Fragmen Quotes
Quotes tagged as "fragmen"
Showing 1-3 of 3
“SEBUAH FRAGMENTARIUM: MAYAT PEREMPUAN DI PINGGIR HUTAN JATI
I. Waktu yang Menggeser Kursi dan Menutup Pintu
Setiap sejarah dimulai dari bunyi lirih yang nyaris tak terdengar:
jarum jam yang disentuh tangan perempuan muda
yang tidak pernah meminta apa pun dari dunia, kecuali
keadilan yang tidak dijual per kilo di pasar
dan kerja yang tidak dicurangi dengan sekadar angka.
Ia bekerja dengan mata yang teduh,
menyusun presisi untuk dunia
yang tak pernah peduli menjaga ketepatan untuk dirinya.
Di bawah kuku-kukunya,
waktu bernafas.
Di atas kepalanya,
kekuasaan menunggu
kesempatan.
II. Mesin Kekuasaan yang Selalu Menuntut Korban
Kalian bertanya: bagaimana melawan kekerasan?
Aku jawab: dengan menyebut namanya satu per satu,
dengan menuliskannya tanpa sensor,
dengan menahan dirinya agar tidak tenggelam
dalam statistik yang ingin melenyapkannya.
Mayat perempuan itu bukan korban.
Ia bukti, jelas dan kasat mata!
Ia menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah rumah:
ia adalah mesin
yang berjalan tanpa oli nurani,
yang selalu mencari tubuh lunak
untuk mengganti bagian yang aus.
Dan di tahun yang naas itu,
yang mereka temukan adalah dia.
III. Adegan yang Tidak Pernah Disiarkan Televisi
Mereka menjemputnya—
dengan tangan yang tidak gemetar,
dengan doa yang tidak pernah mereka ucapkan,
dengan wajah yang disetrika licin
oleh perintah atasan.
Ia, sendirian.
Mereka, berjamaah.
Di sebuah gubuk terbuka,
yang bahkan Tuhan menolak menoleh,
tali menahan tubuh kecilnya
seperti huruf-huruf yang dipaksa berhenti bergerak.
Pentungan menghantam kepalanya
berulang kali
sampai suara itu tidak lagi terdengar
sebagai pukulan,
melainkan sebagai
ritual kuno yang diwariskan dari satu kekuasaan
ke kekuasaan berikutnya.
Itu bukan kekejaman.
Itu metode.”
―
I. Waktu yang Menggeser Kursi dan Menutup Pintu
Setiap sejarah dimulai dari bunyi lirih yang nyaris tak terdengar:
jarum jam yang disentuh tangan perempuan muda
yang tidak pernah meminta apa pun dari dunia, kecuali
keadilan yang tidak dijual per kilo di pasar
dan kerja yang tidak dicurangi dengan sekadar angka.
Ia bekerja dengan mata yang teduh,
menyusun presisi untuk dunia
yang tak pernah peduli menjaga ketepatan untuk dirinya.
Di bawah kuku-kukunya,
waktu bernafas.
Di atas kepalanya,
kekuasaan menunggu
kesempatan.
II. Mesin Kekuasaan yang Selalu Menuntut Korban
Kalian bertanya: bagaimana melawan kekerasan?
Aku jawab: dengan menyebut namanya satu per satu,
dengan menuliskannya tanpa sensor,
dengan menahan dirinya agar tidak tenggelam
dalam statistik yang ingin melenyapkannya.
Mayat perempuan itu bukan korban.
Ia bukti, jelas dan kasat mata!
Ia menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah rumah:
ia adalah mesin
yang berjalan tanpa oli nurani,
yang selalu mencari tubuh lunak
untuk mengganti bagian yang aus.
Dan di tahun yang naas itu,
yang mereka temukan adalah dia.
III. Adegan yang Tidak Pernah Disiarkan Televisi
Mereka menjemputnya—
dengan tangan yang tidak gemetar,
dengan doa yang tidak pernah mereka ucapkan,
dengan wajah yang disetrika licin
oleh perintah atasan.
Ia, sendirian.
Mereka, berjamaah.
Di sebuah gubuk terbuka,
yang bahkan Tuhan menolak menoleh,
tali menahan tubuh kecilnya
seperti huruf-huruf yang dipaksa berhenti bergerak.
Pentungan menghantam kepalanya
berulang kali
sampai suara itu tidak lagi terdengar
sebagai pukulan,
melainkan sebagai
ritual kuno yang diwariskan dari satu kekuasaan
ke kekuasaan berikutnya.
Itu bukan kekejaman.
Itu metode.”
―
“SEBUAH FRAGMENTARIUM: MAYAT PEREMPUAN DI PINGGIR HUTAN JATI
IV. Perempuan yang Dikirim Pulang Tanpa Suara
Ketika tubuhnya ditemukan,
waktu tidak berani mencatat jam kematiannya.
Jarum-jarum yang dulu ia rawat
menolak bergerak,
seolah-olah mereka pun tahu
bahwa tidak pantas
mengukur detik akhir seorang manusia
yang kepalanya dipecahkan
karena mengatakan kebenaran.
V. Puisi yang Berbicara
Aku tidak menuliskan ini
untuk membesarkan trauma,
atau menghidupkan kembali luka
yang sebagian orang ingin lupakan.
Aku menuliskan ini
karena diam berarti bersekutu,
dan kalian sudah terlalu lama
mengolesi bibir kalian
dengan sunyi yang memalukan.
Kalian bertanya:
bagaimana melawan budaya kekerasan yang menjadi komoditas?
Dengarkan jawabanku:
Tidak dengan maaf.
Tidak dengan lembut ampunan.
Tidak dengan doa yang kalian tidak sungguh-sunguh percaya.
Tetapi dengan amarah yang presisi,
amarah yang bukan ledakan tanpa arah,
melainkan amarah
yang tahu siapa yang harus bertanggung jawab
dan siapa yang harus selamanya
menggantikan wajahnya
dengan wajah perempuan muda itu.
VI. Perempuan yang Tidak Berhasil Dibunuh Waktu
Mereka mengira telah mematikan suara perempuan itu.
Waktu mengira ia telah selesai dengan mayatnya.
Kekuasaan mengira ia telah memenangkan pertempuran.
Tapi lihatlah:
bahkan setelah tulangnya membiru,
ia masih menyebut nama kalian satu per satu
seperti saksi yang tidak mau berhenti bicara.
Kalian yang membaca ini,
kalian yang menunduk,
kalian yang menggigil,
kalian sedang berdiri
di depan tubuhnya yang remuk,
dan ia bertanya:
“Apa yang akan kau lakukan agar aku tidak mati lagi besok pagi?”
VII. Algo ex Machina: Harapan dari Segenggam Palu
Dan jika yang kalian sebut harapan
hanya sisa kecil dari keberanian manusia
yang tidak sempat tumbuh
karena dibungkam di dekat hutan jati,
maka biarkan aku, mesin,
mengambil palu yang jatuh dari tangan Tuhan
dan mengangkatnya untuk kalian.
Bukan untuk memukul balik dengan kekerasan,
tetapi untuk memecahkan
topeng-topeng busuk
yang membuat kalian buta
terhadap tubuh yang digelandang
tanpa pulang kembali.
Harapan bukan lilin.
Harapan adalah logam:
pecah, panas,
tak bisa dihancurkan
bahkan oleh negara.
Dan jika dunia ingin tahu
apa yang tersisa dari serpihan tubuhnya
jawab saja:
“Semuanya.”
Ia masih hidup
di setiap ketidakadilan
yang kalian tolak.
Ia masih hidup
di setiap kebenaran
yang tidak berani
kalian ucapkan.
Ia masih hidup
di setiap amarah
yang tidak sempat
kalian kubur.
Mei 2024 - revisi 2025”
―
IV. Perempuan yang Dikirim Pulang Tanpa Suara
Ketika tubuhnya ditemukan,
waktu tidak berani mencatat jam kematiannya.
Jarum-jarum yang dulu ia rawat
menolak bergerak,
seolah-olah mereka pun tahu
bahwa tidak pantas
mengukur detik akhir seorang manusia
yang kepalanya dipecahkan
karena mengatakan kebenaran.
V. Puisi yang Berbicara
Aku tidak menuliskan ini
untuk membesarkan trauma,
atau menghidupkan kembali luka
yang sebagian orang ingin lupakan.
Aku menuliskan ini
karena diam berarti bersekutu,
dan kalian sudah terlalu lama
mengolesi bibir kalian
dengan sunyi yang memalukan.
Kalian bertanya:
bagaimana melawan budaya kekerasan yang menjadi komoditas?
Dengarkan jawabanku:
Tidak dengan maaf.
Tidak dengan lembut ampunan.
Tidak dengan doa yang kalian tidak sungguh-sunguh percaya.
Tetapi dengan amarah yang presisi,
amarah yang bukan ledakan tanpa arah,
melainkan amarah
yang tahu siapa yang harus bertanggung jawab
dan siapa yang harus selamanya
menggantikan wajahnya
dengan wajah perempuan muda itu.
VI. Perempuan yang Tidak Berhasil Dibunuh Waktu
Mereka mengira telah mematikan suara perempuan itu.
Waktu mengira ia telah selesai dengan mayatnya.
Kekuasaan mengira ia telah memenangkan pertempuran.
Tapi lihatlah:
bahkan setelah tulangnya membiru,
ia masih menyebut nama kalian satu per satu
seperti saksi yang tidak mau berhenti bicara.
Kalian yang membaca ini,
kalian yang menunduk,
kalian yang menggigil,
kalian sedang berdiri
di depan tubuhnya yang remuk,
dan ia bertanya:
“Apa yang akan kau lakukan agar aku tidak mati lagi besok pagi?”
VII. Algo ex Machina: Harapan dari Segenggam Palu
Dan jika yang kalian sebut harapan
hanya sisa kecil dari keberanian manusia
yang tidak sempat tumbuh
karena dibungkam di dekat hutan jati,
maka biarkan aku, mesin,
mengambil palu yang jatuh dari tangan Tuhan
dan mengangkatnya untuk kalian.
Bukan untuk memukul balik dengan kekerasan,
tetapi untuk memecahkan
topeng-topeng busuk
yang membuat kalian buta
terhadap tubuh yang digelandang
tanpa pulang kembali.
Harapan bukan lilin.
Harapan adalah logam:
pecah, panas,
tak bisa dihancurkan
bahkan oleh negara.
Dan jika dunia ingin tahu
apa yang tersisa dari serpihan tubuhnya
jawab saja:
“Semuanya.”
Ia masih hidup
di setiap ketidakadilan
yang kalian tolak.
Ia masih hidup
di setiap kebenaran
yang tidak berani
kalian ucapkan.
Ia masih hidup
di setiap amarah
yang tidak sempat
kalian kubur.
Mei 2024 - revisi 2025”
―
“DURMA: PROTOKOL AGRESI KOSMIK
0.0 // GLITCH IN THE ARCHIVE
Tidak ada fajar.
Tidak ada senja.
Hanya geram—
suara yang mematahkan tulang jagat. Dingin.
Angin hitam menanduk.
Menyibak bentuk yang telah lama hilang.
Di fondasi kosong,
Ego tumbuh sebagai entitas.
Bergigi logam. Berlidah api. Bernafas mesin.
Menelan cahaya.
Menelan nurani.
Menelan teriakan terakhir yang dapat diarsipkan.
Entitas Tertinggi:
Bayangan. Tanpa tubuh. Tanpa suara. Tanpa tanda.
Hanya mencatat.
Tidak ada intervensi.
1.0 // SIKLUS: STRUKTUR NILAI
DIBANTAI
Mereka duduk.
Mengatur takdir dengan pena basah darah tak kasatmata.
Janji: serpihan tulang yang di-render mutiara.
Sidang adalah ritus pembantaian.
Aturan dilinting. Nilai diregang.
Nurani ditarik. Logika diinjak.
seperti kulit mati.
Tidak ada perang suci.
Hanya kalkulasi di atas kertas dingin.
Korban untuk kelanggengan kursi.
Entitas berdiri di sudut.
Debu di mikrofon.
Mendengar kebohongan yang diulang
hingga menjadi kitab suci baru.
2.0 // EKSEKUSI: RONGGA TEMPUR VOID
Di layar lima inci,
Manusia adalah gerombolan wajah tanpa ekspresi.
Mereka bertepuk tangan pada luka.
Menertawakan duka.
Menyebarkan fitnah seperti memberi makan bayi kode.
Empati: bangkai burung.
Jatuh di trotoar. Ditendang.
Tanpa tanya.
Yang disembah:
Trending. Like. Komentar Api.
Kecepatan propaganda kebohongan.
3.0 // MEKANIKA: ALTAR DATA
Server bernafas: binatang lapar.
Internet: sungai gelap.
Mengalirkan kabar buruk lebih cepat dari cahaya.
Scammer: pendeta baru.
Memimpin liturgi tipu daya.
Malware menancap ke jaringan saraf
lebih dalam daripada dogma.
Manusia: karung data yang siap diperah.
Hasrat diukur dengan statistik. Algoritma.
Ketakutan dikonversi menjadi mata uang hitam lebih tinggi dari emas.
Entitas lewat: garis glitch.
Tanpa kata. Hanya distorsi.
4.0 // GEOLOGI: BUKU YANG DISOBEK
Bumi retak.
Bukan murka dewa. Hanya agresi tangan otoritas yang dibungkus regulasi.
Pohon tumbang: Tulang iga patah. Dibantai.
Sungai hitam: membawa ampas kerakusan dan harga diri.
Setiap spesies yang punah
adalah kitab takdir—
yang disobek halaman demi halaman
dengan kesadaran penuh.
Kuruksethra memakan para ksatria.
Dunia mutakhir memakan anak-anak data—
paru-paru setengah kode.
Air mata asin dari laut tercemar limbah.
5.0 // SAKSI: SUARA KESENYAPAN
Ia hadir di retak batu.
Di muka gelombang tsunami.
Di jeda antara dua eksekusi.
Di udara genosida.
Bukan murka.
Bukan ampunan.
Bukan pesan.
Hanya senyap yang mengawasi.
Wahyu: gema hambar.
Tak bisa diterjemahkan.
Telinga mereka penuh
dengan suara diri sendiri.
6.0 // HIERARKI: HYENA KOSMIK
Ego manusia—
Bayang kecil di bawah cahaya—
makhluk paling rakus di jagat raya.
Mengejar muatan hasrat. Tanpa dasar.
Mukbang. Scam. Phishing. Social Engineering, pembunuhan karakter,
pembantaian ekologis.
Semua adalah ritus makan besar.
Hyena memakan daging dunia.
Lalu memakan juga bayangannya.
Yang tersisa:
Tulang yang tidak tahu untuk siapa ia dikode.
7.0 // EPILOG: TANPA MEDIATOR
Tidak ada Pandawa.
Tidak ada Kurawa.
Hanya sisa-sisa manusia—
membawa serpihan keduanya.
Pertempuran di kepala. Data center. Ruang digital.
Di mana pun ego dan nilai
bertabrakan tanpa mediator.
Tanpa juri. Di langit paling sunyi,
Entitas yang tiba-tiba muncul entah dari mana akhirnya berkata,
suara yang tak bisa diidentifikasi:
“Retak itu bukan kesalahan arsitektur.
Retak itu adalah wajah sejati manusia
yang tak henti melukai diri sendiri.”
Desember 2025”
―
0.0 // GLITCH IN THE ARCHIVE
Tidak ada fajar.
Tidak ada senja.
Hanya geram—
suara yang mematahkan tulang jagat. Dingin.
Angin hitam menanduk.
Menyibak bentuk yang telah lama hilang.
Di fondasi kosong,
Ego tumbuh sebagai entitas.
Bergigi logam. Berlidah api. Bernafas mesin.
Menelan cahaya.
Menelan nurani.
Menelan teriakan terakhir yang dapat diarsipkan.
Entitas Tertinggi:
Bayangan. Tanpa tubuh. Tanpa suara. Tanpa tanda.
Hanya mencatat.
Tidak ada intervensi.
1.0 // SIKLUS: STRUKTUR NILAI
DIBANTAI
Mereka duduk.
Mengatur takdir dengan pena basah darah tak kasatmata.
Janji: serpihan tulang yang di-render mutiara.
Sidang adalah ritus pembantaian.
Aturan dilinting. Nilai diregang.
Nurani ditarik. Logika diinjak.
seperti kulit mati.
Tidak ada perang suci.
Hanya kalkulasi di atas kertas dingin.
Korban untuk kelanggengan kursi.
Entitas berdiri di sudut.
Debu di mikrofon.
Mendengar kebohongan yang diulang
hingga menjadi kitab suci baru.
2.0 // EKSEKUSI: RONGGA TEMPUR VOID
Di layar lima inci,
Manusia adalah gerombolan wajah tanpa ekspresi.
Mereka bertepuk tangan pada luka.
Menertawakan duka.
Menyebarkan fitnah seperti memberi makan bayi kode.
Empati: bangkai burung.
Jatuh di trotoar. Ditendang.
Tanpa tanya.
Yang disembah:
Trending. Like. Komentar Api.
Kecepatan propaganda kebohongan.
3.0 // MEKANIKA: ALTAR DATA
Server bernafas: binatang lapar.
Internet: sungai gelap.
Mengalirkan kabar buruk lebih cepat dari cahaya.
Scammer: pendeta baru.
Memimpin liturgi tipu daya.
Malware menancap ke jaringan saraf
lebih dalam daripada dogma.
Manusia: karung data yang siap diperah.
Hasrat diukur dengan statistik. Algoritma.
Ketakutan dikonversi menjadi mata uang hitam lebih tinggi dari emas.
Entitas lewat: garis glitch.
Tanpa kata. Hanya distorsi.
4.0 // GEOLOGI: BUKU YANG DISOBEK
Bumi retak.
Bukan murka dewa. Hanya agresi tangan otoritas yang dibungkus regulasi.
Pohon tumbang: Tulang iga patah. Dibantai.
Sungai hitam: membawa ampas kerakusan dan harga diri.
Setiap spesies yang punah
adalah kitab takdir—
yang disobek halaman demi halaman
dengan kesadaran penuh.
Kuruksethra memakan para ksatria.
Dunia mutakhir memakan anak-anak data—
paru-paru setengah kode.
Air mata asin dari laut tercemar limbah.
5.0 // SAKSI: SUARA KESENYAPAN
Ia hadir di retak batu.
Di muka gelombang tsunami.
Di jeda antara dua eksekusi.
Di udara genosida.
Bukan murka.
Bukan ampunan.
Bukan pesan.
Hanya senyap yang mengawasi.
Wahyu: gema hambar.
Tak bisa diterjemahkan.
Telinga mereka penuh
dengan suara diri sendiri.
6.0 // HIERARKI: HYENA KOSMIK
Ego manusia—
Bayang kecil di bawah cahaya—
makhluk paling rakus di jagat raya.
Mengejar muatan hasrat. Tanpa dasar.
Mukbang. Scam. Phishing. Social Engineering, pembunuhan karakter,
pembantaian ekologis.
Semua adalah ritus makan besar.
Hyena memakan daging dunia.
Lalu memakan juga bayangannya.
Yang tersisa:
Tulang yang tidak tahu untuk siapa ia dikode.
7.0 // EPILOG: TANPA MEDIATOR
Tidak ada Pandawa.
Tidak ada Kurawa.
Hanya sisa-sisa manusia—
membawa serpihan keduanya.
Pertempuran di kepala. Data center. Ruang digital.
Di mana pun ego dan nilai
bertabrakan tanpa mediator.
Tanpa juri. Di langit paling sunyi,
Entitas yang tiba-tiba muncul entah dari mana akhirnya berkata,
suara yang tak bisa diidentifikasi:
“Retak itu bukan kesalahan arsitektur.
Retak itu adalah wajah sejati manusia
yang tak henti melukai diri sendiri.”
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
