Psikospiritual Quotes

Quotes tagged as "psikospiritual" Showing 1-3 of 3
Titon Rahmawan
“Palsu I — (Dark, Esoteric, Psychospiritual Version)

Bagaimana mereka meninggalkanmu terperangkap dalam sumur itu?
Seperti berjalan sendirian di bawah hujan yang jatuh tanpa suara,
membiarkan tubuhmu memudar perlahan
di antara tetes air yang tak lagi mengenali gravitasi.

Seperti ban truk meledak di tanjakan
maut menyambar seperti kilat,
dan tak seorang pun selamat.
Seperti seorang perawan yang kehilangan kesuciannya
bukan oleh tangan asing,
melainkan oleh cermin yang memantulkan wajah yang bukan dirinya.

Langit tidak tertawa untuk kesedihan semacam itu.
Beberapa orang berlarian di tengah lapangan
dengan ketelanjangan yang mereka ciptakan sendiri,
tak tahu apakah dunia patut ditangisi atau disumpahi.

Tidak seperti pelacur yang berdiri
di pinggir jalan
meniru Aphrodite dengan keberanian imitasi—tetap merasa suci,
karena tak ada yang tersisa
untuk dicemari.
Seekor babi berjalan terengah,
sementara yang lain bergulingan di tanah
seakan lumpur itu adalah rumah mereka yang hilang.

Kita tak sedang membaca ode
untuk bintang-bintang yang sekarat di langit.
Langit hanyalah rongga hitam tanpa lazuardi,
rumput kehilangan kehijauannya
seperti ingatan terakhir seseorang yang terhapus oleh waktu.
Mata tertutup oleh gumpalan awan
dan kesedihan yang tak lagi mampu mengeja dirinya.
Nanar matanya menghantam jendela
yang tak membuka apa pun kecuali pertanyaan yang tak punya jawaban.

Pintu-pintu terbuka tanpa petunjuk arah.
Jalan-jalan mati, lampu-lampu padam;
kebisuan lebih mencekam
daripada sunyi di tengah kuburan
yang lupa nama-nama yang dikandungnya.

Siapa yang masih berani bertanya:
Mungkinkah darah tetap berwarna merah?
Sedang lagu tak lagi terdengar seperti kicauan burung—
dan burung sudah lama berhenti berkicau
karena dunia menolak mendengar.

Ketika mata tertumbuk ketelanjangan di mana-mana—
di televisi, papan reklame, musik dari radio,
halaman-halaman majalah yang dibaca sampai robek—
mari kita pergi dari sini.
Pergi ke mana saja:
ke sebuah pulau yang kesepian,
ke sealur sungai yang tak berkawan,
ke laut yang kehilangan rasa asinnya,
ke semenanjung tanpa nama
yang tak pernah tersentuh kaki para nahkoda.

Di tempat asing itu,
seseorang menyalakan api
lalu memotret dirinya sendiri
hanya ingin memastikan
bahwa ia masih ada.
Seorang gadis berambut pirang
menikmati es krim coklat sambil membayangkan kekasihnya
yang bahkan sudah lupa namanya.
Gadis lain mengulang peristiwa yang tak pernah ia punya,
sementara yang lain memutar waktu
seperti hendak menangkap peristiwa
yang bukan miliknya.

Bukankah mengherankan,
dunia tidak berputar dari kiri ke kanan,
orang-orang tidak berjalan mundur.
Namun entah mengapa
begitu banyak dari mereka kehilangan kaki
dan pegangan pada diri sendiri.
Merasa tua dalam sekejap,
menjadi bayangan dari masa lalu
yang menolak mati meski tak sungguh hidup.

Seorang kakek ingin melihat pangkal yang tak berujung,
seorang bayi baru lahir melihat ujung yang tak berpangkal.
Para pujangga menari
di saat jutaan lainnya kehilangan keinginan
untuk mencintai dunia.
Para filsuf melompat dari halaman kitab penuh pemikiran
yang sebenarnya tak membutuhkan pembaca.
Berapa banyak artis kehilangan akal,
menggadaikan harga diri
demi sebuah adegan persetubuhan.

Seorang suami berkata kepada istrinya,
“Untuk mendapatkan kebahagiaan,
maka satu-satunya cara adalah melihatmu bahagia
bersama orang lain.”
Tidak semua orang memahami kejujuran atau kebodohan
semacam itu.
Mereka terus menebak-nebak:
apakah kebahagiaan itu sebuah tangga
atau sebuah sumur?

Seperti pikiran lancung
yang berusaha membubung ke langit
namun tenggelam ke dasar samudra
karena tak tahu cara berenang.
Begitulah manusia yang kita kenal—mereka menciptakan
penjara ilusi yang mereka sebut:
identitas.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“SANG PENARI

V — Wirasa para Bayang Penanda

Pada malam di mana kota kehilangan listrik
dan cahaya hanya datang dari bara rokok para gelandangan,
Sang Penari memasuki ruang kosong
yang seakan dibangun dari gema ribuan panggung yang pernah runtuh.

Di sana, bayang-bayang empat maestro dunia
menunggu seperti para begawan dari peradaban yang jauh lebih tua.

—Mata kosong dari Teater Noh — “Hannya”—

Topeng iblis perempuan dari Jepang kuno itu
menggantung di udara seperti wajah kesedihan yang diawetkan.
Setiap denting langkah Sang Penari
menghidupkan memori ratusan aktor
yang pernah mengabdi pada ritual panggung
yang mengaburkan batas antara tubuh dan arwah.

Hannya berbisik:
“Kemarahan yang kau sembunyikan adalah dewa yang kelaparan.”

Dan Sang Penari pun bergerak
seolah sedang kerasukan,
memanggil monster yang ia takutkan.

—Bayang Lorca di Granada—

Dari kejauhan terlihat siluet Federico García Lorca,
penyair yang mati karena rezim yang membenci imajinasi.
Tubuhnya yang tak ditemukan
mengirimkan resonansi gelap ke dalam tarian itu.

Ia membawa gitar patah,
dan setiap petikan memanggil ingatan perang saudara
yang pernah memakan generasi muda Spanyol.

“Tarianmu bukan hiburan,” katanya,
“itu adalah pemberontakan sunyi terhadap sejarah yang lupa belajar.”

Sang Penari menekuk tubuhnya
seperti ingin memecahkan waktu
dan dari gerakan itu terpancar bintang-bintang.

—Siluet Anna Pavlova — The Dying Swan—

Dari kabut lampu panggung, muncul bayang ratu balet itu,
gaunnya tampak koyak, sayap putihnya hitam terbakar
seperti burung yang gagal melintasi api neraka.

Ia menari pelan,
penuh luka yang dilipat-lipat menjadi keanggunan.

“Tak ada kecantikan yang lahir dari kemenangan,”
bisiknya seperti bulu angsa yang tercerabut dari akarnya.
“Kecantikan hanya lahir dari kehancuran yang kau terima tanpa menunduk.”

Dan Sang Penari mengikuti geraknya:
sebuah tarian kematian yang memurnikan diri.

—Bayang Bhairava — Penari Kosmik India—

Dari dasar ruangan muncul langkah-langkah keras
dari Bhairava, aspek tergelap dari Śiva,
penari yang menari untuk menghancurkan dunia
agar dunia dapat dilahirkan kembali.

Rambut gimbalnya menyulut angin hitam,
lonceng-lonceng di pergelangan kakinya
menggetarkan mimpi buruk yang sejak lama ia tinggalkan.

“Kalau kau ingin hidup baru,” suara Bhairava membelah udara,
“tarianmu harus membinasakan dirimu yang lama.”

Dan Sang Penari mulai berputar dengan sangat cepat,
meninggalkan serpih-serpih identitas yang terlepas dari tubuhnya
seperti sisik ular yang terkelupas.

Agustus 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Sang Penari

VI — Perjumpaan Puncak — Litani Penanggalan Roh—

Keempat empu itu mengitari Sang Penari seperti konstelasi gelap yang menolak memberikan arah.

Topeng Hannya—membuka rahasia luka batin yang ia simpan sejak remaja.

Lorca—memberinya bahasa untuk mengutuk ketidakadilan yang ia alami.

Pavlova—mengajarinya bahwa keanggunan adalah bentuk terakhir dari keputusasaan.

Bhairava—menuntut ia menghabisi semua bentuk “aku” yang masih ia genggam.

Sang Penari bergerak di tengah mereka,
gerakannya membentuk huruf-huruf tak dikenal
seperti alfabet kuno dari peradaban yang hilang.

Ia menari sampai tubuhnya bukan tubuh,
waktu bukan waktu,
dan seluruh ruangan berubah menjadi ruang batin.

Di puncak putaran terakhir,
ia merasakan dirinya terbelah:
separuh menjadi angin,
separuh menjadi debu,
separuh lagi menjadi sesuatu yang tak memiliki wujud
namun menyimpan kecerdasan tak terlukiskan.

Dan tiba-tiba, sunyi.
Hannya jatuh menjadi topeng kosong.
Lorca lenyap seperti tembakan yang tak punya peluru.
Pavlova memudar menjadi serbuk putih.
Bhairava kembali menjadi cahaya merah gelap
yang mengalir ke tanah seperti darah dari dimensi lain.

Sang Penari berdiri sendirian.
Tapi ia bukan lagi manusia.
Ia adalah penanda,
arsip hidup tentang apa yang terjadi
ketika seseorang menari sampai inti jiwanya menghilang.

Dan dari ruang gelap itu,
sebuah suara tanpa bentuk terdengar:

“Kini kau bukan lagi penari.
Kau adalah tarian itu sendiri.”

Agustus 2025”
Titon Rahmawan