Luka Quotes
Quotes tagged as "luka"
Showing 1-30 of 56
“Para ibu selalu mempunyai tempat untuk menampung duka, lalu mengecupnya dan bangkit.”
― Tanah Perempuan
― Tanah Perempuan
“Buat apa ia pelihara luka hati yang cuma bikin matanya berair?”
― Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
― Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
“…Dunia ini penuh dengan keajaiban karena hal-hal yang tidak masuk akal masih terus berlangsung. Seorang fotografer ingin membagi duka dunia di balik hal-hal yang kasat mata….para fotografer membagi pandangan, tetapi yang memandang fotonya ternyata buta meskipun mempunyai mata. Keajaiban dunia adalah suatu ironi, di depan kemanusiaan yang terluka, manusia tertawa-tawa.”
― Kisah Mata: Fotografi antara Dua Subyek : Perbincangan tentang Ada
― Kisah Mata: Fotografi antara Dua Subyek : Perbincangan tentang Ada
“kalau suatu hari kamu bersedih dan hatimu merasa bagai terluka, mungkin aku belum bisa menjadi penghibur sempurna bagimu. kesedihan pasti akan tetap berada di hati dan bergerak mempengaruhi otakmu. dan kalau kamu mengungkapkan bahwa diriku penyebab kesedihanmu, entah bagaimana aku akan meminta maaf padamu. barangkali aku akan memarahi diriku sendiri hingga separuh diriku ikut membenciku. dengan begitu aku berharap kamu bisa melihat betapa penyesalanku telah melukaimu harus kubayar dengan membenci diri sendiri. seandainya hatimu belum menerima penawar itu, aku tahu harus melakukan apa untuk berusaha menyembuhkan hatimu dan mengembalikannya seutuh selayaknya hati bahagia. mintalah apa yang tak bisa aku lakukan, itu akan aku lakukan dengan segala nurani. malam akan aku tantang untuk berhenti mengutari bumi dan matahari aku tahan dari edarannya.
kalau kamu sedang sendiri, katakan di mana kamu ingin aku menjemputmu supaya kita bisa berjalan berdua dan menggiring jarum jam melaju lebih kencang. tunjuklah titik kecil di langit malam, aku akan mendekati malaikat dan merayunya agar rela mengantarku mengambilnya dan memberikannya padamu agar menemanimu dan kesepian menjauhimu. kalau kamu sedang sendirian di dekat jendela kamarmu sambil menungguku, lihatlah ke arah utara, angin gunung mengantarkan rinduku buatmu. kalau hari ini kamu adalah diriku, cintailah dengan hatimu”
―
kalau kamu sedang sendiri, katakan di mana kamu ingin aku menjemputmu supaya kita bisa berjalan berdua dan menggiring jarum jam melaju lebih kencang. tunjuklah titik kecil di langit malam, aku akan mendekati malaikat dan merayunya agar rela mengantarku mengambilnya dan memberikannya padamu agar menemanimu dan kesepian menjauhimu. kalau kamu sedang sendirian di dekat jendela kamarmu sambil menungguku, lihatlah ke arah utara, angin gunung mengantarkan rinduku buatmu. kalau hari ini kamu adalah diriku, cintailah dengan hatimu”
―
“Also, on account of the odd relationship between time and space, the people who do manage to time-jump sometimes space-jump at the same time and end up in places where they simply don't belong. Over there, for example," he said as a raucous DeLorean sports car rared into view from nowhere, "is that crazy American professorwho can't seem to stay put in one time, and, I must say, there is an absolute plague of of killer robots from the future being sent to change the past. Sleeping there under that banyan tree is a certain Hank Morgan of Hartford, Connecticut, who was accidentally transported one day back to King Arthur's Court, and stayed there until Merlin put him to sleep for 1300 thirteen hundred years. He was suppsoed to wake up back in his own time, but look at this lazy fellow! He's still snoring away, and has missed his slot.”
― Luka and the Fire of Life
― Luka and the Fire of Life
“Aku menyimpannya sendiri. Karena belum punya keberanian untuk menanyakannya pula. Kuatir kalau jawabannya malah membuatku sakit dan terluka.”
― Ayah, Lelaki Itu Mengkhianatiku
― Ayah, Lelaki Itu Mengkhianatiku
“Aku ingin mengabu saja, menyublim, bahkan kalau mungkin moksa, menghilang tanpa jejak. Sehingga tidak perlu mengalami seluruh kesakitan dan kelukaan ini.”
― Ayah, Lelaki Itu Mengkhianatiku
― Ayah, Lelaki Itu Mengkhianatiku
“Untuk mencintai atau tidak mencintai, kurasa tidak perlu dengan melukakan.
Atau justru perlu?”
― Just in Love
Atau justru perlu?”
― Just in Love
“Kita berada di suatu masa ketika saling membagikan senyum namun dalam hati ada kepahitan yang mengalahkan racun. Saat itulah kita begitu ramah dan hampir saling membunuh. Adakah ruang untuk cinta, sebelum semuanya menjadi duka…?”
―
―
“Cinta itu berkesan ketika tidak dimiliki. Namun, hati tetaplah hati, yang terluka bagaimana pun sembuhnya tetap akan membekas.”
― Surat Hujan
― Surat Hujan
“Maaf, mungkin terasa janggal
Maaf, sudah membuat diriku sendiri terluka
Maaf, sudah banyak malu yang kubuat
Maaf, aku.”
―
Maaf, sudah membuat diriku sendiri terluka
Maaf, sudah banyak malu yang kubuat
Maaf, aku.”
―
“I will make sure you never know peace’, I promised.
‘I have never known such a thing’, Luka replied.”
― The Poisoner
‘I have never known such a thing’, Luka replied.”
― The Poisoner
“jangan bicara di sini
diam atau tidur saja
kerana suara adalah kaca
yang hanya mencipta luka demi luka
— semata luka
(kerana suara adalah kaca)”
― Fajar Lingkung Lembayung
diam atau tidur saja
kerana suara adalah kaca
yang hanya mencipta luka demi luka
— semata luka
(kerana suara adalah kaca)”
― Fajar Lingkung Lembayung
“Aku hanya setetes lelah yang mencari samudera untuk meneteskan diri dan membaur dengan tetesan-tetesan lain, entah dengan ratusan tetes bahagia atau bahkan tercampur dengan ribuan tetes luka.”
―
―
“Aku sangat mencintaimu hingga hati ini terasa sakit.
Apakah kamu datang ke sini hanya untuk melihat seberapa dalam lukaku?”
―
Apakah kamu datang ke sini hanya untuk melihat seberapa dalam lukaku?”
―
“Jika kau masih ingin hidup, cara paling ampuh menyembuhkan satu luka adalah menutupinya dengan luka yang lebih besar.”
―
―
“Mencintaimu seperti berharap pada cuaca laut ketika badai hendak terjadi. Kamu tak pernah tahu apa yang ada di dalamnya. Petir, taifun, atau ombak besar yang bisa membuat perompak paling jahil ciut nyali. Aku ingin sekali saja tidak percaya bahwa semesta itu demikian adil, bahwa kesalahanku di masa silam akan dibalaskan setimpal.”
― eminus dolere
― eminus dolere
“Ketika kamu merasakan gelagat luka
Berfikirlah rasional
Hilangkan imajinasi keindahan
Rubahlah segera sebelum betul betul menjelma menjadi luka
Kamu harus tau bahwa luka itu menyelinap di segala sisi nadi
Mengacaukan kerja otak dan hati
Dan sedikit membuat dirimu lunglai
Ketika kamu mengambil keputusan
Bahagiakan dirimu terlebih dahulu
Setelah itu biarkan langit mengulum mendung”
―
Berfikirlah rasional
Hilangkan imajinasi keindahan
Rubahlah segera sebelum betul betul menjelma menjadi luka
Kamu harus tau bahwa luka itu menyelinap di segala sisi nadi
Mengacaukan kerja otak dan hati
Dan sedikit membuat dirimu lunglai
Ketika kamu mengambil keputusan
Bahagiakan dirimu terlebih dahulu
Setelah itu biarkan langit mengulum mendung”
―
“SUNYA RURI
Dalam ruang yang menelan semua suara,
sebelum gema sempat lahir,
aku mendengarnya—
batin suwung yang lebih lembut daripada embusan roh saat keluar dari ubun-ubun bayi yang baru lahir.
Ia tidak datang sebagai ancaman,
tidak pula sebagai pelipur,
melainkan sebagai bayangan purba
yang pernah berdiri di sampingku
ketika aku belum sepenuhnya menjadi manusia.
"Monggo pinarak..." bisiknya lirih,
selembut abu dupa yang jatuh dari piringan gerabah.
"Aja sumelang. Sepi ora bakal nglarani,"
"kejaba tumrap jiwa kang sinangkèr ing jeroning raga."
Aku tidak menjawab, hanya berusaha memahami.
Suwung tidak membutuhkan jawaban.
Ia telah berada dalam nadiku sejak sebelum aku sadar aku punya tubuh.
Lewat tatapannya yang tidak berkelopak,
aku melihat ulang diriku sendiri
seperti cuplikan upacara kematian kecil-kecilan:
detik ketika harapan direbahkan,
detik ketika aku membunuh sesuatu dalam diriku
tanpa tahu apa yang sebenarnya ingin kuakhiri—
nyeri atau ketidakpastian.
"Ngertenono..."
bisiknya lembut,
seolah mencatat sesuatu pada lontar tak terlihat.
"Sliramu nyepélékaké akalmu, padhahal kuwi mung bocah lugu
sing kok kunci ing sanggar pamujan sing suwé ora kok buka—
ngantemi gapura nganti tangané dadi pringga swara."
Aku menelan kekosongan itu.
Suwung memiringkan tubuhnya pelan,
seakan menghirup aroma ketakutanku
seperti kemenyan yang baru menyala.
“Apa tresna mbingungake atimu?”
suara itu menelusup lembut.
"Sliramu takon jujuring liyan,
déné awakmu dhéwé nganggo klambiné cidra
kang wus dadi jubah ngebaki raga—
nganti awakmu lali,
ing ngendi mapané cahyaning pasuryan asli.”
"Lan ing saben dina, kok ndhudhuki wewayangan,
amung nedya nemu kulit garing
tanpa isèn-isèn katresnan.”
Kesunyian mengental.
Ia menaruh telinganya di dadaku
seakan mendengarkan gending yang patah ritmenya.
“Payokna..." bisiknya lirih
"Amarga ana swara anom ing jeroning kalbu
kang tansah kok sédani déning karepmu dadi lumrah,
arep tinampa ing bebrayan agung,
lan kapéngin tan ngrépotaké sapa-sapa.”
"Nanging, apa artiné tentrem,
yèn saben napasmu mung gema saka kersané liyan?
Bukakna lawang sanggar kasepèn,
sawangen cahyané dhéwé ing jeroning pepeteng."
Ia menutup mata.
Sunyi Ruri menyetel dirinya pada frekuensi yang bahkan para leluhur pun tak berani sentuh.
“Swara kuwi…”
bisiknya hampir tak terdengar,
"Kaya déné cempening mendha ing padhang,
kang lumayu ing palataran laramu kang lawas."
"Dheweke sesambat dudu amarga arep kinurban,
nanging awit dheweke wis ngerteni:
yèn sliramu tan nate bali
kanggo nylametke."
Tubuhku gemetar.
Suwung tersenyum tipis,
seperti retakan kecil pada batu padas.
“Lara Ati..."
ucapnya lirih.
“Kuwi satunggaling sato alus.
Dheweke tansah ngentèni.
Dheweke tan lumaku menyang ngendi-ngendi.
Dheweke lungguh—
kaya déné aku—
kanthi sabar nunggu wektu,
nalika sliramu pungkasané wani
mandheg anggènira lumayu.”
Aku kaku seperti arca yang siap dipahat ulang.
“Sliramu kepéngin dadi béda,”
suara itu meluncur lembut,
“nanging, kamulyan tan lair saka panulakan.
Kamulyan tuwuh saka jeroning wantèr
kang wani mbukak gapura dhiri
kang njalari kalbunira gumeter.”
Ia bergerak mendekat.
Bisikannya menusuk pori-poriku:
“Yèn sliramu kepéngin sirep
saka swaraning cempe kang kebak sangsara kuwi..."
"Sliramu kudu bali.
Mulih menyang papan kang sinengker
ing ngendi rare kuwi nemoni pati kaping sepisan.”
Aku memejamkan mata.
Dan saat itulah aku paham—
kesunyian bukan lagi musuh,
bukan lagi kehampaan yang mencekik,
melainkan satu-satunya suara
yang sanggup menampung semua jeritan.
tanpa murka
tanpa pamrih
tanpa vonis
hanya ikhlas.
Desember 2025”
―
Dalam ruang yang menelan semua suara,
sebelum gema sempat lahir,
aku mendengarnya—
batin suwung yang lebih lembut daripada embusan roh saat keluar dari ubun-ubun bayi yang baru lahir.
Ia tidak datang sebagai ancaman,
tidak pula sebagai pelipur,
melainkan sebagai bayangan purba
yang pernah berdiri di sampingku
ketika aku belum sepenuhnya menjadi manusia.
"Monggo pinarak..." bisiknya lirih,
selembut abu dupa yang jatuh dari piringan gerabah.
"Aja sumelang. Sepi ora bakal nglarani,"
"kejaba tumrap jiwa kang sinangkèr ing jeroning raga."
Aku tidak menjawab, hanya berusaha memahami.
Suwung tidak membutuhkan jawaban.
Ia telah berada dalam nadiku sejak sebelum aku sadar aku punya tubuh.
Lewat tatapannya yang tidak berkelopak,
aku melihat ulang diriku sendiri
seperti cuplikan upacara kematian kecil-kecilan:
detik ketika harapan direbahkan,
detik ketika aku membunuh sesuatu dalam diriku
tanpa tahu apa yang sebenarnya ingin kuakhiri—
nyeri atau ketidakpastian.
"Ngertenono..."
bisiknya lembut,
seolah mencatat sesuatu pada lontar tak terlihat.
"Sliramu nyepélékaké akalmu, padhahal kuwi mung bocah lugu
sing kok kunci ing sanggar pamujan sing suwé ora kok buka—
ngantemi gapura nganti tangané dadi pringga swara."
Aku menelan kekosongan itu.
Suwung memiringkan tubuhnya pelan,
seakan menghirup aroma ketakutanku
seperti kemenyan yang baru menyala.
“Apa tresna mbingungake atimu?”
suara itu menelusup lembut.
"Sliramu takon jujuring liyan,
déné awakmu dhéwé nganggo klambiné cidra
kang wus dadi jubah ngebaki raga—
nganti awakmu lali,
ing ngendi mapané cahyaning pasuryan asli.”
"Lan ing saben dina, kok ndhudhuki wewayangan,
amung nedya nemu kulit garing
tanpa isèn-isèn katresnan.”
Kesunyian mengental.
Ia menaruh telinganya di dadaku
seakan mendengarkan gending yang patah ritmenya.
“Payokna..." bisiknya lirih
"Amarga ana swara anom ing jeroning kalbu
kang tansah kok sédani déning karepmu dadi lumrah,
arep tinampa ing bebrayan agung,
lan kapéngin tan ngrépotaké sapa-sapa.”
"Nanging, apa artiné tentrem,
yèn saben napasmu mung gema saka kersané liyan?
Bukakna lawang sanggar kasepèn,
sawangen cahyané dhéwé ing jeroning pepeteng."
Ia menutup mata.
Sunyi Ruri menyetel dirinya pada frekuensi yang bahkan para leluhur pun tak berani sentuh.
“Swara kuwi…”
bisiknya hampir tak terdengar,
"Kaya déné cempening mendha ing padhang,
kang lumayu ing palataran laramu kang lawas."
"Dheweke sesambat dudu amarga arep kinurban,
nanging awit dheweke wis ngerteni:
yèn sliramu tan nate bali
kanggo nylametke."
Tubuhku gemetar.
Suwung tersenyum tipis,
seperti retakan kecil pada batu padas.
“Lara Ati..."
ucapnya lirih.
“Kuwi satunggaling sato alus.
Dheweke tansah ngentèni.
Dheweke tan lumaku menyang ngendi-ngendi.
Dheweke lungguh—
kaya déné aku—
kanthi sabar nunggu wektu,
nalika sliramu pungkasané wani
mandheg anggènira lumayu.”
Aku kaku seperti arca yang siap dipahat ulang.
“Sliramu kepéngin dadi béda,”
suara itu meluncur lembut,
“nanging, kamulyan tan lair saka panulakan.
Kamulyan tuwuh saka jeroning wantèr
kang wani mbukak gapura dhiri
kang njalari kalbunira gumeter.”
Ia bergerak mendekat.
Bisikannya menusuk pori-poriku:
“Yèn sliramu kepéngin sirep
saka swaraning cempe kang kebak sangsara kuwi..."
"Sliramu kudu bali.
Mulih menyang papan kang sinengker
ing ngendi rare kuwi nemoni pati kaping sepisan.”
Aku memejamkan mata.
Dan saat itulah aku paham—
kesunyian bukan lagi musuh,
bukan lagi kehampaan yang mencekik,
melainkan satu-satunya suara
yang sanggup menampung semua jeritan.
tanpa murka
tanpa pamrih
tanpa vonis
hanya ikhlas.
Desember 2025”
―
“Khajuraho II
(Exploratory Rewrite)
Madu…
di pelataran candi yang bahkan waktu enggan menyentuh,
aku kembali memanggil bayangmu—bukan tubuhmu—
sebab tubuh sudah lama runtuh,
yang tersisa hanyalah gema
yang menempel pada batu sunyi
relief candi.
Senja turun bagai napas terakhir
patung dewa yang terlupa,
dan hasratku—yang tak lagi merah, hanya tinggal hitam legam—
menyeret namamu dari kabut
yang tak pernah berbentuk.
Tapi bulan masih membisik lirih:
Madu, tidurlah.
Atau biarkan dirimu rapuh dalam gelap yang sengaja kau sembunyikan.
Seperti dulu,
jangan kunci pintu hatimu,
bukan karena aku ingin masuk,
tapi karena aku ingin tahu
apa yang hendak kau jaga
dari dirimu sendiri?
Izinkan aku mengurai sayapku—
bukan untuk terbang menuju surgamu
(karena surga itu telah lama hancur sejak kali pertama aku mengingatnya),
melainkan untuk menyapu debu luka
yang menempel pada setiap relung
yang pernah aku namai cinta.
Lelaplah.
Atau lenalah.
Sebab tidur adalah satu-satunya ruang
di mana engkau tak menipu dirimu sendiri.
Di sanggar pamujan yang kini remuk ini
aku menangkap auramu yang tidak berkedip—
jernih, tetapi sekaligus getir,
seakan-akan kesucian bukanlah anugerah
melainkan sisa rasa takut dan kengerian yang kau pertahankan sebagai tameng penjaga bara yang nyaris mati.
Hujan turun.
Tubuhmu basah, tapi bukan basah yang mengundang;
lebih seperti basah mata batu nisan
yang terus-menerus menerima duka tanpa meminta apa pun
selain nafas kematian.
Aku mengingatmu…
bukan sebagai perempuan,
tetapi sebagai guratan yang gagal dihapus waktu.
Wajahmu—putih, jenaka, lalu pudar—
masih menempel seperti noda cahaya
pada dinding lorong masa laluku sendiri.
Setagen hitam itu, kemben lusuh itu,
jarit tanpa bunga—
semuanya bukan pakaian, Madu,
tetapi mantra penolak lupa
yang membuatku terperangkap
dalam ritual pengulangan
yang ternyata menyedihkan.
Candi ini bukan candi,
melainkan struktur ingatan
yang terus kau tata ulang
agar aku tersesat lagi di dalamnya.
Setiap batu, setiap pahatan,
setiap lengkung tubuh
adalah perangkap arketip
yang menuntut kegigihanku
namun menelanjangi ketidakberdayaanku.
Dan cermin-cermin itu—
cermin bersurat, cermin berdebu,
cermin berhantu—
semuanya memantulkan wajah
jejaka tolol
yang masih berharap menemukan dirimu
di balik bayang masa lalunya sendiri.
Madu…
Maduku…
engkau bukan penawar dahaga,
engkau adalah dahaga itu sendiri.
Engkau bukan Laksmi,
engkau adalah ruang kosong di mana dewa pernah duduk
lalu pergi tanpa pamit.
Desah napasmu yang lembut—
aku mendengarnya.
Tapi yang dibelainya bukan rerumputan,
melainkan retakan-retakan halus
di dadaku yang tak kunjung sembuh.
Sayap-sayap Jatayu gemetar dalam darahku,
berusaha menyingkap rahasiamu
yang sebenarnya hanyalah rahasiaku sendiri.
Hasratku menuntut tubuhmu,
tapi yang kutemukan hanyalah
lorong gelap yang mengulang
suara air sungai yang mengalir
dari masa kanak-kanak.
Padma Siwa yang kukecup
bukanlah bunga,
melainkan tanda bahwa aku pernah tersesat
dan memilih untuk tidak kembali.
Madu…
aku ingin menyentuhmu,
tapi setiap sentuhan adalah pengakuan
bahwa aku belum mampu menerima kehampaan.
Engkau candi yang ingin kutundukkan,
tapi sebenarnya aku hanyalah
pengemis makna
yang berlutut di hadapan sunyi
yang tak sungguh aku kenali.
Dan ketika tidurmu meredupkan kesadaranku,
aku melihatmu—
bukan sebagai perempuan,
bukan sebagai kenangan,
melainkan sebagai cahaya aruna
yang muncul di ujung doa patah.
Indah.
Bukan karena tubuhmu bercahaya.
Melainkan karena kepasrahanmu
mengajariku
bagaimana rasa sakit
bisa berubah menjadi ruang suci
tempatku bersamadi mengaji diri.
Desember 2025”
―
(Exploratory Rewrite)
Madu…
di pelataran candi yang bahkan waktu enggan menyentuh,
aku kembali memanggil bayangmu—bukan tubuhmu—
sebab tubuh sudah lama runtuh,
yang tersisa hanyalah gema
yang menempel pada batu sunyi
relief candi.
Senja turun bagai napas terakhir
patung dewa yang terlupa,
dan hasratku—yang tak lagi merah, hanya tinggal hitam legam—
menyeret namamu dari kabut
yang tak pernah berbentuk.
Tapi bulan masih membisik lirih:
Madu, tidurlah.
Atau biarkan dirimu rapuh dalam gelap yang sengaja kau sembunyikan.
Seperti dulu,
jangan kunci pintu hatimu,
bukan karena aku ingin masuk,
tapi karena aku ingin tahu
apa yang hendak kau jaga
dari dirimu sendiri?
Izinkan aku mengurai sayapku—
bukan untuk terbang menuju surgamu
(karena surga itu telah lama hancur sejak kali pertama aku mengingatnya),
melainkan untuk menyapu debu luka
yang menempel pada setiap relung
yang pernah aku namai cinta.
Lelaplah.
Atau lenalah.
Sebab tidur adalah satu-satunya ruang
di mana engkau tak menipu dirimu sendiri.
Di sanggar pamujan yang kini remuk ini
aku menangkap auramu yang tidak berkedip—
jernih, tetapi sekaligus getir,
seakan-akan kesucian bukanlah anugerah
melainkan sisa rasa takut dan kengerian yang kau pertahankan sebagai tameng penjaga bara yang nyaris mati.
Hujan turun.
Tubuhmu basah, tapi bukan basah yang mengundang;
lebih seperti basah mata batu nisan
yang terus-menerus menerima duka tanpa meminta apa pun
selain nafas kematian.
Aku mengingatmu…
bukan sebagai perempuan,
tetapi sebagai guratan yang gagal dihapus waktu.
Wajahmu—putih, jenaka, lalu pudar—
masih menempel seperti noda cahaya
pada dinding lorong masa laluku sendiri.
Setagen hitam itu, kemben lusuh itu,
jarit tanpa bunga—
semuanya bukan pakaian, Madu,
tetapi mantra penolak lupa
yang membuatku terperangkap
dalam ritual pengulangan
yang ternyata menyedihkan.
Candi ini bukan candi,
melainkan struktur ingatan
yang terus kau tata ulang
agar aku tersesat lagi di dalamnya.
Setiap batu, setiap pahatan,
setiap lengkung tubuh
adalah perangkap arketip
yang menuntut kegigihanku
namun menelanjangi ketidakberdayaanku.
Dan cermin-cermin itu—
cermin bersurat, cermin berdebu,
cermin berhantu—
semuanya memantulkan wajah
jejaka tolol
yang masih berharap menemukan dirimu
di balik bayang masa lalunya sendiri.
Madu…
Maduku…
engkau bukan penawar dahaga,
engkau adalah dahaga itu sendiri.
Engkau bukan Laksmi,
engkau adalah ruang kosong di mana dewa pernah duduk
lalu pergi tanpa pamit.
Desah napasmu yang lembut—
aku mendengarnya.
Tapi yang dibelainya bukan rerumputan,
melainkan retakan-retakan halus
di dadaku yang tak kunjung sembuh.
Sayap-sayap Jatayu gemetar dalam darahku,
berusaha menyingkap rahasiamu
yang sebenarnya hanyalah rahasiaku sendiri.
Hasratku menuntut tubuhmu,
tapi yang kutemukan hanyalah
lorong gelap yang mengulang
suara air sungai yang mengalir
dari masa kanak-kanak.
Padma Siwa yang kukecup
bukanlah bunga,
melainkan tanda bahwa aku pernah tersesat
dan memilih untuk tidak kembali.
Madu…
aku ingin menyentuhmu,
tapi setiap sentuhan adalah pengakuan
bahwa aku belum mampu menerima kehampaan.
Engkau candi yang ingin kutundukkan,
tapi sebenarnya aku hanyalah
pengemis makna
yang berlutut di hadapan sunyi
yang tak sungguh aku kenali.
Dan ketika tidurmu meredupkan kesadaranku,
aku melihatmu—
bukan sebagai perempuan,
bukan sebagai kenangan,
melainkan sebagai cahaya aruna
yang muncul di ujung doa patah.
Indah.
Bukan karena tubuhmu bercahaya.
Melainkan karena kepasrahanmu
mengajariku
bagaimana rasa sakit
bisa berubah menjadi ruang suci
tempatku bersamadi mengaji diri.
Desember 2025”
―
“CANDI DUA RAGA
SATU RUH: JENAWI — KHAJURAHO
Tubuh
adalah candi
dua raga satu ruh
tak pernah selesai dipahat
para dewa tak terlihat.
Dalam Jenawi,
aku adalah batu hitam
yang digosok kersani,
ditempa petaka,
dihaluskan paras besi
tak mengenal iba.
Di bawah tungku api yang ganasnya
seperti trisula Siwa.
aku adalah wadah dendam
yang paling purba.
Sumsum yang mengingat suara belati
doa patah yang tak sampai
ke langit Satyaloka.
Dan ketika bayangmu datang,
Engkau — pemutus rantap,
penetak leher lembu betina —
aku tahu:
ritus kekejaman adalah bahasa ibu
yang menitis ke tubuhku.
Dari penjuru lain dunia,
Khajuraho bangkit dalam darahku,
seperti rahim purba
yang meneteskan madu dan luka.
Di relief candi ini,
dindingnya memuntahkan tubuh
yang saling mengoyak
penuh hasrat dan pedih.
Aku melihat diriku terbelah:
satu ditarik Eros,
satu ditelan Thanatos.
Hasrat mengangkat,
yang lain menenggelamkan.
Mistik mengajak masuk,
yang lain memuntahkan
dalam pasang surut arus ingatan.
Tubuhku adalah Khajuraho
tak pernah jadi kuil pemujaan,
selain arsip trauma sensual
yang menahan segala desir
menolak segala sentuhan.
Di antara dua candi
ada jalan retak
tempat mantra disembelih
bisu dikukuhkan sebagai kosmik.
Madu yang mengalir
dari kulitmu—
mengeras jadi lumut ziarah,
gumpal di antara sela batu,
yang tak dapat kutelan
tak dapat kutaklukkan.
Lidah telah menjadi pisau
bibir menjadi tulang
menolak sembuh.
Engkau dulu
dewi dalam tarikan nafsu,
kini upacara gelap
yang mengulang kelahiranku
ribuan bentuk menjelma:
anak luka,
anak api,
anak desir
yang tak
kuinginkan.
Dan aku—
membawa
sepotong noda dari hatimu
seperti serpihan arca,
agar aku dapat
mati, dan
lalu lahir kembali
sebagai bayang
di dalam ingatan
yang tak berpaling
tanpa menghancurkan
seluruh dunia.
Desember 2025”
―
SATU RUH: JENAWI — KHAJURAHO
Tubuh
adalah candi
dua raga satu ruh
tak pernah selesai dipahat
para dewa tak terlihat.
Dalam Jenawi,
aku adalah batu hitam
yang digosok kersani,
ditempa petaka,
dihaluskan paras besi
tak mengenal iba.
Di bawah tungku api yang ganasnya
seperti trisula Siwa.
aku adalah wadah dendam
yang paling purba.
Sumsum yang mengingat suara belati
doa patah yang tak sampai
ke langit Satyaloka.
Dan ketika bayangmu datang,
Engkau — pemutus rantap,
penetak leher lembu betina —
aku tahu:
ritus kekejaman adalah bahasa ibu
yang menitis ke tubuhku.
Dari penjuru lain dunia,
Khajuraho bangkit dalam darahku,
seperti rahim purba
yang meneteskan madu dan luka.
Di relief candi ini,
dindingnya memuntahkan tubuh
yang saling mengoyak
penuh hasrat dan pedih.
Aku melihat diriku terbelah:
satu ditarik Eros,
satu ditelan Thanatos.
Hasrat mengangkat,
yang lain menenggelamkan.
Mistik mengajak masuk,
yang lain memuntahkan
dalam pasang surut arus ingatan.
Tubuhku adalah Khajuraho
tak pernah jadi kuil pemujaan,
selain arsip trauma sensual
yang menahan segala desir
menolak segala sentuhan.
Di antara dua candi
ada jalan retak
tempat mantra disembelih
bisu dikukuhkan sebagai kosmik.
Madu yang mengalir
dari kulitmu—
mengeras jadi lumut ziarah,
gumpal di antara sela batu,
yang tak dapat kutelan
tak dapat kutaklukkan.
Lidah telah menjadi pisau
bibir menjadi tulang
menolak sembuh.
Engkau dulu
dewi dalam tarikan nafsu,
kini upacara gelap
yang mengulang kelahiranku
ribuan bentuk menjelma:
anak luka,
anak api,
anak desir
yang tak
kuinginkan.
Dan aku—
membawa
sepotong noda dari hatimu
seperti serpihan arca,
agar aku dapat
mati, dan
lalu lahir kembali
sebagai bayang
di dalam ingatan
yang tak berpaling
tanpa menghancurkan
seluruh dunia.
Desember 2025”
―
“Candi di Penghujung Ruh
(Jenawi — Khajuraho)
Tubuhku:
batu yang merindu,
belerang hitam tanpa tabuhan.
Jenawi menggerus diriku
kersani yang tak beriba,
mengiris daging sepi
menguliti tulang kenanganku.
Asap dari tungku purba
melilit dalam napas—
meminjam suara jagat bawah.
Di kejauhan,
Khajuraho bergemerincing
laksana leluhur bangkit,
reliefnya membeku di dalam darah,
menusuk di sela urat,
mengubah hasrat menjadi beban
dan beban menjadi sujud.
Aku terbelah:
setengah terbakar lantaran pamrih,
setengah tenggelam lantaran lupa.
Bukan cinta.
Bukan kematian.
Hanya bayang dewa
yang tak memberi nama.
Tanah di antara dua candi
retak layaknya rahim tua:
melahirkan suara tanpa asahan,
meneteskan madu yang telah membatu,
menciptakan lumut dari tangis
yang tak kasat mata.
Lidahku—
bukan lagi lidah:
gesekan besi yang tak mampu menyebut asalnya.
Bibirku—
bukan lagi bibir:
pecahan arca yang kehilangan ruh.
Engkau datang,
bukan sebagai cahaya,
bukan sebagai kematian,
hanya penanda kedahsyatan
yang menyusup laksana angin
yang bukan angin.
Aku hanya menyembunyikan
serpihan hatiku
di sela batumu,
semoga
ketika rembulan runtuh dalam jatuhnya,
namaku kembali terperangah
dalam ingatan yang tak memberi maaf.
Dan jagat ini
terbelah pelan-pelan
layaknya kidung yang disembelih
tapi tak mati-mati.
Desember 2025”
―
(Jenawi — Khajuraho)
Tubuhku:
batu yang merindu,
belerang hitam tanpa tabuhan.
Jenawi menggerus diriku
kersani yang tak beriba,
mengiris daging sepi
menguliti tulang kenanganku.
Asap dari tungku purba
melilit dalam napas—
meminjam suara jagat bawah.
Di kejauhan,
Khajuraho bergemerincing
laksana leluhur bangkit,
reliefnya membeku di dalam darah,
menusuk di sela urat,
mengubah hasrat menjadi beban
dan beban menjadi sujud.
Aku terbelah:
setengah terbakar lantaran pamrih,
setengah tenggelam lantaran lupa.
Bukan cinta.
Bukan kematian.
Hanya bayang dewa
yang tak memberi nama.
Tanah di antara dua candi
retak layaknya rahim tua:
melahirkan suara tanpa asahan,
meneteskan madu yang telah membatu,
menciptakan lumut dari tangis
yang tak kasat mata.
Lidahku—
bukan lagi lidah:
gesekan besi yang tak mampu menyebut asalnya.
Bibirku—
bukan lagi bibir:
pecahan arca yang kehilangan ruh.
Engkau datang,
bukan sebagai cahaya,
bukan sebagai kematian,
hanya penanda kedahsyatan
yang menyusup laksana angin
yang bukan angin.
Aku hanya menyembunyikan
serpihan hatiku
di sela batumu,
semoga
ketika rembulan runtuh dalam jatuhnya,
namaku kembali terperangah
dalam ingatan yang tak memberi maaf.
Dan jagat ini
terbelah pelan-pelan
layaknya kidung yang disembelih
tapi tak mati-mati.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
