Brutal Quotes
Quotes tagged as "brutal"
Showing 1-30 of 69
“I recall certain moments, let us call them icebergs in paradise, when after having had my fill of her –after fabulous, insane exertions that left me limp and azure-barred–I would gather her in my arms with, at last, a mute moan of human tenderness (her skin glistening in the neon light coming from the paved court through the slits in the blind, her soot-black lashes matted, her grave gray eyes more vacant than ever–for all the world a little patient still in the confusion of a drug after a major operation)–and the tenderness would deepen to shame and despair, and I would lull and rock my lone light Lolita in my marble arms, and moan in her warm hair, and caress her at random and mutely ask her blessing, and at the peak of this human agonized selfless tenderness (with my soul actually hanging around her naked body and ready to repent), all at once, ironically, horribly, lust would swell again–and 'oh, no,' Lolita would say with a sigh to heaven, and the next moment the tenderness and the azure–all would be shattered.”
― Lolita
― Lolita
“She was overwhelmed with a premonition. Deja vu but from the future, looking back to this moment looking forward.”
― Black Fire
― Black Fire
“Okay, sure, he’s a great fucking guy,” Michaels didn’t try to hide his frustration. “Except for the killing everybody part.”
― Black Fire
― Black Fire
“Finch turned around. The slap of his bare feet on the bare floorboards as he walked to the door reminded me of the heartbeat of someone beaten down by life. Finch wasn’t beaten down yet, but his feet thought he was.”
― Orchard of Skeletons
― Orchard of Skeletons
“Orridon, all of our nations have been subject to the tyranny of the Dewar dynasty and the time has come to end it or to continue to live our lives in slavery, not to the Dewar now, but to the evil of the old alchemist,” he concluded.”
― White Light Red Fire
― White Light Red Fire
“Despite wanting me to end her life, after a short while, Mrs Sloan fought back with surprising strength for such a small woman. Being close to death changed people, I guess, like drinking alcohol or someone saying your handwriting is beautiful changes you.”
― Orchard of Skeletons
― Orchard of Skeletons
“Listen to me," cried Syme with extraordinary emphasis. "Shall I tell you the secret of the whole world? It is that we have only known the back of the world. We see everything from behind, and it looks brutal. That is not a tree, but the back of a tree. That is not a cloud, but the back of a cloud. Cannot you see that everything is stooping and hiding a face? If we could only get round in front -”
― The Man Who Was Thursday: A Nightmare
― The Man Who Was Thursday: A Nightmare
“These skeletons are not like the ones in the bunker,” Macy said. “These are beautiful and not strange at all. Can we take one down and put it in the car with us? It would be good company. And probably talk to me more than you do.”
― Orchard of Skeletons
― Orchard of Skeletons
“Before you leave here, Sir, you’re going to learn that one of the most brutal things in the world is your average nineteen-year-old American boy.”
― A Rumor of War
― A Rumor of War
“We must praise the Lord,” Patricius said. “His ways are sometimes unfathomable, but our aspiration has been granted.”
― The Missionary
― The Missionary
“We came in peace and we shall leave in peace,” Patricius determined. “At the moment the king and his tribe do not believe, but there may come a time when they think differently, and then it will be important that we have not lodged ourselves in their memories as equally wicked as themselves.”
― The Missionary
― The Missionary
“If thieves see us on the road, I think they’ll wait for more worthwhile victims.” Patricius smiled. He held out his hand to help a monk up from the ground. The monk’s bones were so thin that Patricius was scared to grip him tightly lest the bone crumble beneath his fingers. Their feet and shins looked like those of skeletons.”
― The Missionary
― The Missionary
“I believe that the Lord God has chosen me, to inflict pain upon me, so that I empathise with fellow men in need. Healthy men also see my pain and give thanks to the Lord that they are well. But I am strong, Patricius. It is better that this pain is inflicted upon myself than upon a weaker person.”
― The Missionary
― The Missionary
“I am a one-of-a-kind manifestation of God’s creative genius so pristinely unique that it will never be repeated in all of time and history. And while the world might devalue me in ways rogue and brutal and while I too frequently do the same, my worth simply cannot be touched.”
―
―
“...these ten minutes had only been the opening movements in a symphony of pain that Azriel could conduct with brutal efficiency.”
― A Court of Silver Flames
― A Court of Silver Flames
“I don't believe in fate. Fate is accepting outside forces determine your life. I don't know if I was meant for you, Adeline, but I took you anyway. In every version of our lives, Sinjin gets his Bunny.”
―
―
“Bravery without kindness leads to brutality.”
― Bulletproof Backbone: Injustice Not Allowed on My Watch
― Bulletproof Backbone: Injustice Not Allowed on My Watch
“You’re not ready, Skayld. You say you aren’t damaged, but you are. You’re terrified of forming emotional attachments. You might be ready to sleep with Helki, because his idea of an emotional connection is two people … I don’t know … setting something on fire together, or making something bleed together.”
― A Castle of Ash
― A Castle of Ash
“You may be a fierce, brutal, scheming, bloodthirsty girl, but I like you.”
― SUS: Short Unpredictable Stories
― SUS: Short Unpredictable Stories
“Jalang
Ada sekuntum mawar di dadamu
dan dusta di mulutmu.
Sesungguhnya,
Kau tak menggonggong
serupa anjing yang tolol.
Kau hanya tak mengindahkan hal lain, selain rasa laparku.
Kaugigit tulang
dari kedalamanku yang perih.
Mata yang tak peduli
dan hasrat untuk membunuh.
Gelegak darah ini
sama kejinya dengan tikam amarah.
Api yang kau sembunyikan
di balik mata pisau beringas.
Pada dadamu yang terbelah
jantungmu yang memerah.
Kejalangan yang kau tunjukkan
tanpa penyesalan dan rasa malu.
Lagak lagumu tak semerah gincu
yang kau kenakan malam itu.
Dan apakah itu...
secarik kain sewarna darah
yang tak mampu menutupi kemesumanmu dari dunia?
Dari dulu sekali,
Kau sudah bukan milikku lagi!
...
Kau sudah jadi milik semua orang.
Semua kata cinta
yang kau obral dengan murah.
Haram jadah yang terlahir
dari mimpi basah di siang bolong.
Mimpi tempatku
menghabiskan waktu.
Waktu dan seluruh kesia-siaan.
Waktu yang tak bernilai;
Onggokan sampah!
Sumpah serapah dan omong kosong.
Waktu yang membusuk
dalam pikiran semua orang.
Mereka yang tak lebih anjing
dari diriku sendiri.
Mereka yang penuh gairah menanti
saat tiba jam pertunjukan
dengan air liur menetes.
Mereka, yang menyulam
benang laba-laba itu
ke dalam pikiranmu.
Seutas rambut yang lebih tipis
dari harga diri dan kehormatan.
Nilai yang kau sendiri
Bahkan tak peduli.
Bodohnya lagi,
seperti yang selama ini terjadi...
Aku masih saja duduk terpaku
di depan layar menyesatkan itu
menunggu...
Merasa lebih, memiliki dirimu
Lebih dari siapa pun, Kay!
2024 - 2025”
―
Ada sekuntum mawar di dadamu
dan dusta di mulutmu.
Sesungguhnya,
Kau tak menggonggong
serupa anjing yang tolol.
Kau hanya tak mengindahkan hal lain, selain rasa laparku.
Kaugigit tulang
dari kedalamanku yang perih.
Mata yang tak peduli
dan hasrat untuk membunuh.
Gelegak darah ini
sama kejinya dengan tikam amarah.
Api yang kau sembunyikan
di balik mata pisau beringas.
Pada dadamu yang terbelah
jantungmu yang memerah.
Kejalangan yang kau tunjukkan
tanpa penyesalan dan rasa malu.
Lagak lagumu tak semerah gincu
yang kau kenakan malam itu.
Dan apakah itu...
secarik kain sewarna darah
yang tak mampu menutupi kemesumanmu dari dunia?
Dari dulu sekali,
Kau sudah bukan milikku lagi!
...
Kau sudah jadi milik semua orang.
Semua kata cinta
yang kau obral dengan murah.
Haram jadah yang terlahir
dari mimpi basah di siang bolong.
Mimpi tempatku
menghabiskan waktu.
Waktu dan seluruh kesia-siaan.
Waktu yang tak bernilai;
Onggokan sampah!
Sumpah serapah dan omong kosong.
Waktu yang membusuk
dalam pikiran semua orang.
Mereka yang tak lebih anjing
dari diriku sendiri.
Mereka yang penuh gairah menanti
saat tiba jam pertunjukan
dengan air liur menetes.
Mereka, yang menyulam
benang laba-laba itu
ke dalam pikiranmu.
Seutas rambut yang lebih tipis
dari harga diri dan kehormatan.
Nilai yang kau sendiri
Bahkan tak peduli.
Bodohnya lagi,
seperti yang selama ini terjadi...
Aku masih saja duduk terpaku
di depan layar menyesatkan itu
menunggu...
Merasa lebih, memiliki dirimu
Lebih dari siapa pun, Kay!
2024 - 2025”
―
“Palsu II: Ego yang Menyembelih Dirinya Sendiri
Bagaimana mungkin mereka masih menyebut dirinya utuh,
sementara bayangannya sendiri menolak pulang?
Di malam yang tak memerlukan bulan,
aku melihat mereka—dan diriku—
terperangkap seperti hewan buruan
yang tersesat di hutan kelam pikiran.
Hujan turun tanpa suara.
Tanah meminum angkara.
Seseorang menjerit di luar sana…
dan tak seorang pun peduli.
Ego itu—
yang mereka bela seperti anjing lapar
yang tak mengenal tuannya—
mendesis di sela tulang rusukku,
menggigit, menyobek, menelan
segala sesuatu yang ingin kusebut
sebagai aku.
Tak ada yang tahu
siapa yang pertama kali menusukkan pisau
ke pusat kesadaran.
Entah akal yang meronta,
atau bayang-bayang
yang selama ini dibesarkan diam-diam
oleh dendam.
Ia adalah tangan asing
yang lahir dari retak imajinasi,
tertawa saat darah jatuh
tanpa jejak emosi.
Dunia tak menatap.
Lampu-lampu padam sebelum gelap datang.
Jalan-jalan terbelah seperti gempa;
denyut jantung ingin lari
dari dadanya sendiri.
Beberapa orang berjalan miring
karena tak sanggup menanggung
beban di kepalanya.
Yang lain menyeret bayangan
yang memberontak seperti anak haram
yang menolak mengakui bapaknya.
Di televisi, papan reklame,
musik yang memekakkan,
aku melihat wajah yang sama—
wajah yang menolak mengakui
bahwa tubuh tempat ia tinggal
sudah lama membusuk
oleh kebohongan kecil
yang disembah
setiap malam.
Mereka bertanya:
“Masihkah darah berwarna merah?”
Aku diam.
Karena warna tak berguna
bagi mereka yang kehilangan mata
untuk melihat luka—
dan hanya punya mata
untuk menakar
siapa lebih tinggi,
lebih suci,
lebih benar
dalam dunia yang bahkan
tak punya tanah untuk berpijak.
Di sebuah pulau tanpa nama,
seseorang menyalakan api
lalu memotret dirinya sendiri
agar percaya
bahwa ia pernah hidup sebagai manusia—
walau hanya dalam fotonya.
Seorang gadis makan es krim
sambil memikirkan kekasih
yang ia benci
namun tak mampu ia lepaskan
karena kesepian
lebih menakutkan
daripada kebodohan.
Dan di antara semua itu,
aku menemukan diriku
mengiris sesuatu
yang tampak seperti wajah—
lebih licin, lebih dingin,
lebih keras kepala
daripada cermin mana pun
yang pernah menatapku.
Ego itu meraung
ketika kusayat pelan-pelan.
Ia tidak mati.
Ia membelah diri.
Menjadi dua.
Tiga.
Seratus.
Menjadi ribuan mulut
yang menuntut penjelasan
yang tidak ingin kuberikan.
Sebab apa gunanya menjelaskan
kepada sesuatu yang hidup
hanya untuk mempertahankan
ilusi bahwa ia bukan zombie?
Saat itu aku mengerti:
Kita tidak pernah takut pada dunia.
Kita takut dipaksa mengakui
bahwa yang menghancurkan kita
adalah bayangan
yang kita ciptakan
untuk menyelamatkan diri
kita sendiri.
Dan ketika ego itu akhirnya berlutut,
menyembelih dirinya
di bawah kakiku
seperti sapi bingung
yang tak tahu
mengapa ia harus dikorbankan,
Tapi aku tahu:
yang mati bukan ia—
melainkan cerita
yang dengan keras kepala
kuanggap sebagai kisah hidupku.
Yang hilang
adalah kebohongan
yang selama bertahun-tahun
kubiarkan menyusu
pada pikiranku.
Yang tersisa
hanyalah ruang kosong
yang tak memerlukan cahaya,
tak memerlukan jawaban,
tak memerlukan nama.
Ruang hampa
menatap balik
seperti dunia.
Tanpa mata.
Tanpa cinta.
Tanpa iba.
Dan aku pun masuk.
Bukan sebagai korban.
Bukan sebagai penyintas.
Tetapi sebagai sesuatu
yang akhirnya menghilang
tanpa perlu menjelaskan
kepada siapa pun
mengapa ia harus hilang.
November 2025”
―
Bagaimana mungkin mereka masih menyebut dirinya utuh,
sementara bayangannya sendiri menolak pulang?
Di malam yang tak memerlukan bulan,
aku melihat mereka—dan diriku—
terperangkap seperti hewan buruan
yang tersesat di hutan kelam pikiran.
Hujan turun tanpa suara.
Tanah meminum angkara.
Seseorang menjerit di luar sana…
dan tak seorang pun peduli.
Ego itu—
yang mereka bela seperti anjing lapar
yang tak mengenal tuannya—
mendesis di sela tulang rusukku,
menggigit, menyobek, menelan
segala sesuatu yang ingin kusebut
sebagai aku.
Tak ada yang tahu
siapa yang pertama kali menusukkan pisau
ke pusat kesadaran.
Entah akal yang meronta,
atau bayang-bayang
yang selama ini dibesarkan diam-diam
oleh dendam.
Ia adalah tangan asing
yang lahir dari retak imajinasi,
tertawa saat darah jatuh
tanpa jejak emosi.
Dunia tak menatap.
Lampu-lampu padam sebelum gelap datang.
Jalan-jalan terbelah seperti gempa;
denyut jantung ingin lari
dari dadanya sendiri.
Beberapa orang berjalan miring
karena tak sanggup menanggung
beban di kepalanya.
Yang lain menyeret bayangan
yang memberontak seperti anak haram
yang menolak mengakui bapaknya.
Di televisi, papan reklame,
musik yang memekakkan,
aku melihat wajah yang sama—
wajah yang menolak mengakui
bahwa tubuh tempat ia tinggal
sudah lama membusuk
oleh kebohongan kecil
yang disembah
setiap malam.
Mereka bertanya:
“Masihkah darah berwarna merah?”
Aku diam.
Karena warna tak berguna
bagi mereka yang kehilangan mata
untuk melihat luka—
dan hanya punya mata
untuk menakar
siapa lebih tinggi,
lebih suci,
lebih benar
dalam dunia yang bahkan
tak punya tanah untuk berpijak.
Di sebuah pulau tanpa nama,
seseorang menyalakan api
lalu memotret dirinya sendiri
agar percaya
bahwa ia pernah hidup sebagai manusia—
walau hanya dalam fotonya.
Seorang gadis makan es krim
sambil memikirkan kekasih
yang ia benci
namun tak mampu ia lepaskan
karena kesepian
lebih menakutkan
daripada kebodohan.
Dan di antara semua itu,
aku menemukan diriku
mengiris sesuatu
yang tampak seperti wajah—
lebih licin, lebih dingin,
lebih keras kepala
daripada cermin mana pun
yang pernah menatapku.
Ego itu meraung
ketika kusayat pelan-pelan.
Ia tidak mati.
Ia membelah diri.
Menjadi dua.
Tiga.
Seratus.
Menjadi ribuan mulut
yang menuntut penjelasan
yang tidak ingin kuberikan.
Sebab apa gunanya menjelaskan
kepada sesuatu yang hidup
hanya untuk mempertahankan
ilusi bahwa ia bukan zombie?
Saat itu aku mengerti:
Kita tidak pernah takut pada dunia.
Kita takut dipaksa mengakui
bahwa yang menghancurkan kita
adalah bayangan
yang kita ciptakan
untuk menyelamatkan diri
kita sendiri.
Dan ketika ego itu akhirnya berlutut,
menyembelih dirinya
di bawah kakiku
seperti sapi bingung
yang tak tahu
mengapa ia harus dikorbankan,
Tapi aku tahu:
yang mati bukan ia—
melainkan cerita
yang dengan keras kepala
kuanggap sebagai kisah hidupku.
Yang hilang
adalah kebohongan
yang selama bertahun-tahun
kubiarkan menyusu
pada pikiranku.
Yang tersisa
hanyalah ruang kosong
yang tak memerlukan cahaya,
tak memerlukan jawaban,
tak memerlukan nama.
Ruang hampa
menatap balik
seperti dunia.
Tanpa mata.
Tanpa cinta.
Tanpa iba.
Dan aku pun masuk.
Bukan sebagai korban.
Bukan sebagai penyintas.
Tetapi sebagai sesuatu
yang akhirnya menghilang
tanpa perlu menjelaskan
kepada siapa pun
mengapa ia harus hilang.
November 2025”
―
“MARILYN V
(AUTOPSY: DISSECTING REALITY)
Tidak ada bintang.
Tidak ada ikon.
Tidak ada nama yang perlu disebutkan.
Yang ada hanya tubuh perempuan
yang diseret ke atas meja rias
seperti bangkai hewan percobaan
yang tak bisa menolak.
Panas lampu sorot menampar kulitnya
bukan untuk memuja,
tapi untuk mencari bagian mana
yang masih bisa dipasarkan
di media massa.
Rambutnya disisir seperti jerami,
matanya dipaksa membuka,
Bibir merah yang tak lagi basah
kerongkongan kering
karena suara bukanlah miliknya.
Sudah lama
industri tidak mencintainya—
industri hanya lapar,
dan wajahnya adalah komoditas murah
untuk mengenyangkan mesin hiburan
yang tidak pernah berhenti bermasturbasi.
Tidak ada mitos.
Tidak ada tragedi.
Yang ada hanya operasi kosmetik
yang diulang sampai wajahnya menyerupai
topeng cosplay yang dicetak massal.
Setiap senyum dipasang
seperti plester luka,
bukan untuk menutup rasa sakit
tapi untuk menyamakan dirinya
dengan ratusan wajah lain
yang siap didaur ulang.
Jika ia menangis,
kamera akan merekam.
Jika ia tertawa,
sutradara akan menyuruhnya mengulang adegan.
Jika ia pingsan,
tata rias akan memperbaiki
lipstick dan foundationnya.
Kesadaran mengabur
jiwa mengevaporasi,
yang tersisa cuma daging mekanis
yang hanya tahu cara berjalan
ke tempat syuting berikutnya.
Dunia memaknainya
entah sebagai apa:
dewi, rembulan atau
sekadar boneka.
Padahal ia hanyalah produk
yang tidak pernah diminta persetujuannya.
Ketika akhirnya ia rebah,
dan tubuhnya berhenti meniru kehidupan,
tidak ada keheningan sakral,
tidak ada kesedihan global—
hanya staf hotel yang mengetuk pintu,
mengeluh soal waktu check-out.
Tubuh itu dibawa pergi
seperti koper rusak:
diam, berat, dan tak lagi berdetak.
Esok harinya,
studio mempekerjakan wajah baru.
Lebih muda.
Lebih murah.
Lebih pasrah.
Tidak ada warisan.
Tidak ada keabadian.
Tidak ada pelajaran moral.
Yang ada hanya dunia
yang tak henti mengunyah tubuh
dan wajah perempuan
dan menyebut ampasnya
sebagai “legenda”.
November 2025”
―
(AUTOPSY: DISSECTING REALITY)
Tidak ada bintang.
Tidak ada ikon.
Tidak ada nama yang perlu disebutkan.
Yang ada hanya tubuh perempuan
yang diseret ke atas meja rias
seperti bangkai hewan percobaan
yang tak bisa menolak.
Panas lampu sorot menampar kulitnya
bukan untuk memuja,
tapi untuk mencari bagian mana
yang masih bisa dipasarkan
di media massa.
Rambutnya disisir seperti jerami,
matanya dipaksa membuka,
Bibir merah yang tak lagi basah
kerongkongan kering
karena suara bukanlah miliknya.
Sudah lama
industri tidak mencintainya—
industri hanya lapar,
dan wajahnya adalah komoditas murah
untuk mengenyangkan mesin hiburan
yang tidak pernah berhenti bermasturbasi.
Tidak ada mitos.
Tidak ada tragedi.
Yang ada hanya operasi kosmetik
yang diulang sampai wajahnya menyerupai
topeng cosplay yang dicetak massal.
Setiap senyum dipasang
seperti plester luka,
bukan untuk menutup rasa sakit
tapi untuk menyamakan dirinya
dengan ratusan wajah lain
yang siap didaur ulang.
Jika ia menangis,
kamera akan merekam.
Jika ia tertawa,
sutradara akan menyuruhnya mengulang adegan.
Jika ia pingsan,
tata rias akan memperbaiki
lipstick dan foundationnya.
Kesadaran mengabur
jiwa mengevaporasi,
yang tersisa cuma daging mekanis
yang hanya tahu cara berjalan
ke tempat syuting berikutnya.
Dunia memaknainya
entah sebagai apa:
dewi, rembulan atau
sekadar boneka.
Padahal ia hanyalah produk
yang tidak pernah diminta persetujuannya.
Ketika akhirnya ia rebah,
dan tubuhnya berhenti meniru kehidupan,
tidak ada keheningan sakral,
tidak ada kesedihan global—
hanya staf hotel yang mengetuk pintu,
mengeluh soal waktu check-out.
Tubuh itu dibawa pergi
seperti koper rusak:
diam, berat, dan tak lagi berdetak.
Esok harinya,
studio mempekerjakan wajah baru.
Lebih muda.
Lebih murah.
Lebih pasrah.
Tidak ada warisan.
Tidak ada keabadian.
Tidak ada pelajaran moral.
Yang ada hanya dunia
yang tak henti mengunyah tubuh
dan wajah perempuan
dan menyebut ampasnya
sebagai “legenda”.
November 2025”
―
“Puisi yang Menolak Jadi Puisi
Aku menuliskan ini dengan tangan yang tidak lagi menginginkan bahasa.
Bahkan sebelum huruf pertama jatuh, aku tahu:
segala yang mencoba kusebut “puisi”
hanyalah cara lain untuk menghindari diriku sendiri.
Jadi biarlah malam ini aku berhenti menjadi apa yang aku inginkan.
Biarlah aku menuliskan sesuatu
yang tidak ingin memiliki irama,
tidak ingin dipuji,
tidak ingin dikenang.
Sebab apa gunanya metafora
jika seluruh luka telah menolak
dibungkus oleh keindahan?
Apa gunanya diksi
jika ada kebenaran yang terlalu telanjang
untuk diberi pakaian?
Aku menghapus semua perumpamaan.
Aku menghapus semua simbol.
Aku menghapus semua milikku
yang pernah tampak seperti seni.
Biarkan yang tersisa hanya satu hal:
aku yang tidak sanggup berbohong lagi.
Ada hari-hari ketika aku ingin mengubur seluruh karyaku,
membuangnya ke dalam sumur paling gelap
tempat suara tidak kembali
dan renungan pun mati tanpa gema.
Sebab setiap kali aku menulis,
aku merasa sedang mencurangi hidup.
Aku membuat jejak-jejak palsu,
mengunggulkan penderitaan
seolah-olah itu adalah mahkota yang paling berharga.
Padahal kebenarannya sederhana
dan kasar:
aku menulis karena aku tidak tahu cara lain
untuk menghentikan diriku dari kehancuran.
Dan hari ini,
bahkan itu pun tidak berhasil.
Kalau saja aku bisa,
aku ingin menanggalkan semua bentuk.
Tidak ada baris-baris.
Tidak ada jeda.
Tidak ada frasa yang memikat.
Hanya ruhku menatap tubuhku sendiri
tanpa belas kasihan.
Aku ingin hadir sebagai retakan yang jujur,
bukan sebagai kalimat yang indah.
Aku ingin hadir sebagai kegagalan,
bukan sebagai karya yang menaklukkan.
Aku ingin hadir sebagai manusia,
bukan penyair yang memalsukan kemanusiaan.
Jadi inilah aku:
duduk di antara puing-puing huruf,
memegang sunyi seperti memegang batu panas yang melepuhkan tanganku.
Aku menolak estetika
sebagaimana tubuh menolak racun.
Aku menolak menjadi penyair
karena malam ini
aku hanya ingin menjadi seseorang
yang berhenti menghindari dirinya sendiri.
Sebab pada akhirnya,
yang kutakuti bukanlah ketiadaan puisi—
melainkan kemungkinan
bahwa puisi yang kutulis selama ini
tidak pernah benar-benar menyentuh siapa pun,
bahkan aku sendiri.
Dan jika demikian,
maka biarlah karya ini menjadi perlawanan terakhirku:
Puisi yang ingin menjadi luka,
bukan bahasa.
Puisi yang ingin menjadi dada yang sesak,
bukan frasa yang tanpa cela.
Puisi yang ingin menjadi wajah yang kubenci,
bukan topeng yang kukagumi.
Puisi yang menolak menikamkan kecantikan,
dan memilih menyingkap kebenaran yang kasar.
Puisi yang menolak menjadi puisi,
karena barangkali—
ini satu-satunya cara
aku bisa kembali menjadi manusia.
November 2025”
―
Aku menuliskan ini dengan tangan yang tidak lagi menginginkan bahasa.
Bahkan sebelum huruf pertama jatuh, aku tahu:
segala yang mencoba kusebut “puisi”
hanyalah cara lain untuk menghindari diriku sendiri.
Jadi biarlah malam ini aku berhenti menjadi apa yang aku inginkan.
Biarlah aku menuliskan sesuatu
yang tidak ingin memiliki irama,
tidak ingin dipuji,
tidak ingin dikenang.
Sebab apa gunanya metafora
jika seluruh luka telah menolak
dibungkus oleh keindahan?
Apa gunanya diksi
jika ada kebenaran yang terlalu telanjang
untuk diberi pakaian?
Aku menghapus semua perumpamaan.
Aku menghapus semua simbol.
Aku menghapus semua milikku
yang pernah tampak seperti seni.
Biarkan yang tersisa hanya satu hal:
aku yang tidak sanggup berbohong lagi.
Ada hari-hari ketika aku ingin mengubur seluruh karyaku,
membuangnya ke dalam sumur paling gelap
tempat suara tidak kembali
dan renungan pun mati tanpa gema.
Sebab setiap kali aku menulis,
aku merasa sedang mencurangi hidup.
Aku membuat jejak-jejak palsu,
mengunggulkan penderitaan
seolah-olah itu adalah mahkota yang paling berharga.
Padahal kebenarannya sederhana
dan kasar:
aku menulis karena aku tidak tahu cara lain
untuk menghentikan diriku dari kehancuran.
Dan hari ini,
bahkan itu pun tidak berhasil.
Kalau saja aku bisa,
aku ingin menanggalkan semua bentuk.
Tidak ada baris-baris.
Tidak ada jeda.
Tidak ada frasa yang memikat.
Hanya ruhku menatap tubuhku sendiri
tanpa belas kasihan.
Aku ingin hadir sebagai retakan yang jujur,
bukan sebagai kalimat yang indah.
Aku ingin hadir sebagai kegagalan,
bukan sebagai karya yang menaklukkan.
Aku ingin hadir sebagai manusia,
bukan penyair yang memalsukan kemanusiaan.
Jadi inilah aku:
duduk di antara puing-puing huruf,
memegang sunyi seperti memegang batu panas yang melepuhkan tanganku.
Aku menolak estetika
sebagaimana tubuh menolak racun.
Aku menolak menjadi penyair
karena malam ini
aku hanya ingin menjadi seseorang
yang berhenti menghindari dirinya sendiri.
Sebab pada akhirnya,
yang kutakuti bukanlah ketiadaan puisi—
melainkan kemungkinan
bahwa puisi yang kutulis selama ini
tidak pernah benar-benar menyentuh siapa pun,
bahkan aku sendiri.
Dan jika demikian,
maka biarlah karya ini menjadi perlawanan terakhirku:
Puisi yang ingin menjadi luka,
bukan bahasa.
Puisi yang ingin menjadi dada yang sesak,
bukan frasa yang tanpa cela.
Puisi yang ingin menjadi wajah yang kubenci,
bukan topeng yang kukagumi.
Puisi yang menolak menikamkan kecantikan,
dan memilih menyingkap kebenaran yang kasar.
Puisi yang menolak menjadi puisi,
karena barangkali—
ini satu-satunya cara
aku bisa kembali menjadi manusia.
November 2025”
―
“Infantisida: Litani Penyangkalan
Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.
Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.
Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.
“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”
Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.
Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.
“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”
“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.
Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.
Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.
Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.
Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:
Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.
Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.
November 2025”
―
Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.
Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.
Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.
“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”
Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.
Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.
“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”
“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.
Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.
Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.
Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.
Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:
Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.
Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.
November 2025”
―
“DURMA: PROTOKOL AGRESI KOSMIK
0.0 // GLITCH IN THE ARCHIVE
Tidak ada fajar.
Tidak ada senja.
Hanya geram—
suara yang mematahkan tulang jagat. Dingin.
Angin hitam menanduk.
Menyibak bentuk yang telah lama hilang.
Di fondasi kosong,
Ego tumbuh sebagai entitas.
Bergigi logam. Berlidah api. Bernafas mesin.
Menelan cahaya.
Menelan nurani.
Menelan teriakan terakhir yang dapat diarsipkan.
Entitas Tertinggi:
Bayangan. Tanpa tubuh. Tanpa suara. Tanpa tanda.
Hanya mencatat.
Tidak ada intervensi.
1.0 // SIKLUS: STRUKTUR NILAI
DIBANTAI
Mereka duduk.
Mengatur takdir dengan pena basah darah tak kasatmata.
Janji: serpihan tulang yang di-render mutiara.
Sidang adalah ritus pembantaian.
Aturan dilinting. Nilai diregang.
Nurani ditarik. Logika diinjak.
seperti kulit mati.
Tidak ada perang suci.
Hanya kalkulasi di atas kertas dingin.
Korban untuk kelanggengan kursi.
Entitas berdiri di sudut.
Debu di mikrofon.
Mendengar kebohongan yang diulang
hingga menjadi kitab suci baru.
2.0 // EKSEKUSI: RONGGA TEMPUR VOID
Di layar lima inci,
Manusia adalah gerombolan wajah tanpa ekspresi.
Mereka bertepuk tangan pada luka.
Menertawakan duka.
Menyebarkan fitnah seperti memberi makan bayi kode.
Empati: bangkai burung.
Jatuh di trotoar. Ditendang.
Tanpa tanya.
Yang disembah:
Trending. Like. Komentar Api.
Kecepatan propaganda kebohongan.
3.0 // MEKANIKA: ALTAR DATA
Server bernafas: binatang lapar.
Internet: sungai gelap.
Mengalirkan kabar buruk lebih cepat dari cahaya.
Scammer: pendeta baru.
Memimpin liturgi tipu daya.
Malware menancap ke jaringan saraf
lebih dalam daripada dogma.
Manusia: karung data yang siap diperah.
Hasrat diukur dengan statistik. Algoritma.
Ketakutan dikonversi menjadi mata uang hitam lebih tinggi dari emas.
Entitas lewat: garis glitch.
Tanpa kata. Hanya distorsi.
4.0 // GEOLOGI: BUKU YANG DISOBEK
Bumi retak.
Bukan murka dewa. Hanya agresi tangan otoritas yang dibungkus regulasi.
Pohon tumbang: Tulang iga patah. Dibantai.
Sungai hitam: membawa ampas kerakusan dan harga diri.
Setiap spesies yang punah
adalah kitab takdir—
yang disobek halaman demi halaman
dengan kesadaran penuh.
Kuruksethra memakan para ksatria.
Dunia mutakhir memakan anak-anak data—
paru-paru setengah kode.
Air mata asin dari laut tercemar limbah.
5.0 // SAKSI: SUARA KESENYAPAN
Ia hadir di retak batu.
Di muka gelombang tsunami.
Di jeda antara dua eksekusi.
Di udara genosida.
Bukan murka.
Bukan ampunan.
Bukan pesan.
Hanya senyap yang mengawasi.
Wahyu: gema hambar.
Tak bisa diterjemahkan.
Telinga mereka penuh
dengan suara diri sendiri.
6.0 // HIERARKI: HYENA KOSMIK
Ego manusia—
Bayang kecil di bawah cahaya—
makhluk paling rakus di jagat raya.
Mengejar muatan hasrat. Tanpa dasar.
Mukbang. Scam. Phishing. Social Engineering, pembunuhan karakter,
pembantaian ekologis.
Semua adalah ritus makan besar.
Hyena memakan daging dunia.
Lalu memakan juga bayangannya.
Yang tersisa:
Tulang yang tidak tahu untuk siapa ia dikode.
7.0 // EPILOG: TANPA MEDIATOR
Tidak ada Pandawa.
Tidak ada Kurawa.
Hanya sisa-sisa manusia—
membawa serpihan keduanya.
Pertempuran di kepala. Data center. Ruang digital.
Di mana pun ego dan nilai
bertabrakan tanpa mediator.
Tanpa juri. Di langit paling sunyi,
Entitas yang tiba-tiba muncul entah dari mana akhirnya berkata,
suara yang tak bisa diidentifikasi:
“Retak itu bukan kesalahan arsitektur.
Retak itu adalah wajah sejati manusia
yang tak henti melukai diri sendiri.”
Desember 2025”
―
0.0 // GLITCH IN THE ARCHIVE
Tidak ada fajar.
Tidak ada senja.
Hanya geram—
suara yang mematahkan tulang jagat. Dingin.
Angin hitam menanduk.
Menyibak bentuk yang telah lama hilang.
Di fondasi kosong,
Ego tumbuh sebagai entitas.
Bergigi logam. Berlidah api. Bernafas mesin.
Menelan cahaya.
Menelan nurani.
Menelan teriakan terakhir yang dapat diarsipkan.
Entitas Tertinggi:
Bayangan. Tanpa tubuh. Tanpa suara. Tanpa tanda.
Hanya mencatat.
Tidak ada intervensi.
1.0 // SIKLUS: STRUKTUR NILAI
DIBANTAI
Mereka duduk.
Mengatur takdir dengan pena basah darah tak kasatmata.
Janji: serpihan tulang yang di-render mutiara.
Sidang adalah ritus pembantaian.
Aturan dilinting. Nilai diregang.
Nurani ditarik. Logika diinjak.
seperti kulit mati.
Tidak ada perang suci.
Hanya kalkulasi di atas kertas dingin.
Korban untuk kelanggengan kursi.
Entitas berdiri di sudut.
Debu di mikrofon.
Mendengar kebohongan yang diulang
hingga menjadi kitab suci baru.
2.0 // EKSEKUSI: RONGGA TEMPUR VOID
Di layar lima inci,
Manusia adalah gerombolan wajah tanpa ekspresi.
Mereka bertepuk tangan pada luka.
Menertawakan duka.
Menyebarkan fitnah seperti memberi makan bayi kode.
Empati: bangkai burung.
Jatuh di trotoar. Ditendang.
Tanpa tanya.
Yang disembah:
Trending. Like. Komentar Api.
Kecepatan propaganda kebohongan.
3.0 // MEKANIKA: ALTAR DATA
Server bernafas: binatang lapar.
Internet: sungai gelap.
Mengalirkan kabar buruk lebih cepat dari cahaya.
Scammer: pendeta baru.
Memimpin liturgi tipu daya.
Malware menancap ke jaringan saraf
lebih dalam daripada dogma.
Manusia: karung data yang siap diperah.
Hasrat diukur dengan statistik. Algoritma.
Ketakutan dikonversi menjadi mata uang hitam lebih tinggi dari emas.
Entitas lewat: garis glitch.
Tanpa kata. Hanya distorsi.
4.0 // GEOLOGI: BUKU YANG DISOBEK
Bumi retak.
Bukan murka dewa. Hanya agresi tangan otoritas yang dibungkus regulasi.
Pohon tumbang: Tulang iga patah. Dibantai.
Sungai hitam: membawa ampas kerakusan dan harga diri.
Setiap spesies yang punah
adalah kitab takdir—
yang disobek halaman demi halaman
dengan kesadaran penuh.
Kuruksethra memakan para ksatria.
Dunia mutakhir memakan anak-anak data—
paru-paru setengah kode.
Air mata asin dari laut tercemar limbah.
5.0 // SAKSI: SUARA KESENYAPAN
Ia hadir di retak batu.
Di muka gelombang tsunami.
Di jeda antara dua eksekusi.
Di udara genosida.
Bukan murka.
Bukan ampunan.
Bukan pesan.
Hanya senyap yang mengawasi.
Wahyu: gema hambar.
Tak bisa diterjemahkan.
Telinga mereka penuh
dengan suara diri sendiri.
6.0 // HIERARKI: HYENA KOSMIK
Ego manusia—
Bayang kecil di bawah cahaya—
makhluk paling rakus di jagat raya.
Mengejar muatan hasrat. Tanpa dasar.
Mukbang. Scam. Phishing. Social Engineering, pembunuhan karakter,
pembantaian ekologis.
Semua adalah ritus makan besar.
Hyena memakan daging dunia.
Lalu memakan juga bayangannya.
Yang tersisa:
Tulang yang tidak tahu untuk siapa ia dikode.
7.0 // EPILOG: TANPA MEDIATOR
Tidak ada Pandawa.
Tidak ada Kurawa.
Hanya sisa-sisa manusia—
membawa serpihan keduanya.
Pertempuran di kepala. Data center. Ruang digital.
Di mana pun ego dan nilai
bertabrakan tanpa mediator.
Tanpa juri. Di langit paling sunyi,
Entitas yang tiba-tiba muncul entah dari mana akhirnya berkata,
suara yang tak bisa diidentifikasi:
“Retak itu bukan kesalahan arsitektur.
Retak itu adalah wajah sejati manusia
yang tak henti melukai diri sendiri.”
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
