Ingatan Quotes
Quotes tagged as "ingatan"
Showing 1-17 of 17
“The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting”
― The Book of Laughter and Forgetting
― The Book of Laughter and Forgetting
“Kadang aku merasa sudah dekat dengan kegilaan.
Kamu tahu apa yang paling menyakitkan saat perasaanmu begitu terikat kepada seseorang?
Bukan karena kamu tidak bisa menyatu dengan dia maka kamu akan merasa hidupmu begitu nestapa. Sesuatu yang lebih meluluhlantakkan hatimu adalah ketika seseorang -yang menyandera kemampuanmu untuk memiliki itu- tak melibatkan lagi namamu dalam hidupnya, tidak mengingat tanggal lahirmu, tidak mengucapkan apapun ketika datang tahun baru, bahkan tidak mengirimkan pesan basa-basi pada hari perayaan agamamu.
Kamu tidak terlibat sama sekali dalam hidupnya. Bahkan sekadar untuk diingat.”
―
Kamu tahu apa yang paling menyakitkan saat perasaanmu begitu terikat kepada seseorang?
Bukan karena kamu tidak bisa menyatu dengan dia maka kamu akan merasa hidupmu begitu nestapa. Sesuatu yang lebih meluluhlantakkan hatimu adalah ketika seseorang -yang menyandera kemampuanmu untuk memiliki itu- tak melibatkan lagi namamu dalam hidupnya, tidak mengingat tanggal lahirmu, tidak mengucapkan apapun ketika datang tahun baru, bahkan tidak mengirimkan pesan basa-basi pada hari perayaan agamamu.
Kamu tidak terlibat sama sekali dalam hidupnya. Bahkan sekadar untuk diingat.”
―
“...ingatan tak selalu apa adanya bahkan lebih sering berbeda dari kenyataan. Ingatan sering liar sendiri, mengalir ke tempat yang ia suka, mencari-cari kenyamanan dan menghindari kepedihan. Ingatan sepertinya bukan diciptakan untuk kebenaran sebab ia tak bisa menjamin ketepatan catatan dan pengkodean rangkaian peristiwa."
.cover belakang.”
― Rhapsody Ingatan: Kumpulan Cerita
.cover belakang.”
― Rhapsody Ingatan: Kumpulan Cerita
“Dan di hadapan kekuasaan, hal paling mudah yang mesti dilakukan, adalah merawat baik-baik ingatan.”
―
―
“Anak-anak kecil kadang tidak menyadari apa yang terjadi hari ini sampai dengan dewasa nanti, ingatannya kembali, dan baru mereka mengetahui kenyataan yang menyakitkan.”
― Muse
― Muse
“perlahan seperti kanal, luka itu mengalir membuat torehan–torehannya dalam ingatan, dalam tulisan, dalam catatan, dalam gurauan, dalam mantra”
― Matahari Mata Hati
― Matahari Mata Hati
“tidur malamnya yang lena
kerap terputus di tengah mimpi
sebahagiannya jatuh di kaki katil
sebahagiannya cair di susu isteri
sebahagiannya kusut dibelit fikiran
(Catatan Tentang Sahabat, I)”
― Opera
kerap terputus di tengah mimpi
sebahagiannya jatuh di kaki katil
sebahagiannya cair di susu isteri
sebahagiannya kusut dibelit fikiran
(Catatan Tentang Sahabat, I)”
― Opera
“Manusia ingat detail hal-hal yang sangat ia sukai. Juga hal-hal yang paling ia benci,” kata Mikhail.
“Aku ada di ingatan bagian yang mana?” tanya Btari, anehnya penuh harap.
“Bisa jadi keduanya.”
― 11:11
“Aku ada di ingatan bagian yang mana?” tanya Btari, anehnya penuh harap.
“Bisa jadi keduanya.”
― 11:11
“Ingatan, memang adalah kotak yang perlu terus dikunjungi untuk melukis peta ke depan, menyadari mana yang perlu dipugar, dan mana akan terus dibawa jadi bagian diri. Dara ingin ingatan yang ini terus hidup dan terus tercipta lagi dalam keluarga mereka.”
― Dua Garis Biru
― Dua Garis Biru
“Untuk memastikan bahwa diri tidak mungkret, mengerut, untuk menjamin bahwa diri tetap bertahan pada volumenya, ingatan harus disiram seperti pohon bunga dalam pot, dan untuk menyiram itu dibutuhkan kontak tetap dan teratur dengan para saksi masa silam, artinya, dengan teman dan sahabat. Teman dan sahabat adalah cermin kita; memori kita; kita tidak minta apa-apa pada mereka kecuali bahwa mereka mengelap-lap cermin itu dari waktu ke waktu supaya kita bisa melihat diri kita sendiri di situ.”
― Identity
― Identity
“Semesta mimpi dalam tidurmu itu
sejatinya terdiri dari ingatan dan tanya
yang datang silih berganti.
Kadang hanya ingatan yang tiba,
kadang pula tanya serupa gema.
Tapi tentu,
tentu kau boleh
memaknainya sesuka hati.”
―
sejatinya terdiri dari ingatan dan tanya
yang datang silih berganti.
Kadang hanya ingatan yang tiba,
kadang pula tanya serupa gema.
Tapi tentu,
tentu kau boleh
memaknainya sesuka hati.”
―
“Rindu kadang seperti tamu brengsek yang datang tiba-tiba. Ia memaksa masuk ke halaman rumahmu membawa kecemasan dan membuatmu terpojok hingga tak bisa apa-apa.”
― Usaha Mencintai Hidup
― Usaha Mencintai Hidup
“Mencintaimu seperti berharap pada cuaca laut ketika badai hendak terjadi. Kamu tak pernah tahu apa yang ada di dalamnya. Petir, taifun, atau ombak besar yang bisa membuat perompak paling jahil ciut nyali. Aku ingin sekali saja tidak percaya bahwa semesta itu demikian adil, bahwa kesalahanku di masa silam akan dibalaskan setimpal.”
― eminus dolere
― eminus dolere
“*Kenangan Dari Koridor Rindu*
Dulu, di bangku ingatan
Ada sepasang tangan saling menggenggam harapan.
Angan yang berlompatan
serupa putih debu kapur
di atas papan tulis.
Mimpiku, mimpimu bertemu
Di dalam lembar-lembar buku.
Langkah yang berjalan tergesa
sepanjang lorong penghubung waktu.
Dari perpustakaan
dan ruang-ruang kelas,
hingga kantin, uks dan ruang guru.
Canda dan tawa kita bergema sepanjang koridor rindu.
Ada kebahagiaan tertinggal di sana seperti hendak kembali padamu.
Ada goresan sejarah yang kita tulis,
Romansa percintaan purba menyisakan ratap tangis.
Kisah cinta yang berakhir tragis: Marie Josephine dan Raja Louis.
Kenangan yang akrab menyapa kita, lewat tutur kata pak guru tua
tegak berdiri di depan kelas
dengan penuh wibawa.
Ada juga kisah lain yang kita baca: sebuah penghargaan tanda cinta piala citra untuk pelajaran fisika.
Semua yang menempa kita
demi mengejar mimpi:
Pelajaran matematika
yang kau benci,
Atau guru biologi tampan
yang diam-diam kau kagumi.
Apa yang masih tertinggal dari senyum bapak dan ibu guru
Suara yang akrab menyapa kita
dari masa lalu.
Ingatan yang selamanya belia menolak menjadi tua.
Puisi yang tak akan lekang
oleh matahari garang di tanah lapang.
Sebuah ode pujian yang kita nyanyikan dengan khidmat:
"Terpujilah wahai engkau,
Ibu Bapak Guru...
Namamu akan selalu hidup
dalam sanubariku..."
Sekiranya saja,
masih cukup waktu kita,
untuk menyapa mereka hari ini.
Para pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Tak terkira banyaknya hutang rasa yang tersimpan di dada.
Rasa terima kasih
dan ucapan syukur
yang tulus terulur
dari lubuk sanubari;
Untuk setiap ilmu yang mereka beri,
setiap pengetahuan yang mereka bagi,
biarlah doa jadi persembahan suci:
Semoga Tuhan selalu melindungi
dan memberkahi bapak-ibu guru
yang kita cintai.
Oktober 2025”
―
Dulu, di bangku ingatan
Ada sepasang tangan saling menggenggam harapan.
Angan yang berlompatan
serupa putih debu kapur
di atas papan tulis.
Mimpiku, mimpimu bertemu
Di dalam lembar-lembar buku.
Langkah yang berjalan tergesa
sepanjang lorong penghubung waktu.
Dari perpustakaan
dan ruang-ruang kelas,
hingga kantin, uks dan ruang guru.
Canda dan tawa kita bergema sepanjang koridor rindu.
Ada kebahagiaan tertinggal di sana seperti hendak kembali padamu.
Ada goresan sejarah yang kita tulis,
Romansa percintaan purba menyisakan ratap tangis.
Kisah cinta yang berakhir tragis: Marie Josephine dan Raja Louis.
Kenangan yang akrab menyapa kita, lewat tutur kata pak guru tua
tegak berdiri di depan kelas
dengan penuh wibawa.
Ada juga kisah lain yang kita baca: sebuah penghargaan tanda cinta piala citra untuk pelajaran fisika.
Semua yang menempa kita
demi mengejar mimpi:
Pelajaran matematika
yang kau benci,
Atau guru biologi tampan
yang diam-diam kau kagumi.
Apa yang masih tertinggal dari senyum bapak dan ibu guru
Suara yang akrab menyapa kita
dari masa lalu.
Ingatan yang selamanya belia menolak menjadi tua.
Puisi yang tak akan lekang
oleh matahari garang di tanah lapang.
Sebuah ode pujian yang kita nyanyikan dengan khidmat:
"Terpujilah wahai engkau,
Ibu Bapak Guru...
Namamu akan selalu hidup
dalam sanubariku..."
Sekiranya saja,
masih cukup waktu kita,
untuk menyapa mereka hari ini.
Para pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Tak terkira banyaknya hutang rasa yang tersimpan di dada.
Rasa terima kasih
dan ucapan syukur
yang tulus terulur
dari lubuk sanubari;
Untuk setiap ilmu yang mereka beri,
setiap pengetahuan yang mereka bagi,
biarlah doa jadi persembahan suci:
Semoga Tuhan selalu melindungi
dan memberkahi bapak-ibu guru
yang kita cintai.
Oktober 2025”
―
“Khajuraho II
(Exploratory Rewrite)
Madu…
di pelataran candi yang bahkan waktu enggan menyentuh,
aku kembali memanggil bayangmu—bukan tubuhmu—
sebab tubuh sudah lama runtuh,
yang tersisa hanyalah gema
yang menempel pada batu sunyi
relief candi.
Senja turun bagai napas terakhir
patung dewa yang terlupa,
dan hasratku—yang tak lagi merah, hanya tinggal hitam legam—
menyeret namamu dari kabut
yang tak pernah berbentuk.
Tapi bulan masih membisik lirih:
Madu, tidurlah.
Atau biarkan dirimu rapuh dalam gelap yang sengaja kau sembunyikan.
Seperti dulu,
jangan kunci pintu hatimu,
bukan karena aku ingin masuk,
tapi karena aku ingin tahu
apa yang hendak kau jaga
dari dirimu sendiri?
Izinkan aku mengurai sayapku—
bukan untuk terbang menuju surgamu
(karena surga itu telah lama hancur sejak kali pertama aku mengingatnya),
melainkan untuk menyapu debu luka
yang menempel pada setiap relung
yang pernah aku namai cinta.
Lelaplah.
Atau lenalah.
Sebab tidur adalah satu-satunya ruang
di mana engkau tak menipu dirimu sendiri.
Di sanggar pamujan yang kini remuk ini
aku menangkap auramu yang tidak berkedip—
jernih, tetapi sekaligus getir,
seakan-akan kesucian bukanlah anugerah
melainkan sisa rasa takut dan kengerian yang kau pertahankan sebagai tameng penjaga bara yang nyaris mati.
Hujan turun.
Tubuhmu basah, tapi bukan basah yang mengundang;
lebih seperti basah mata batu nisan
yang terus-menerus menerima duka tanpa meminta apa pun
selain nafas kematian.
Aku mengingatmu…
bukan sebagai perempuan,
tetapi sebagai guratan yang gagal dihapus waktu.
Wajahmu—putih, jenaka, lalu pudar—
masih menempel seperti noda cahaya
pada dinding lorong masa laluku sendiri.
Setagen hitam itu, kemben lusuh itu,
jarit tanpa bunga—
semuanya bukan pakaian, Madu,
tetapi mantra penolak lupa
yang membuatku terperangkap
dalam ritual pengulangan
yang ternyata menyedihkan.
Candi ini bukan candi,
melainkan struktur ingatan
yang terus kau tata ulang
agar aku tersesat lagi di dalamnya.
Setiap batu, setiap pahatan,
setiap lengkung tubuh
adalah perangkap arketip
yang menuntut kegigihanku
namun menelanjangi ketidakberdayaanku.
Dan cermin-cermin itu—
cermin bersurat, cermin berdebu,
cermin berhantu—
semuanya memantulkan wajah
jejaka tolol
yang masih berharap menemukan dirimu
di balik bayang masa lalunya sendiri.
Madu…
Maduku…
engkau bukan penawar dahaga,
engkau adalah dahaga itu sendiri.
Engkau bukan Laksmi,
engkau adalah ruang kosong di mana dewa pernah duduk
lalu pergi tanpa pamit.
Desah napasmu yang lembut—
aku mendengarnya.
Tapi yang dibelainya bukan rerumputan,
melainkan retakan-retakan halus
di dadaku yang tak kunjung sembuh.
Sayap-sayap Jatayu gemetar dalam darahku,
berusaha menyingkap rahasiamu
yang sebenarnya hanyalah rahasiaku sendiri.
Hasratku menuntut tubuhmu,
tapi yang kutemukan hanyalah
lorong gelap yang mengulang
suara air sungai yang mengalir
dari masa kanak-kanak.
Padma Siwa yang kukecup
bukanlah bunga,
melainkan tanda bahwa aku pernah tersesat
dan memilih untuk tidak kembali.
Madu…
aku ingin menyentuhmu,
tapi setiap sentuhan adalah pengakuan
bahwa aku belum mampu menerima kehampaan.
Engkau candi yang ingin kutundukkan,
tapi sebenarnya aku hanyalah
pengemis makna
yang berlutut di hadapan sunyi
yang tak sungguh aku kenali.
Dan ketika tidurmu meredupkan kesadaranku,
aku melihatmu—
bukan sebagai perempuan,
bukan sebagai kenangan,
melainkan sebagai cahaya aruna
yang muncul di ujung doa patah.
Indah.
Bukan karena tubuhmu bercahaya.
Melainkan karena kepasrahanmu
mengajariku
bagaimana rasa sakit
bisa berubah menjadi ruang suci
tempatku bersamadi mengaji diri.
Desember 2025”
―
(Exploratory Rewrite)
Madu…
di pelataran candi yang bahkan waktu enggan menyentuh,
aku kembali memanggil bayangmu—bukan tubuhmu—
sebab tubuh sudah lama runtuh,
yang tersisa hanyalah gema
yang menempel pada batu sunyi
relief candi.
Senja turun bagai napas terakhir
patung dewa yang terlupa,
dan hasratku—yang tak lagi merah, hanya tinggal hitam legam—
menyeret namamu dari kabut
yang tak pernah berbentuk.
Tapi bulan masih membisik lirih:
Madu, tidurlah.
Atau biarkan dirimu rapuh dalam gelap yang sengaja kau sembunyikan.
Seperti dulu,
jangan kunci pintu hatimu,
bukan karena aku ingin masuk,
tapi karena aku ingin tahu
apa yang hendak kau jaga
dari dirimu sendiri?
Izinkan aku mengurai sayapku—
bukan untuk terbang menuju surgamu
(karena surga itu telah lama hancur sejak kali pertama aku mengingatnya),
melainkan untuk menyapu debu luka
yang menempel pada setiap relung
yang pernah aku namai cinta.
Lelaplah.
Atau lenalah.
Sebab tidur adalah satu-satunya ruang
di mana engkau tak menipu dirimu sendiri.
Di sanggar pamujan yang kini remuk ini
aku menangkap auramu yang tidak berkedip—
jernih, tetapi sekaligus getir,
seakan-akan kesucian bukanlah anugerah
melainkan sisa rasa takut dan kengerian yang kau pertahankan sebagai tameng penjaga bara yang nyaris mati.
Hujan turun.
Tubuhmu basah, tapi bukan basah yang mengundang;
lebih seperti basah mata batu nisan
yang terus-menerus menerima duka tanpa meminta apa pun
selain nafas kematian.
Aku mengingatmu…
bukan sebagai perempuan,
tetapi sebagai guratan yang gagal dihapus waktu.
Wajahmu—putih, jenaka, lalu pudar—
masih menempel seperti noda cahaya
pada dinding lorong masa laluku sendiri.
Setagen hitam itu, kemben lusuh itu,
jarit tanpa bunga—
semuanya bukan pakaian, Madu,
tetapi mantra penolak lupa
yang membuatku terperangkap
dalam ritual pengulangan
yang ternyata menyedihkan.
Candi ini bukan candi,
melainkan struktur ingatan
yang terus kau tata ulang
agar aku tersesat lagi di dalamnya.
Setiap batu, setiap pahatan,
setiap lengkung tubuh
adalah perangkap arketip
yang menuntut kegigihanku
namun menelanjangi ketidakberdayaanku.
Dan cermin-cermin itu—
cermin bersurat, cermin berdebu,
cermin berhantu—
semuanya memantulkan wajah
jejaka tolol
yang masih berharap menemukan dirimu
di balik bayang masa lalunya sendiri.
Madu…
Maduku…
engkau bukan penawar dahaga,
engkau adalah dahaga itu sendiri.
Engkau bukan Laksmi,
engkau adalah ruang kosong di mana dewa pernah duduk
lalu pergi tanpa pamit.
Desah napasmu yang lembut—
aku mendengarnya.
Tapi yang dibelainya bukan rerumputan,
melainkan retakan-retakan halus
di dadaku yang tak kunjung sembuh.
Sayap-sayap Jatayu gemetar dalam darahku,
berusaha menyingkap rahasiamu
yang sebenarnya hanyalah rahasiaku sendiri.
Hasratku menuntut tubuhmu,
tapi yang kutemukan hanyalah
lorong gelap yang mengulang
suara air sungai yang mengalir
dari masa kanak-kanak.
Padma Siwa yang kukecup
bukanlah bunga,
melainkan tanda bahwa aku pernah tersesat
dan memilih untuk tidak kembali.
Madu…
aku ingin menyentuhmu,
tapi setiap sentuhan adalah pengakuan
bahwa aku belum mampu menerima kehampaan.
Engkau candi yang ingin kutundukkan,
tapi sebenarnya aku hanyalah
pengemis makna
yang berlutut di hadapan sunyi
yang tak sungguh aku kenali.
Dan ketika tidurmu meredupkan kesadaranku,
aku melihatmu—
bukan sebagai perempuan,
bukan sebagai kenangan,
melainkan sebagai cahaya aruna
yang muncul di ujung doa patah.
Indah.
Bukan karena tubuhmu bercahaya.
Melainkan karena kepasrahanmu
mengajariku
bagaimana rasa sakit
bisa berubah menjadi ruang suci
tempatku bersamadi mengaji diri.
Desember 2025”
―
“ELEGI TIGA BUNGA DALAM 6 KEMUNGKINAN
I. Triptych of the Burning Earth
1. Padma
Engkau bangkit dari air
seperti wajah pagi
yang baru dibasuh cahaya.
Di tubuhmu,
lumpur berbicara dalam bahasa diam,
dan aku mendengar suara
kulit buah merekah
di bawah kelopakmu.
2. Kemuning
Ada matahari kecil
yang patah di tengah daunmu.
Ia mengirim aroma samar
yang ingin menjadi musim panas,
namun hujan menahannya
dalam ambang yang gemetar.
Setiap kuningmu
seperti lantunan terakhir
dari gitar yang terlalu letih
untuk bernyanyi lagi.
3. Mawar
Kau adalah mulut bumi.
Kau berdarah dari telapak
yang lapar pada sentuhan.
Aku menunduk,
membaca dagingmu
seperti membaca sebuah puisi
yang dipahat angin.
Duri-durimu adalah alasan
mengapa cinta memilih manusia
untuk menangis.
II. Three Flowers as Gateways to the Soul
1. Padma
Di dasar air yang tak bernama,
ia menunggu kelahirannya sendiri
dalam bentuk doa paling sunyi.
Segala cahaya yang menyentuhnya
tidak datang dari dunia,
melainkan dari ruang terdalam tubuhnya
yang telah lama menahan sebuah jawaban.
2. Kemuning
Ia berdiri sebagai jeda
antara dua tarikan napas Tuhan.
Warna lembutnya adalah gema
dari sesuatu yang pernah sempurna,
namun memilih menua
agar dapat kembali ke tepi.
Setiap daun yang jatuh
mengajarkan cara pulang
tanpa melangkah.
3. Mawar
Lihatlah ia menutup dan membuka
seperti hati seorang malaikat
yang belajar menjadi manusia.
Dalam merahnya
ada suara yang tidak ingin diucapkan,
sebuah beban keindahan
yang hampir menjadi derita.
Duri-durinya
adalah pemisah halus
antara kasih
dan keterlucutan total.
III. The Thorned Trinity
1. Padma
Aku melihatmu bangkit
dari rawa yang dingin,
membawa diam
yang tak ingin disentuh siapa pun.
Air menelan bayanganmu,
tapi kau tetap mengembang,
seperti luka
yang memilih membesar.
2. Kemuning
Kuningmu adalah memar lama
yang tidak pernah sembuh.
Kau berdesis dalam cahaya
seakan ingin kembali menjadi benih,
menghapus sejarah kecilmu
yang terlalu rapuh untuk diselamatkan.
Ada ketakutan samar
di setiap hela nafasmu.
3. Mawar
Kau adalah pisau merah
yang menyamar sebagai bunga.
Kelopakmu gemetar
oleh ingatan yang tidak mau mati,
sementara duri-durimu
mengunyah udara
seperti gigi yang menahan amarah.
Aku mencium aromamu
dan merasakan besi.
Aku menyentuhmu
dan mendengar sesuatu
di dalam diriku retak.”
―
I. Triptych of the Burning Earth
1. Padma
Engkau bangkit dari air
seperti wajah pagi
yang baru dibasuh cahaya.
Di tubuhmu,
lumpur berbicara dalam bahasa diam,
dan aku mendengar suara
kulit buah merekah
di bawah kelopakmu.
2. Kemuning
Ada matahari kecil
yang patah di tengah daunmu.
Ia mengirim aroma samar
yang ingin menjadi musim panas,
namun hujan menahannya
dalam ambang yang gemetar.
Setiap kuningmu
seperti lantunan terakhir
dari gitar yang terlalu letih
untuk bernyanyi lagi.
3. Mawar
Kau adalah mulut bumi.
Kau berdarah dari telapak
yang lapar pada sentuhan.
Aku menunduk,
membaca dagingmu
seperti membaca sebuah puisi
yang dipahat angin.
Duri-durimu adalah alasan
mengapa cinta memilih manusia
untuk menangis.
II. Three Flowers as Gateways to the Soul
1. Padma
Di dasar air yang tak bernama,
ia menunggu kelahirannya sendiri
dalam bentuk doa paling sunyi.
Segala cahaya yang menyentuhnya
tidak datang dari dunia,
melainkan dari ruang terdalam tubuhnya
yang telah lama menahan sebuah jawaban.
2. Kemuning
Ia berdiri sebagai jeda
antara dua tarikan napas Tuhan.
Warna lembutnya adalah gema
dari sesuatu yang pernah sempurna,
namun memilih menua
agar dapat kembali ke tepi.
Setiap daun yang jatuh
mengajarkan cara pulang
tanpa melangkah.
3. Mawar
Lihatlah ia menutup dan membuka
seperti hati seorang malaikat
yang belajar menjadi manusia.
Dalam merahnya
ada suara yang tidak ingin diucapkan,
sebuah beban keindahan
yang hampir menjadi derita.
Duri-durinya
adalah pemisah halus
antara kasih
dan keterlucutan total.
III. The Thorned Trinity
1. Padma
Aku melihatmu bangkit
dari rawa yang dingin,
membawa diam
yang tak ingin disentuh siapa pun.
Air menelan bayanganmu,
tapi kau tetap mengembang,
seperti luka
yang memilih membesar.
2. Kemuning
Kuningmu adalah memar lama
yang tidak pernah sembuh.
Kau berdesis dalam cahaya
seakan ingin kembali menjadi benih,
menghapus sejarah kecilmu
yang terlalu rapuh untuk diselamatkan.
Ada ketakutan samar
di setiap hela nafasmu.
3. Mawar
Kau adalah pisau merah
yang menyamar sebagai bunga.
Kelopakmu gemetar
oleh ingatan yang tidak mau mati,
sementara duri-durimu
mengunyah udara
seperti gigi yang menahan amarah.
Aku mencium aromamu
dan merasakan besi.
Aku menyentuhmu
dan mendengar sesuatu
di dalam diriku retak.”
―
“ELEGI TIGA BUNGA DALAM 6 KEMUNGKINAN
IV. Triptych of the Flowery Dwarf
1. Padma
Di kolam itu, bulan merintih
seperti kuda putih yang kelelahan.
Dari lumpur, Padma bangkit—
mengenakan gaun malam
yang dijahit dari nafas nenek moyang
hantu air.
Ia membuka kelopaknya
dan terdengarlah suara gitar jauh
di perbukitan:
suara yang lahir dari luka
dan kembali menjadi luka.
2. Kemuning
Kemuning menari sendirian
di halaman senyap tanah Jawa.
Kuningnya bersinar
seperti cincin emas di jari
seorang janda muda
yang tak ingin menikah lagi.
Angin membawa kabar
bahwa setiap kelopak
pernah menjadi mata seorang anak
yang mencari ibunya
di hutan paling gelap.
3. Mawar
Mawar adalah gadis penari
yang menyembunyikan pisau kecil
di balik selendang merahnya.
Ia tersenyum pada fajar
tapi senyum itu terbakar
sebelum sempat jatuh ke tanah.
Di sekitar durinya,
kurcaci menari—
menebar dingin pada udara,
menghembus nyawa pada warna.
V. Three Flowers upon the Turning Gyre
1. Padma
Di permukaan air yang tua,
Padma berdiri sebagai pengingat
bahwa dunia pernah muda.
Ia membuka dirinya
seperti wahyu kecil
dari zaman yang nyaris terlupa,
zaman ketika roh dan manusia
masih bersalaman tanpa rasa takut.
2. Kemuning
Dalam kilau keemasannya,
ada masa depan yang belum tiba.
Ia melintas seperti burung kepodang
di antara dua lingkaran takdir,
seakan mengetahui
bahwa segala kecantikan
adalah nubuat berbahaya
yang menuntut korban.
3. Mawar
Mawar tumbuh
di jantung lingkar perputaran—
tempat para dewa lama
dan para pahlawan muda
saling menatap tanpa bicara.
Merahnya adalah sumbu
yang menyalakan usia-usia dunia;
duri-durinya adalah penjaga
yang tahu bahwa cinta
selalu menuntut kelahiran kedua.
VI. Three Flowers of Memory
1. Padma
Aku melihatmu, Padma,
di kolam yang tak berani
menyebut nama kekasihnya.
Kau tegak,
seperti perempuan yang menunggu
suami yang tak kembali dari perang.
Kelopakmu diam—
diam yang berat,
diam yang hanya dimengerti
oleh air yang pernah menangisi salju.
2. Kemuning
Engkau kecil dan lembut,
tapi menyimpan dingin
yang tak mampu dipatahkan matahari.
Kuningmu mengingatkanku
pada sepucuk surat
yang tak pernah terkirim,
namun tetap dibaca
oleh seseorang yang terus menunggu
di malam-malam panjang
pengasingan.
3. Mawar
Duri-durimu mengingatkan
pada kata-kata yang tak kuucapkan.
Merahmu seperti wajah seorang ibu
yang tak lagi menjerit
karena telah kehabisan suara.
Aku menyentuhmu,
dan kau bergetar—
seperti hati perempuan
yang tahu bahwa cinta
lebih kuat dari kematian,
namun selalu kalah
oleh sejarah.
Desember 2025”
―
IV. Triptych of the Flowery Dwarf
1. Padma
Di kolam itu, bulan merintih
seperti kuda putih yang kelelahan.
Dari lumpur, Padma bangkit—
mengenakan gaun malam
yang dijahit dari nafas nenek moyang
hantu air.
Ia membuka kelopaknya
dan terdengarlah suara gitar jauh
di perbukitan:
suara yang lahir dari luka
dan kembali menjadi luka.
2. Kemuning
Kemuning menari sendirian
di halaman senyap tanah Jawa.
Kuningnya bersinar
seperti cincin emas di jari
seorang janda muda
yang tak ingin menikah lagi.
Angin membawa kabar
bahwa setiap kelopak
pernah menjadi mata seorang anak
yang mencari ibunya
di hutan paling gelap.
3. Mawar
Mawar adalah gadis penari
yang menyembunyikan pisau kecil
di balik selendang merahnya.
Ia tersenyum pada fajar
tapi senyum itu terbakar
sebelum sempat jatuh ke tanah.
Di sekitar durinya,
kurcaci menari—
menebar dingin pada udara,
menghembus nyawa pada warna.
V. Three Flowers upon the Turning Gyre
1. Padma
Di permukaan air yang tua,
Padma berdiri sebagai pengingat
bahwa dunia pernah muda.
Ia membuka dirinya
seperti wahyu kecil
dari zaman yang nyaris terlupa,
zaman ketika roh dan manusia
masih bersalaman tanpa rasa takut.
2. Kemuning
Dalam kilau keemasannya,
ada masa depan yang belum tiba.
Ia melintas seperti burung kepodang
di antara dua lingkaran takdir,
seakan mengetahui
bahwa segala kecantikan
adalah nubuat berbahaya
yang menuntut korban.
3. Mawar
Mawar tumbuh
di jantung lingkar perputaran—
tempat para dewa lama
dan para pahlawan muda
saling menatap tanpa bicara.
Merahnya adalah sumbu
yang menyalakan usia-usia dunia;
duri-durinya adalah penjaga
yang tahu bahwa cinta
selalu menuntut kelahiran kedua.
VI. Three Flowers of Memory
1. Padma
Aku melihatmu, Padma,
di kolam yang tak berani
menyebut nama kekasihnya.
Kau tegak,
seperti perempuan yang menunggu
suami yang tak kembali dari perang.
Kelopakmu diam—
diam yang berat,
diam yang hanya dimengerti
oleh air yang pernah menangisi salju.
2. Kemuning
Engkau kecil dan lembut,
tapi menyimpan dingin
yang tak mampu dipatahkan matahari.
Kuningmu mengingatkanku
pada sepucuk surat
yang tak pernah terkirim,
namun tetap dibaca
oleh seseorang yang terus menunggu
di malam-malam panjang
pengasingan.
3. Mawar
Duri-durimu mengingatkan
pada kata-kata yang tak kuucapkan.
Merahmu seperti wajah seorang ibu
yang tak lagi menjerit
karena telah kehabisan suara.
Aku menyentuhmu,
dan kau bergetar—
seperti hati perempuan
yang tahu bahwa cinta
lebih kuat dari kematian,
namun selalu kalah
oleh sejarah.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
