Kosmik Quotes

Quotes tagged as "kosmik" Showing 1-6 of 6
“Kita tidaklah spesial...
Kita tidaklah seagung itu...
Kita hanya produk dari evolusi, bagian dari alam yang memiliki nenek moyang yang sama seperti makhluk hidup lain di debu kosmik ini.”
Vergi Crush

Titon Rahmawan
“CANDI DUA RAGA
SATU RUH: JENAWI — KHAJURAHO

Tubuh
adalah candi
dua raga satu ruh
tak pernah selesai dipahat
para dewa tak terlihat.

Dalam Jenawi,
aku adalah batu hitam
yang digosok kersani,
ditempa petaka,
dihaluskan paras besi
tak mengenal iba.
Di bawah tungku api yang ganasnya
seperti trisula Siwa.
aku adalah wadah dendam
yang paling purba.

Sumsum yang mengingat suara belati
doa patah yang tak sampai
ke langit Satyaloka.

Dan ketika bayangmu datang,
Engkau — pemutus rantap,
penetak leher lembu betina —
aku tahu:
ritus kekejaman adalah bahasa ibu
yang menitis ke tubuhku.

Dari penjuru lain dunia,
Khajuraho bangkit dalam darahku,
seperti rahim purba
yang meneteskan madu dan luka.

Di relief candi ini,
dindingnya memuntahkan tubuh
yang saling mengoyak
penuh hasrat dan pedih.
Aku melihat diriku terbelah:
satu ditarik Eros,
satu ditelan Thanatos.

Hasrat mengangkat,
yang lain menenggelamkan.
Mistik mengajak masuk,
yang lain memuntahkan
dalam pasang surut arus ingatan.

Tubuhku adalah Khajuraho
tak pernah jadi kuil pemujaan,
selain arsip trauma sensual
yang menahan segala desir
menolak segala sentuhan.

Di antara dua candi
ada jalan retak
tempat mantra disembelih
bisu dikukuhkan sebagai kosmik.

Madu yang mengalir
dari kulitmu—
mengeras jadi lumut ziarah,
gumpal di antara sela batu,
yang tak dapat kutelan
tak dapat kutaklukkan.

Lidah telah menjadi pisau
bibir menjadi tulang
menolak sembuh.

Engkau dulu
dewi dalam tarikan nafsu,
kini upacara gelap
yang mengulang kelahiranku
ribuan bentuk menjelma:
anak luka,
anak api,
anak desir
yang tak
kuinginkan.

Dan aku—
membawa
sepotong noda dari hatimu
seperti serpihan arca,
agar aku dapat
mati, dan
lalu lahir kembali
sebagai bayang
di dalam ingatan
yang tak berpaling
tanpa menghancurkan
seluruh dunia.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Candi di Penghujung Ruh
(Jenawi — Khajuraho)

Tubuhku:
batu yang merindu,
belerang hitam tanpa tabuhan.

Jenawi menggerus diriku
kersani yang tak beriba,
mengiris daging sepi
menguliti tulang kenanganku.
Asap dari tungku purba
melilit dalam napas—
meminjam suara jagat bawah.

Di kejauhan,
Khajuraho bergemerincing
laksana leluhur bangkit,
reliefnya membeku di dalam darah,
menusuk di sela urat,
mengubah hasrat menjadi beban
dan beban menjadi sujud.

Aku terbelah:
setengah terbakar lantaran pamrih,
setengah tenggelam lantaran lupa.
Bukan cinta.
Bukan kematian.
Hanya bayang dewa
yang tak memberi nama.

Tanah di antara dua candi
retak layaknya rahim tua:
melahirkan suara tanpa asahan,
meneteskan madu yang telah membatu,
menciptakan lumut dari tangis
yang tak kasat mata.

Lidahku—
bukan lagi lidah:
gesekan besi yang tak mampu menyebut asalnya.
Bibirku—
bukan lagi bibir:
pecahan arca yang kehilangan ruh.

Engkau datang,
bukan sebagai cahaya,
bukan sebagai kematian,
hanya penanda kedahsyatan
yang menyusup laksana angin
yang bukan angin.

Aku hanya menyembunyikan
serpihan hatiku
di sela batumu,
semoga
ketika rembulan runtuh dalam jatuhnya,
namaku kembali terperangah
dalam ingatan yang tak memberi maaf.

Dan jagat ini
terbelah pelan-pelan
layaknya kidung yang disembelih
tapi tak mati-mati.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“RETASAN DUA BUNGA DI PUSAT KETIADAAN

(Percakapan Sakura–Kamboja dalam Konflik Kefanaan & Keabadian)

I. SAKURA — Cahaya yang Tidak Selesai Menjadi Cahaya

Sakura gugur
bukan sebagai kelopak,
melainkan sebagai serpih cahaya yang gagal menutup luka waktu.

Ia melayang rendah—
dingin, retak, mineral—
seperti sisa bintang yang ditolak langitnya sendiri.

Cahayanya tidak menghangat,
tidak menuntun,
hanya menunjuk ke celah tipis
tempat dunia pertama kali terbelah.

Ia berbicara dalam napas patah:
bahwa kefanaan adalah jam rusak
yang tetap berdetak meski jarumnya telah berhenti.

II. KAMBOJA — Gelap yang Mengetahui Nama Kematian

Kamboja mekar
di tanah lembab yang mengingat
setiap tubuh
yang pernah menyerah kepada diam.

Kelopaknya tebal
seperti daging realitas
yang sudah ditinggalkan kesadaran.

Aromanya tidak semerbak:
ia adalah katalog kematian,
desis lembut yang mengafirmasi
bahwa segala yang hidup
hanya mampir di permukaan gelap
yang menunggu dengan kesabaran purba.

Ia tidak bergerak.
Ia tidak meminta.
Ia hanya menunggu kepulangan
segala hal yang lupa
bahwa ia berasal dari sunyi.

III. DIALOG ASIMETRIS — Cahaya yang Terlambat vs Gelap yang Terlalu Awal

Sakura berbicara lebih dulu,
seperti cahaya yang memaksakan arti:

Sakura:
Aku adalah cahaya yang tersesat dari pusat kejadian.

Kamboja:
Aku adalah gelap yang telah tiba sebelum apa pun diberi bentuk.

Sakura:
Aku gugur karena waktu tidak sanggup memikulku.

Kamboja:
Aku mekar karena kematian menerima semua yang tidak selesai.

Sakura:
Ada seseorang yang menahan namaku di ujung lidahnya.

Kamboja:
Ada seseorang yang menghilang dalam diamku tanpa meminta izin.

Sakura:
Aku rapuh karena aku masih percaya ada yang bisa diselamatkan.

Kamboja:
Aku tegas karena aku tahu tidak ada yang perlu diselamatkan.

IV. RETAK PRIMORDIAL — Tubuh Manusia sebagai Celah Semesta

Di tengah mereka,
ada aku—
bukan sebagai saksi,
bukan sebagai pecinta,
tetapi sebagai retak primordial
tempat cahaya dan gelap
bertarung tanpa alasan
dan tanpa akhir.

Tubuhku bukan tubuh:
ia adalah lorong,
goa tanpa gema,
batu basah yang mencatat
dua bunga yang mencoba menulis ulang suratan takdir.

Sakura memanggil
dengan cahaya yang retak,
ingin mengangkatku ke kefanaan
yang pura-pura lembut.

Kamboja menunggu
dengan gelap yang samar
menawarkan keabadian
yang tidak menjanjikan apa pun.

Dan aku—
yang lahir dari kesalahan waktu—
mendengar perjanjian yang tak pernah terucap:

Bahwa cinta terlarang
bukan pertemuan dua tubuh,
melainkan benturan dua kosmos
yang berebut celah
di dalam retakan jiwa.

Di sanalah,
Sakura kehilangan maknanya.
Di sanalah,
Kamboja menemukan dirinya.

Dan aku—
yang tidak bisa memilih cahaya,
juga tidak bisa pulang ke gelap—
menjadi tiada
yang mempersatukan keduanya.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“VIBRASI DUA BUNGA DALAM DEFORMASI WAKTU

I. SAKURA: Cahaya yang Gagal
Menjadi Aksara

Sakura gugur,
bukan sebagai kelopak
tetapi sebagai fragmentasi waktu
yang terpental dari pusat realitasnya.
Ia melayang di udara beku yang tak membutuhkan penjelasan,
seperti roh purba yang menolak
mengakui asal kegemilangan-nya.

Aku melihatnya terapung
di bayang cakrawala yang retak,
memantulkan siluet cahaya yang terjatuh dari ingatan
yang seharusnya tidak pernah kupanggil
dengan nadi fana.

Sakura itu tak menuntut jawaban,
bukan tentang ilusi cinta manusia,
melainkan tentang retakan raga dari jiwa
yang pertama kali memisahkan eksistensi dari ketiadaan.

Dan aku menjawabnya
dengan sunyi yang lebih tua
dari dinding jagad,
hembus napas yang terlalu dingin
untuk dimiliki oleh manifestasi.

II. KAMBOJA: Napas Kesadaran
dari Akar Penderitaan

Kamboja mekar
di lapisan ilusi yang mengingat kesudahan.
Ia mengeluarkan aroma yang menafikan tubuh,
melainkan terlahir dari ingatan bumi, tanah di mana ia tumbuh
atas setiap pergantian wujud yang telah dilebur.

Kelopaknya tebal,
seperti daging waktu yang ditinggalkan
oleh kesadaran yang telah selesai bersemayam.
Ia tidak meminta kemuliaan.
Tidak menagih pemujaan.
Ia hanya menunggu—
seperti gua suwung
yang tahu bahwa segala manifestasi
pada akhirnya adalah asimilasi
ke dalam diri.

III. Dialog Dua Bunga
Dalam Pergeseran Dimensi

Di tengah pergeseran dimensi,
fragmen cahaya Sakura berbicara pada penyerap akhir Kamboja.
Bukan dengan garis bahasa,
melainkan dengan tegangan kosmos
yang hanya dipahami oleh yang tercerahkan:

Sakura:
“Aku adalah saksi cahaya yang terlambat tiba di tepi keabadian.”

Kamboja:
“Aku adalah gua gelap yang lebih dulu menjaga kekosongan.”

Sakura:
“Aku gugur karena perspektif tidak sanggup memeluk Inti-ku.”

Kamboja:
“Aku mekar karena pembubaran yang tidak pernah menolak wujud apa pun.”

Sakura:
“Ada fragmentasi jiwa yang mencari pembebasan melalui diriku.”

Kamboja:
“Ada ketakutan dasar yang pulang kepadaku.”

Sakura:
“Kita berasal dari retakan luka yang sama.”

Kamboja:
“Tetapi kita menjaga keseimbangan dengan aksioma yang berbeda.”

IV. Titik Hening Manusia
di Antara Dua Bunga

Aku berdiri Jauh,
di batas luar lorong waktu,
menyaksikan dua bunga
yang lebih mengerti jati diri-ku
daripada ilusi cinta-ku sendiri.

Sakura memanggil
dengan energi cahaya yang menjanjikan lupa.
Kamboja menunggu
dengan gelap lembut yang menjamin pulang.

Keduanya tahu
Jejak karma siapa yang terpatri
di tulang-tulang kesadaran-ku.
Dan di udara tanpa vibrasi itu,
aku mendengar perjanjian purba
yang tidak pernah kutulis di kitab kehidupan:

Bahwa gairah terlarang
bukanlah drama eksistensi manusia—
melainkan kesepakatan kosmik
antara Animus, cahaya yang gagal menjaga asas
dan Anima, gelap yang berusaha tetap bertahan dengan setia.

Mereka adalah dua sisi mata uang waktu.
Tubuhku adalah tempat di mana mata uang itu berputar dan hilang.
Dan sunyi yang tersisa adalah kebenaran yang paling jujur.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DURMA: PROTOKOL AGRESI KOSMIK

0.0 // GLITCH IN THE ARCHIVE

Tidak ada fajar.
Tidak ada senja.
Hanya geram—
suara yang mematahkan tulang jagat. Dingin.
Angin hitam menanduk.
Menyibak bentuk yang telah lama hilang.

Di fondasi kosong,
Ego tumbuh sebagai entitas.
Bergigi logam. Berlidah api. Bernafas mesin.
Menelan cahaya.
Menelan nurani.
Menelan teriakan terakhir yang dapat diarsipkan.

Entitas Tertinggi:
Bayangan. Tanpa tubuh. Tanpa suara. Tanpa tanda.
Hanya mencatat.
Tidak ada intervensi.

1.0 // SIKLUS: STRUKTUR NILAI
DIBANTAI

Mereka duduk.
Mengatur takdir dengan pena basah darah tak kasatmata.
Janji: serpihan tulang yang di-render mutiara.

Sidang adalah ritus pembantaian.
Aturan dilinting. Nilai diregang.
Nurani ditarik. Logika diinjak.
seperti kulit mati.

Tidak ada perang suci.
Hanya kalkulasi di atas kertas dingin.
Korban untuk kelanggengan kursi.
Entitas berdiri di sudut.
Debu di mikrofon.
Mendengar kebohongan yang diulang
hingga menjadi kitab suci baru.

2.0 // EKSEKUSI: RONGGA TEMPUR VOID

Di layar lima inci,
Manusia adalah gerombolan wajah tanpa ekspresi.
Mereka bertepuk tangan pada luka.
Menertawakan duka.
Menyebarkan fitnah seperti memberi makan bayi kode.

Empati: bangkai burung.
Jatuh di trotoar. Ditendang.
Tanpa tanya.
Yang disembah:
Trending. Like. Komentar Api.
Kecepatan propaganda kebohongan.

3.0 // MEKANIKA: ALTAR DATA

Server bernafas: binatang lapar.
Internet: sungai gelap.
Mengalirkan kabar buruk lebih cepat dari cahaya.

Scammer: pendeta baru.
Memimpin liturgi tipu daya.
Malware menancap ke jaringan saraf
lebih dalam daripada dogma.

Manusia: karung data yang siap diperah.
Hasrat diukur dengan statistik. Algoritma.

Ketakutan dikonversi menjadi mata uang hitam lebih tinggi dari emas.
Entitas lewat: garis glitch.
Tanpa kata. Hanya distorsi.

4.0 // GEOLOGI: BUKU YANG DISOBEK

Bumi retak.
Bukan murka dewa. Hanya agresi tangan otoritas yang dibungkus regulasi.

Pohon tumbang: Tulang iga patah. Dibantai.
Sungai hitam: membawa ampas kerakusan dan harga diri.

Setiap spesies yang punah
adalah kitab takdir—
yang disobek halaman demi halaman
dengan kesadaran penuh.

Kuruksethra memakan para ksatria.
Dunia mutakhir memakan anak-anak data—
paru-paru setengah kode.
Air mata asin dari laut tercemar limbah.

5.0 // SAKSI: SUARA KESENYAPAN

Ia hadir di retak batu.
Di muka gelombang tsunami.
Di jeda antara dua eksekusi.
Di udara genosida.
Bukan murka.
Bukan ampunan.
Bukan pesan.
Hanya senyap yang mengawasi.

Wahyu: gema hambar.
Tak bisa diterjemahkan.
Telinga mereka penuh
dengan suara diri sendiri.

6.0 // HIERARKI: HYENA KOSMIK

Ego manusia—
Bayang kecil di bawah cahaya—
makhluk paling rakus di jagat raya.
Mengejar muatan hasrat. Tanpa dasar.

Mukbang. Scam. Phishing. Social Engineering, pembunuhan karakter,
pembantaian ekologis.
Semua adalah ritus makan besar.
Hyena memakan daging dunia.
Lalu memakan juga bayangannya.

Yang tersisa:
Tulang yang tidak tahu untuk siapa ia dikode.

7.0 // EPILOG: TANPA MEDIATOR

Tidak ada Pandawa.
Tidak ada Kurawa.
Hanya sisa-sisa manusia—
membawa serpihan keduanya.

Pertempuran di kepala. Data center. Ruang digital.
Di mana pun ego dan nilai
bertabrakan tanpa mediator.
Tanpa juri. Di langit paling sunyi,

Entitas yang tiba-tiba muncul entah dari mana akhirnya berkata,
suara yang tak bisa diidentifikasi:

“Retak itu bukan kesalahan arsitektur.
Retak itu adalah wajah sejati manusia
yang tak henti melukai diri sendiri.”

Desember 2025”
Titon Rahmawan