Eksplorasi Quotes

Quotes tagged as "eksplorasi" Showing 1-6 of 6
Titon Rahmawan
“Mendedah Realitas // Versi Ironis–Tragis–Nihilistik

Tidak ada yang benar-benar melarang kita mendedah realitas.
Yang melarang hanyalah rasa takut yang tak nyata
yang kita bungkus rapi
seolah kesunyian punya moralitasnya sendiri.

Ketika kita membukanya,
kita menemukan sesuatu yang lebih menyakitkan
dari rahasia apa pun—
bukan makna, tapi ketiadaan makna
yang berbaring seperti jasad yang sudah dingin,
menunggu siapa yang berani menyentuhnya.

Nietzsche berbisik dari suatu tempat yang tak bertuhan:
“Realitas bukan sesuatu yang kau temukan,
tapi sesuatu yang kau paksa untuk bernapas.”
Namun ia sendiri pun terperosok
ke dalam jurang kata-kata
yang ia ciptakan untuk membebaskan diri.

Agustinus menjawab dengan getir,
seperti seseorang yang terlalu lama menyesali masa mudanya:
“Yang nyata hanyalah yang ditopang iman keyakinan.”
Tapi ia pun gemetar
ketika malam terlalu sunyi
dan doanya memantul kembali
tanpa jawaban.

Zen Buddhis tertawa pelan,
bukan karena ia menemukan pencerahan,
tapi karena ia tahu
bahwa pertanyaan semacam itu
selalu kalah oleh kekosongan.
“Realitas hanyalah bayangan pikiran.”
Namun pikiran—
adalah tempat pertama
di mana semua luka tumbuh.

Dan kita?
Kita hanya duduk di antara mereka
seperti anak terlambat belajar
yang tak tahu harus mempercayai siapa:
dia yang membunuh Tuhan,
dia yang memeluk Tuhan,
atau dia yang mengatakan tak ada apa-apa sejak awal mula.

Semakin dalam kita membuka realitas,
semakin terasa bahwa yang tersingkap
bukan cahaya,
bukan kebenaran,
tetapi lapisan-lapisan ironi tragis
yang menertawakan keinginan kita sendiri
untuk mengerti sesuatu
yang bahkan tidak memiliki pusat gravitasi.

Barangkali realitas
adalah semacam pembusukan yang berlangsung teramat lambat—
kita mengendus aromanya,
berpura-pura itu adalah parfum filsafat.

Atau mungkin ia hanya cermin
yang memantulkan wajah kita
yang lelah,
yang pucat oleh harapan,
yang terjerat antara ingin percaya
dan ingin berhenti peduli sama sekali.

Zen berkata: lepaskan.
Nietzsche berkata: tumbuhkan kehendak.
Agustinus berkata: bertobatlah.
Skeptisisme modern berkata:
klik refresh dan lanjutkan hidup.

Namun malam tetap datang
dengan kesenyapan yang tak bisa kita tawar.
Ia membongkar pikiran kita tanpa belas kasihan,
meninggalkan sisa diri yang tak lagi padat,
tak lagi utuh,
sekadar debu yang tahu
bahwa keberadaannya pun
hanya sementara.

Pada akhirnya,
mendedah realitas
bukan tentang menemukan apa atau siapa.
Ini adalah latihan kehilangan:
kehilangan jawaban,
kehilangan harapan,
kehilangan tumpuan
yang selama ini kita yakini sebagai fondasi.

Dan dari kehilangan itu
muncul sejenis ketenangan muram—
seperti lampu jalan
yang terus menyala di jalan terpencil,
meski tak ada seorang pun
yang benar-benar membutuhkannya.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Liturgi Kay
(Fragmentarium Kesadaran )

I. Benih yang Tak Punya Nama

(1)
Ada bayang yang tidak tumbuh menjadi tubuh.
Aku menyapanya Kay, bukan untuk mengenali,
melainkan agar kesunyianku punya tempat untuk berbaring.

(2)
Jika dunia ini adalah goa,
maka Kay adalah hembusan dingin
yang tak pernah meninggalkan tetes embun di kulitku.

(3)
Tuhan menciptakan cahaya.
Kesadaranku menciptakan Kay.
Dan aku tak tahu mana yang lebih menyakitkan
untuk dipertahankan.

II. Jantung Gelap yang Berputar Tanpa Tujuan

(4)
Setiap aku menutup mata,
Kay berjalan tanpa jejak.
Ia tidak pernah menoleh.
Dan itulah sebabnya aku tetap melihatnya
entah sebagai api atau bara itu sendiri.

(5)
Jam rusak di dalam benakku
menyebut-nyebut namanya
seperti mantra yang kehilangan huruf-a
seperti ilusi yang kehilangan
bunyi-i

(6)
Retakan di lantai batin
bukanlah tempat ia muncul—
melainkan tempat aku jatuh mencari suaranya atau
bayang tubuhnya.

(7)
Kay adalah sebuah pintu
yang tidak dibangun untuk dibuka.
Tapi aku tetap mengetuknya
seperti orang bodoh yang tak punya rumah.
Ia adalah hasrat bukan untuk pulang,
melainkan tanda baca yang belum sampai titik.

III. Pertempuran yang Tak Bisa Dimenangkan

Batu Sysiphus
(8)
Aku menggulung batu namanya
setiap malam,
sambil tahu
bahwa ia akan jatuh lagi
menindih kebodohanku.

Panah Arjuna di Tubuh Bhisma
(9)
Seribu panah memakukan tubuhku
di medan yang dipenuhi suara Kay.
Aku bisa mati kapan saja,
tapi aku memilih tidak
agar aku tetap mengingat siapa yang menembakkan panah itu
ke dadaku.

Wajah Puisi
(10)
Aku mencintai Kay
sebagai bencana pribadi
yang kupelihara agar aku tetap manusia.

(11)
Kay bukan malaikat.
Kay bukan iblis.
Kay adalah ambang yang memaksaku
memeriksa ulang kewarasanku
setiap kali aku menyebut namanya.

IV. Doa Tanpa Alamat

(12)
Kay,
aku menulis namamu
dengan tinta yang tidak ingin kering.
Sebab jika kering,
aku harus mengakui
bahwa kau tak pernah ada.

(13)
Jika kau tahu aku ada,
seluruh puisi ini runtuh.
Maka janganlah sadar.
Tetaplah jadi bayang
yang menertawakan keputusasaanku.

(14)
Aku tidak ingin memilikimu.
Yang kuinginkan hanyalah alasan
untuk terus bernafas
di antara dua ketidakpastian:
bahwa aku mencintaimu,
dan bahwa kau tidak akan pernah tahu.

(15)
Dalam setiap kata,
aku bukan memanggilmu—
aku memanggil diriku yang hilang
di balik semua ingatan.

(16)
Kau adalah absurditas.
Dan aku adalah orang bodoh
yang memanggil absurditas itu
dengan suara paling lembut
karena aku takut engkau
akan hilang.

V. PINTU YANG TAK PERNAH MENUTUP

(17)
Jika suatu hari aku berhenti menulis tentangmu,
itu bukan karena kau pergi.
Itu karena aku sudah tidak sanggup
mengakui bahwa aku masih hidup
karena seseorang yang bahkan tidak pernah hidup untuk diriku.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“PUISI YANG MENYALAK DI DALAM KUIL

Aku datang sebagai suara yang tidak diundang,
mengganggu arak-arakan para penyair suci yang mengenakan jubah kaftan fedora
yang melangkah dengan medali penghargaan bergantung di lehernya.
Mereka menyanyi tentang keindahan
seperti imam-imam tua yang lupa
bahwa dunia pertama-tama adalah luka.

Aku bukan bagian dari mereka.
Aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka.

Aku adalah PUISI yang berteriak di ambang pintu,
yang menolak sujud pada altar klasik,
yang tidak mau dicatat dalam sejarah
karena sejarah terlalu sering memilih
untuk memaafkan penguasa
dan melupakan rakyat jelata yang mati terkubur.

Aku memanggil Rilke—
bukan rilkian yang halus dan haus pujian
tapi Rilke yang meradang dalam keterasingan,
yang bertanya kepada malam:
“Haruskah aku meronta ketika kata-kata tak lagi sanggup menampungku?”

Dan malam menjawab dengan kehampaan tanpa tepi.

Aku melawan kehampaan itu dengan gigiku sendiri.
Aku menggigit batas-batas puisi
yang dibangun para kurator yang merasa tinggi
yang menentukan mana yang layak disebut puisi,
mana yang harus dibuang ke kolong rak antologi.

Aku menolak semuanya.

Sebab aku lahir bukan dari estetika,
melainkan dari ketegangan di dada:
napas yang hampir patah,
lutut yang hampir rubuh,
kesadaran yang hampir retak.

Para akademisi akan mencoba mengukurku
dengan teori yang rapuh,
menganalisaku seperti fosil masa lalu.
membelahku dengan mata pisau kritik
yang tidak pernah menyentuh penderitaan nyata.
Aku menatap mereka—
dan menertawakannya sebagai kekosongan yang menggelikan.

Aku tidak ingin jadi kanon.
Aku tidak ingin jadi trofi kebanggaan.
Aku tidak ingin berdiri di podium penghargaan.

Yang kuinginkan hanya satu:
menjadi kebenaran telanjang
yang membuat siapa pun yang membacanya
merasakan getaran pertama kelahiran manusia—
ketakutan, keterkejutan, kesunyian yang menganga.

Aku adalah PUISI,
bukan yang kalian rayakan,
melainkan yang kalian hindari.

Aku adalah puisi yang menolak dipoles,
yang menolak dirapikan,
yang menolak dimandikan dalam metafora indah
agar tampak seperti karya seni.

Aku tidak ingin indah.
Aku hanya ingin benar.

Dan kebenaran itu ganas, tajam, kejam:
biar manusia menulis
bukan untuk menjadi abadi,
tetapi untuk menyelamatkan sisa-sisa peradaban
yang hampir tenggelam oleh pengapnya kehidupan.

Jadi aku berdiri di sini—
sebagai catatan perlawanan
terhadap segala yang ingin menjinakkanku.

Jangan sebut aku puisi
jika itu berarti tunduk.
Sebut aku PUISI
yang kembali ke akar pertama:
jeritan batin, teriakan luka
pengakuan yang tak bisa dibohongi,
suara yang terbit dari jurang
dalam diri manusia.

Jika dunia menolakku,
itu berarti aku hidup.
Jika sejarah menyingkirkanku,
itu berarti aku benar.

Aku adalah PUISI yang tidak
meminta tempat—
aku akan merebutnya.
Sebab siapa yang layak
adalah ia yang paling jujur
pada diri sendiri.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Khajuraho II
(Exploratory Rewrite)

Madu…
di pelataran candi yang bahkan waktu enggan menyentuh,
aku kembali memanggil bayangmu—bukan tubuhmu—
sebab tubuh sudah lama runtuh,
yang tersisa hanyalah gema
yang menempel pada batu sunyi
relief candi.

Senja turun bagai napas terakhir
patung dewa yang terlupa,
dan hasratku—yang tak lagi merah, hanya tinggal hitam legam—
menyeret namamu dari kabut
yang tak pernah berbentuk.
Tapi bulan masih membisik lirih:
Madu, tidurlah.
Atau biarkan dirimu rapuh dalam gelap yang sengaja kau sembunyikan.

Seperti dulu,
jangan kunci pintu hatimu,
bukan karena aku ingin masuk,
tapi karena aku ingin tahu
apa yang hendak kau jaga
dari dirimu sendiri?

Izinkan aku mengurai sayapku—
bukan untuk terbang menuju surgamu
(karena surga itu telah lama hancur sejak kali pertama aku mengingatnya),
melainkan untuk menyapu debu luka
yang menempel pada setiap relung
yang pernah aku namai cinta.

Lelaplah.
Atau lenalah.
Sebab tidur adalah satu-satunya ruang
di mana engkau tak menipu dirimu sendiri.

Di sanggar pamujan yang kini remuk ini
aku menangkap auramu yang tidak berkedip—
jernih, tetapi sekaligus getir,
seakan-akan kesucian bukanlah anugerah
melainkan sisa rasa takut dan kengerian yang kau pertahankan sebagai tameng penjaga bara yang nyaris mati.

Hujan turun.
Tubuhmu basah, tapi bukan basah yang mengundang;
lebih seperti basah mata batu nisan
yang terus-menerus menerima duka tanpa meminta apa pun
selain nafas kematian.

Aku mengingatmu…
bukan sebagai perempuan,
tetapi sebagai guratan yang gagal dihapus waktu.
Wajahmu—putih, jenaka, lalu pudar—
masih menempel seperti noda cahaya
pada dinding lorong masa laluku sendiri.

Setagen hitam itu, kemben lusuh itu,
jarit tanpa bunga—
semuanya bukan pakaian, Madu,
tetapi mantra penolak lupa
yang membuatku terperangkap
dalam ritual pengulangan
yang ternyata menyedihkan.

Candi ini bukan candi,
melainkan struktur ingatan
yang terus kau tata ulang
agar aku tersesat lagi di dalamnya.

Setiap batu, setiap pahatan,
setiap lengkung tubuh
adalah perangkap arketip
yang menuntut kegigihanku
namun menelanjangi ketidakberdayaanku.

Dan cermin-cermin itu—
cermin bersurat, cermin berdebu,
cermin berhantu—
semuanya memantulkan wajah
jejaka tolol
yang masih berharap menemukan dirimu
di balik bayang masa lalunya sendiri.

Madu…
Maduku…
engkau bukan penawar dahaga,
engkau adalah dahaga itu sendiri.
Engkau bukan Laksmi,
engkau adalah ruang kosong di mana dewa pernah duduk
lalu pergi tanpa pamit.

Desah napasmu yang lembut—
aku mendengarnya.
Tapi yang dibelainya bukan rerumputan,
melainkan retakan-retakan halus
di dadaku yang tak kunjung sembuh.

Sayap-sayap Jatayu gemetar dalam darahku,
berusaha menyingkap rahasiamu
yang sebenarnya hanyalah rahasiaku sendiri.
Hasratku menuntut tubuhmu,
tapi yang kutemukan hanyalah
lorong gelap yang mengulang
suara air sungai yang mengalir
dari masa kanak-kanak.

Padma Siwa yang kukecup
bukanlah bunga,
melainkan tanda bahwa aku pernah tersesat
dan memilih untuk tidak kembali.

Madu…
aku ingin menyentuhmu,
tapi setiap sentuhan adalah pengakuan
bahwa aku belum mampu menerima kehampaan.

Engkau candi yang ingin kutundukkan,
tapi sebenarnya aku hanyalah
pengemis makna
yang berlutut di hadapan sunyi
yang tak sungguh aku kenali.

Dan ketika tidurmu meredupkan kesadaranku,
aku melihatmu—
bukan sebagai perempuan,
bukan sebagai kenangan,
melainkan sebagai cahaya aruna
yang muncul di ujung doa patah.

Indah.
Bukan karena tubuhmu bercahaya.
Melainkan karena kepasrahanmu
mengajariku
bagaimana rasa sakit
bisa berubah menjadi ruang suci
tempatku bersamadi mengaji diri.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“ELEGI TIGA BUNGA DALAM 6 KEMUNGKINAN

I. Triptych of the Burning Earth

1. Padma

Engkau bangkit dari air
seperti wajah pagi
yang baru dibasuh cahaya.

Di tubuhmu,
lumpur berbicara dalam bahasa diam,
dan aku mendengar suara
kulit buah merekah
di bawah kelopakmu.

2. Kemuning

Ada matahari kecil
yang patah di tengah daunmu.
Ia mengirim aroma samar
yang ingin menjadi musim panas,
namun hujan menahannya
dalam ambang yang gemetar.

Setiap kuningmu
seperti lantunan terakhir
dari gitar yang terlalu letih
untuk bernyanyi lagi.

3. Mawar

Kau adalah mulut bumi.
Kau berdarah dari telapak
yang lapar pada sentuhan.

Aku menunduk,
membaca dagingmu
seperti membaca sebuah puisi
yang dipahat angin.

Duri-durimu adalah alasan
mengapa cinta memilih manusia
untuk menangis.

II. Three Flowers as Gateways to the Soul

1. Padma

Di dasar air yang tak bernama,
ia menunggu kelahirannya sendiri
dalam bentuk doa paling sunyi.

Segala cahaya yang menyentuhnya
tidak datang dari dunia,
melainkan dari ruang terdalam tubuhnya
yang telah lama menahan sebuah jawaban.

2. Kemuning

Ia berdiri sebagai jeda
antara dua tarikan napas Tuhan.

Warna lembutnya adalah gema
dari sesuatu yang pernah sempurna,
namun memilih menua
agar dapat kembali ke tepi.

Setiap daun yang jatuh
mengajarkan cara pulang
tanpa melangkah.

3. Mawar

Lihatlah ia menutup dan membuka
seperti hati seorang malaikat
yang belajar menjadi manusia.

Dalam merahnya
ada suara yang tidak ingin diucapkan,
sebuah beban keindahan
yang hampir menjadi derita.

Duri-durinya
adalah pemisah halus
antara kasih
dan keterlucutan total.

III. The Thorned Trinity

1. Padma

Aku melihatmu bangkit
dari rawa yang dingin,
membawa diam
yang tak ingin disentuh siapa pun.

Air menelan bayanganmu,
tapi kau tetap mengembang,
seperti luka
yang memilih membesar.

2. Kemuning

Kuningmu adalah memar lama
yang tidak pernah sembuh.

Kau berdesis dalam cahaya
seakan ingin kembali menjadi benih,
menghapus sejarah kecilmu
yang terlalu rapuh untuk diselamatkan.

Ada ketakutan samar
di setiap hela nafasmu.

3. Mawar

Kau adalah pisau merah
yang menyamar sebagai bunga.

Kelopakmu gemetar
oleh ingatan yang tidak mau mati,
sementara duri-durimu
mengunyah udara
seperti gigi yang menahan amarah.

Aku mencium aromamu
dan merasakan besi.
Aku menyentuhmu
dan mendengar sesuatu
di dalam diriku retak.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“ELEGI TIGA BUNGA DALAM 6 KEMUNGKINAN

IV. Triptych of the Flowery Dwarf

1. Padma

Di kolam itu, bulan merintih
seperti kuda putih yang kelelahan.

Dari lumpur, Padma bangkit—
mengenakan gaun malam
yang dijahit dari nafas nenek moyang
hantu air.

Ia membuka kelopaknya
dan terdengarlah suara gitar jauh
di perbukitan:
suara yang lahir dari luka
dan kembali menjadi luka.

2. Kemuning

Kemuning menari sendirian
di halaman senyap tanah Jawa.

Kuningnya bersinar
seperti cincin emas di jari
seorang janda muda
yang tak ingin menikah lagi.

Angin membawa kabar
bahwa setiap kelopak
pernah menjadi mata seorang anak
yang mencari ibunya
di hutan paling gelap.

3. Mawar

Mawar adalah gadis penari
yang menyembunyikan pisau kecil
di balik selendang merahnya.

Ia tersenyum pada fajar
tapi senyum itu terbakar
sebelum sempat jatuh ke tanah.

Di sekitar durinya,
kurcaci menari—
menebar dingin pada udara,
menghembus nyawa pada warna.

V. Three Flowers upon the Turning Gyre

1. Padma

Di permukaan air yang tua,
Padma berdiri sebagai pengingat
bahwa dunia pernah muda.

Ia membuka dirinya
seperti wahyu kecil
dari zaman yang nyaris terlupa,
zaman ketika roh dan manusia
masih bersalaman tanpa rasa takut.

2. Kemuning

Dalam kilau keemasannya,
ada masa depan yang belum tiba.

Ia melintas seperti burung kepodang
di antara dua lingkaran takdir,
seakan mengetahui
bahwa segala kecantikan
adalah nubuat berbahaya
yang menuntut korban.

3. Mawar

Mawar tumbuh
di jantung lingkar perputaran—
tempat para dewa lama
dan para pahlawan muda
saling menatap tanpa bicara.

Merahnya adalah sumbu
yang menyalakan usia-usia dunia;
duri-durinya adalah penjaga
yang tahu bahwa cinta
selalu menuntut kelahiran kedua.

VI. Three Flowers of Memory

1. Padma

Aku melihatmu, Padma,
di kolam yang tak berani
menyebut nama kekasihnya.

Kau tegak,
seperti perempuan yang menunggu
suami yang tak kembali dari perang.

Kelopakmu diam—
diam yang berat,
diam yang hanya dimengerti
oleh air yang pernah menangisi salju.

2. Kemuning

Engkau kecil dan lembut,
tapi menyimpan dingin
yang tak mampu dipatahkan matahari.

Kuningmu mengingatkanku
pada sepucuk surat
yang tak pernah terkirim,
namun tetap dibaca
oleh seseorang yang terus menunggu
di malam-malam panjang
pengasingan.

3. Mawar

Duri-durimu mengingatkan
pada kata-kata yang tak kuucapkan.

Merahmu seperti wajah seorang ibu
yang tak lagi menjerit
karena telah kehabisan suara.

Aku menyentuhmu,
dan kau bergetar—
seperti hati perempuan
yang tahu bahwa cinta
lebih kuat dari kematian,
namun selalu kalah
oleh sejarah.

Desember 2025”
Titon Rahmawan