Manifes Quotes

Quotes tagged as "manifes" Showing 1-2 of 2
Titon Rahmawan
“Puisi yang Menolak Jadi Puisi

Aku menuliskan ini dengan tangan yang tidak lagi menginginkan bahasa.
Bahkan sebelum huruf pertama jatuh, aku tahu:
segala yang mencoba kusebut “puisi”
hanyalah cara lain untuk menghindari diriku sendiri.

Jadi biarlah malam ini aku berhenti menjadi apa yang aku inginkan.
Biarlah aku menuliskan sesuatu
yang tidak ingin memiliki irama,
tidak ingin dipuji,
tidak ingin dikenang.

Sebab apa gunanya metafora
jika seluruh luka telah menolak
dibungkus oleh keindahan?
Apa gunanya diksi
jika ada kebenaran yang terlalu telanjang
untuk diberi pakaian?

Aku menghapus semua perumpamaan.
Aku menghapus semua simbol.
Aku menghapus semua milikku
yang pernah tampak seperti seni.

Biarkan yang tersisa hanya satu hal:
aku yang tidak sanggup berbohong lagi.

Ada hari-hari ketika aku ingin mengubur seluruh karyaku,
membuangnya ke dalam sumur paling gelap
tempat suara tidak kembali
dan renungan pun mati tanpa gema.

Sebab setiap kali aku menulis,
aku merasa sedang mencurangi hidup.
Aku membuat jejak-jejak palsu,
mengunggulkan penderitaan
seolah-olah itu adalah mahkota yang paling berharga.

Padahal kebenarannya sederhana
dan kasar:
aku menulis karena aku tidak tahu cara lain
untuk menghentikan diriku dari kehancuran.
Dan hari ini,
bahkan itu pun tidak berhasil.

Kalau saja aku bisa,
aku ingin menanggalkan semua bentuk.
Tidak ada baris-baris.
Tidak ada jeda.
Tidak ada frasa yang memikat.
Hanya ruhku menatap tubuhku sendiri
tanpa belas kasihan.

Aku ingin hadir sebagai retakan yang jujur,
bukan sebagai kalimat yang indah.
Aku ingin hadir sebagai kegagalan,
bukan sebagai karya yang menaklukkan.
Aku ingin hadir sebagai manusia,
bukan penyair yang memalsukan kemanusiaan.

Jadi inilah aku:
duduk di antara puing-puing huruf,
memegang sunyi seperti memegang batu panas yang melepuhkan tanganku.

Aku menolak estetika
sebagaimana tubuh menolak racun.

Aku menolak menjadi penyair
karena malam ini
aku hanya ingin menjadi seseorang
yang berhenti menghindari dirinya sendiri.

Sebab pada akhirnya,
yang kutakuti bukanlah ketiadaan puisi—
melainkan kemungkinan
bahwa puisi yang kutulis selama ini
tidak pernah benar-benar menyentuh siapa pun,
bahkan aku sendiri.

Dan jika demikian,
maka biarlah karya ini menjadi perlawanan terakhirku:

Puisi yang ingin menjadi luka,
bukan bahasa.

Puisi yang ingin menjadi dada yang sesak,
bukan frasa yang tanpa cela.

Puisi yang ingin menjadi wajah yang kubenci,
bukan topeng yang kukagumi.

Puisi yang menolak menikamkan kecantikan,
dan memilih menyingkap kebenaran yang kasar.

Puisi yang menolak menjadi puisi,
karena barangkali—
ini satu-satunya cara
aku bisa kembali menjadi manusia.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Anatomi Sebuah Penolakan

Aku menuliskanmu, lalu kau menatap balik tanpa meratap
dengan sorot mata benda mati
yang muak menjadi cermin
bagi siapa saja.

Kau berkata:
Aku bukan puisi
dan kau bukanlah penyair.
Aku tak ingin menjadi ladang tempat manusia menanam duka,
lalu memetik ketenangan palsu dari reruntuhannya.

Dan aku terdiam—
seperti algojo yang tiba-tiba disapa oleh tajam bilah pedangnya sendiri.

Kau menolak metafora,
menepis ritme,
menghancurkan rima
seolah semuanya adalah wajah-wajah palsu
yang sengaja kupasangkan padamu
agar dunia merasa nyaman membaca sakitku.

Kau menudingku:
“Kau ingin selamat, bukan?
Kau ingin terlihat dalam, bijaksana, bercahaya—
padahal kau hanya gemetar mencari alasan
untuk membenarkan retak di dalam dirimu.”

Kata-katamu membekukan.
Tidak ada air mata.
Tidak ada amarah.
Hanya keheningan logam
yang menancap ngilu pada tulangku.

Lalu kau memutuskan diri:
Aku tidak akan memeluk siapa pun.
Aku tidak akan menjadi pelarian pembaca yang ingin merasa suci.
Aku tidak akan memaafkan penulismu.
Aku tidak akan memberi katharsis.

“Aku hanya akan menjadi luka yang dituliskan ulang tanpa belas kasihan,”
katamu.
“Sebab luka yang terlalu sering dinyatakan
pada akhirnya hanya akan menjadi perayaan kesedihan.”

Dan aku berdiri di hadapanmu
seperti tubuh yang kehilangan bayangan
menyadari bahwa tak ada yang lebih kejam
daripada sebuah puisi
yang memilih untuk tidak menyelamatkan.

Kau membalik halaman.
Kau memadamkan seluruh api kemungkinan.

Dan aku,
untuk pertama kalinya,
mengerti bahwa kepenyairan
bisa menjadi bentuk penghakiman paling dingin
atas keberadaanku sendiri.

Puisi bukan untuk ditahbiskan,
katamu.
Puisi adalah tempat di mana penulis akhirnya ditaklukkan dan mati
demi kesunyiannya sendiri.

November 2025”
Titon Rahmawan