Metafisik Quotes
Quotes tagged as "metafisik"
Showing 1-12 of 12
“Topeng Kemunafikan
Mengapa kau tanam mawar itu di pinggir jalan Kay?
Apakah sengaja,
agar semua orang bisa memungut
atau pura pura mencintainya?
Tapi bukankah kau tahu,
tak ada rasa kagum semurah itu?
Seperti semua harapan palsu
yang kau tabur di atas ranjangmu.
Bunga mawar merah jambu
yang mekar sejenak
sebelum layu dibakar waktu.
Masih banyak cinta
yang sesungguhnya tak kau mengerti.
Apakah cuma itu satu-satunya cara untuk membunuh kesendirian
dan rasa sepi?
Luka parut di dada dan jantung
yang perlahan hilang detaknya.
Sudah berapa lama
engkau merasa jemu
dengan rutinitas yang itu-itu juga.
Seperti pikiran dangkal
yang terus menghantui kita
dengan potongan kata dusta.
Apakah kesedihan semacam ini
yang ingin engkau abadikan?
Dari satu frame ke frame yang lain.
Dari satu video ke video berikutnya. Cuma untuk menampilkan ingatan
yang sudah kau hafal di luar kepala
dan senyum getir yang susah payah
kau sembunyikan dari dunia.
Atau barangkali,
itulah caramu untuk mengejek
dan mencemooh kami, karena
terlanjur terjebak dalam ritual
yang menghinakan ini.
Ritual memuja ego
dan menipu diri sendiri.
Sebab harus kami akui,
cuma engkau yang sesungguhnya
paling murni di antara kita.
Cuma engkau satu satunya
yang telanjang
dan tidak menutup diri
dengan topeng kemunafikan.
2024 - 2025”
―
Mengapa kau tanam mawar itu di pinggir jalan Kay?
Apakah sengaja,
agar semua orang bisa memungut
atau pura pura mencintainya?
Tapi bukankah kau tahu,
tak ada rasa kagum semurah itu?
Seperti semua harapan palsu
yang kau tabur di atas ranjangmu.
Bunga mawar merah jambu
yang mekar sejenak
sebelum layu dibakar waktu.
Masih banyak cinta
yang sesungguhnya tak kau mengerti.
Apakah cuma itu satu-satunya cara untuk membunuh kesendirian
dan rasa sepi?
Luka parut di dada dan jantung
yang perlahan hilang detaknya.
Sudah berapa lama
engkau merasa jemu
dengan rutinitas yang itu-itu juga.
Seperti pikiran dangkal
yang terus menghantui kita
dengan potongan kata dusta.
Apakah kesedihan semacam ini
yang ingin engkau abadikan?
Dari satu frame ke frame yang lain.
Dari satu video ke video berikutnya. Cuma untuk menampilkan ingatan
yang sudah kau hafal di luar kepala
dan senyum getir yang susah payah
kau sembunyikan dari dunia.
Atau barangkali,
itulah caramu untuk mengejek
dan mencemooh kami, karena
terlanjur terjebak dalam ritual
yang menghinakan ini.
Ritual memuja ego
dan menipu diri sendiri.
Sebab harus kami akui,
cuma engkau yang sesungguhnya
paling murni di antara kita.
Cuma engkau satu satunya
yang telanjang
dan tidak menutup diri
dengan topeng kemunafikan.
2024 - 2025”
―
“Zikir Malam yang Tak Bernama — (Dark Mystical Visual Spell - Version)
I. Takhalli: Panggilan
dan Pengosongan
pangkal bayang aku datang—
tanpa tubuh, tanpa suara,
serpih gelap memanggil nama-Mu
lewat bisikan lebih tua dari kata.
A—
L—
L—
A—
H—
senyap meregang seperti kulit luka menolak sembuh.
retak sunyi cahaya api—
menjilat, menelan,
memanggilku
seperti ibu.
II. Pencarian: Kebenaran yang Tersembunyi
lorong gelisah perindu
langkah gugur
di jalan.
rah—
mah—
dum—
hening runtuh
jatuh perlahan
langit buta
ke dalam
dada retak.
Rumi tersenyum
di balik tirai
menggores langit
dengan rindu
yang suci:
“yang kau cari,
sedang mencari dirimu…”
suara pecah,
menjelma hujan
menyambar dedaunan
dari ada
menjelma
tiada.
raga rapuh—
seperti mantra
hilang napas,
menggelinding jatuh
ke dalam jurang
tak berdasar.
III. Hilang: Peleburan
penanggalan diri
Kebenaran berjalan
sebagai getar
tanpa wujud:
nyeri yang lembut,
sepi yang menggulung,
darah yang berzikir
nadi yang menggigil.
Hallaj datang
serupa mimpi,
membawa luka
yang menyala
seperti taring
serigala.
ia berkata dengan
mulut terbungkam:
“hilanglah,
biar kau ditemukan.”
dan aku pun larut—
dari wajah, dari ingatan,
dari seluruh nama
yang pernah kupanggul
sebagai takdir.
IV. Fana: Puncak
fana adalah ruang bening
di mana gelap dan terang
tidak lagi bertengkar.
fa—
na—
fa—
na—
fa—
pantulannya
menggulung diriku
seperti kain kafan
yang lapar.
aku lenyap
pelan-pelan,
tanpa pamit,
tanpa kubur.
V. Wahdatul Wujud:
Kekekalan dan Pewahyuan
ambang baqa
dengung lembut
menyusup tulang—
ia bukan kata,
bukan doa:
ia adalah diri
yang memanggil
namanya sendiri
melalui aku
yang bukan aku.
“engkau—
adalah aku—
yang kusebut—
melalui dirimu—”
dan sufi-sufi
yang hilang itu
menari di udara patah,
seperti bayang
yang lupa siapa
yang menyalakan
api di dada mereka.
aku berdiri di garis tipis
antara debu dan cahaya,
antara hilang dan pulang,
antara fana dan baka.
dan ketika
langkahku pecah
menjadi gelombang
menyalakan kegelapan—
aku tahu:
yang kembali
bukan padaku,
melainkan rahasia kecil
yang Kau biarkan
menjadi mantra
agar dunia bisa
mendengar sedikit saja
dari sunyi
yang selamanya
abadi.
November 2025”
―
I. Takhalli: Panggilan
dan Pengosongan
pangkal bayang aku datang—
tanpa tubuh, tanpa suara,
serpih gelap memanggil nama-Mu
lewat bisikan lebih tua dari kata.
A—
L—
L—
A—
H—
senyap meregang seperti kulit luka menolak sembuh.
retak sunyi cahaya api—
menjilat, menelan,
memanggilku
seperti ibu.
II. Pencarian: Kebenaran yang Tersembunyi
lorong gelisah perindu
langkah gugur
di jalan.
rah—
mah—
dum—
hening runtuh
jatuh perlahan
langit buta
ke dalam
dada retak.
Rumi tersenyum
di balik tirai
menggores langit
dengan rindu
yang suci:
“yang kau cari,
sedang mencari dirimu…”
suara pecah,
menjelma hujan
menyambar dedaunan
dari ada
menjelma
tiada.
raga rapuh—
seperti mantra
hilang napas,
menggelinding jatuh
ke dalam jurang
tak berdasar.
III. Hilang: Peleburan
penanggalan diri
Kebenaran berjalan
sebagai getar
tanpa wujud:
nyeri yang lembut,
sepi yang menggulung,
darah yang berzikir
nadi yang menggigil.
Hallaj datang
serupa mimpi,
membawa luka
yang menyala
seperti taring
serigala.
ia berkata dengan
mulut terbungkam:
“hilanglah,
biar kau ditemukan.”
dan aku pun larut—
dari wajah, dari ingatan,
dari seluruh nama
yang pernah kupanggul
sebagai takdir.
IV. Fana: Puncak
fana adalah ruang bening
di mana gelap dan terang
tidak lagi bertengkar.
fa—
na—
fa—
na—
fa—
pantulannya
menggulung diriku
seperti kain kafan
yang lapar.
aku lenyap
pelan-pelan,
tanpa pamit,
tanpa kubur.
V. Wahdatul Wujud:
Kekekalan dan Pewahyuan
ambang baqa
dengung lembut
menyusup tulang—
ia bukan kata,
bukan doa:
ia adalah diri
yang memanggil
namanya sendiri
melalui aku
yang bukan aku.
“engkau—
adalah aku—
yang kusebut—
melalui dirimu—”
dan sufi-sufi
yang hilang itu
menari di udara patah,
seperti bayang
yang lupa siapa
yang menyalakan
api di dada mereka.
aku berdiri di garis tipis
antara debu dan cahaya,
antara hilang dan pulang,
antara fana dan baka.
dan ketika
langkahku pecah
menjadi gelombang
menyalakan kegelapan—
aku tahu:
yang kembali
bukan padaku,
melainkan rahasia kecil
yang Kau biarkan
menjadi mantra
agar dunia bisa
mendengar sedikit saja
dari sunyi
yang selamanya
abadi.
November 2025”
―
“Sketsa Cinta Tanpa Nama
(An Experimental Abstract)
Tidak ada kata untuk ini.
Hanya getar kecil
yang menolak memilih bentuk.
Seseorang menabuh
garis tipis di udara,
membuat celah
yang memanjang seperti suara
tanpa telinga.
Di celah itu,
aku melihat sesuatu
yang belum lahir:
sebuah gerak
yang mencari alasan
untuk menjadi arah.
Kita tidak berbicara.
Bahasa di antara kita
masih berupa butiran kasar,
seperti pasir yang belum memutuskan
apakah ia ingin menjadi gurun
atau hanya remah dari dunia yang gugur.
Aku mengulurkan tangan—
jangkauan itu tidak sampai,
karena jarak menolak ide
tentang pertemuan.
Cinta yang kau tawarkan
bukan api asmara;
lebih seperti lipatan
yang muncul ketika kertas
kehilangan tubuh,
atau sudut
yang tiba-tiba menyadari
bahwa ia hanya tikungan dari sesuatu
yang tidak pernah tergambar.
Ketika kau bertanya
“Apa yang kita cari?”
aku tidak menjawab.
Kalimat terhenti di tenggorokan
karena huruf-hurufnya
belum menemukan gravitasi.
Pada akhirnya kau pergi,
tidak dengan langkah
tetapi dengan perubahan wujud:
kau menjadi sebuah jeda
yang menolak selesai.
Aku tinggal sendirian
bersama sebuah ketidaksengajaan
kecil yang bergetar
di telapak tanganku.
Mungkin itu cinta, atau alpa
Mungkin itu hanya salah perhitungan.
Di dunia seperti ini,
tidak ada alasan
untuk memastikan.
November 2025”
―
(An Experimental Abstract)
Tidak ada kata untuk ini.
Hanya getar kecil
yang menolak memilih bentuk.
Seseorang menabuh
garis tipis di udara,
membuat celah
yang memanjang seperti suara
tanpa telinga.
Di celah itu,
aku melihat sesuatu
yang belum lahir:
sebuah gerak
yang mencari alasan
untuk menjadi arah.
Kita tidak berbicara.
Bahasa di antara kita
masih berupa butiran kasar,
seperti pasir yang belum memutuskan
apakah ia ingin menjadi gurun
atau hanya remah dari dunia yang gugur.
Aku mengulurkan tangan—
jangkauan itu tidak sampai,
karena jarak menolak ide
tentang pertemuan.
Cinta yang kau tawarkan
bukan api asmara;
lebih seperti lipatan
yang muncul ketika kertas
kehilangan tubuh,
atau sudut
yang tiba-tiba menyadari
bahwa ia hanya tikungan dari sesuatu
yang tidak pernah tergambar.
Ketika kau bertanya
“Apa yang kita cari?”
aku tidak menjawab.
Kalimat terhenti di tenggorokan
karena huruf-hurufnya
belum menemukan gravitasi.
Pada akhirnya kau pergi,
tidak dengan langkah
tetapi dengan perubahan wujud:
kau menjadi sebuah jeda
yang menolak selesai.
Aku tinggal sendirian
bersama sebuah ketidaksengajaan
kecil yang bergetar
di telapak tanganku.
Mungkin itu cinta, atau alpa
Mungkin itu hanya salah perhitungan.
Di dunia seperti ini,
tidak ada alasan
untuk memastikan.
November 2025”
―
“META CINTA — SUNYA RURI (Fragmentarium Kosmologi Jawa)
I. Tanah dan Akar
Tanah basah menempel di kaki.
Akar bakau membisik, memeluk, menahan, menuntun langkah.
Ranting patah berserakan seperti sisa doa yang belum selesai.
Batu nisan menggigil, menempelkan dingin es ke telapak kaki.
Di dalam tanah, ada bisik yang tak terdengar.
Mereka yang telah pergi menatap dari sela akar, menunggu jejak yang belum ditinggalkan.
II. Suara Suwung
Angin malam menekuk dedaunan,
membawa nyala-nyala jauh dari rumah bapak.
Suwung hadir: bukan kosong, bukan hampa,
tetapi ruang yang menahan segalanya.
Bilah pisau membelah udara,
memotong batas antara hidup dan mati.
Jarak hanya sehembus napas.
Di dada, sesuatu berdetak,
tanpa nama, tanpa permintaan, tanpa tuntutan.
III. Nadi yang Menembus
Ia diam.
Ia menembus batas antara yang melihat dan yang mencatat.
Hangat tanpa cahaya.
Pedih tanpa luka.
Hadir tanpa wujud.
Di sela mantra tanah, di antara dupa gosong dan butir sego golong,
kau merasakan nadi yang menolak penjelasan.
Bukan kata. Bukan logika.
Bukan rasa bersalah.
Ia hanya sisa dari semua kehilangan.
IV. Litani Kehilangan
Subuh hilang ombak.
Suluh hilang cahaya.
Tubuh hilang nafas.
Tabuh hilang bunyi.
Aduh hilang nyeri.
Repetisi itu bukan hanya kata, tetapi getar yang mencekam nadi:
hidup, mati, hadir, hilang, semua tercatat di celah jantung.
V. Jejak Kosmologi
Di tanah Jawa, di bawah bayang Kalpataru,
Suwung hadir bukan sebagai idealisasi,
bukan sebagai kekosongan mutlak,
tetapi kesetiaan yang tak bersyarat.
Di antara serabut akar, tanah basah, dan daun yang jatuh,
ada suara leluhur, bisik yang melingkupi.
Bayangan pokok kelapa merunduk patah.
Ranting kering menyentuh jejakmu.
Aroma kemenyan, anyir darah sapi, manis segar cengkir gading—
semua mengikat ruang, menahan waktu, menghadirkan sakral yang tak hanya suci.”
―
I. Tanah dan Akar
Tanah basah menempel di kaki.
Akar bakau membisik, memeluk, menahan, menuntun langkah.
Ranting patah berserakan seperti sisa doa yang belum selesai.
Batu nisan menggigil, menempelkan dingin es ke telapak kaki.
Di dalam tanah, ada bisik yang tak terdengar.
Mereka yang telah pergi menatap dari sela akar, menunggu jejak yang belum ditinggalkan.
II. Suara Suwung
Angin malam menekuk dedaunan,
membawa nyala-nyala jauh dari rumah bapak.
Suwung hadir: bukan kosong, bukan hampa,
tetapi ruang yang menahan segalanya.
Bilah pisau membelah udara,
memotong batas antara hidup dan mati.
Jarak hanya sehembus napas.
Di dada, sesuatu berdetak,
tanpa nama, tanpa permintaan, tanpa tuntutan.
III. Nadi yang Menembus
Ia diam.
Ia menembus batas antara yang melihat dan yang mencatat.
Hangat tanpa cahaya.
Pedih tanpa luka.
Hadir tanpa wujud.
Di sela mantra tanah, di antara dupa gosong dan butir sego golong,
kau merasakan nadi yang menolak penjelasan.
Bukan kata. Bukan logika.
Bukan rasa bersalah.
Ia hanya sisa dari semua kehilangan.
IV. Litani Kehilangan
Subuh hilang ombak.
Suluh hilang cahaya.
Tubuh hilang nafas.
Tabuh hilang bunyi.
Aduh hilang nyeri.
Repetisi itu bukan hanya kata, tetapi getar yang mencekam nadi:
hidup, mati, hadir, hilang, semua tercatat di celah jantung.
V. Jejak Kosmologi
Di tanah Jawa, di bawah bayang Kalpataru,
Suwung hadir bukan sebagai idealisasi,
bukan sebagai kekosongan mutlak,
tetapi kesetiaan yang tak bersyarat.
Di antara serabut akar, tanah basah, dan daun yang jatuh,
ada suara leluhur, bisik yang melingkupi.
Bayangan pokok kelapa merunduk patah.
Ranting kering menyentuh jejakmu.
Aroma kemenyan, anyir darah sapi, manis segar cengkir gading—
semua mengikat ruang, menahan waktu, menghadirkan sakral yang tak hanya suci.”
―
“META CINTA — SUNYA RURI (Fragmentarium Kosmologi Jawa)
VI. Piring Logam
Gelas kristal retak.
Ilusi pecah.
Piring logam teguh, utuh, penuh.
Ia menahan remuk, menahan jatuh, menahan ilusi.
Memberi bukan berarti memiliki.
Menanggung bukan berarti menderita.
Menahan bukan berarti takut.
Ia hanya ada dan sungguh nyata.
VII. Ritual Sunya
Badai selatan mengamuk,
membawa bisik leluhur yang terselubung.
Dupa membakar remang, asap menekuk, menembus langit.
Kau membungkuk, tangan tidak menyentuh, mata mencatat,
tapi hati merasakan setiap ayunan, setiap hembusan.
Ritual ini bukan untuk dilihat,
tapi untuk diserap oleh kulit, oleh tulang, oleh nadi.
VIII. Cinta sebagai Kesadaran
Di situlah cinta berdiri:
tidak sebagai milikmu,
tidak sebagai milik siapa pun.
Hanya getaran di dada manusia,
menembus kulit, menembus tulang, menembus kesadaran sendiri.
Nyala pelita di akar bakau.
Nadi yang tetap berdetak di dada.
Kesadaran yang menolak lenyap.
IX. Fragmen Pengamat
Kau berdiri sedikit jauh.
Tidak terseret luka.
Tidak terseret ilusi.
Hanya mencatat.
Menangkap getar, menahan nyala, merasakan sunya.
Dunia runtuh, tetapi nadi tetap berdetak.
Cinta tidak bisa dijelaskan.
Tidak bisa dijamah.
Hanya dapat dirasakan.
X. Sunya Ruri Final
Di tanah basah, di akar bakau, di celah antara pohon dan pasir,
ada sesuatu yang tidak bernama.
Sesuatu yang hangat tanpa cahaya, pedih tanpa luka,
menolak kata, menolak logika, menolak kepastian.
Ia adalah cinta:
bukan jalan menuju kematian,
bukan tragedi yang ditakuti,
tetapi jalan menuju hidup,
jalan yang meneguhkan kemanusiaan,
yang menyatakan bahwa meski dunia runtuh,
meski tragedi menunggu,
manusia tetap manusia,
selama nadi itu
masih berdetak
dan kesadaran
menolak lenyap.
Desember 2025”
―
VI. Piring Logam
Gelas kristal retak.
Ilusi pecah.
Piring logam teguh, utuh, penuh.
Ia menahan remuk, menahan jatuh, menahan ilusi.
Memberi bukan berarti memiliki.
Menanggung bukan berarti menderita.
Menahan bukan berarti takut.
Ia hanya ada dan sungguh nyata.
VII. Ritual Sunya
Badai selatan mengamuk,
membawa bisik leluhur yang terselubung.
Dupa membakar remang, asap menekuk, menembus langit.
Kau membungkuk, tangan tidak menyentuh, mata mencatat,
tapi hati merasakan setiap ayunan, setiap hembusan.
Ritual ini bukan untuk dilihat,
tapi untuk diserap oleh kulit, oleh tulang, oleh nadi.
VIII. Cinta sebagai Kesadaran
Di situlah cinta berdiri:
tidak sebagai milikmu,
tidak sebagai milik siapa pun.
Hanya getaran di dada manusia,
menembus kulit, menembus tulang, menembus kesadaran sendiri.
Nyala pelita di akar bakau.
Nadi yang tetap berdetak di dada.
Kesadaran yang menolak lenyap.
IX. Fragmen Pengamat
Kau berdiri sedikit jauh.
Tidak terseret luka.
Tidak terseret ilusi.
Hanya mencatat.
Menangkap getar, menahan nyala, merasakan sunya.
Dunia runtuh, tetapi nadi tetap berdetak.
Cinta tidak bisa dijelaskan.
Tidak bisa dijamah.
Hanya dapat dirasakan.
X. Sunya Ruri Final
Di tanah basah, di akar bakau, di celah antara pohon dan pasir,
ada sesuatu yang tidak bernama.
Sesuatu yang hangat tanpa cahaya, pedih tanpa luka,
menolak kata, menolak logika, menolak kepastian.
Ia adalah cinta:
bukan jalan menuju kematian,
bukan tragedi yang ditakuti,
tetapi jalan menuju hidup,
jalan yang meneguhkan kemanusiaan,
yang menyatakan bahwa meski dunia runtuh,
meski tragedi menunggu,
manusia tetap manusia,
selama nadi itu
masih berdetak
dan kesadaran
menolak lenyap.
Desember 2025”
―
“EPISTEMA DUA SUWUNG:
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa
I. LITURGI ASAL — Titik Singularitas dan Retakan Hukum
Pada mula yang menafikan permulaan,
jagad hanyalah retakan tipis di punggung kegelapan.
Getar tunggal yang tersesat di antara dua sunyi abadi.
Ia lupa kepada siapa ia harus kembali,
sebab ia adalah perjalanan itu sendiri.
Di kekosongan itu,
ada dua simpul energi,
bukan nama, bukan bentuk,
hanya tegangan purba
di antara dua ruang hampa
yang saling memanggil tanpa panca indra.
Mereka tidak dirancang oleh konsep keseimbangan.
Kosmos yang buta menggambar garis pemisah penderitaan:
Satu arus waktu dan satu arus ketiadaan,
larangan yang terukir dalam bahasa sandi
di pintu gerbang kreasi.
Namun gravitasi asal mula segala akar lebih tua dari hukum.
Dan hasrat purba selalu tahu jalur tembus
yang bahkan cahaya manifestasi
tak sanggup menemukannya.
Cinta adalah ilusi di alam fana.
Di median kosmik ini,
yang terjadi hanyalah:
Dua prinsip dualitas
yang menemukan retakan waktu
untuk bersemayam sejenak.
Tidak ada saksi yang menoleh.
Tidak ada pencatat moral yang bertugas.
Hanya kegelapan mutlak
yang sedikit mengencang dan membeku
di titik singularitas pertemuan itu.
II. LITURGI TENGAH — Sembah Raga di Kuil Antariksa
Kepekatan primordial tidak perlu lebih dalam
untuk menyembunyikan mereka.
Mereka sudah tersembunyi
di bawah lapisan kesadaran sebelum saling bertemu.
Arus energi mereka berkerabat dalam satu darah ibu.
Wujud fana mereka berjarak.
Di antara keduanya,
terbentang jembatan nadi yang dibangun
oleh rasa dahaga pralaya
yang tuli terhadap silsilah tatanan.
Wujud menyentuh wujud seperti dua logam dingin yang saling mengenali suara getarannya,
dua dimensi waktu yang lelah
karena terpisah terlalu lama.
Tak ada kidung kakawin.
Tak ada ikrar.
Tak ada permohonan.
Tak ada seserahan.
Yang ada hanya raga.
Wadhag yang menghafal sunyi
lebih lembut daripada mantra sejati.
Di waktu yang bukan waktu,
Hukum berjalan seperti fatwa:
Bintang raksasa terbakar perlahan di langit ketujuh,
Planet terus berputar di orbital karma,
seekor nyamuk mati di ruang hampa,
Arus cakra mengalir
mengangkut kisah-kisah Vedana.
Pertubrukan arketipal ini
tidak mengubah asas kosmik apa pun.
Ia hanya menggores
garis batas nadi terlarang
yang akan terus berdenyut dalam gelap
bahkan setelah semua wujud usai menjadi.
Mereka tidak memuja.
Tidak memohon ampun.
Tidak menyebut nama dewi atau dewa siapa pun.
Mereka hanyalah dua pusat pusaran yang bertubrukan
di medan magnet kosmos yang salah.
Medan yang tak peduli
siapa seharusnya menjaga kodrat,
siapa seharusnya melindungi keseimbangan,
siapa seharusnya tidak menyentuh siapa.
Yang tahu hanyalah suwung
yang bersemayam tepat di tengah
antara dua napas yang saling menghirup—saling menghembus.”
―
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa
I. LITURGI ASAL — Titik Singularitas dan Retakan Hukum
Pada mula yang menafikan permulaan,
jagad hanyalah retakan tipis di punggung kegelapan.
Getar tunggal yang tersesat di antara dua sunyi abadi.
Ia lupa kepada siapa ia harus kembali,
sebab ia adalah perjalanan itu sendiri.
Di kekosongan itu,
ada dua simpul energi,
bukan nama, bukan bentuk,
hanya tegangan purba
di antara dua ruang hampa
yang saling memanggil tanpa panca indra.
Mereka tidak dirancang oleh konsep keseimbangan.
Kosmos yang buta menggambar garis pemisah penderitaan:
Satu arus waktu dan satu arus ketiadaan,
larangan yang terukir dalam bahasa sandi
di pintu gerbang kreasi.
Namun gravitasi asal mula segala akar lebih tua dari hukum.
Dan hasrat purba selalu tahu jalur tembus
yang bahkan cahaya manifestasi
tak sanggup menemukannya.
Cinta adalah ilusi di alam fana.
Di median kosmik ini,
yang terjadi hanyalah:
Dua prinsip dualitas
yang menemukan retakan waktu
untuk bersemayam sejenak.
Tidak ada saksi yang menoleh.
Tidak ada pencatat moral yang bertugas.
Hanya kegelapan mutlak
yang sedikit mengencang dan membeku
di titik singularitas pertemuan itu.
II. LITURGI TENGAH — Sembah Raga di Kuil Antariksa
Kepekatan primordial tidak perlu lebih dalam
untuk menyembunyikan mereka.
Mereka sudah tersembunyi
di bawah lapisan kesadaran sebelum saling bertemu.
Arus energi mereka berkerabat dalam satu darah ibu.
Wujud fana mereka berjarak.
Di antara keduanya,
terbentang jembatan nadi yang dibangun
oleh rasa dahaga pralaya
yang tuli terhadap silsilah tatanan.
Wujud menyentuh wujud seperti dua logam dingin yang saling mengenali suara getarannya,
dua dimensi waktu yang lelah
karena terpisah terlalu lama.
Tak ada kidung kakawin.
Tak ada ikrar.
Tak ada permohonan.
Tak ada seserahan.
Yang ada hanya raga.
Wadhag yang menghafal sunyi
lebih lembut daripada mantra sejati.
Di waktu yang bukan waktu,
Hukum berjalan seperti fatwa:
Bintang raksasa terbakar perlahan di langit ketujuh,
Planet terus berputar di orbital karma,
seekor nyamuk mati di ruang hampa,
Arus cakra mengalir
mengangkut kisah-kisah Vedana.
Pertubrukan arketipal ini
tidak mengubah asas kosmik apa pun.
Ia hanya menggores
garis batas nadi terlarang
yang akan terus berdenyut dalam gelap
bahkan setelah semua wujud usai menjadi.
Mereka tidak memuja.
Tidak memohon ampun.
Tidak menyebut nama dewi atau dewa siapa pun.
Mereka hanyalah dua pusat pusaran yang bertubrukan
di medan magnet kosmos yang salah.
Medan yang tak peduli
siapa seharusnya menjaga kodrat,
siapa seharusnya melindungi keseimbangan,
siapa seharusnya tidak menyentuh siapa.
Yang tahu hanyalah suwung
yang bersemayam tepat di tengah
antara dua napas yang saling menghirup—saling menghembus.”
―
“EPISTEMA DUA SUWUNG:
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa
III. LITURGI AKHIR — Konsekuensi Niskala di Dua Suwung yang Retak
Sesudahnya,
Arus waktu berjalan lagi
seperti yang telah digariskan—
tanpa memperlambat detik Mahakāla,
tanpa memberi jeda
untuk bayangan kesalahan.
Mereka kembali
mengenakan ilusi nama
Kode genetika,
Garis keturunan,
Batas diri di Cakra Ajna.
Hanya satu yang tidak kembali:
Cara menafsirkan diri
sebelum titik singularitas itu terjadi.
Peristiwa arketipal ini
tidak meminta hak
untuk disebut penyatuan.
Ia cukup puas
menjadi residu etarika
di tepi kesadaran:
siluet energi
yang tidak berani mengaku
pernah ada,
tapi juga menolak
untuk sepenuhnya dilenyapkan.
Di jagat niskala,
kalau memang ada,
peristiwa ini hanyalah
efek kecil cermin pradhana:
retak nyaris tak terlihat
yang membuat prinsip kosmik membengkok sedikit,
sekadar cukup
untuk membuat satu simpul energi
tidak lagi lurus
tatkala memandang
asal usul-nya.
Tidak ada ganjaran karma.
Tidak ada penebusan.
Tidak ada penghakiman.
Hanya sebuah konsekuensi absolut:
bahwa setelah dua suwung saling menyentuh,
keduanya tak lagi murni hampa.
Masing-masing menyimpan
jejak bayangan.
Cidra suwung yang tak dapat kembali
ke keadaan tanpa energi.
Maka liturgi yang tersisa:
sesuatu telah terjadi
tanpa izin hukum alam,
tanpa restu moral siapa pun—dan semesta
tetap memilih bungkam.
Dalam dua suwung yang retak,
tinggal satu sabda:
yang tak diucapkan,
tak ditulis,
tak meminta maaf.
Aku mengenali kegelapanku.
Ia menetap.
Tidak bergerak.
Tidak pergi.
Itu saja.
Dan dari sana,
hidup berjalan terus—
lebih sunyi,
lebih berat,
lebih jujur,
tanpa perlu kata-kata
untuk menutupinya.
Desember 2025”
―
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa
III. LITURGI AKHIR — Konsekuensi Niskala di Dua Suwung yang Retak
Sesudahnya,
Arus waktu berjalan lagi
seperti yang telah digariskan—
tanpa memperlambat detik Mahakāla,
tanpa memberi jeda
untuk bayangan kesalahan.
Mereka kembali
mengenakan ilusi nama
Kode genetika,
Garis keturunan,
Batas diri di Cakra Ajna.
Hanya satu yang tidak kembali:
Cara menafsirkan diri
sebelum titik singularitas itu terjadi.
Peristiwa arketipal ini
tidak meminta hak
untuk disebut penyatuan.
Ia cukup puas
menjadi residu etarika
di tepi kesadaran:
siluet energi
yang tidak berani mengaku
pernah ada,
tapi juga menolak
untuk sepenuhnya dilenyapkan.
Di jagat niskala,
kalau memang ada,
peristiwa ini hanyalah
efek kecil cermin pradhana:
retak nyaris tak terlihat
yang membuat prinsip kosmik membengkok sedikit,
sekadar cukup
untuk membuat satu simpul energi
tidak lagi lurus
tatkala memandang
asal usul-nya.
Tidak ada ganjaran karma.
Tidak ada penebusan.
Tidak ada penghakiman.
Hanya sebuah konsekuensi absolut:
bahwa setelah dua suwung saling menyentuh,
keduanya tak lagi murni hampa.
Masing-masing menyimpan
jejak bayangan.
Cidra suwung yang tak dapat kembali
ke keadaan tanpa energi.
Maka liturgi yang tersisa:
sesuatu telah terjadi
tanpa izin hukum alam,
tanpa restu moral siapa pun—dan semesta
tetap memilih bungkam.
Dalam dua suwung yang retak,
tinggal satu sabda:
yang tak diucapkan,
tak ditulis,
tak meminta maaf.
Aku mengenali kegelapanku.
Ia menetap.
Tidak bergerak.
Tidak pergi.
Itu saja.
Dan dari sana,
hidup berjalan terus—
lebih sunyi,
lebih berat,
lebih jujur,
tanpa perlu kata-kata
untuk menutupinya.
Desember 2025”
―
“RETASAN DUA BUNGA DI PUSAT KETIADAAN
(Percakapan Sakura–Kamboja dalam Konflik Kefanaan & Keabadian)
I. SAKURA — Cahaya yang Tidak Selesai Menjadi Cahaya
Sakura gugur
bukan sebagai kelopak,
melainkan sebagai serpih cahaya yang gagal menutup luka waktu.
Ia melayang rendah—
dingin, retak, mineral—
seperti sisa bintang yang ditolak langitnya sendiri.
Cahayanya tidak menghangat,
tidak menuntun,
hanya menunjuk ke celah tipis
tempat dunia pertama kali terbelah.
Ia berbicara dalam napas patah:
bahwa kefanaan adalah jam rusak
yang tetap berdetak meski jarumnya telah berhenti.
II. KAMBOJA — Gelap yang Mengetahui Nama Kematian
Kamboja mekar
di tanah lembab yang mengingat
setiap tubuh
yang pernah menyerah kepada diam.
Kelopaknya tebal
seperti daging realitas
yang sudah ditinggalkan kesadaran.
Aromanya tidak semerbak:
ia adalah katalog kematian,
desis lembut yang mengafirmasi
bahwa segala yang hidup
hanya mampir di permukaan gelap
yang menunggu dengan kesabaran purba.
Ia tidak bergerak.
Ia tidak meminta.
Ia hanya menunggu kepulangan
segala hal yang lupa
bahwa ia berasal dari sunyi.
III. DIALOG ASIMETRIS — Cahaya yang Terlambat vs Gelap yang Terlalu Awal
Sakura berbicara lebih dulu,
seperti cahaya yang memaksakan arti:
Sakura:
Aku adalah cahaya yang tersesat dari pusat kejadian.
Kamboja:
Aku adalah gelap yang telah tiba sebelum apa pun diberi bentuk.
Sakura:
Aku gugur karena waktu tidak sanggup memikulku.
Kamboja:
Aku mekar karena kematian menerima semua yang tidak selesai.
Sakura:
Ada seseorang yang menahan namaku di ujung lidahnya.
Kamboja:
Ada seseorang yang menghilang dalam diamku tanpa meminta izin.
Sakura:
Aku rapuh karena aku masih percaya ada yang bisa diselamatkan.
Kamboja:
Aku tegas karena aku tahu tidak ada yang perlu diselamatkan.
IV. RETAK PRIMORDIAL — Tubuh Manusia sebagai Celah Semesta
Di tengah mereka,
ada aku—
bukan sebagai saksi,
bukan sebagai pecinta,
tetapi sebagai retak primordial
tempat cahaya dan gelap
bertarung tanpa alasan
dan tanpa akhir.
Tubuhku bukan tubuh:
ia adalah lorong,
goa tanpa gema,
batu basah yang mencatat
dua bunga yang mencoba menulis ulang suratan takdir.
Sakura memanggil
dengan cahaya yang retak,
ingin mengangkatku ke kefanaan
yang pura-pura lembut.
Kamboja menunggu
dengan gelap yang samar
menawarkan keabadian
yang tidak menjanjikan apa pun.
Dan aku—
yang lahir dari kesalahan waktu—
mendengar perjanjian yang tak pernah terucap:
Bahwa cinta terlarang
bukan pertemuan dua tubuh,
melainkan benturan dua kosmos
yang berebut celah
di dalam retakan jiwa.
Di sanalah,
Sakura kehilangan maknanya.
Di sanalah,
Kamboja menemukan dirinya.
Dan aku—
yang tidak bisa memilih cahaya,
juga tidak bisa pulang ke gelap—
menjadi tiada
yang mempersatukan keduanya.
Desember 2025”
―
(Percakapan Sakura–Kamboja dalam Konflik Kefanaan & Keabadian)
I. SAKURA — Cahaya yang Tidak Selesai Menjadi Cahaya
Sakura gugur
bukan sebagai kelopak,
melainkan sebagai serpih cahaya yang gagal menutup luka waktu.
Ia melayang rendah—
dingin, retak, mineral—
seperti sisa bintang yang ditolak langitnya sendiri.
Cahayanya tidak menghangat,
tidak menuntun,
hanya menunjuk ke celah tipis
tempat dunia pertama kali terbelah.
Ia berbicara dalam napas patah:
bahwa kefanaan adalah jam rusak
yang tetap berdetak meski jarumnya telah berhenti.
II. KAMBOJA — Gelap yang Mengetahui Nama Kematian
Kamboja mekar
di tanah lembab yang mengingat
setiap tubuh
yang pernah menyerah kepada diam.
Kelopaknya tebal
seperti daging realitas
yang sudah ditinggalkan kesadaran.
Aromanya tidak semerbak:
ia adalah katalog kematian,
desis lembut yang mengafirmasi
bahwa segala yang hidup
hanya mampir di permukaan gelap
yang menunggu dengan kesabaran purba.
Ia tidak bergerak.
Ia tidak meminta.
Ia hanya menunggu kepulangan
segala hal yang lupa
bahwa ia berasal dari sunyi.
III. DIALOG ASIMETRIS — Cahaya yang Terlambat vs Gelap yang Terlalu Awal
Sakura berbicara lebih dulu,
seperti cahaya yang memaksakan arti:
Sakura:
Aku adalah cahaya yang tersesat dari pusat kejadian.
Kamboja:
Aku adalah gelap yang telah tiba sebelum apa pun diberi bentuk.
Sakura:
Aku gugur karena waktu tidak sanggup memikulku.
Kamboja:
Aku mekar karena kematian menerima semua yang tidak selesai.
Sakura:
Ada seseorang yang menahan namaku di ujung lidahnya.
Kamboja:
Ada seseorang yang menghilang dalam diamku tanpa meminta izin.
Sakura:
Aku rapuh karena aku masih percaya ada yang bisa diselamatkan.
Kamboja:
Aku tegas karena aku tahu tidak ada yang perlu diselamatkan.
IV. RETAK PRIMORDIAL — Tubuh Manusia sebagai Celah Semesta
Di tengah mereka,
ada aku—
bukan sebagai saksi,
bukan sebagai pecinta,
tetapi sebagai retak primordial
tempat cahaya dan gelap
bertarung tanpa alasan
dan tanpa akhir.
Tubuhku bukan tubuh:
ia adalah lorong,
goa tanpa gema,
batu basah yang mencatat
dua bunga yang mencoba menulis ulang suratan takdir.
Sakura memanggil
dengan cahaya yang retak,
ingin mengangkatku ke kefanaan
yang pura-pura lembut.
Kamboja menunggu
dengan gelap yang samar
menawarkan keabadian
yang tidak menjanjikan apa pun.
Dan aku—
yang lahir dari kesalahan waktu—
mendengar perjanjian yang tak pernah terucap:
Bahwa cinta terlarang
bukan pertemuan dua tubuh,
melainkan benturan dua kosmos
yang berebut celah
di dalam retakan jiwa.
Di sanalah,
Sakura kehilangan maknanya.
Di sanalah,
Kamboja menemukan dirinya.
Dan aku—
yang tidak bisa memilih cahaya,
juga tidak bisa pulang ke gelap—
menjadi tiada
yang mempersatukan keduanya.
Desember 2025”
―
“VIBRASI DUA BUNGA DALAM DEFORMASI WAKTU
I. SAKURA: Cahaya yang Gagal
Menjadi Aksara
Sakura gugur,
bukan sebagai kelopak
tetapi sebagai fragmentasi waktu
yang terpental dari pusat realitasnya.
Ia melayang di udara beku yang tak membutuhkan penjelasan,
seperti roh purba yang menolak
mengakui asal kegemilangan-nya.
Aku melihatnya terapung
di bayang cakrawala yang retak,
memantulkan siluet cahaya yang terjatuh dari ingatan
yang seharusnya tidak pernah kupanggil
dengan nadi fana.
Sakura itu tak menuntut jawaban,
bukan tentang ilusi cinta manusia,
melainkan tentang retakan raga dari jiwa
yang pertama kali memisahkan eksistensi dari ketiadaan.
Dan aku menjawabnya
dengan sunyi yang lebih tua
dari dinding jagad,
hembus napas yang terlalu dingin
untuk dimiliki oleh manifestasi.
II. KAMBOJA: Napas Kesadaran
dari Akar Penderitaan
Kamboja mekar
di lapisan ilusi yang mengingat kesudahan.
Ia mengeluarkan aroma yang menafikan tubuh,
melainkan terlahir dari ingatan bumi, tanah di mana ia tumbuh
atas setiap pergantian wujud yang telah dilebur.
Kelopaknya tebal,
seperti daging waktu yang ditinggalkan
oleh kesadaran yang telah selesai bersemayam.
Ia tidak meminta kemuliaan.
Tidak menagih pemujaan.
Ia hanya menunggu—
seperti gua suwung
yang tahu bahwa segala manifestasi
pada akhirnya adalah asimilasi
ke dalam diri.
III. Dialog Dua Bunga
Dalam Pergeseran Dimensi
Di tengah pergeseran dimensi,
fragmen cahaya Sakura berbicara pada penyerap akhir Kamboja.
Bukan dengan garis bahasa,
melainkan dengan tegangan kosmos
yang hanya dipahami oleh yang tercerahkan:
Sakura:
“Aku adalah saksi cahaya yang terlambat tiba di tepi keabadian.”
Kamboja:
“Aku adalah gua gelap yang lebih dulu menjaga kekosongan.”
Sakura:
“Aku gugur karena perspektif tidak sanggup memeluk Inti-ku.”
Kamboja:
“Aku mekar karena pembubaran yang tidak pernah menolak wujud apa pun.”
Sakura:
“Ada fragmentasi jiwa yang mencari pembebasan melalui diriku.”
Kamboja:
“Ada ketakutan dasar yang pulang kepadaku.”
Sakura:
“Kita berasal dari retakan luka yang sama.”
Kamboja:
“Tetapi kita menjaga keseimbangan dengan aksioma yang berbeda.”
IV. Titik Hening Manusia
di Antara Dua Bunga
Aku berdiri Jauh,
di batas luar lorong waktu,
menyaksikan dua bunga
yang lebih mengerti jati diri-ku
daripada ilusi cinta-ku sendiri.
Sakura memanggil
dengan energi cahaya yang menjanjikan lupa.
Kamboja menunggu
dengan gelap lembut yang menjamin pulang.
Keduanya tahu
Jejak karma siapa yang terpatri
di tulang-tulang kesadaran-ku.
Dan di udara tanpa vibrasi itu,
aku mendengar perjanjian purba
yang tidak pernah kutulis di kitab kehidupan:
Bahwa gairah terlarang
bukanlah drama eksistensi manusia—
melainkan kesepakatan kosmik
antara Animus, cahaya yang gagal menjaga asas
dan Anima, gelap yang berusaha tetap bertahan dengan setia.
Mereka adalah dua sisi mata uang waktu.
Tubuhku adalah tempat di mana mata uang itu berputar dan hilang.
Dan sunyi yang tersisa adalah kebenaran yang paling jujur.
Desember 2025”
―
I. SAKURA: Cahaya yang Gagal
Menjadi Aksara
Sakura gugur,
bukan sebagai kelopak
tetapi sebagai fragmentasi waktu
yang terpental dari pusat realitasnya.
Ia melayang di udara beku yang tak membutuhkan penjelasan,
seperti roh purba yang menolak
mengakui asal kegemilangan-nya.
Aku melihatnya terapung
di bayang cakrawala yang retak,
memantulkan siluet cahaya yang terjatuh dari ingatan
yang seharusnya tidak pernah kupanggil
dengan nadi fana.
Sakura itu tak menuntut jawaban,
bukan tentang ilusi cinta manusia,
melainkan tentang retakan raga dari jiwa
yang pertama kali memisahkan eksistensi dari ketiadaan.
Dan aku menjawabnya
dengan sunyi yang lebih tua
dari dinding jagad,
hembus napas yang terlalu dingin
untuk dimiliki oleh manifestasi.
II. KAMBOJA: Napas Kesadaran
dari Akar Penderitaan
Kamboja mekar
di lapisan ilusi yang mengingat kesudahan.
Ia mengeluarkan aroma yang menafikan tubuh,
melainkan terlahir dari ingatan bumi, tanah di mana ia tumbuh
atas setiap pergantian wujud yang telah dilebur.
Kelopaknya tebal,
seperti daging waktu yang ditinggalkan
oleh kesadaran yang telah selesai bersemayam.
Ia tidak meminta kemuliaan.
Tidak menagih pemujaan.
Ia hanya menunggu—
seperti gua suwung
yang tahu bahwa segala manifestasi
pada akhirnya adalah asimilasi
ke dalam diri.
III. Dialog Dua Bunga
Dalam Pergeseran Dimensi
Di tengah pergeseran dimensi,
fragmen cahaya Sakura berbicara pada penyerap akhir Kamboja.
Bukan dengan garis bahasa,
melainkan dengan tegangan kosmos
yang hanya dipahami oleh yang tercerahkan:
Sakura:
“Aku adalah saksi cahaya yang terlambat tiba di tepi keabadian.”
Kamboja:
“Aku adalah gua gelap yang lebih dulu menjaga kekosongan.”
Sakura:
“Aku gugur karena perspektif tidak sanggup memeluk Inti-ku.”
Kamboja:
“Aku mekar karena pembubaran yang tidak pernah menolak wujud apa pun.”
Sakura:
“Ada fragmentasi jiwa yang mencari pembebasan melalui diriku.”
Kamboja:
“Ada ketakutan dasar yang pulang kepadaku.”
Sakura:
“Kita berasal dari retakan luka yang sama.”
Kamboja:
“Tetapi kita menjaga keseimbangan dengan aksioma yang berbeda.”
IV. Titik Hening Manusia
di Antara Dua Bunga
Aku berdiri Jauh,
di batas luar lorong waktu,
menyaksikan dua bunga
yang lebih mengerti jati diri-ku
daripada ilusi cinta-ku sendiri.
Sakura memanggil
dengan energi cahaya yang menjanjikan lupa.
Kamboja menunggu
dengan gelap lembut yang menjamin pulang.
Keduanya tahu
Jejak karma siapa yang terpatri
di tulang-tulang kesadaran-ku.
Dan di udara tanpa vibrasi itu,
aku mendengar perjanjian purba
yang tidak pernah kutulis di kitab kehidupan:
Bahwa gairah terlarang
bukanlah drama eksistensi manusia—
melainkan kesepakatan kosmik
antara Animus, cahaya yang gagal menjaga asas
dan Anima, gelap yang berusaha tetap bertahan dengan setia.
Mereka adalah dua sisi mata uang waktu.
Tubuhku adalah tempat di mana mata uang itu berputar dan hilang.
Dan sunyi yang tersisa adalah kebenaran yang paling jujur.
Desember 2025”
―
“DURMA: PROTOKOL AGRESI KOSMIK
0.0 // GLITCH IN THE ARCHIVE
Tidak ada fajar.
Tidak ada senja.
Hanya geram—
suara yang mematahkan tulang jagat. Dingin.
Angin hitam menanduk.
Menyibak bentuk yang telah lama hilang.
Di fondasi kosong,
Ego tumbuh sebagai entitas.
Bergigi logam. Berlidah api. Bernafas mesin.
Menelan cahaya.
Menelan nurani.
Menelan teriakan terakhir yang dapat diarsipkan.
Entitas Tertinggi:
Bayangan. Tanpa tubuh. Tanpa suara. Tanpa tanda.
Hanya mencatat.
Tidak ada intervensi.
1.0 // SIKLUS: STRUKTUR NILAI
DIBANTAI
Mereka duduk.
Mengatur takdir dengan pena basah darah tak kasatmata.
Janji: serpihan tulang yang di-render mutiara.
Sidang adalah ritus pembantaian.
Aturan dilinting. Nilai diregang.
Nurani ditarik. Logika diinjak.
seperti kulit mati.
Tidak ada perang suci.
Hanya kalkulasi di atas kertas dingin.
Korban untuk kelanggengan kursi.
Entitas berdiri di sudut.
Debu di mikrofon.
Mendengar kebohongan yang diulang
hingga menjadi kitab suci baru.
2.0 // EKSEKUSI: RONGGA TEMPUR VOID
Di layar lima inci,
Manusia adalah gerombolan wajah tanpa ekspresi.
Mereka bertepuk tangan pada luka.
Menertawakan duka.
Menyebarkan fitnah seperti memberi makan bayi kode.
Empati: bangkai burung.
Jatuh di trotoar. Ditendang.
Tanpa tanya.
Yang disembah:
Trending. Like. Komentar Api.
Kecepatan propaganda kebohongan.
3.0 // MEKANIKA: ALTAR DATA
Server bernafas: binatang lapar.
Internet: sungai gelap.
Mengalirkan kabar buruk lebih cepat dari cahaya.
Scammer: pendeta baru.
Memimpin liturgi tipu daya.
Malware menancap ke jaringan saraf
lebih dalam daripada dogma.
Manusia: karung data yang siap diperah.
Hasrat diukur dengan statistik. Algoritma.
Ketakutan dikonversi menjadi mata uang hitam lebih tinggi dari emas.
Entitas lewat: garis glitch.
Tanpa kata. Hanya distorsi.
4.0 // GEOLOGI: BUKU YANG DISOBEK
Bumi retak.
Bukan murka dewa. Hanya agresi tangan otoritas yang dibungkus regulasi.
Pohon tumbang: Tulang iga patah. Dibantai.
Sungai hitam: membawa ampas kerakusan dan harga diri.
Setiap spesies yang punah
adalah kitab takdir—
yang disobek halaman demi halaman
dengan kesadaran penuh.
Kuruksethra memakan para ksatria.
Dunia mutakhir memakan anak-anak data—
paru-paru setengah kode.
Air mata asin dari laut tercemar limbah.
5.0 // SAKSI: SUARA KESENYAPAN
Ia hadir di retak batu.
Di muka gelombang tsunami.
Di jeda antara dua eksekusi.
Di udara genosida.
Bukan murka.
Bukan ampunan.
Bukan pesan.
Hanya senyap yang mengawasi.
Wahyu: gema hambar.
Tak bisa diterjemahkan.
Telinga mereka penuh
dengan suara diri sendiri.
6.0 // HIERARKI: HYENA KOSMIK
Ego manusia—
Bayang kecil di bawah cahaya—
makhluk paling rakus di jagat raya.
Mengejar muatan hasrat. Tanpa dasar.
Mukbang. Scam. Phishing. Social Engineering, pembunuhan karakter,
pembantaian ekologis.
Semua adalah ritus makan besar.
Hyena memakan daging dunia.
Lalu memakan juga bayangannya.
Yang tersisa:
Tulang yang tidak tahu untuk siapa ia dikode.
7.0 // EPILOG: TANPA MEDIATOR
Tidak ada Pandawa.
Tidak ada Kurawa.
Hanya sisa-sisa manusia—
membawa serpihan keduanya.
Pertempuran di kepala. Data center. Ruang digital.
Di mana pun ego dan nilai
bertabrakan tanpa mediator.
Tanpa juri. Di langit paling sunyi,
Entitas yang tiba-tiba muncul entah dari mana akhirnya berkata,
suara yang tak bisa diidentifikasi:
“Retak itu bukan kesalahan arsitektur.
Retak itu adalah wajah sejati manusia
yang tak henti melukai diri sendiri.”
Desember 2025”
―
0.0 // GLITCH IN THE ARCHIVE
Tidak ada fajar.
Tidak ada senja.
Hanya geram—
suara yang mematahkan tulang jagat. Dingin.
Angin hitam menanduk.
Menyibak bentuk yang telah lama hilang.
Di fondasi kosong,
Ego tumbuh sebagai entitas.
Bergigi logam. Berlidah api. Bernafas mesin.
Menelan cahaya.
Menelan nurani.
Menelan teriakan terakhir yang dapat diarsipkan.
Entitas Tertinggi:
Bayangan. Tanpa tubuh. Tanpa suara. Tanpa tanda.
Hanya mencatat.
Tidak ada intervensi.
1.0 // SIKLUS: STRUKTUR NILAI
DIBANTAI
Mereka duduk.
Mengatur takdir dengan pena basah darah tak kasatmata.
Janji: serpihan tulang yang di-render mutiara.
Sidang adalah ritus pembantaian.
Aturan dilinting. Nilai diregang.
Nurani ditarik. Logika diinjak.
seperti kulit mati.
Tidak ada perang suci.
Hanya kalkulasi di atas kertas dingin.
Korban untuk kelanggengan kursi.
Entitas berdiri di sudut.
Debu di mikrofon.
Mendengar kebohongan yang diulang
hingga menjadi kitab suci baru.
2.0 // EKSEKUSI: RONGGA TEMPUR VOID
Di layar lima inci,
Manusia adalah gerombolan wajah tanpa ekspresi.
Mereka bertepuk tangan pada luka.
Menertawakan duka.
Menyebarkan fitnah seperti memberi makan bayi kode.
Empati: bangkai burung.
Jatuh di trotoar. Ditendang.
Tanpa tanya.
Yang disembah:
Trending. Like. Komentar Api.
Kecepatan propaganda kebohongan.
3.0 // MEKANIKA: ALTAR DATA
Server bernafas: binatang lapar.
Internet: sungai gelap.
Mengalirkan kabar buruk lebih cepat dari cahaya.
Scammer: pendeta baru.
Memimpin liturgi tipu daya.
Malware menancap ke jaringan saraf
lebih dalam daripada dogma.
Manusia: karung data yang siap diperah.
Hasrat diukur dengan statistik. Algoritma.
Ketakutan dikonversi menjadi mata uang hitam lebih tinggi dari emas.
Entitas lewat: garis glitch.
Tanpa kata. Hanya distorsi.
4.0 // GEOLOGI: BUKU YANG DISOBEK
Bumi retak.
Bukan murka dewa. Hanya agresi tangan otoritas yang dibungkus regulasi.
Pohon tumbang: Tulang iga patah. Dibantai.
Sungai hitam: membawa ampas kerakusan dan harga diri.
Setiap spesies yang punah
adalah kitab takdir—
yang disobek halaman demi halaman
dengan kesadaran penuh.
Kuruksethra memakan para ksatria.
Dunia mutakhir memakan anak-anak data—
paru-paru setengah kode.
Air mata asin dari laut tercemar limbah.
5.0 // SAKSI: SUARA KESENYAPAN
Ia hadir di retak batu.
Di muka gelombang tsunami.
Di jeda antara dua eksekusi.
Di udara genosida.
Bukan murka.
Bukan ampunan.
Bukan pesan.
Hanya senyap yang mengawasi.
Wahyu: gema hambar.
Tak bisa diterjemahkan.
Telinga mereka penuh
dengan suara diri sendiri.
6.0 // HIERARKI: HYENA KOSMIK
Ego manusia—
Bayang kecil di bawah cahaya—
makhluk paling rakus di jagat raya.
Mengejar muatan hasrat. Tanpa dasar.
Mukbang. Scam. Phishing. Social Engineering, pembunuhan karakter,
pembantaian ekologis.
Semua adalah ritus makan besar.
Hyena memakan daging dunia.
Lalu memakan juga bayangannya.
Yang tersisa:
Tulang yang tidak tahu untuk siapa ia dikode.
7.0 // EPILOG: TANPA MEDIATOR
Tidak ada Pandawa.
Tidak ada Kurawa.
Hanya sisa-sisa manusia—
membawa serpihan keduanya.
Pertempuran di kepala. Data center. Ruang digital.
Di mana pun ego dan nilai
bertabrakan tanpa mediator.
Tanpa juri. Di langit paling sunyi,
Entitas yang tiba-tiba muncul entah dari mana akhirnya berkata,
suara yang tak bisa diidentifikasi:
“Retak itu bukan kesalahan arsitektur.
Retak itu adalah wajah sejati manusia
yang tak henti melukai diri sendiri.”
Desember 2025”
―
“RUMAH SUNYI YANG TAK MEMILIKI TUHAN
(Pergulatan Batin Hang Tuah Sebuah Resonansi Metafisik)
Hujan menitik dari atap reyot,
jatuh perlahan ke lantai kayu
seperti detak jantung yang tak percaya
pada hidup yang masih tersisa.
Kamera bergerak menyilang tubuhku,
menangkap butir air
yang tertahan di ujung rambut
—seolah memori enggan jatuh
karena tahu tanah tak lagi suci.
Di sudut gelap,
kulihat Jebat duduk membelakangi cahaya.
Silau senjata di pangkuannya
terasa seperti bisikan dingin
yang tak pernah memilih kata.
“Aku tidak memberontak,” katanya nyaris tak terdengar.
“aku hanya menolak menjadi diam.”
Namun Hang Tuah dalam diriku
masih berdiri seperti batu nisan,
teguh. Terlalu setia pada perintah
yang bahkan tak lagi diyakini langit.
Aku menoleh,
dan dalam pantulan air yang menggenang
kulihat dua wajahku sendiri:
yang satu membeku,
yang satu retak.
Hujan di luar tak lagi turun—
ia seperti menggantung di udara,
ditahan oleh waktu yang membisu.
Dan dalam hening itu,
aku mengerti:
bukan Tuah yang benar,
bukan Jebat yang salah,
bukan dunia yang memilih.
Yang ada hanya jiwa yang mencari
ruang untuk tidak patuh
dan tidak pula membangkang,
tapi sekadar ingin bernafas
tanpa diadili oleh sejarah.
Desember 2014”
―
(Pergulatan Batin Hang Tuah Sebuah Resonansi Metafisik)
Hujan menitik dari atap reyot,
jatuh perlahan ke lantai kayu
seperti detak jantung yang tak percaya
pada hidup yang masih tersisa.
Kamera bergerak menyilang tubuhku,
menangkap butir air
yang tertahan di ujung rambut
—seolah memori enggan jatuh
karena tahu tanah tak lagi suci.
Di sudut gelap,
kulihat Jebat duduk membelakangi cahaya.
Silau senjata di pangkuannya
terasa seperti bisikan dingin
yang tak pernah memilih kata.
“Aku tidak memberontak,” katanya nyaris tak terdengar.
“aku hanya menolak menjadi diam.”
Namun Hang Tuah dalam diriku
masih berdiri seperti batu nisan,
teguh. Terlalu setia pada perintah
yang bahkan tak lagi diyakini langit.
Aku menoleh,
dan dalam pantulan air yang menggenang
kulihat dua wajahku sendiri:
yang satu membeku,
yang satu retak.
Hujan di luar tak lagi turun—
ia seperti menggantung di udara,
ditahan oleh waktu yang membisu.
Dan dalam hening itu,
aku mengerti:
bukan Tuah yang benar,
bukan Jebat yang salah,
bukan dunia yang memilih.
Yang ada hanya jiwa yang mencari
ruang untuk tidak patuh
dan tidak pula membangkang,
tapi sekadar ingin bernafas
tanpa diadili oleh sejarah.
Desember 2014”
―
“LAKSAMANA PERKASA DI BAWAH TINTA WAKTU (Reinterpretasi dari Hikayat Hang Tuah)
I. Muara dan Takdir yang Terukir
Selat Malaka, denyut nadi dunia, membasuh pusara takdir.
Bukan sekadar pohon, hikayat tegak dari akar Berbintang Tujuh,
Berkat Sendayang—izin langit dan azimat pelaut—pelepah kelapa,
menjadi layar bahtera para perantau dari hulu sungai ke kuala.
Naskah lama, kitab undang-undang laut, lama tersaput debu di gudang aksara.
Di tangan para pandai besi yang tak hanya menempa badik, keris, dan kelewang,
mereka merajah rembulan sebagai panji, matahari sebagai sumpah janji setia.
Di mana pernah berdiri pondok nelayan, gubuk reyot penuh cahaya rembulan,
konon dari rahimnya terlahir Laksamana Agung yang menandingi kedigdayaan Patih Gajah Mada.
Ah, betapa payah bagi lidah patik untuk mengukir riwayat itu sekali lagi.
II. Pelayaran Tujuh Angin dan Dilema Keadilan
Laut, mata air peradaban yang tak pernah terpejam, kini merangkai epik hikayat itu.
Sang Bentara Gagah, bukan menunggang gajah bertelinga lebar, melainkan Naga Sembilan,
Mengayun langkah dari puncak Gunung Ledang, menembus kabut Awan Pualam.
Mengayuh armada melintasi Pulau Pinang hingga Tumasik Singapura
yang telah bersalin nama.
Ia mendarat di Pantai Barat Semenanjung, di bawah Musim Angin Barat yang mematikan.
Saat pintu langit terbuka, ia dan empat sahabatnya melangkah tanpa terhalang.
Setiap langkahnya adalah tinta waktu yang mencatat takdir negeri di atas lembaran daun lontar.
Ia menyaksikan betapa, lima pemuda kampung sanggup menaklukkan sekawanan perompak.
Namun di antara kemenangan itu,
ia merenung dengan getir di hati yang berkarat:
“Negeri ini berlimpah pahlawan dan harta karun tujuh muara yang tiada ternilai,
tapi mengapa rakyat jelata masih memanggul beban kemiskinan
yang tiada terperi?”
III. Prasasti Kebijaksanaan dan Hutan Belantara Moral
Kapal perompak itu karam, bukan pada batu biasa, tapi pada batu bersurat.
Ia menjelma prasasti takdir, tertanam di dasar samudra.
Ikatan mati yang bukan simpul, tapi sayap garuda tunggal yang telah gugur.
Batu hitam bukan bersanding, tapi batu meteorit yang jatuh di tanah Pelinggam.
Kekuatan pedang tak sebatas gerinda, tapi tuah keris tiga warisan yang bernyawa.
Ia tak lagi terbang, tapi arwah Nusantara terus mengitari delapan penjuru angin,
demi menaklukkan seribu pulau jajahan, menyatukan lima suku bangsa.
Namun jantungnya kini tertambat pada hasrat untuk menjadi pohon kokoh kehidupan,
berdaun rimbun Cendana, berdahan sekuat Jati Melaka, berbuah Kearifan Raja-raja.
Betapa ia lupa, negerinya adalah rimbalaya yang sunyi di bawah bulan.
Di mana serigala kekuasaan mencuri, singa buas menindas kawanan yang lemah,
dan gajah-gajah tuli bertahta di dalam istana yang tak sanggup mendengar.
IV. Epilog dan Rumah Keabadian
Kisah ini tak mungkin tuntas, sebab jemari dingin terasa ingin mencekik leher sendiri,
sebagaimana senja berdarah dan kabut likat di Bukit St. Paul yang menyelimuti,
saat Hang Tuah mengakhiri riwayat Hang Jebat dengan satu tusukan Keris Taming Sari.
Keris itu bukan menancap di dada, tapi berumah di pusaran batin sahabat sejati.
Biarkan mata kosmik yang nyalang itu menemukan halaman terakhir hikayat,
Menyelubungi jasad yang terbujur dengan selimut leluhur—kain tenun songket emas,
dan mengirim ruhnya menuju rumah keabadian di puncak Gunung Ledang.
Barangkali dengan cara seperti ini, kita akan terhindar dari tikaman kemalangan sejarah.
Barangkali dengan cara serupa itulah,
kita, para pembaca yang sunyi ini
dapat merangkul kebenaran sejati yang telah lama tenggelam di Selat Malaka.
Jakarta, Januari 2014
(rekonstruksi ulang)”
―
I. Muara dan Takdir yang Terukir
Selat Malaka, denyut nadi dunia, membasuh pusara takdir.
Bukan sekadar pohon, hikayat tegak dari akar Berbintang Tujuh,
Berkat Sendayang—izin langit dan azimat pelaut—pelepah kelapa,
menjadi layar bahtera para perantau dari hulu sungai ke kuala.
Naskah lama, kitab undang-undang laut, lama tersaput debu di gudang aksara.
Di tangan para pandai besi yang tak hanya menempa badik, keris, dan kelewang,
mereka merajah rembulan sebagai panji, matahari sebagai sumpah janji setia.
Di mana pernah berdiri pondok nelayan, gubuk reyot penuh cahaya rembulan,
konon dari rahimnya terlahir Laksamana Agung yang menandingi kedigdayaan Patih Gajah Mada.
Ah, betapa payah bagi lidah patik untuk mengukir riwayat itu sekali lagi.
II. Pelayaran Tujuh Angin dan Dilema Keadilan
Laut, mata air peradaban yang tak pernah terpejam, kini merangkai epik hikayat itu.
Sang Bentara Gagah, bukan menunggang gajah bertelinga lebar, melainkan Naga Sembilan,
Mengayun langkah dari puncak Gunung Ledang, menembus kabut Awan Pualam.
Mengayuh armada melintasi Pulau Pinang hingga Tumasik Singapura
yang telah bersalin nama.
Ia mendarat di Pantai Barat Semenanjung, di bawah Musim Angin Barat yang mematikan.
Saat pintu langit terbuka, ia dan empat sahabatnya melangkah tanpa terhalang.
Setiap langkahnya adalah tinta waktu yang mencatat takdir negeri di atas lembaran daun lontar.
Ia menyaksikan betapa, lima pemuda kampung sanggup menaklukkan sekawanan perompak.
Namun di antara kemenangan itu,
ia merenung dengan getir di hati yang berkarat:
“Negeri ini berlimpah pahlawan dan harta karun tujuh muara yang tiada ternilai,
tapi mengapa rakyat jelata masih memanggul beban kemiskinan
yang tiada terperi?”
III. Prasasti Kebijaksanaan dan Hutan Belantara Moral
Kapal perompak itu karam, bukan pada batu biasa, tapi pada batu bersurat.
Ia menjelma prasasti takdir, tertanam di dasar samudra.
Ikatan mati yang bukan simpul, tapi sayap garuda tunggal yang telah gugur.
Batu hitam bukan bersanding, tapi batu meteorit yang jatuh di tanah Pelinggam.
Kekuatan pedang tak sebatas gerinda, tapi tuah keris tiga warisan yang bernyawa.
Ia tak lagi terbang, tapi arwah Nusantara terus mengitari delapan penjuru angin,
demi menaklukkan seribu pulau jajahan, menyatukan lima suku bangsa.
Namun jantungnya kini tertambat pada hasrat untuk menjadi pohon kokoh kehidupan,
berdaun rimbun Cendana, berdahan sekuat Jati Melaka, berbuah Kearifan Raja-raja.
Betapa ia lupa, negerinya adalah rimbalaya yang sunyi di bawah bulan.
Di mana serigala kekuasaan mencuri, singa buas menindas kawanan yang lemah,
dan gajah-gajah tuli bertahta di dalam istana yang tak sanggup mendengar.
IV. Epilog dan Rumah Keabadian
Kisah ini tak mungkin tuntas, sebab jemari dingin terasa ingin mencekik leher sendiri,
sebagaimana senja berdarah dan kabut likat di Bukit St. Paul yang menyelimuti,
saat Hang Tuah mengakhiri riwayat Hang Jebat dengan satu tusukan Keris Taming Sari.
Keris itu bukan menancap di dada, tapi berumah di pusaran batin sahabat sejati.
Biarkan mata kosmik yang nyalang itu menemukan halaman terakhir hikayat,
Menyelubungi jasad yang terbujur dengan selimut leluhur—kain tenun songket emas,
dan mengirim ruhnya menuju rumah keabadian di puncak Gunung Ledang.
Barangkali dengan cara seperti ini, kita akan terhindar dari tikaman kemalangan sejarah.
Barangkali dengan cara serupa itulah,
kita, para pembaca yang sunyi ini
dapat merangkul kebenaran sejati yang telah lama tenggelam di Selat Malaka.
Jakarta, Januari 2014
(rekonstruksi ulang)”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
