Meditasi Quotes
Quotes tagged as "meditasi"
Showing 1-2 of 2
“Sutra Hening: Jalan Tengah di Antara Ada dan Tiada”
Di titik ketika suara tak lagi membutuhkan gendang telinga,
aku duduk—bukan untuk mencari terang,
melainkan untuk melihat siapa yang paling gigih merindukan cahaya.
Hampa menyelimuti seperti udara pagi; tidak dingin, tidak hangat—
hanya ada.
Bodhidharma duduk di depanku, wajahnya setegas gunung purba.
Ia berkata tanpa suara:
“Jika pikiran tak tenang, siapa yang ingin kau tenangkan?”
Aku terdiam—bukan karena tak mengerti,
tapi karena aku melihat tanganku sendiri hilang
ketika hendak menggenggam pertanyaan itu.
Lalu Huineng datang, bukan sebagai guru,
melainkan sebagai angin yang menyingkap tirai:
“Tak ada cermin. Tak ada debu.
Siapa yang membersihkan apa?”
Sekali lagi aku mencoba menjawab,
dan sekali lagi jawabanku runtuh
seperti bayang yang kehilangan tubuh.
Thich Nhat Hanh datang sebagai mimpi,
mengajarkan cara menatap embun tanpa menginginkan arti.
Ia bilang:
“Tersenyumlah pada kehadiranmu sendiri.
Kesadaran itu bukan menahan apa pun, tetapi membiarkan semuanya lewat.”
Dan untuk pertama kalinya, aku sadar
bahwa napas bisa menjadi jembatan antara dunia yang retak
dan hati yang ingin pulang.
Alan Watts mengangguk, tertawa,
seolah tahu bahwa tawa adalah pintu gerbang paling rahasia.
“Kau bukan penumpang di dalam tubuhmu,” katanya,
“kau adalah tarian antara bentuk dan kekosongan.”
Aku melihat gelombang naik dan turun
bukan sebagai metafora kehidupan
melainkan sebagai bukti
bahwa kehilangan dan penemuan selalu saling memasuki tanpa konflik.
Lalu aku bertanya—dalam diam yang membungkus semuanya:
Jika aku bukan murni ada dan bukan murni tiada,
apa sebutan untuk jarak tipis yang senantiasa berubah
antara keduanya?
Jawaban yang datang bukan kata, bukan isyarat,
melainkan kejernihan:
bahwa paradoks bukan masalah yang harus diselesaikan
melainkan lanskap yang harus ditapaki dengan sepenuh hati.
Bahwa kekosongan bukan lubang
tetapi ruang untuk segala kemungkinan.
Bahwa kehadiran bukan beban
tetapi kelahiran ulang pada setiap kedipan mata.
Bahwa penyerahan bukan pasrah
tetapi melihat bahwa tidak ada musuh selain cengkeram cakar sendiri.
Aku menutup seluruh panca inderaku,
dan untuk pertama kalinya aku memandang tanpa melihat.
Aku membuka tangan,
dan untuk pertama kalinya aku memiliki tanpa menggenggam.
Aku membiarkan diriku diam,
dan untuk pertama kalinya aku menjadi gema dari sesuatu
yang jauh lebih besar dari kata “aku”.
Di titik itu aku tahu:
puitika paling terang lahir bukan dari hasrat yang ingin hebat,
melainkan dari kalimat yang rela lenyap
agar makna dapat muncul tanpa penjara.
Dan di dalam lenyap itu,
sebuah pertanyaan lain mengalir:
Jika keheningan adalah guru
yang paling jujur,
siapa lagi yang harus
kita dengarkan?
November 2025”
―
Di titik ketika suara tak lagi membutuhkan gendang telinga,
aku duduk—bukan untuk mencari terang,
melainkan untuk melihat siapa yang paling gigih merindukan cahaya.
Hampa menyelimuti seperti udara pagi; tidak dingin, tidak hangat—
hanya ada.
Bodhidharma duduk di depanku, wajahnya setegas gunung purba.
Ia berkata tanpa suara:
“Jika pikiran tak tenang, siapa yang ingin kau tenangkan?”
Aku terdiam—bukan karena tak mengerti,
tapi karena aku melihat tanganku sendiri hilang
ketika hendak menggenggam pertanyaan itu.
Lalu Huineng datang, bukan sebagai guru,
melainkan sebagai angin yang menyingkap tirai:
“Tak ada cermin. Tak ada debu.
Siapa yang membersihkan apa?”
Sekali lagi aku mencoba menjawab,
dan sekali lagi jawabanku runtuh
seperti bayang yang kehilangan tubuh.
Thich Nhat Hanh datang sebagai mimpi,
mengajarkan cara menatap embun tanpa menginginkan arti.
Ia bilang:
“Tersenyumlah pada kehadiranmu sendiri.
Kesadaran itu bukan menahan apa pun, tetapi membiarkan semuanya lewat.”
Dan untuk pertama kalinya, aku sadar
bahwa napas bisa menjadi jembatan antara dunia yang retak
dan hati yang ingin pulang.
Alan Watts mengangguk, tertawa,
seolah tahu bahwa tawa adalah pintu gerbang paling rahasia.
“Kau bukan penumpang di dalam tubuhmu,” katanya,
“kau adalah tarian antara bentuk dan kekosongan.”
Aku melihat gelombang naik dan turun
bukan sebagai metafora kehidupan
melainkan sebagai bukti
bahwa kehilangan dan penemuan selalu saling memasuki tanpa konflik.
Lalu aku bertanya—dalam diam yang membungkus semuanya:
Jika aku bukan murni ada dan bukan murni tiada,
apa sebutan untuk jarak tipis yang senantiasa berubah
antara keduanya?
Jawaban yang datang bukan kata, bukan isyarat,
melainkan kejernihan:
bahwa paradoks bukan masalah yang harus diselesaikan
melainkan lanskap yang harus ditapaki dengan sepenuh hati.
Bahwa kekosongan bukan lubang
tetapi ruang untuk segala kemungkinan.
Bahwa kehadiran bukan beban
tetapi kelahiran ulang pada setiap kedipan mata.
Bahwa penyerahan bukan pasrah
tetapi melihat bahwa tidak ada musuh selain cengkeram cakar sendiri.
Aku menutup seluruh panca inderaku,
dan untuk pertama kalinya aku memandang tanpa melihat.
Aku membuka tangan,
dan untuk pertama kalinya aku memiliki tanpa menggenggam.
Aku membiarkan diriku diam,
dan untuk pertama kalinya aku menjadi gema dari sesuatu
yang jauh lebih besar dari kata “aku”.
Di titik itu aku tahu:
puitika paling terang lahir bukan dari hasrat yang ingin hebat,
melainkan dari kalimat yang rela lenyap
agar makna dapat muncul tanpa penjara.
Dan di dalam lenyap itu,
sebuah pertanyaan lain mengalir:
Jika keheningan adalah guru
yang paling jujur,
siapa lagi yang harus
kita dengarkan?
November 2025”
―
“Khajuraho II
(Exploratory Rewrite)
Madu…
di pelataran candi yang bahkan waktu enggan menyentuh,
aku kembali memanggil bayangmu—bukan tubuhmu—
sebab tubuh sudah lama runtuh,
yang tersisa hanyalah gema
yang menempel pada batu sunyi
relief candi.
Senja turun bagai napas terakhir
patung dewa yang terlupa,
dan hasratku—yang tak lagi merah, hanya tinggal hitam legam—
menyeret namamu dari kabut
yang tak pernah berbentuk.
Tapi bulan masih membisik lirih:
Madu, tidurlah.
Atau biarkan dirimu rapuh dalam gelap yang sengaja kau sembunyikan.
Seperti dulu,
jangan kunci pintu hatimu,
bukan karena aku ingin masuk,
tapi karena aku ingin tahu
apa yang hendak kau jaga
dari dirimu sendiri?
Izinkan aku mengurai sayapku—
bukan untuk terbang menuju surgamu
(karena surga itu telah lama hancur sejak kali pertama aku mengingatnya),
melainkan untuk menyapu debu luka
yang menempel pada setiap relung
yang pernah aku namai cinta.
Lelaplah.
Atau lenalah.
Sebab tidur adalah satu-satunya ruang
di mana engkau tak menipu dirimu sendiri.
Di sanggar pamujan yang kini remuk ini
aku menangkap auramu yang tidak berkedip—
jernih, tetapi sekaligus getir,
seakan-akan kesucian bukanlah anugerah
melainkan sisa rasa takut dan kengerian yang kau pertahankan sebagai tameng penjaga bara yang nyaris mati.
Hujan turun.
Tubuhmu basah, tapi bukan basah yang mengundang;
lebih seperti basah mata batu nisan
yang terus-menerus menerima duka tanpa meminta apa pun
selain nafas kematian.
Aku mengingatmu…
bukan sebagai perempuan,
tetapi sebagai guratan yang gagal dihapus waktu.
Wajahmu—putih, jenaka, lalu pudar—
masih menempel seperti noda cahaya
pada dinding lorong masa laluku sendiri.
Setagen hitam itu, kemben lusuh itu,
jarit tanpa bunga—
semuanya bukan pakaian, Madu,
tetapi mantra penolak lupa
yang membuatku terperangkap
dalam ritual pengulangan
yang ternyata menyedihkan.
Candi ini bukan candi,
melainkan struktur ingatan
yang terus kau tata ulang
agar aku tersesat lagi di dalamnya.
Setiap batu, setiap pahatan,
setiap lengkung tubuh
adalah perangkap arketip
yang menuntut kegigihanku
namun menelanjangi ketidakberdayaanku.
Dan cermin-cermin itu—
cermin bersurat, cermin berdebu,
cermin berhantu—
semuanya memantulkan wajah
jejaka tolol
yang masih berharap menemukan dirimu
di balik bayang masa lalunya sendiri.
Madu…
Maduku…
engkau bukan penawar dahaga,
engkau adalah dahaga itu sendiri.
Engkau bukan Laksmi,
engkau adalah ruang kosong di mana dewa pernah duduk
lalu pergi tanpa pamit.
Desah napasmu yang lembut—
aku mendengarnya.
Tapi yang dibelainya bukan rerumputan,
melainkan retakan-retakan halus
di dadaku yang tak kunjung sembuh.
Sayap-sayap Jatayu gemetar dalam darahku,
berusaha menyingkap rahasiamu
yang sebenarnya hanyalah rahasiaku sendiri.
Hasratku menuntut tubuhmu,
tapi yang kutemukan hanyalah
lorong gelap yang mengulang
suara air sungai yang mengalir
dari masa kanak-kanak.
Padma Siwa yang kukecup
bukanlah bunga,
melainkan tanda bahwa aku pernah tersesat
dan memilih untuk tidak kembali.
Madu…
aku ingin menyentuhmu,
tapi setiap sentuhan adalah pengakuan
bahwa aku belum mampu menerima kehampaan.
Engkau candi yang ingin kutundukkan,
tapi sebenarnya aku hanyalah
pengemis makna
yang berlutut di hadapan sunyi
yang tak sungguh aku kenali.
Dan ketika tidurmu meredupkan kesadaranku,
aku melihatmu—
bukan sebagai perempuan,
bukan sebagai kenangan,
melainkan sebagai cahaya aruna
yang muncul di ujung doa patah.
Indah.
Bukan karena tubuhmu bercahaya.
Melainkan karena kepasrahanmu
mengajariku
bagaimana rasa sakit
bisa berubah menjadi ruang suci
tempatku bersamadi mengaji diri.
Desember 2025”
―
(Exploratory Rewrite)
Madu…
di pelataran candi yang bahkan waktu enggan menyentuh,
aku kembali memanggil bayangmu—bukan tubuhmu—
sebab tubuh sudah lama runtuh,
yang tersisa hanyalah gema
yang menempel pada batu sunyi
relief candi.
Senja turun bagai napas terakhir
patung dewa yang terlupa,
dan hasratku—yang tak lagi merah, hanya tinggal hitam legam—
menyeret namamu dari kabut
yang tak pernah berbentuk.
Tapi bulan masih membisik lirih:
Madu, tidurlah.
Atau biarkan dirimu rapuh dalam gelap yang sengaja kau sembunyikan.
Seperti dulu,
jangan kunci pintu hatimu,
bukan karena aku ingin masuk,
tapi karena aku ingin tahu
apa yang hendak kau jaga
dari dirimu sendiri?
Izinkan aku mengurai sayapku—
bukan untuk terbang menuju surgamu
(karena surga itu telah lama hancur sejak kali pertama aku mengingatnya),
melainkan untuk menyapu debu luka
yang menempel pada setiap relung
yang pernah aku namai cinta.
Lelaplah.
Atau lenalah.
Sebab tidur adalah satu-satunya ruang
di mana engkau tak menipu dirimu sendiri.
Di sanggar pamujan yang kini remuk ini
aku menangkap auramu yang tidak berkedip—
jernih, tetapi sekaligus getir,
seakan-akan kesucian bukanlah anugerah
melainkan sisa rasa takut dan kengerian yang kau pertahankan sebagai tameng penjaga bara yang nyaris mati.
Hujan turun.
Tubuhmu basah, tapi bukan basah yang mengundang;
lebih seperti basah mata batu nisan
yang terus-menerus menerima duka tanpa meminta apa pun
selain nafas kematian.
Aku mengingatmu…
bukan sebagai perempuan,
tetapi sebagai guratan yang gagal dihapus waktu.
Wajahmu—putih, jenaka, lalu pudar—
masih menempel seperti noda cahaya
pada dinding lorong masa laluku sendiri.
Setagen hitam itu, kemben lusuh itu,
jarit tanpa bunga—
semuanya bukan pakaian, Madu,
tetapi mantra penolak lupa
yang membuatku terperangkap
dalam ritual pengulangan
yang ternyata menyedihkan.
Candi ini bukan candi,
melainkan struktur ingatan
yang terus kau tata ulang
agar aku tersesat lagi di dalamnya.
Setiap batu, setiap pahatan,
setiap lengkung tubuh
adalah perangkap arketip
yang menuntut kegigihanku
namun menelanjangi ketidakberdayaanku.
Dan cermin-cermin itu—
cermin bersurat, cermin berdebu,
cermin berhantu—
semuanya memantulkan wajah
jejaka tolol
yang masih berharap menemukan dirimu
di balik bayang masa lalunya sendiri.
Madu…
Maduku…
engkau bukan penawar dahaga,
engkau adalah dahaga itu sendiri.
Engkau bukan Laksmi,
engkau adalah ruang kosong di mana dewa pernah duduk
lalu pergi tanpa pamit.
Desah napasmu yang lembut—
aku mendengarnya.
Tapi yang dibelainya bukan rerumputan,
melainkan retakan-retakan halus
di dadaku yang tak kunjung sembuh.
Sayap-sayap Jatayu gemetar dalam darahku,
berusaha menyingkap rahasiamu
yang sebenarnya hanyalah rahasiaku sendiri.
Hasratku menuntut tubuhmu,
tapi yang kutemukan hanyalah
lorong gelap yang mengulang
suara air sungai yang mengalir
dari masa kanak-kanak.
Padma Siwa yang kukecup
bukanlah bunga,
melainkan tanda bahwa aku pernah tersesat
dan memilih untuk tidak kembali.
Madu…
aku ingin menyentuhmu,
tapi setiap sentuhan adalah pengakuan
bahwa aku belum mampu menerima kehampaan.
Engkau candi yang ingin kutundukkan,
tapi sebenarnya aku hanyalah
pengemis makna
yang berlutut di hadapan sunyi
yang tak sungguh aku kenali.
Dan ketika tidurmu meredupkan kesadaranku,
aku melihatmu—
bukan sebagai perempuan,
bukan sebagai kenangan,
melainkan sebagai cahaya aruna
yang muncul di ujung doa patah.
Indah.
Bukan karena tubuhmu bercahaya.
Melainkan karena kepasrahanmu
mengajariku
bagaimana rasa sakit
bisa berubah menjadi ruang suci
tempatku bersamadi mengaji diri.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
