Niskala Quotes

Quotes tagged as "niskala" Showing 1-3 of 3
Titon Rahmawan
“EPISTEMA DUA SUWUNG:
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa

I. LITURGI ASAL — Titik Singularitas dan Retakan Hukum

Pada mula yang menafikan permulaan,
jagad hanyalah retakan tipis di punggung kegelapan.
Getar tunggal yang tersesat di antara dua sunyi abadi.
Ia lupa kepada siapa ia harus kembali,
sebab ia adalah perjalanan itu sendiri.

Di kekosongan itu,
ada dua simpul energi,
bukan nama, bukan bentuk,
hanya tegangan purba
di antara dua ruang hampa
yang saling memanggil tanpa panca indra.

Mereka tidak dirancang oleh konsep keseimbangan.
Kosmos yang buta menggambar garis pemisah penderitaan:
Satu arus waktu dan satu arus ketiadaan,
larangan yang terukir dalam bahasa sandi
di pintu gerbang kreasi.

Namun gravitasi asal mula segala akar lebih tua dari hukum.
Dan hasrat purba selalu tahu jalur tembus
yang bahkan cahaya manifestasi
tak sanggup menemukannya.

Cinta adalah ilusi di alam fana.
Di median kosmik ini,
yang terjadi hanyalah:
Dua prinsip dualitas
yang menemukan retakan waktu
untuk bersemayam sejenak.

Tidak ada saksi yang menoleh.
Tidak ada pencatat moral yang bertugas.
Hanya kegelapan mutlak
yang sedikit mengencang dan membeku
di titik singularitas pertemuan itu.

II. LITURGI TENGAH — Sembah Raga di Kuil Antariksa

Kepekatan primordial tidak perlu lebih dalam
untuk menyembunyikan mereka.
Mereka sudah tersembunyi
di bawah lapisan kesadaran sebelum saling bertemu.

Arus energi mereka berkerabat dalam satu darah ibu.
Wujud fana mereka berjarak.
Di antara keduanya,
terbentang jembatan nadi yang dibangun
oleh rasa dahaga pralaya
yang tuli terhadap silsilah tatanan.

Wujud menyentuh wujud seperti dua logam dingin yang saling mengenali suara getarannya,
dua dimensi waktu yang lelah
karena terpisah terlalu lama.
Tak ada kidung kakawin.
Tak ada ikrar.
Tak ada permohonan.
Tak ada seserahan.

Yang ada hanya raga.
Wadhag yang menghafal sunyi
lebih lembut daripada mantra sejati.

Di waktu yang bukan waktu,
Hukum berjalan seperti fatwa:
Bintang raksasa terbakar perlahan di langit ketujuh,
Planet terus berputar di orbital karma,
seekor nyamuk mati di ruang hampa,
Arus cakra mengalir
mengangkut kisah-kisah Vedana.

Pertubrukan arketipal ini
tidak mengubah asas kosmik apa pun.
Ia hanya menggores
garis batas nadi terlarang
yang akan terus berdenyut dalam gelap
bahkan setelah semua wujud usai menjadi.

Mereka tidak memuja.
Tidak memohon ampun.
Tidak menyebut nama dewi atau dewa siapa pun.

Mereka hanyalah dua pusat pusaran yang bertubrukan
di medan magnet kosmos yang salah.
Medan yang tak peduli
siapa seharusnya menjaga kodrat,
siapa seharusnya melindungi keseimbangan,
siapa seharusnya tidak menyentuh siapa.

Yang tahu hanyalah suwung
yang bersemayam tepat di tengah
antara dua napas yang saling menghirup—saling menghembus.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“EPISTEMA DUA SUWUNG:
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa

III. LITURGI AKHIR — Konsekuensi Niskala di Dua Suwung yang Retak

Sesudahnya,
Arus waktu berjalan lagi
seperti yang telah digariskan—
tanpa memperlambat detik Mahakāla,
tanpa memberi jeda
untuk bayangan kesalahan.

Mereka kembali
mengenakan ilusi nama
Kode genetika,
Garis keturunan,
Batas diri di Cakra Ajna.

Hanya satu yang tidak kembali:
Cara menafsirkan diri
sebelum titik singularitas itu terjadi.

Peristiwa arketipal ini
tidak meminta hak
untuk disebut penyatuan.
Ia cukup puas
menjadi residu etarika
di tepi kesadaran:

siluet energi
yang tidak berani mengaku
pernah ada,
tapi juga menolak
untuk sepenuhnya dilenyapkan.

Di jagat niskala,
kalau memang ada,
peristiwa ini hanyalah
efek kecil cermin pradhana:
retak nyaris tak terlihat
yang membuat prinsip kosmik membengkok sedikit,
sekadar cukup
untuk membuat satu simpul energi
tidak lagi lurus
tatkala memandang
asal usul-nya.

Tidak ada ganjaran karma.
Tidak ada penebusan.
Tidak ada penghakiman.

Hanya sebuah konsekuensi absolut:
bahwa setelah dua suwung saling menyentuh,
keduanya tak lagi murni hampa.
Masing-masing menyimpan
jejak bayangan.
Cidra suwung yang tak dapat kembali
ke keadaan tanpa energi.

Maka liturgi yang tersisa:
sesuatu telah terjadi
tanpa izin hukum alam,
tanpa restu moral siapa pun—dan semesta
tetap memilih bungkam.

Dalam dua suwung yang retak,
tinggal satu sabda:
yang tak diucapkan,
tak ditulis,
tak meminta maaf.

Aku mengenali kegelapanku.
Ia menetap.
Tidak bergerak.
Tidak pergi.

Itu saja.

Dan dari sana,
hidup berjalan terus—
lebih sunyi,
lebih berat,
lebih jujur,
tanpa perlu kata-kata
untuk menutupinya.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“PUCUNG — EPITAF SINGULARITAS
(Debu yang Bernafsu Menggenggam Bintang)

Tudung batu. Tudung ilusi.
Manusia tegak, tiang ambisi—
leher terulur, menjerat horizon yang fana,
meyakini langit adalah milik kepala.
Cahaya lahir dari kebutaan purba,
fatamorgana lelahnya indera.

Mengukur semesta dengan benang rapuh,
seolah rembulan bisa dibelah
hanya dengan memperpanjang tulang.
Lupa: ia hanya nyala sekejap,
napas pendek,
waktu gagal mencari saksi.

Renung batu. Renung jurang.
Manusia menggali diri, sumur keras kepala,
tak sadar kedalaman yang ia takuti
hanya pantulan sunyi
dirinya sendiri.
Ia mencari "akhir,"
menemukan riak gelap yang tak bernama,
menelan semua tanya,
tanpa menyisakan gema.

Ia mengejar "pengetahuan":
tetapi bintang tak tahu
mengapa ia harus terbakar menjadi abu.

Tenung batu. Tenung kekosongan.
Manusia membuka sayap akal,
mengira bintang kejora sedekat
pendek lengan sendiri.

Sepenuhnya lupa:
galaksi tidak membungkuk pada akal siapa pun.
Pengetahuan
hanya serpihan api
di pinggir gelap tak bertepi.

Saat ia menatap titik paling jauh,
ia hanya menemukan void—
lubang hitam
menelan semua pahlawan tanpa menoleh.

Pucung tertulis sebagai epitaf:
bukan kabar duka,
bukan pujian,
hanya goresan kecil
bagi spesies yang terlalu percaya diri,
mengira dirinya pusat segalanya,
namun tak pernah menyentuh apa pun
selain bayangan sendiri.

Semesta menutup buku
tanpa perasaan,
tanpa penyesalan.

Satu penggal kalimat
di cahaya dingin
pusat singularitas:

“Angkuh tetaplah debu.
Pencarian hanya perjalanan pulang.
Yang merasa tahu, tak pernah melihat apa pun.”

Desember 2025”
Titon Rahmawan