Esoteris Quotes

Quotes tagged as "esoteris" Showing 1-1 of 1
Titon Rahmawan
“Palsu I — (Dark, Esoteric, Psychospiritual Version)

Bagaimana mereka meninggalkanmu terperangkap dalam sumur itu?
Seperti berjalan sendirian di bawah hujan yang jatuh tanpa suara,
membiarkan tubuhmu memudar perlahan
di antara tetes air yang tak lagi mengenali gravitasi.

Seperti ban truk meledak di tanjakan
maut menyambar seperti kilat,
dan tak seorang pun selamat.
Seperti seorang perawan yang kehilangan kesuciannya
bukan oleh tangan asing,
melainkan oleh cermin yang memantulkan wajah yang bukan dirinya.

Langit tidak tertawa untuk kesedihan semacam itu.
Beberapa orang berlarian di tengah lapangan
dengan ketelanjangan yang mereka ciptakan sendiri,
tak tahu apakah dunia patut ditangisi atau disumpahi.

Tidak seperti pelacur yang berdiri
di pinggir jalan
meniru Aphrodite dengan keberanian imitasi—tetap merasa suci,
karena tak ada yang tersisa
untuk dicemari.
Seekor babi berjalan terengah,
sementara yang lain bergulingan di tanah
seakan lumpur itu adalah rumah mereka yang hilang.

Kita tak sedang membaca ode
untuk bintang-bintang yang sekarat di langit.
Langit hanyalah rongga hitam tanpa lazuardi,
rumput kehilangan kehijauannya
seperti ingatan terakhir seseorang yang terhapus oleh waktu.
Mata tertutup oleh gumpalan awan
dan kesedihan yang tak lagi mampu mengeja dirinya.
Nanar matanya menghantam jendela
yang tak membuka apa pun kecuali pertanyaan yang tak punya jawaban.

Pintu-pintu terbuka tanpa petunjuk arah.
Jalan-jalan mati, lampu-lampu padam;
kebisuan lebih mencekam
daripada sunyi di tengah kuburan
yang lupa nama-nama yang dikandungnya.

Siapa yang masih berani bertanya:
Mungkinkah darah tetap berwarna merah?
Sedang lagu tak lagi terdengar seperti kicauan burung—
dan burung sudah lama berhenti berkicau
karena dunia menolak mendengar.

Ketika mata tertumbuk ketelanjangan di mana-mana—
di televisi, papan reklame, musik dari radio,
halaman-halaman majalah yang dibaca sampai robek—
mari kita pergi dari sini.
Pergi ke mana saja:
ke sebuah pulau yang kesepian,
ke sealur sungai yang tak berkawan,
ke laut yang kehilangan rasa asinnya,
ke semenanjung tanpa nama
yang tak pernah tersentuh kaki para nahkoda.

Di tempat asing itu,
seseorang menyalakan api
lalu memotret dirinya sendiri
hanya ingin memastikan
bahwa ia masih ada.
Seorang gadis berambut pirang
menikmati es krim coklat sambil membayangkan kekasihnya
yang bahkan sudah lupa namanya.
Gadis lain mengulang peristiwa yang tak pernah ia punya,
sementara yang lain memutar waktu
seperti hendak menangkap peristiwa
yang bukan miliknya.

Bukankah mengherankan,
dunia tidak berputar dari kiri ke kanan,
orang-orang tidak berjalan mundur.
Namun entah mengapa
begitu banyak dari mereka kehilangan kaki
dan pegangan pada diri sendiri.
Merasa tua dalam sekejap,
menjadi bayangan dari masa lalu
yang menolak mati meski tak sungguh hidup.

Seorang kakek ingin melihat pangkal yang tak berujung,
seorang bayi baru lahir melihat ujung yang tak berpangkal.
Para pujangga menari
di saat jutaan lainnya kehilangan keinginan
untuk mencintai dunia.
Para filsuf melompat dari halaman kitab penuh pemikiran
yang sebenarnya tak membutuhkan pembaca.
Berapa banyak artis kehilangan akal,
menggadaikan harga diri
demi sebuah adegan persetubuhan.

Seorang suami berkata kepada istrinya,
“Untuk mendapatkan kebahagiaan,
maka satu-satunya cara adalah melihatmu bahagia
bersama orang lain.”
Tidak semua orang memahami kejujuran atau kebodohan
semacam itu.
Mereka terus menebak-nebak:
apakah kebahagiaan itu sebuah tangga
atau sebuah sumur?

Seperti pikiran lancung
yang berusaha membubung ke langit
namun tenggelam ke dasar samudra
karena tak tahu cara berenang.
Begitulah manusia yang kita kenal—mereka menciptakan
penjara ilusi yang mereka sebut:
identitas.

November 2025”
Titon Rahmawan