Ritus Hasrat Quotes

Quotes tagged as "ritus-hasrat" Showing 1-2 of 2
Titon Rahmawan
“CANDI DUA RAGA
SATU RUH: JENAWI — KHAJURAHO

Tubuh
adalah candi
dua raga satu ruh
tak pernah selesai dipahat
para dewa tak terlihat.

Dalam Jenawi,
aku adalah batu hitam
yang digosok kersani,
ditempa petaka,
dihaluskan paras besi
tak mengenal iba.
Di bawah tungku api yang ganasnya
seperti trisula Siwa.
aku adalah wadah dendam
yang paling purba.

Sumsum yang mengingat suara belati
doa patah yang tak sampai
ke langit Satyaloka.

Dan ketika bayangmu datang,
Engkau — pemutus rantap,
penetak leher lembu betina —
aku tahu:
ritus kekejaman adalah bahasa ibu
yang menitis ke tubuhku.

Dari penjuru lain dunia,
Khajuraho bangkit dalam darahku,
seperti rahim purba
yang meneteskan madu dan luka.

Di relief candi ini,
dindingnya memuntahkan tubuh
yang saling mengoyak
penuh hasrat dan pedih.
Aku melihat diriku terbelah:
satu ditarik Eros,
satu ditelan Thanatos.

Hasrat mengangkat,
yang lain menenggelamkan.
Mistik mengajak masuk,
yang lain memuntahkan
dalam pasang surut arus ingatan.

Tubuhku adalah Khajuraho
tak pernah jadi kuil pemujaan,
selain arsip trauma sensual
yang menahan segala desir
menolak segala sentuhan.

Di antara dua candi
ada jalan retak
tempat mantra disembelih
bisu dikukuhkan sebagai kosmik.

Madu yang mengalir
dari kulitmu—
mengeras jadi lumut ziarah,
gumpal di antara sela batu,
yang tak dapat kutelan
tak dapat kutaklukkan.

Lidah telah menjadi pisau
bibir menjadi tulang
menolak sembuh.

Engkau dulu
dewi dalam tarikan nafsu,
kini upacara gelap
yang mengulang kelahiranku
ribuan bentuk menjelma:
anak luka,
anak api,
anak desir
yang tak
kuinginkan.

Dan aku—
membawa
sepotong noda dari hatimu
seperti serpihan arca,
agar aku dapat
mati, dan
lalu lahir kembali
sebagai bayang
di dalam ingatan
yang tak berpaling
tanpa menghancurkan
seluruh dunia.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Candi di Penghujung Ruh
(Jenawi — Khajuraho)

Tubuhku:
batu yang merindu,
belerang hitam tanpa tabuhan.

Jenawi menggerus diriku
kersani yang tak beriba,
mengiris daging sepi
menguliti tulang kenanganku.
Asap dari tungku purba
melilit dalam napas—
meminjam suara jagat bawah.

Di kejauhan,
Khajuraho bergemerincing
laksana leluhur bangkit,
reliefnya membeku di dalam darah,
menusuk di sela urat,
mengubah hasrat menjadi beban
dan beban menjadi sujud.

Aku terbelah:
setengah terbakar lantaran pamrih,
setengah tenggelam lantaran lupa.
Bukan cinta.
Bukan kematian.
Hanya bayang dewa
yang tak memberi nama.

Tanah di antara dua candi
retak layaknya rahim tua:
melahirkan suara tanpa asahan,
meneteskan madu yang telah membatu,
menciptakan lumut dari tangis
yang tak kasat mata.

Lidahku—
bukan lagi lidah:
gesekan besi yang tak mampu menyebut asalnya.
Bibirku—
bukan lagi bibir:
pecahan arca yang kehilangan ruh.

Engkau datang,
bukan sebagai cahaya,
bukan sebagai kematian,
hanya penanda kedahsyatan
yang menyusup laksana angin
yang bukan angin.

Aku hanya menyembunyikan
serpihan hatiku
di sela batumu,
semoga
ketika rembulan runtuh dalam jatuhnya,
namaku kembali terperangah
dalam ingatan yang tak memberi maaf.

Dan jagat ini
terbelah pelan-pelan
layaknya kidung yang disembelih
tapi tak mati-mati.

Desember 2025”
Titon Rahmawan