Intelektual Quotes
Quotes tagged as "intelektual"
Showing 1-17 of 17
“Sesuatu yang membuat Anda menyerah. Bahkan, intelektualitas Anda tidak bisa berbuat apa-apa. Saya biasa menyebutnya … cinta.”
―
―
“Tidak seperti Kristen-Barat, kita tidak terlalu bersandar kepada, dalam aspek teologi dan metafisika, teori-teori dari para filsuf, ahli metafisika, saintis, palentolog, antropolog, sosiolog, ahli psikoanalisa, ahli metamatika, ahli-ahli bahasa dan cendekiawan sekular lain semacamnya. Hal ini kerana kebanyakan mereka, jika tidak semuanya, tidak pernah emngamalkan kehidupan beragama, mereka yang tidak pernah mengetahui atau meyakini agama tanpa ragu-ragu dan tanpa terombang-ambing. Mereka juga terdiri dari orang yang skeptik, agnostik, ateis dan para peragu.”
― Islam and Secularism
― Islam and Secularism
“Demikian potret sosok-sosok yang berdedikasi dalam menyunting khazanah keilmuan. Ilmu adalah tujuan mereka; ikatan pikirannya; dan cinta adalah darahnya. Mereka laksana bangunan kokoh yang tersusun dari berbagai raga tapi jiwa merek satu.”
― Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern
― Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern
“Seorang yang berpendidikan tinggi tetapi hanya menggunakan pendidikannya itu untuk kepentingan peribadi atau kerjayanya bukanlah seorang intelektual”
―
―
“Hal ini saya lakukan untuk menjelaskan bagaimana soal-soal kebudayaan dan peribadi Melayu telah dibahaskan dengan cara jauh daripada ilmiah. Mereka yang membahaskan soal peribadi Melayu bukan ahli dalam ilmu-ilmu yang bersangkutan dengnnya.
Walaupun setengah daripada mereka ini berkelulusan ijazah, ini belum bermakna mereka itu ahli dalam ilmu masing-masing. Ijazah itu menandakan tingkat pelajaran dalam sesuatu bidang, belum keahlian dalam sesuatu ilmu. Selain itu, dalil-dalil yang mereka gunakan untuk menentukan peribadi Melayu kebanyakannya lemah, penentuan masalah pun kurang teratur cara-caranya.”
― Siapa Yang Salah: Sekitar Revolusi Mental dan Peribadi Melayu
Walaupun setengah daripada mereka ini berkelulusan ijazah, ini belum bermakna mereka itu ahli dalam ilmu masing-masing. Ijazah itu menandakan tingkat pelajaran dalam sesuatu bidang, belum keahlian dalam sesuatu ilmu. Selain itu, dalil-dalil yang mereka gunakan untuk menentukan peribadi Melayu kebanyakannya lemah, penentuan masalah pun kurang teratur cara-caranya.”
― Siapa Yang Salah: Sekitar Revolusi Mental dan Peribadi Melayu
“Melalui kajian dan penyelidikan pengajian tingginya, Barat mendidik kaum terpelajar dunia Islam dan Timur sama ada dari segi ekonomi, sains dan teknologi, pentadbiran awam, sosiologi, falsafah mahupun agama. Secara yang cukup licik, Barat secara senyap-senyap menyusup di semua kedudukan dan jawatan strategis dunia melalui saluran pemikiran, ilmu dan pendidikan. Justeru idea dan pengaruh Barat menjadi satu cabaran amat besar terhadap bangsa-bangsa yang lain. Cabaran ilmu dan pengetahuan ini hanya mampu dipecahkan sekiranya kita memiliki universiti-universiti sendiri yang sekali gus bercirikan Islam dan moden.”
―
―
“Kualitas hidup seseorang seringkali dinilai dari tiga hal; tingkat intelektual, kondisi emosional dan interaksi sosial. Bagaimana seseorang mendapatkan kepenuhan atas ketiga hal itu bergantung pada apa yang ia pelajari, pada buku apa yang ia baca, pada apa yang ia tindakkan, pengalaman apa yang ia peroleh dan kebaikan apa yang ia berikan atau hasilkan untuk orang lain. Kebijaksanaan dan kebahagiaan hanya mungkin diperoleh dari kesesuaian dari apa yang kita pikirkan dan apa yang kita tindakan.”
―
―
“Ya, segala kekurangan pada diri saya itu ialah keremehan. Hinggakan para intelektual terkadang memerlukan keremehan juga.”
― Cinta di Lembah Nil
― Cinta di Lembah Nil
“Tradisi Islam-Arab kita masih sangat membutuhkan kerja keras intelektual yang sistematis lewat kajian cemerlang sehingga dapat menyajikan nilai-nilai budaya Arab orisinal yang bersih dari berbagai kesesatan pemikiran dan penyimpangan akidah kepada generasi saat ini. Sudah barang tentu upaya pengkajian ini harus diawali dengan penyelarasan antara segi-segi maknawi pada tradisi tersebut dengan panduannya yang berasal dari kalangan intelektual terkemuka sehingga tidak lagi terjadi apa yang sering kita dengar dan sering kita lihat tentang eksploitasi tradisi yang berakhir pada kesia-siaan dan suatu saat hanya menjadi beban kekecewaan.”
― Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern
― Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern
“Komunitas yang bangkit ini tidak berasal dari kalangan militer atau politikus kerana kedua kelompok ini sedang berada dalam bayang-bayang cobaan sehingga tidak mampu berperan lagi di persimpangan sejarah yang kritis ini. Kerana itu hampir semua sisi kesejarahan meniscayakan tanggungjawab dan menawarkan peran bagi kalangan intelektual untuk merekonstruksi khazanah ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang diluluhlantakkan serbuan Mongol di Timur dan Sepanyol di Barat. Mereka harus membangun kedua modal itu sehingga kejayaan ilmiah dapat menggantikan kejayaan politik yang hilang akibat bencana perpecahan dan fanatisme golongan yang akut. Keduanya juga diperlukan guna membangun jaring ruhani dan pemikiran yang memelihara eksistensi dan identitas umat Islam dari keruntuhan, erosi dan perpecahan.”
― Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern
― Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern
“Jelasnya, keutamaan al-Quran untuk menitikberatkan perbuatan dan proses mengetahui daripada tempat fizikal ilmu. Proses berfikir dan mengetahui dalam al-Quran dijelaskan oleh beberapa kata kerja seperti 'aqila, faqiha, tafakkara, hasiba, zanna, i'tibara, tadabbara dan hakima yang semuanya mesti bermula daripada data dan fakta persepsi indera. Pemikiran dalam Islam seharusnya berteraskan fakta atau data sama ada tentang alam, tabii, hakikat fizikal dan psikologi manusia dan aliran sejarah. Malahan, dalam pemikiran dan renungan mengenai kewujudan Allah yang ghaib umpamanya, al-Quran menarik perhatian akal manusia supaya berhujah daripada persekitara tabii, sejarah dan kejiwaannya dan pengalamannya, yang bertebaran di sepanjang halamannya.”
― Konsep Ilmu dalam Islam
― Konsep Ilmu dalam Islam
“Membaca autobiografi atau memoir seolah-olah terlibat dalam dialog dengan narator yang menjadi jurucakap pengarang: mendengar secara langsung cerita serta pendapat tentang zamannya dengan gaya pengucapan peribadinya. Gaya bahasa dan idiosinkrasi penampilannya menghantar karyanya mirip cereka, tetapi fakta dan kebenaran subjeknya akan menyeretnya menjadi mirip sejarah, dan hakikat inilah yang berkemungkinan melahirkan memoir sebagai wacana intelektual yang artistik; menggugah dan tidak menjemukan.”
― Monolog Kecil: Tahun-Tahun Gelora
― Monolog Kecil: Tahun-Tahun Gelora
“Universiti sebuah kebun minda
kebun subur kerana pohon intelektual
bukan tanah yang dipugar-pugar.”
― Dongeng Bapak
kebun subur kerana pohon intelektual
bukan tanah yang dipugar-pugar.”
― Dongeng Bapak
“...nada hay que tranquilice tanto la mente como un propósito claro, una meta en la cual el alma pueda fiar su aliento intelectual,”
― Frankenstein
― Frankenstein
“Kita Telah Menjadi
Apakah sudah kau temukan rintik-rintik air hujan yang kau cari dari beribu-ribu tumpukan buku yang terbakar di perpustakaan itu?
Berhektar pohon yang kini engkau rindukan teduhnya
Tangan perbukitan yang dulu pernah merengkuh tubuhmu dengan sepenuh cinta
Dan semilir sunyi yang tak lagi berbunyi seperti sebuah lagu tempo doeloe yang akrab di telinga.
Sudah berapa banyak orang yang terperangkap dalam penjara kebisingan itu?
Layar yang tak henti memanjakan mata dengan tarian-tarian molek yang menghentikan waktu
Dan hentakan musik yang mendadak saja viral di mana-mana.
: Waktu yang seharian berbaring telentang di peraduanmu.
Kita tak lagi menemukan bahasa yang dulu dipakai para penyair untuk menyatakan perasaannya.
Kita tak lagi melihat goresan penuh ekspresi yang memindahkan ombak di lautan ke dalam sebingkai kanvas.
Kita telah menjelma menjadi kungkang yang malas
Rasa enggan yang membalas kearifan dengan ekspresi kebosanan.
Bukankah sudah berabad-abad lamanya kau tak bicara dengan anak-anakmu?
Dan kau bahkan lupa seperti apa dulu wajah bapak dan ibumu.
Mendadak saja kau merasa;
Ternyata ada yang lebih menakutkan dari kehilangan jati diri.
Ternyata ada yang lebih mengherankan dibanding misteri kemana kita pergi setelah mati.
Apakah teknologi hanya akan mengajak kita bertamasya ke masa depan dan sepenuhnya melupakan masa lalu?
Seperti terbaca dengan gamblang dalam sebuah ramalan cuaca;
Kita sudah bukan lagi sosok yang sama yang kita kenal.
Kita telah menjadi acuh dan tak lagi saling mengenal.
Kita telah menjadi begitu bodoh dan kehilangan akal.
Kita telah menjadi bukan siapa-siapa.
Oktober 2025”
―
Apakah sudah kau temukan rintik-rintik air hujan yang kau cari dari beribu-ribu tumpukan buku yang terbakar di perpustakaan itu?
Berhektar pohon yang kini engkau rindukan teduhnya
Tangan perbukitan yang dulu pernah merengkuh tubuhmu dengan sepenuh cinta
Dan semilir sunyi yang tak lagi berbunyi seperti sebuah lagu tempo doeloe yang akrab di telinga.
Sudah berapa banyak orang yang terperangkap dalam penjara kebisingan itu?
Layar yang tak henti memanjakan mata dengan tarian-tarian molek yang menghentikan waktu
Dan hentakan musik yang mendadak saja viral di mana-mana.
: Waktu yang seharian berbaring telentang di peraduanmu.
Kita tak lagi menemukan bahasa yang dulu dipakai para penyair untuk menyatakan perasaannya.
Kita tak lagi melihat goresan penuh ekspresi yang memindahkan ombak di lautan ke dalam sebingkai kanvas.
Kita telah menjelma menjadi kungkang yang malas
Rasa enggan yang membalas kearifan dengan ekspresi kebosanan.
Bukankah sudah berabad-abad lamanya kau tak bicara dengan anak-anakmu?
Dan kau bahkan lupa seperti apa dulu wajah bapak dan ibumu.
Mendadak saja kau merasa;
Ternyata ada yang lebih menakutkan dari kehilangan jati diri.
Ternyata ada yang lebih mengherankan dibanding misteri kemana kita pergi setelah mati.
Apakah teknologi hanya akan mengajak kita bertamasya ke masa depan dan sepenuhnya melupakan masa lalu?
Seperti terbaca dengan gamblang dalam sebuah ramalan cuaca;
Kita sudah bukan lagi sosok yang sama yang kita kenal.
Kita telah menjadi acuh dan tak lagi saling mengenal.
Kita telah menjadi begitu bodoh dan kehilangan akal.
Kita telah menjadi bukan siapa-siapa.
Oktober 2025”
―
“PUCUNG — EPITAF SINGULARITAS
(Debu yang Bernafsu Menggenggam Bintang)
Tudung batu. Tudung ilusi.
Manusia tegak, tiang ambisi—
leher terulur, menjerat horizon yang fana,
meyakini langit adalah milik kepala.
Cahaya lahir dari kebutaan purba,
fatamorgana lelahnya indera.
Mengukur semesta dengan benang rapuh,
seolah rembulan bisa dibelah
hanya dengan memperpanjang tulang.
Lupa: ia hanya nyala sekejap,
napas pendek,
waktu gagal mencari saksi.
Renung batu. Renung jurang.
Manusia menggali diri, sumur keras kepala,
tak sadar kedalaman yang ia takuti
hanya pantulan sunyi
dirinya sendiri.
Ia mencari "akhir,"
menemukan riak gelap yang tak bernama,
menelan semua tanya,
tanpa menyisakan gema.
Ia mengejar "pengetahuan":
tetapi bintang tak tahu
mengapa ia harus terbakar menjadi abu.
Tenung batu. Tenung kekosongan.
Manusia membuka sayap akal,
mengira bintang kejora sedekat
pendek lengan sendiri.
Sepenuhnya lupa:
galaksi tidak membungkuk pada akal siapa pun.
Pengetahuan
hanya serpihan api
di pinggir gelap tak bertepi.
Saat ia menatap titik paling jauh,
ia hanya menemukan void—
lubang hitam
menelan semua pahlawan tanpa menoleh.
Pucung tertulis sebagai epitaf:
bukan kabar duka,
bukan pujian,
hanya goresan kecil
bagi spesies yang terlalu percaya diri,
mengira dirinya pusat segalanya,
namun tak pernah menyentuh apa pun
selain bayangan sendiri.
Semesta menutup buku
tanpa perasaan,
tanpa penyesalan.
Satu penggal kalimat
di cahaya dingin
pusat singularitas:
“Angkuh tetaplah debu.
Pencarian hanya perjalanan pulang.
Yang merasa tahu, tak pernah melihat apa pun.”
Desember 2025”
―
(Debu yang Bernafsu Menggenggam Bintang)
Tudung batu. Tudung ilusi.
Manusia tegak, tiang ambisi—
leher terulur, menjerat horizon yang fana,
meyakini langit adalah milik kepala.
Cahaya lahir dari kebutaan purba,
fatamorgana lelahnya indera.
Mengukur semesta dengan benang rapuh,
seolah rembulan bisa dibelah
hanya dengan memperpanjang tulang.
Lupa: ia hanya nyala sekejap,
napas pendek,
waktu gagal mencari saksi.
Renung batu. Renung jurang.
Manusia menggali diri, sumur keras kepala,
tak sadar kedalaman yang ia takuti
hanya pantulan sunyi
dirinya sendiri.
Ia mencari "akhir,"
menemukan riak gelap yang tak bernama,
menelan semua tanya,
tanpa menyisakan gema.
Ia mengejar "pengetahuan":
tetapi bintang tak tahu
mengapa ia harus terbakar menjadi abu.
Tenung batu. Tenung kekosongan.
Manusia membuka sayap akal,
mengira bintang kejora sedekat
pendek lengan sendiri.
Sepenuhnya lupa:
galaksi tidak membungkuk pada akal siapa pun.
Pengetahuan
hanya serpihan api
di pinggir gelap tak bertepi.
Saat ia menatap titik paling jauh,
ia hanya menemukan void—
lubang hitam
menelan semua pahlawan tanpa menoleh.
Pucung tertulis sebagai epitaf:
bukan kabar duka,
bukan pujian,
hanya goresan kecil
bagi spesies yang terlalu percaya diri,
mengira dirinya pusat segalanya,
namun tak pernah menyentuh apa pun
selain bayangan sendiri.
Semesta menutup buku
tanpa perasaan,
tanpa penyesalan.
Satu penggal kalimat
di cahaya dingin
pusat singularitas:
“Angkuh tetaplah debu.
Pencarian hanya perjalanan pulang.
Yang merasa tahu, tak pernah melihat apa pun.”
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
