Jujur Quotes
Quotes tagged as "jujur"
Showing 1-13 of 13
“Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri—satu-satunya hal yang membuat kita ada.”
― Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
― Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
“Dalam hidup kau akan bertemu banyak orang brengsek. Kalau mereka menyakitimu, katakan pada dirimu sendiri itu karena mereka bodoh. Itu akan membantu mencegahmu bereaksi pada kekejaman mereka. Karena tidak ada yang lebih buruk daripada kebencian dan balas dendam. Selalu jaga martabatmu dan jujurlah pada dirimu sendiri.”
― Persepolis: The Story of a Childhood
― Persepolis: The Story of a Childhood
“Semangat kejujuran ada dalam hati, dalam batin, dalam sukma yang mengatasi ikatan-ikatan yang membatasi diri kita.”
―
―
“Istilah korupsi, suap, pembobolan, mark up, catut, artinya sama. Tidak jujur. artinya sama, tidak menuju ke keadilan sosial. Artinya, merampas nyawa kehidupan lain.”
―
―
“Banyak yang berbicara tentang kejujuran, tapi kenyataannya, mereka hanya jujur saat itu menguntungkan.”
―
―
“Kalau ia boleh jujur, ia kini tahu. Ia tidak hanya menyukai Erik, ia mulai mencintainya. Jika ia boleh berharap, betapa ia ingin memiliki Erik untuk dirinya sendiri.”
― Denting Lara
― Denting Lara
“Mata adalah jebakan. Namun, kejujuran seringkali lahir di ketulusan sebuah tatapan.”
― Bulan Ziarah Kenangan
― Bulan Ziarah Kenangan
“Mendedah Realitas // Versi Ironis–Tragis–Nihilistik
Tidak ada yang benar-benar melarang kita mendedah realitas.
Yang melarang hanyalah rasa takut yang tak nyata
yang kita bungkus rapi
seolah kesunyian punya moralitasnya sendiri.
Ketika kita membukanya,
kita menemukan sesuatu yang lebih menyakitkan
dari rahasia apa pun—
bukan makna, tapi ketiadaan makna
yang berbaring seperti jasad yang sudah dingin,
menunggu siapa yang berani menyentuhnya.
Nietzsche berbisik dari suatu tempat yang tak bertuhan:
“Realitas bukan sesuatu yang kau temukan,
tapi sesuatu yang kau paksa untuk bernapas.”
Namun ia sendiri pun terperosok
ke dalam jurang kata-kata
yang ia ciptakan untuk membebaskan diri.
Agustinus menjawab dengan getir,
seperti seseorang yang terlalu lama menyesali masa mudanya:
“Yang nyata hanyalah yang ditopang iman keyakinan.”
Tapi ia pun gemetar
ketika malam terlalu sunyi
dan doanya memantul kembali
tanpa jawaban.
Zen Buddhis tertawa pelan,
bukan karena ia menemukan pencerahan,
tapi karena ia tahu
bahwa pertanyaan semacam itu
selalu kalah oleh kekosongan.
“Realitas hanyalah bayangan pikiran.”
Namun pikiran—
adalah tempat pertama
di mana semua luka tumbuh.
Dan kita?
Kita hanya duduk di antara mereka
seperti anak terlambat belajar
yang tak tahu harus mempercayai siapa:
dia yang membunuh Tuhan,
dia yang memeluk Tuhan,
atau dia yang mengatakan tak ada apa-apa sejak awal mula.
Semakin dalam kita membuka realitas,
semakin terasa bahwa yang tersingkap
bukan cahaya,
bukan kebenaran,
tetapi lapisan-lapisan ironi tragis
yang menertawakan keinginan kita sendiri
untuk mengerti sesuatu
yang bahkan tidak memiliki pusat gravitasi.
Barangkali realitas
adalah semacam pembusukan yang berlangsung teramat lambat—
kita mengendus aromanya,
berpura-pura itu adalah parfum filsafat.
Atau mungkin ia hanya cermin
yang memantulkan wajah kita
yang lelah,
yang pucat oleh harapan,
yang terjerat antara ingin percaya
dan ingin berhenti peduli sama sekali.
Zen berkata: lepaskan.
Nietzsche berkata: tumbuhkan kehendak.
Agustinus berkata: bertobatlah.
Skeptisisme modern berkata:
klik refresh dan lanjutkan hidup.
Namun malam tetap datang
dengan kesenyapan yang tak bisa kita tawar.
Ia membongkar pikiran kita tanpa belas kasihan,
meninggalkan sisa diri yang tak lagi padat,
tak lagi utuh,
sekadar debu yang tahu
bahwa keberadaannya pun
hanya sementara.
Pada akhirnya,
mendedah realitas
bukan tentang menemukan apa atau siapa.
Ini adalah latihan kehilangan:
kehilangan jawaban,
kehilangan harapan,
kehilangan tumpuan
yang selama ini kita yakini sebagai fondasi.
Dan dari kehilangan itu
muncul sejenis ketenangan muram—
seperti lampu jalan
yang terus menyala di jalan terpencil,
meski tak ada seorang pun
yang benar-benar membutuhkannya.
November 2025”
―
Tidak ada yang benar-benar melarang kita mendedah realitas.
Yang melarang hanyalah rasa takut yang tak nyata
yang kita bungkus rapi
seolah kesunyian punya moralitasnya sendiri.
Ketika kita membukanya,
kita menemukan sesuatu yang lebih menyakitkan
dari rahasia apa pun—
bukan makna, tapi ketiadaan makna
yang berbaring seperti jasad yang sudah dingin,
menunggu siapa yang berani menyentuhnya.
Nietzsche berbisik dari suatu tempat yang tak bertuhan:
“Realitas bukan sesuatu yang kau temukan,
tapi sesuatu yang kau paksa untuk bernapas.”
Namun ia sendiri pun terperosok
ke dalam jurang kata-kata
yang ia ciptakan untuk membebaskan diri.
Agustinus menjawab dengan getir,
seperti seseorang yang terlalu lama menyesali masa mudanya:
“Yang nyata hanyalah yang ditopang iman keyakinan.”
Tapi ia pun gemetar
ketika malam terlalu sunyi
dan doanya memantul kembali
tanpa jawaban.
Zen Buddhis tertawa pelan,
bukan karena ia menemukan pencerahan,
tapi karena ia tahu
bahwa pertanyaan semacam itu
selalu kalah oleh kekosongan.
“Realitas hanyalah bayangan pikiran.”
Namun pikiran—
adalah tempat pertama
di mana semua luka tumbuh.
Dan kita?
Kita hanya duduk di antara mereka
seperti anak terlambat belajar
yang tak tahu harus mempercayai siapa:
dia yang membunuh Tuhan,
dia yang memeluk Tuhan,
atau dia yang mengatakan tak ada apa-apa sejak awal mula.
Semakin dalam kita membuka realitas,
semakin terasa bahwa yang tersingkap
bukan cahaya,
bukan kebenaran,
tetapi lapisan-lapisan ironi tragis
yang menertawakan keinginan kita sendiri
untuk mengerti sesuatu
yang bahkan tidak memiliki pusat gravitasi.
Barangkali realitas
adalah semacam pembusukan yang berlangsung teramat lambat—
kita mengendus aromanya,
berpura-pura itu adalah parfum filsafat.
Atau mungkin ia hanya cermin
yang memantulkan wajah kita
yang lelah,
yang pucat oleh harapan,
yang terjerat antara ingin percaya
dan ingin berhenti peduli sama sekali.
Zen berkata: lepaskan.
Nietzsche berkata: tumbuhkan kehendak.
Agustinus berkata: bertobatlah.
Skeptisisme modern berkata:
klik refresh dan lanjutkan hidup.
Namun malam tetap datang
dengan kesenyapan yang tak bisa kita tawar.
Ia membongkar pikiran kita tanpa belas kasihan,
meninggalkan sisa diri yang tak lagi padat,
tak lagi utuh,
sekadar debu yang tahu
bahwa keberadaannya pun
hanya sementara.
Pada akhirnya,
mendedah realitas
bukan tentang menemukan apa atau siapa.
Ini adalah latihan kehilangan:
kehilangan jawaban,
kehilangan harapan,
kehilangan tumpuan
yang selama ini kita yakini sebagai fondasi.
Dan dari kehilangan itu
muncul sejenis ketenangan muram—
seperti lampu jalan
yang terus menyala di jalan terpencil,
meski tak ada seorang pun
yang benar-benar membutuhkannya.
November 2025”
―
“Infantisida: Litani Penyangkalan
Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.
Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.
Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.
“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”
Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.
Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.
“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”
“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.
Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.
Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.
Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.
Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:
Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.
Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.
November 2025”
―
Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.
Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.
Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.
“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”
Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.
Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.
“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”
“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.
Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.
Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.
Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.
Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:
Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.
Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.
November 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
