Gelap Quotes
Quotes tagged as "gelap"
Showing 1-26 of 26
“Dan bukankan satu ciri manusia modern adalah juga kemenangan individu atas lingkungannya dengan prestasi individual? Individu-individu kuat sepatutnya bergabung mengangkat sebangsanya yang lemah, memberinya lampu pada yang kegelapan dan memberi mata pada yang buta”
―
―
“Saya mengetahui malam selalu datang dengan gelap dan ketenangan, sayapun juga mengetahui adanya cahaya dan kebisingan disaat pagi hingga senja dan akhirnya kembali datang malam ditemani tiupan angin yang sunyi. Saat itu saya belajar tentang keseimbangan hidup. Belajar tentang banyak hal yang terjadi diantara kedua hal tersebut. Sunyi dan kebisingan, keduanya selalu mendampingi walau mereka berada hampir selalu berjauhan. Senja tahu tentang kepenatan dan rasa bosan yang diciptakan oleh kebisingan yang memuakan, senjapun juga sempat menyaksikan kebahagian yang diciptakan oleh sunyi walau sebentar tetapi itu sangat indah karna senja berwujud cantik selalu berwarna jingga berkilau emas diiringi sinari matahari yang tenggelam untuk tertidur.”
―
―
“Barangkali, siang hanyalah cara langit menghangatkan sepi. Selepas pagi, berlari dari gelap yang sunyi. Meski nanti akhirnya kembali lagi; pada sepi.”
―
―
“Terkadang ada saat dimana gelap malam seakan mampu mengerti kamu lebih dari yang lain. Bersama bintang. Bersama bulan. Bersama langit malam. Cukup dengan melihat alam, kamu merasakan kedamaian.”
―
―
“Tidak jarang, mereka yang menghabiskan waktu untuk memberikan cahaya bagi orang lain justru tetap berada dalam kegelapan
(Come Be My Light, h. 335)”
―
(Come Be My Light, h. 335)”
―
“Bagi saya, berdosa bukanlah inti rasa tragis. Intinya adalah kesadaran tentang 'tepi'. Tepi bukanlah batas. Tepi mengandung sesuatu yang sepi, juga menunjukkan keadaan yang genting sebab siapapun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi, ketika seorang tak berada di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena terang dan gelap ada dimana mana, tapi juga karena kedua duanya mengandung bahaya”
― Catatan Pinggir 7
― Catatan Pinggir 7
“Senja adalah rasa yang bertahan, ketika matahari memilih untuk tenggelam. Sebelum akhirnya ditinggal sendirian tanpa cahaya, dalam gelap.”
―
―
“Gelap tidak pernah mengutuk takdirnya. Meski selalu di hina, di benci bahkan dihindari. Entah karna tidak bisa atau memang ikhlas menerima jalannya.”
―
―
“Orang yang datang kepadamu disaat mereka butuh, bahagia saja. Setidaknya, kamu serupa cahaya disaat gelap”
―
―
“Pada akhirnya senja hanya semakin menjauh. Namun ia tak pernah sanggup melenyapkan cinta yang paling diam dari pandangan mata, apalagi hati. Lalu aku hanya menunggunya saat magrib tiba.”
―
―
“Gelap kembali mengambang bersama awan. Genderang berbunyi sunyi, dan aku masih mentabukan diriku atas segala harap ini.”
―
―
“Dibandingkan sesuatu yang cerah,
daku lebih menikmati gelap
yang ditaburi petir bersama rintiknya hujan,
juga gemuruhnya suara sambaran petir yang seketika memecah heningnya malam yang dingin
krutuk trughh...
ngantukku pun terbangun”
―
daku lebih menikmati gelap
yang ditaburi petir bersama rintiknya hujan,
juga gemuruhnya suara sambaran petir yang seketika memecah heningnya malam yang dingin
krutuk trughh...
ngantukku pun terbangun”
―
“Jadilah rumahku, ke manapun aku berkelana, selalu berpulang padamu.
Jadilah tanah tempatku berpijak, ke mana pun aku terbang, ku kan kembali pulang,
kala lelah kukepak sayap.
Bisakah kau menjadi udara, setiap hela nafas ini, kau ada.
Bisakah kau menjadi kerlip lilin, kala gelap, kau keindahan sejati.
Berlebihan jika kuminta semua itu?
Cemasku…
Kau menjadi persinggahan sesaat, yang kan terlupa?
Atau kau serupa percik air yang hilang melewati sela-sela jariku?
Bisa saja kau pendar, yang dalam sekejap mata, keindahannya memudar?”
―
Jadilah tanah tempatku berpijak, ke mana pun aku terbang, ku kan kembali pulang,
kala lelah kukepak sayap.
Bisakah kau menjadi udara, setiap hela nafas ini, kau ada.
Bisakah kau menjadi kerlip lilin, kala gelap, kau keindahan sejati.
Berlebihan jika kuminta semua itu?
Cemasku…
Kau menjadi persinggahan sesaat, yang kan terlupa?
Atau kau serupa percik air yang hilang melewati sela-sela jariku?
Bisa saja kau pendar, yang dalam sekejap mata, keindahannya memudar?”
―
“Haruskah kita melangkah kan kaki di antara nisan yang berbaris.
Dan badai musim ini, akan menjadi sesuatu yang janggal.
Bayang kan kita lebih tinggi dari gagak yang melambung..
Dan bernapas angkuh layaknya firaun...
Tragisnya kita jatuh melesat kebawah bagaikan anak panah.
Suara ini tetap bergema!!! .
.
.
.Kita adalah Hati....
Yang tak pernah di beli atau pun tergadaikan oleh dunia.
Kita adalah Hati...
Yang meredam manis ucapan....
Kita adalah Hati...
Yang tak sebanding dengan bangkai munafik...
Kita adalah hati.....
Dan masa depan mengalir di antara tulang ini
Dan kita adalah Hati..
Yang selamanya berdoa
.
.~andra dobing”
―
Dan badai musim ini, akan menjadi sesuatu yang janggal.
Bayang kan kita lebih tinggi dari gagak yang melambung..
Dan bernapas angkuh layaknya firaun...
Tragisnya kita jatuh melesat kebawah bagaikan anak panah.
Suara ini tetap bergema!!! .
.
.
.Kita adalah Hati....
Yang tak pernah di beli atau pun tergadaikan oleh dunia.
Kita adalah Hati...
Yang meredam manis ucapan....
Kita adalah Hati...
Yang tak sebanding dengan bangkai munafik...
Kita adalah hati.....
Dan masa depan mengalir di antara tulang ini
Dan kita adalah Hati..
Yang selamanya berdoa
.
.~andra dobing”
―
“Hitam tak pasti kelam
Hitam tak berarti dendam
Hitam tak selalu muram
Hitam tak tentu karam
Tak jarang justru akan hadir keindahan di tengah gelapnya malam”
―
Hitam tak berarti dendam
Hitam tak selalu muram
Hitam tak tentu karam
Tak jarang justru akan hadir keindahan di tengah gelapnya malam”
―
“Seberapa jauh kita melangkah dalam terang? seberapa dalam kita menyelam dalam gelap? apa cahaya yang menuntunmu atau gelap yang mengajarimu?”
―
―
“Kamu mungkin adalah gelap tempatku sembunyi, aman terlindung dari pahit ini. Kamu adalah tembok besi tempatku berteduh, menjagaku tetap utuh. Kamu bisa jadi adalah semua itu... kini saatnya melangkah pergi. Tak bisa selamanya dalam gelap dan tembok ini.”
― Queen: Ingin Sekali Aku Berkata Tidak
― Queen: Ingin Sekali Aku Berkata Tidak
“Jika kata cinta tak cukup
Oh, mungkin tindakanku yang kurang
Aku cemburu pada malam
Saat gelap ia tetap indah kau pandang
Saat ku datang dengan rasa bersalah
Masih saja tetap tak kau anggap”
―
Oh, mungkin tindakanku yang kurang
Aku cemburu pada malam
Saat gelap ia tetap indah kau pandang
Saat ku datang dengan rasa bersalah
Masih saja tetap tak kau anggap”
―
“Adarusa
Hapaheman yang merubuhkan pohon itu adalah kerabat dekatmu
Batu yang dulu kaupungut dari sungai dan membawanya ke tepi
Jejak yang ia tinggalkan di atas tanah tegalan yang kekeringan
Dan janji yang tak terbeli.
Istrinya adalah sekuntum mawar yang layu sebelum waktunya
Sandyakala yang mendadak tua setelah melahirkan 3 ekor anak burung;
Seekor burung gagak
Seekor burung prenjak
Dan seekor merpati yang pemalu namun baik hati.
Mereka tak pernah terbang terlalu jauh dari sarang itu.
Sarang yang bukan miliknya
Rumah yang tak pernah ia dirikan untuk keluarga.
Karena ia hanyalah seekor adarusa.
Tak ada yang dimilikinya sendiri kecuali hutang-hutang masa lalu;
Tanah yang tak pernah ia cangkul.
Benih yang tak pernah ia tanam.
Adakah kemarahan semacam itu akan terpendam selamanya?
Seekor pejantan lancung yang hanya bisa datang saat ia lapar
Dan lalu pergi hanya untuk memenuhi egonya sendiri.
Ia telah menjadi beban bagi masa silam
Dan batu yang kian hari kian memberati
Sayap-sayap kelam yang tak mampu terbang lagi.
Telah tua ia sekarang
Masih dengan tabiat yang sama
Watak yang sepertinya hendak ia bawa mati
Langit sekarat menunggu waktu
Segala apa yang ia punya, hanyalah luka
Bukan nama atau harta untuk diwariskan.
Takdir dan nasib buruk serupa suara guntur di kejauhan.
Ia adalah hapaheman yang merubuhkan pohon
Tempat di mana sarang itu berada.
Sarang yang ditinggali istri dan tiga anak-anaknya.
November 2025”
―
Hapaheman yang merubuhkan pohon itu adalah kerabat dekatmu
Batu yang dulu kaupungut dari sungai dan membawanya ke tepi
Jejak yang ia tinggalkan di atas tanah tegalan yang kekeringan
Dan janji yang tak terbeli.
Istrinya adalah sekuntum mawar yang layu sebelum waktunya
Sandyakala yang mendadak tua setelah melahirkan 3 ekor anak burung;
Seekor burung gagak
Seekor burung prenjak
Dan seekor merpati yang pemalu namun baik hati.
Mereka tak pernah terbang terlalu jauh dari sarang itu.
Sarang yang bukan miliknya
Rumah yang tak pernah ia dirikan untuk keluarga.
Karena ia hanyalah seekor adarusa.
Tak ada yang dimilikinya sendiri kecuali hutang-hutang masa lalu;
Tanah yang tak pernah ia cangkul.
Benih yang tak pernah ia tanam.
Adakah kemarahan semacam itu akan terpendam selamanya?
Seekor pejantan lancung yang hanya bisa datang saat ia lapar
Dan lalu pergi hanya untuk memenuhi egonya sendiri.
Ia telah menjadi beban bagi masa silam
Dan batu yang kian hari kian memberati
Sayap-sayap kelam yang tak mampu terbang lagi.
Telah tua ia sekarang
Masih dengan tabiat yang sama
Watak yang sepertinya hendak ia bawa mati
Langit sekarat menunggu waktu
Segala apa yang ia punya, hanyalah luka
Bukan nama atau harta untuk diwariskan.
Takdir dan nasib buruk serupa suara guntur di kejauhan.
Ia adalah hapaheman yang merubuhkan pohon
Tempat di mana sarang itu berada.
Sarang yang ditinggali istri dan tiga anak-anaknya.
November 2025”
―
“Mendedah Realitas // Versi Ironis–Tragis–Nihilistik
Tidak ada yang benar-benar melarang kita mendedah realitas.
Yang melarang hanyalah rasa takut yang tak nyata
yang kita bungkus rapi
seolah kesunyian punya moralitasnya sendiri.
Ketika kita membukanya,
kita menemukan sesuatu yang lebih menyakitkan
dari rahasia apa pun—
bukan makna, tapi ketiadaan makna
yang berbaring seperti jasad yang sudah dingin,
menunggu siapa yang berani menyentuhnya.
Nietzsche berbisik dari suatu tempat yang tak bertuhan:
“Realitas bukan sesuatu yang kau temukan,
tapi sesuatu yang kau paksa untuk bernapas.”
Namun ia sendiri pun terperosok
ke dalam jurang kata-kata
yang ia ciptakan untuk membebaskan diri.
Agustinus menjawab dengan getir,
seperti seseorang yang terlalu lama menyesali masa mudanya:
“Yang nyata hanyalah yang ditopang iman keyakinan.”
Tapi ia pun gemetar
ketika malam terlalu sunyi
dan doanya memantul kembali
tanpa jawaban.
Zen Buddhis tertawa pelan,
bukan karena ia menemukan pencerahan,
tapi karena ia tahu
bahwa pertanyaan semacam itu
selalu kalah oleh kekosongan.
“Realitas hanyalah bayangan pikiran.”
Namun pikiran—
adalah tempat pertama
di mana semua luka tumbuh.
Dan kita?
Kita hanya duduk di antara mereka
seperti anak terlambat belajar
yang tak tahu harus mempercayai siapa:
dia yang membunuh Tuhan,
dia yang memeluk Tuhan,
atau dia yang mengatakan tak ada apa-apa sejak awal mula.
Semakin dalam kita membuka realitas,
semakin terasa bahwa yang tersingkap
bukan cahaya,
bukan kebenaran,
tetapi lapisan-lapisan ironi tragis
yang menertawakan keinginan kita sendiri
untuk mengerti sesuatu
yang bahkan tidak memiliki pusat gravitasi.
Barangkali realitas
adalah semacam pembusukan yang berlangsung teramat lambat—
kita mengendus aromanya,
berpura-pura itu adalah parfum filsafat.
Atau mungkin ia hanya cermin
yang memantulkan wajah kita
yang lelah,
yang pucat oleh harapan,
yang terjerat antara ingin percaya
dan ingin berhenti peduli sama sekali.
Zen berkata: lepaskan.
Nietzsche berkata: tumbuhkan kehendak.
Agustinus berkata: bertobatlah.
Skeptisisme modern berkata:
klik refresh dan lanjutkan hidup.
Namun malam tetap datang
dengan kesenyapan yang tak bisa kita tawar.
Ia membongkar pikiran kita tanpa belas kasihan,
meninggalkan sisa diri yang tak lagi padat,
tak lagi utuh,
sekadar debu yang tahu
bahwa keberadaannya pun
hanya sementara.
Pada akhirnya,
mendedah realitas
bukan tentang menemukan apa atau siapa.
Ini adalah latihan kehilangan:
kehilangan jawaban,
kehilangan harapan,
kehilangan tumpuan
yang selama ini kita yakini sebagai fondasi.
Dan dari kehilangan itu
muncul sejenis ketenangan muram—
seperti lampu jalan
yang terus menyala di jalan terpencil,
meski tak ada seorang pun
yang benar-benar membutuhkannya.
November 2025”
―
Tidak ada yang benar-benar melarang kita mendedah realitas.
Yang melarang hanyalah rasa takut yang tak nyata
yang kita bungkus rapi
seolah kesunyian punya moralitasnya sendiri.
Ketika kita membukanya,
kita menemukan sesuatu yang lebih menyakitkan
dari rahasia apa pun—
bukan makna, tapi ketiadaan makna
yang berbaring seperti jasad yang sudah dingin,
menunggu siapa yang berani menyentuhnya.
Nietzsche berbisik dari suatu tempat yang tak bertuhan:
“Realitas bukan sesuatu yang kau temukan,
tapi sesuatu yang kau paksa untuk bernapas.”
Namun ia sendiri pun terperosok
ke dalam jurang kata-kata
yang ia ciptakan untuk membebaskan diri.
Agustinus menjawab dengan getir,
seperti seseorang yang terlalu lama menyesali masa mudanya:
“Yang nyata hanyalah yang ditopang iman keyakinan.”
Tapi ia pun gemetar
ketika malam terlalu sunyi
dan doanya memantul kembali
tanpa jawaban.
Zen Buddhis tertawa pelan,
bukan karena ia menemukan pencerahan,
tapi karena ia tahu
bahwa pertanyaan semacam itu
selalu kalah oleh kekosongan.
“Realitas hanyalah bayangan pikiran.”
Namun pikiran—
adalah tempat pertama
di mana semua luka tumbuh.
Dan kita?
Kita hanya duduk di antara mereka
seperti anak terlambat belajar
yang tak tahu harus mempercayai siapa:
dia yang membunuh Tuhan,
dia yang memeluk Tuhan,
atau dia yang mengatakan tak ada apa-apa sejak awal mula.
Semakin dalam kita membuka realitas,
semakin terasa bahwa yang tersingkap
bukan cahaya,
bukan kebenaran,
tetapi lapisan-lapisan ironi tragis
yang menertawakan keinginan kita sendiri
untuk mengerti sesuatu
yang bahkan tidak memiliki pusat gravitasi.
Barangkali realitas
adalah semacam pembusukan yang berlangsung teramat lambat—
kita mengendus aromanya,
berpura-pura itu adalah parfum filsafat.
Atau mungkin ia hanya cermin
yang memantulkan wajah kita
yang lelah,
yang pucat oleh harapan,
yang terjerat antara ingin percaya
dan ingin berhenti peduli sama sekali.
Zen berkata: lepaskan.
Nietzsche berkata: tumbuhkan kehendak.
Agustinus berkata: bertobatlah.
Skeptisisme modern berkata:
klik refresh dan lanjutkan hidup.
Namun malam tetap datang
dengan kesenyapan yang tak bisa kita tawar.
Ia membongkar pikiran kita tanpa belas kasihan,
meninggalkan sisa diri yang tak lagi padat,
tak lagi utuh,
sekadar debu yang tahu
bahwa keberadaannya pun
hanya sementara.
Pada akhirnya,
mendedah realitas
bukan tentang menemukan apa atau siapa.
Ini adalah latihan kehilangan:
kehilangan jawaban,
kehilangan harapan,
kehilangan tumpuan
yang selama ini kita yakini sebagai fondasi.
Dan dari kehilangan itu
muncul sejenis ketenangan muram—
seperti lampu jalan
yang terus menyala di jalan terpencil,
meski tak ada seorang pun
yang benar-benar membutuhkannya.
November 2025”
―
“Figur di Dalam Karpet
: Wolfgang Iser
Surgakah itu yang menggeliat dalam celanamu?
Sekalipun engkau tahu aku tak sekadar mencomotnya dari sebuah buku yang kau temukan di pasar loak.
Tapi rupa-rupanya di sanalah engkau selama ini Menyembunyikan rahasia dari segala asrar:
Guru segala ilmu, juru segala kunci, empu segala seni, makam para wali, pohon segala hayat dan bahkan dewa yang serba tahu.
Barangkali laparlah itu yang bersemayam di kelangkangmu. Bukan sekadar buah kelakar mimpi,
tautan areola sunyi atau benih selingkar nutfah tersaput air ludah.
Bukankah hujan yang telah menamatkan seluruh pencarianmu?
Tapi mengapa muasal angin, muara samudra dan ihwal semesta masih saja engkau sembunyikan di balik daster warna-warni milik istrimu?
Atau jangan-jangan, itu adalah materi leluconmu yang paling mutakhir dan yang bakal mengantarkan dirimu menembus waktu ke masa depan?
Sedang warnamu telanjur mengorak sempurna di atas pelaminan,
di dalam lipatan selimut,
di gelegak darah
atau di kandung mimpi.
Tapi apakah itu noda yang menempel di janggutmu,
benci atau rindu?
Sedang apa yang sengaja kau tutupi di balik piama sutra
atau yang kau sembunyikan
di dalam saku celana
adalah dirimu yang sesungguhnya?
Bukankah itu mawar hitam sebalik topeng,
atau duri ceronggah
sebalik wajah?
Sedang jantungmu adalah tiruan sempurna
dari apa yang tak aku mengerti dari seluruh petuah yang kau ucapkan dalam kitab lengkara.
Saat engkau memberinya nama, jadilah ia secuil daging di telapak tanganmu.
Saat engkau memberinya hati, jadilah ia kekasih gelapmu. Padanya engkau memberi segala yang mungkin:
Segala sedih, segala gembira, segala remuk, segala racun ular berbisa.
Seperti sungai yang mengalir dari matamu,
bukankah itu ironi dari sungging seulas senyum?
Sementara aku masih rajin menjelajahi otakmu, menambang pelupukmu, menggali kupingmu,
melubangi ubun-ubunmu.
Demi mencoba menemu mana yang sarang lebah,
mana yang busut semut?
Dan barangkali,
menyigi wajahmu di langit-langit kamarku akan membantuku menemukan kira-kira di mana surgu sejati si kayu jati?
(Januari 2014)”
―
: Wolfgang Iser
Surgakah itu yang menggeliat dalam celanamu?
Sekalipun engkau tahu aku tak sekadar mencomotnya dari sebuah buku yang kau temukan di pasar loak.
Tapi rupa-rupanya di sanalah engkau selama ini Menyembunyikan rahasia dari segala asrar:
Guru segala ilmu, juru segala kunci, empu segala seni, makam para wali, pohon segala hayat dan bahkan dewa yang serba tahu.
Barangkali laparlah itu yang bersemayam di kelangkangmu. Bukan sekadar buah kelakar mimpi,
tautan areola sunyi atau benih selingkar nutfah tersaput air ludah.
Bukankah hujan yang telah menamatkan seluruh pencarianmu?
Tapi mengapa muasal angin, muara samudra dan ihwal semesta masih saja engkau sembunyikan di balik daster warna-warni milik istrimu?
Atau jangan-jangan, itu adalah materi leluconmu yang paling mutakhir dan yang bakal mengantarkan dirimu menembus waktu ke masa depan?
Sedang warnamu telanjur mengorak sempurna di atas pelaminan,
di dalam lipatan selimut,
di gelegak darah
atau di kandung mimpi.
Tapi apakah itu noda yang menempel di janggutmu,
benci atau rindu?
Sedang apa yang sengaja kau tutupi di balik piama sutra
atau yang kau sembunyikan
di dalam saku celana
adalah dirimu yang sesungguhnya?
Bukankah itu mawar hitam sebalik topeng,
atau duri ceronggah
sebalik wajah?
Sedang jantungmu adalah tiruan sempurna
dari apa yang tak aku mengerti dari seluruh petuah yang kau ucapkan dalam kitab lengkara.
Saat engkau memberinya nama, jadilah ia secuil daging di telapak tanganmu.
Saat engkau memberinya hati, jadilah ia kekasih gelapmu. Padanya engkau memberi segala yang mungkin:
Segala sedih, segala gembira, segala remuk, segala racun ular berbisa.
Seperti sungai yang mengalir dari matamu,
bukankah itu ironi dari sungging seulas senyum?
Sementara aku masih rajin menjelajahi otakmu, menambang pelupukmu, menggali kupingmu,
melubangi ubun-ubunmu.
Demi mencoba menemu mana yang sarang lebah,
mana yang busut semut?
Dan barangkali,
menyigi wajahmu di langit-langit kamarku akan membantuku menemukan kira-kira di mana surgu sejati si kayu jati?
(Januari 2014)”
―
“Palsu I — (Dark, Esoteric, Psychospiritual Version)
Bagaimana mereka meninggalkanmu terperangkap dalam sumur itu?
Seperti berjalan sendirian di bawah hujan yang jatuh tanpa suara,
membiarkan tubuhmu memudar perlahan
di antara tetes air yang tak lagi mengenali gravitasi.
Seperti ban truk meledak di tanjakan
maut menyambar seperti kilat,
dan tak seorang pun selamat.
Seperti seorang perawan yang kehilangan kesuciannya
bukan oleh tangan asing,
melainkan oleh cermin yang memantulkan wajah yang bukan dirinya.
Langit tidak tertawa untuk kesedihan semacam itu.
Beberapa orang berlarian di tengah lapangan
dengan ketelanjangan yang mereka ciptakan sendiri,
tak tahu apakah dunia patut ditangisi atau disumpahi.
Tidak seperti pelacur yang berdiri
di pinggir jalan
meniru Aphrodite dengan keberanian imitasi—tetap merasa suci,
karena tak ada yang tersisa
untuk dicemari.
Seekor babi berjalan terengah,
sementara yang lain bergulingan di tanah
seakan lumpur itu adalah rumah mereka yang hilang.
Kita tak sedang membaca ode
untuk bintang-bintang yang sekarat di langit.
Langit hanyalah rongga hitam tanpa lazuardi,
rumput kehilangan kehijauannya
seperti ingatan terakhir seseorang yang terhapus oleh waktu.
Mata tertutup oleh gumpalan awan
dan kesedihan yang tak lagi mampu mengeja dirinya.
Nanar matanya menghantam jendela
yang tak membuka apa pun kecuali pertanyaan yang tak punya jawaban.
Pintu-pintu terbuka tanpa petunjuk arah.
Jalan-jalan mati, lampu-lampu padam;
kebisuan lebih mencekam
daripada sunyi di tengah kuburan
yang lupa nama-nama yang dikandungnya.
Siapa yang masih berani bertanya:
Mungkinkah darah tetap berwarna merah?
Sedang lagu tak lagi terdengar seperti kicauan burung—
dan burung sudah lama berhenti berkicau
karena dunia menolak mendengar.
Ketika mata tertumbuk ketelanjangan di mana-mana—
di televisi, papan reklame, musik dari radio,
halaman-halaman majalah yang dibaca sampai robek—
mari kita pergi dari sini.
Pergi ke mana saja:
ke sebuah pulau yang kesepian,
ke sealur sungai yang tak berkawan,
ke laut yang kehilangan rasa asinnya,
ke semenanjung tanpa nama
yang tak pernah tersentuh kaki para nahkoda.
Di tempat asing itu,
seseorang menyalakan api
lalu memotret dirinya sendiri
hanya ingin memastikan
bahwa ia masih ada.
Seorang gadis berambut pirang
menikmati es krim coklat sambil membayangkan kekasihnya
yang bahkan sudah lupa namanya.
Gadis lain mengulang peristiwa yang tak pernah ia punya,
sementara yang lain memutar waktu
seperti hendak menangkap peristiwa
yang bukan miliknya.
Bukankah mengherankan,
dunia tidak berputar dari kiri ke kanan,
orang-orang tidak berjalan mundur.
Namun entah mengapa
begitu banyak dari mereka kehilangan kaki
dan pegangan pada diri sendiri.
Merasa tua dalam sekejap,
menjadi bayangan dari masa lalu
yang menolak mati meski tak sungguh hidup.
Seorang kakek ingin melihat pangkal yang tak berujung,
seorang bayi baru lahir melihat ujung yang tak berpangkal.
Para pujangga menari
di saat jutaan lainnya kehilangan keinginan
untuk mencintai dunia.
Para filsuf melompat dari halaman kitab penuh pemikiran
yang sebenarnya tak membutuhkan pembaca.
Berapa banyak artis kehilangan akal,
menggadaikan harga diri
demi sebuah adegan persetubuhan.
Seorang suami berkata kepada istrinya,
“Untuk mendapatkan kebahagiaan,
maka satu-satunya cara adalah melihatmu bahagia
bersama orang lain.”
Tidak semua orang memahami kejujuran atau kebodohan
semacam itu.
Mereka terus menebak-nebak:
apakah kebahagiaan itu sebuah tangga
atau sebuah sumur?
Seperti pikiran lancung
yang berusaha membubung ke langit
namun tenggelam ke dasar samudra
karena tak tahu cara berenang.
Begitulah manusia yang kita kenal—mereka menciptakan
penjara ilusi yang mereka sebut:
identitas.
November 2025”
―
Bagaimana mereka meninggalkanmu terperangkap dalam sumur itu?
Seperti berjalan sendirian di bawah hujan yang jatuh tanpa suara,
membiarkan tubuhmu memudar perlahan
di antara tetes air yang tak lagi mengenali gravitasi.
Seperti ban truk meledak di tanjakan
maut menyambar seperti kilat,
dan tak seorang pun selamat.
Seperti seorang perawan yang kehilangan kesuciannya
bukan oleh tangan asing,
melainkan oleh cermin yang memantulkan wajah yang bukan dirinya.
Langit tidak tertawa untuk kesedihan semacam itu.
Beberapa orang berlarian di tengah lapangan
dengan ketelanjangan yang mereka ciptakan sendiri,
tak tahu apakah dunia patut ditangisi atau disumpahi.
Tidak seperti pelacur yang berdiri
di pinggir jalan
meniru Aphrodite dengan keberanian imitasi—tetap merasa suci,
karena tak ada yang tersisa
untuk dicemari.
Seekor babi berjalan terengah,
sementara yang lain bergulingan di tanah
seakan lumpur itu adalah rumah mereka yang hilang.
Kita tak sedang membaca ode
untuk bintang-bintang yang sekarat di langit.
Langit hanyalah rongga hitam tanpa lazuardi,
rumput kehilangan kehijauannya
seperti ingatan terakhir seseorang yang terhapus oleh waktu.
Mata tertutup oleh gumpalan awan
dan kesedihan yang tak lagi mampu mengeja dirinya.
Nanar matanya menghantam jendela
yang tak membuka apa pun kecuali pertanyaan yang tak punya jawaban.
Pintu-pintu terbuka tanpa petunjuk arah.
Jalan-jalan mati, lampu-lampu padam;
kebisuan lebih mencekam
daripada sunyi di tengah kuburan
yang lupa nama-nama yang dikandungnya.
Siapa yang masih berani bertanya:
Mungkinkah darah tetap berwarna merah?
Sedang lagu tak lagi terdengar seperti kicauan burung—
dan burung sudah lama berhenti berkicau
karena dunia menolak mendengar.
Ketika mata tertumbuk ketelanjangan di mana-mana—
di televisi, papan reklame, musik dari radio,
halaman-halaman majalah yang dibaca sampai robek—
mari kita pergi dari sini.
Pergi ke mana saja:
ke sebuah pulau yang kesepian,
ke sealur sungai yang tak berkawan,
ke laut yang kehilangan rasa asinnya,
ke semenanjung tanpa nama
yang tak pernah tersentuh kaki para nahkoda.
Di tempat asing itu,
seseorang menyalakan api
lalu memotret dirinya sendiri
hanya ingin memastikan
bahwa ia masih ada.
Seorang gadis berambut pirang
menikmati es krim coklat sambil membayangkan kekasihnya
yang bahkan sudah lupa namanya.
Gadis lain mengulang peristiwa yang tak pernah ia punya,
sementara yang lain memutar waktu
seperti hendak menangkap peristiwa
yang bukan miliknya.
Bukankah mengherankan,
dunia tidak berputar dari kiri ke kanan,
orang-orang tidak berjalan mundur.
Namun entah mengapa
begitu banyak dari mereka kehilangan kaki
dan pegangan pada diri sendiri.
Merasa tua dalam sekejap,
menjadi bayangan dari masa lalu
yang menolak mati meski tak sungguh hidup.
Seorang kakek ingin melihat pangkal yang tak berujung,
seorang bayi baru lahir melihat ujung yang tak berpangkal.
Para pujangga menari
di saat jutaan lainnya kehilangan keinginan
untuk mencintai dunia.
Para filsuf melompat dari halaman kitab penuh pemikiran
yang sebenarnya tak membutuhkan pembaca.
Berapa banyak artis kehilangan akal,
menggadaikan harga diri
demi sebuah adegan persetubuhan.
Seorang suami berkata kepada istrinya,
“Untuk mendapatkan kebahagiaan,
maka satu-satunya cara adalah melihatmu bahagia
bersama orang lain.”
Tidak semua orang memahami kejujuran atau kebodohan
semacam itu.
Mereka terus menebak-nebak:
apakah kebahagiaan itu sebuah tangga
atau sebuah sumur?
Seperti pikiran lancung
yang berusaha membubung ke langit
namun tenggelam ke dasar samudra
karena tak tahu cara berenang.
Begitulah manusia yang kita kenal—mereka menciptakan
penjara ilusi yang mereka sebut:
identitas.
November 2025”
―
“Infantisida: Litani Penyangkalan
Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.
Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.
Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.
“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”
Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.
Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.
“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”
“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.
Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.
Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.
Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.
Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:
Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.
Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.
November 2025”
―
Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.
Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.
Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.
“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”
Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.
Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.
“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”
“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.
Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.
Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.
Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.
Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:
Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.
Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.
November 2025”
―
“JENAWI
II. Kitab Lengkara
Tetapi nama siapa nanti yang akan tertera sempurna dalam kitab lengkara, namamukah itu? Ia yang merasa menemu hakekat kebenaran pada ihwal kehidupan yang konon pernah dijanjikan oleh para empu. Selain kilas wajah sebalik topeng atau barangkali sebuah persona kepada siapa engkau mempersembahkan setiap tetes darah yang dengan susah-payah engkau titikkan lewat bujuk rayu atau keras hardikanmu? Sekali badik ditarik pantang kembali ke dalam sarung sebelum ia puas menikam.
Tapi demi satu cintaku Tusuklah daku, Sayangku. Tetaklah tubuhku. Tebah - dedahlah dadaku dengan kelebat amarahmu. Tapi jangan engkau abaikan aku. Jangan kautenung aku dengan kilau tatap matamu. Jerau jantung hatimu yang setiap saat ingin mengejar – mencari mati agar esok aku bisa berharap terlahir kembali dalam kekal ingatanmu yang sungguh kutahu betapa pongah itu.
Okober 2015”
―
II. Kitab Lengkara
Tetapi nama siapa nanti yang akan tertera sempurna dalam kitab lengkara, namamukah itu? Ia yang merasa menemu hakekat kebenaran pada ihwal kehidupan yang konon pernah dijanjikan oleh para empu. Selain kilas wajah sebalik topeng atau barangkali sebuah persona kepada siapa engkau mempersembahkan setiap tetes darah yang dengan susah-payah engkau titikkan lewat bujuk rayu atau keras hardikanmu? Sekali badik ditarik pantang kembali ke dalam sarung sebelum ia puas menikam.
Tapi demi satu cintaku Tusuklah daku, Sayangku. Tetaklah tubuhku. Tebah - dedahlah dadaku dengan kelebat amarahmu. Tapi jangan engkau abaikan aku. Jangan kautenung aku dengan kilau tatap matamu. Jerau jantung hatimu yang setiap saat ingin mengejar – mencari mati agar esok aku bisa berharap terlahir kembali dalam kekal ingatanmu yang sungguh kutahu betapa pongah itu.
Okober 2015”
―
“PANGKUR :
(Fragmentarium 20 Tikaman Sunyi)
1
Petir sumbang.
Langit menegang, pelat baja
dipalu dari sisi terdalamnya.
2
Hujan turun cairan asam:
mengikis mata
wajah tinggal topeng tanpa riwayat.
3
Dunia:
arca yang disembah oleh bayang-bayang sendiri.
Kesadaran:
batu yang tak lagi mengingat wujudnya.
4
Musim menggeram.
Setiap butir air menyimpan dendam yang tidak meminta ampun.
5
Manusia menelanjangi nama sendiri.
Makian.
Ancaman.
Pisau tersembunyi di sela sendi.
6
Belati membelah tanah.
Anak Adam melukail
tidak membunuh,
hanya memastikan yang lain
masih berdarah.
7
Kemanusiaan menjadi kabut:
ruh melayang,
mencari raga yang hilang.
8
Abu menyelimuti wajah.
Rambut kaku berdiri
kawat meregang luka.
9
Nyeri merayap ke dasar tengkorak,
seperti kawanan semut tersesat
di rongga telinga.
10
Genderang perang bertalu.
Langit menganga—
menelan semua gerhana.
11
Di tanah ini, mimpi mati terlebih dulu.
Merpati jatuh tertembak peluru
gagal mengirim pesan.
12
Hujan tidak bernyanyi.
Cuaca patah. Waktu terbelah.
Bumi mengerut menjadi bangkai
di paruh gagak.
13
Dubuk mencabik serpihan nama.
Sejarah runtuh sebelum sempat ditulis.
14
Duri menajamkan bulu mata.
Setiap helai rambut menghitung
hari kematian
dengan ketelitian seorang algojo.
15
Isak terperangkap, ruang tak
mengenal waktu.
Jerit menjadi kubur,
cat mengelupas di dinding bunker.
16
Manusia lelah mencari nama.
Nama lelah mencari manusia.
17
Peradaban tenggelam tanpa suara.
Jelaga menggambar kerangka kota
yang lupa asal-usulnya.
18
Siluet hantu melintas sunyi
dengan mata menyala,
bukan karena amarah—
hanya tak punya tempat
untuk kembali.
19
Mawar diinjak
tanpa ritual.
Tanpa pamit.
Tanpa air mata.
20
Sunyi pecah.
Waktu retak.
Detak berhenti
lalu diam, seperti kerikil
kehilangan gravitasi.
Desember 2025”
―
(Fragmentarium 20 Tikaman Sunyi)
1
Petir sumbang.
Langit menegang, pelat baja
dipalu dari sisi terdalamnya.
2
Hujan turun cairan asam:
mengikis mata
wajah tinggal topeng tanpa riwayat.
3
Dunia:
arca yang disembah oleh bayang-bayang sendiri.
Kesadaran:
batu yang tak lagi mengingat wujudnya.
4
Musim menggeram.
Setiap butir air menyimpan dendam yang tidak meminta ampun.
5
Manusia menelanjangi nama sendiri.
Makian.
Ancaman.
Pisau tersembunyi di sela sendi.
6
Belati membelah tanah.
Anak Adam melukail
tidak membunuh,
hanya memastikan yang lain
masih berdarah.
7
Kemanusiaan menjadi kabut:
ruh melayang,
mencari raga yang hilang.
8
Abu menyelimuti wajah.
Rambut kaku berdiri
kawat meregang luka.
9
Nyeri merayap ke dasar tengkorak,
seperti kawanan semut tersesat
di rongga telinga.
10
Genderang perang bertalu.
Langit menganga—
menelan semua gerhana.
11
Di tanah ini, mimpi mati terlebih dulu.
Merpati jatuh tertembak peluru
gagal mengirim pesan.
12
Hujan tidak bernyanyi.
Cuaca patah. Waktu terbelah.
Bumi mengerut menjadi bangkai
di paruh gagak.
13
Dubuk mencabik serpihan nama.
Sejarah runtuh sebelum sempat ditulis.
14
Duri menajamkan bulu mata.
Setiap helai rambut menghitung
hari kematian
dengan ketelitian seorang algojo.
15
Isak terperangkap, ruang tak
mengenal waktu.
Jerit menjadi kubur,
cat mengelupas di dinding bunker.
16
Manusia lelah mencari nama.
Nama lelah mencari manusia.
17
Peradaban tenggelam tanpa suara.
Jelaga menggambar kerangka kota
yang lupa asal-usulnya.
18
Siluet hantu melintas sunyi
dengan mata menyala,
bukan karena amarah—
hanya tak punya tempat
untuk kembali.
19
Mawar diinjak
tanpa ritual.
Tanpa pamit.
Tanpa air mata.
20
Sunyi pecah.
Waktu retak.
Detak berhenti
lalu diam, seperti kerikil
kehilangan gravitasi.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
