,

Amarah Quotes

Quotes tagged as "amarah" Showing 1-6 of 6
Dian Nafi
“Segala sakit, keluh, tangis, dendam, amarah, entah di mana. Aku tidak yakin telah meninggalkannya di suatu tempat. Tapi meski aku juga tidak mau membawanya lagi, aku tak bisa memastikan bahwa semua rasa itu pergi begitu saja. Aku antara kosong dan tiada.”
Dian Nafi, Ayah, Lelaki Itu Mengkhianatiku

Tia Widiana
“Jika kesepian, marah bisa terasa seperti murka. Sedih rasanya seperti amat merana.”
Tia Widiana

“Dalam heningnya malam menggerutu seraya berkata "Hei kau penghuni bumi, berbaurlah dengan isi hati!" -jodoh tidak jadi”
silviamnque

“Ucapannya seakan bualan yang disusun secara rutinitas.
Namun ku terhanyut dalam suasana yang dibalut teka-teki hingga menuju malapetaka. -jodoh tidak jadi”
silviamnque

“Memaafkan adalah ramuan terpahit yang pernah kamu minum. Menelan amarah adalah jarum raksasa yang akan menguras semua racun kotor dalam darahmu. Tangisanmu adalah hidangan kemenangan, vitamin dan susu pelepas dahaga. Senyummu adalah sebuah isyarat, tanda kemenangan atas kekalahan amarah yang berusaha menaklukanmu.”
Achmad Aditya Avery

Titon Rahmawan
“DURMA: PROTOKOL AGRESI KOSMIK

0.0 // GLITCH IN THE ARCHIVE

Tidak ada fajar.
Tidak ada senja.
Hanya geram—
suara yang mematahkan tulang jagat. Dingin.
Angin hitam menanduk.
Menyibak bentuk yang telah lama hilang.

Di fondasi kosong,
Ego tumbuh sebagai entitas.
Bergigi logam. Berlidah api. Bernafas mesin.
Menelan cahaya.
Menelan nurani.
Menelan teriakan terakhir yang dapat diarsipkan.

Entitas Tertinggi:
Bayangan. Tanpa tubuh. Tanpa suara. Tanpa tanda.
Hanya mencatat.
Tidak ada intervensi.

1.0 // SIKLUS: STRUKTUR NILAI
DIBANTAI

Mereka duduk.
Mengatur takdir dengan pena basah darah tak kasatmata.
Janji: serpihan tulang yang di-render mutiara.

Sidang adalah ritus pembantaian.
Aturan dilinting. Nilai diregang.
Nurani ditarik. Logika diinjak.
seperti kulit mati.

Tidak ada perang suci.
Hanya kalkulasi di atas kertas dingin.
Korban untuk kelanggengan kursi.
Entitas berdiri di sudut.
Debu di mikrofon.
Mendengar kebohongan yang diulang
hingga menjadi kitab suci baru.

2.0 // EKSEKUSI: RONGGA TEMPUR VOID

Di layar lima inci,
Manusia adalah gerombolan wajah tanpa ekspresi.
Mereka bertepuk tangan pada luka.
Menertawakan duka.
Menyebarkan fitnah seperti memberi makan bayi kode.

Empati: bangkai burung.
Jatuh di trotoar. Ditendang.
Tanpa tanya.
Yang disembah:
Trending. Like. Komentar Api.
Kecepatan propaganda kebohongan.

3.0 // MEKANIKA: ALTAR DATA

Server bernafas: binatang lapar.
Internet: sungai gelap.
Mengalirkan kabar buruk lebih cepat dari cahaya.

Scammer: pendeta baru.
Memimpin liturgi tipu daya.
Malware menancap ke jaringan saraf
lebih dalam daripada dogma.

Manusia: karung data yang siap diperah.
Hasrat diukur dengan statistik. Algoritma.

Ketakutan dikonversi menjadi mata uang hitam lebih tinggi dari emas.
Entitas lewat: garis glitch.
Tanpa kata. Hanya distorsi.

4.0 // GEOLOGI: BUKU YANG DISOBEK

Bumi retak.
Bukan murka dewa. Hanya agresi tangan otoritas yang dibungkus regulasi.

Pohon tumbang: Tulang iga patah. Dibantai.
Sungai hitam: membawa ampas kerakusan dan harga diri.

Setiap spesies yang punah
adalah kitab takdir—
yang disobek halaman demi halaman
dengan kesadaran penuh.

Kuruksethra memakan para ksatria.
Dunia mutakhir memakan anak-anak data—
paru-paru setengah kode.
Air mata asin dari laut tercemar limbah.

5.0 // SAKSI: SUARA KESENYAPAN

Ia hadir di retak batu.
Di muka gelombang tsunami.
Di jeda antara dua eksekusi.
Di udara genosida.
Bukan murka.
Bukan ampunan.
Bukan pesan.
Hanya senyap yang mengawasi.

Wahyu: gema hambar.
Tak bisa diterjemahkan.
Telinga mereka penuh
dengan suara diri sendiri.

6.0 // HIERARKI: HYENA KOSMIK

Ego manusia—
Bayang kecil di bawah cahaya—
makhluk paling rakus di jagat raya.
Mengejar muatan hasrat. Tanpa dasar.

Mukbang. Scam. Phishing. Social Engineering, pembunuhan karakter,
pembantaian ekologis.
Semua adalah ritus makan besar.
Hyena memakan daging dunia.
Lalu memakan juga bayangannya.

Yang tersisa:
Tulang yang tidak tahu untuk siapa ia dikode.

7.0 // EPILOG: TANPA MEDIATOR

Tidak ada Pandawa.
Tidak ada Kurawa.
Hanya sisa-sisa manusia—
membawa serpihan keduanya.

Pertempuran di kepala. Data center. Ruang digital.
Di mana pun ego dan nilai
bertabrakan tanpa mediator.
Tanpa juri. Di langit paling sunyi,

Entitas yang tiba-tiba muncul entah dari mana akhirnya berkata,
suara yang tak bisa diidentifikasi:

“Retak itu bukan kesalahan arsitektur.
Retak itu adalah wajah sejati manusia
yang tak henti melukai diri sendiri.”

Desember 2025”
Titon Rahmawan