum cahaya
dan menemukan bahwa kosmos
bukan langit di luar pondok,
melainkan ruang kecil
dalam jantungnya sendiri.

Duri adalah orbit.
Bayangan adalah rotasi lambat
dari waktu yang berbiak.

Ketika cahaya jatuh ke gelas,
kaktus melihat dirinya
sebagai serpih bintang
yang gagal meletus.

Ia meneguknya—
cahaya turun
seperti gravitasi retak.

Dan tiba-tiba ia paham:
rasa sakit
bukan milik tubuh,
melainkan milik semesta
yang menunda kelahiran.

Kaktus pun menyala,
dengan cara yang hampir tidak terlihat:
sebuah bintang hijau
yang memilih berputar
di dalam sumsum
tanpa memohon
untuk ditemukan.

Desember 2025”
Titon Rahmawan