Polemik Quotes

Quotes tagged as "polemik" Showing 1-2 of 2
Titon Rahmawan
“PUISI YANG MENYALAK DI DALAM KUIL

Aku datang sebagai suara yang tidak diundang,
mengganggu arak-arakan para penyair suci yang mengenakan jubah kaftan fedora
yang melangkah dengan medali penghargaan bergantung di lehernya.
Mereka menyanyi tentang keindahan
seperti imam-imam tua yang lupa
bahwa dunia pertama-tama adalah luka.

Aku bukan bagian dari mereka.
Aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka.

Aku adalah PUISI yang berteriak di ambang pintu,
yang menolak sujud pada altar klasik,
yang tidak mau dicatat dalam sejarah
karena sejarah terlalu sering memilih
untuk memaafkan penguasa
dan melupakan rakyat jelata yang mati terkubur.

Aku memanggil Rilke—
bukan rilkian yang halus dan haus pujian
tapi Rilke yang meradang dalam keterasingan,
yang bertanya kepada malam:
“Haruskah aku meronta ketika kata-kata tak lagi sanggup menampungku?”

Dan malam menjawab dengan kehampaan tanpa tepi.

Aku melawan kehampaan itu dengan gigiku sendiri.
Aku menggigit batas-batas puisi
yang dibangun para kurator yang merasa tinggi
yang menentukan mana yang layak disebut puisi,
mana yang harus dibuang ke kolong rak antologi.

Aku menolak semuanya.

Sebab aku lahir bukan dari estetika,
melainkan dari ketegangan di dada:
napas yang hampir patah,
lutut yang hampir rubuh,
kesadaran yang hampir retak.

Para akademisi akan mencoba mengukurku
dengan teori yang rapuh,
menganalisaku seperti fosil masa lalu.
membelahku dengan mata pisau kritik
yang tidak pernah menyentuh penderitaan nyata.
Aku menatap mereka—
dan menertawakannya sebagai kekosongan yang menggelikan.

Aku tidak ingin jadi kanon.
Aku tidak ingin jadi trofi kebanggaan.
Aku tidak ingin berdiri di podium penghargaan.

Yang kuinginkan hanya satu:
menjadi kebenaran telanjang
yang membuat siapa pun yang membacanya
merasakan getaran pertama kelahiran manusia—
ketakutan, keterkejutan, kesunyian yang menganga.

Aku adalah PUISI,
bukan yang kalian rayakan,
melainkan yang kalian hindari.

Aku adalah puisi yang menolak dipoles,
yang menolak dirapikan,
yang menolak dimandikan dalam metafora indah
agar tampak seperti karya seni.

Aku tidak ingin indah.
Aku hanya ingin benar.

Dan kebenaran itu ganas, tajam, kejam:
biar manusia menulis
bukan untuk menjadi abadi,
tetapi untuk menyelamatkan sisa-sisa peradaban
yang hampir tenggelam oleh pengapnya kehidupan.

Jadi aku berdiri di sini—
sebagai catatan perlawanan
terhadap segala yang ingin menjinakkanku.

Jangan sebut aku puisi
jika itu berarti tunduk.
Sebut aku PUISI
yang kembali ke akar pertama:
jeritan batin, teriakan luka
pengakuan yang tak bisa dibohongi,
suara yang terbit dari jurang
dalam diri manusia.

Jika dunia menolakku,
itu berarti aku hidup.
Jika sejarah menyingkirkanku,
itu berarti aku benar.

Aku adalah PUISI yang tidak
meminta tempat—
aku akan merebutnya.
Sebab siapa yang layak
adalah ia yang paling jujur
pada diri sendiri.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“KAMAR MAYAT KATA-KATA

Aku membuka dadaku
seperti Sylvia membuka oven
tempat ia hendak membakar dirinya:
tanpa upacara,
tanpa metafora,
tanpa perhiasan bahasa
yang berusaha menutupi bau tubuh
yang sudah terlalu lama membusuk.

Inilah luka yang tidak berkafan.

Aku menulis bukan untuk sembuh—
hanya memastikan, rasa sakit itu
benar-benar nyata,
ia tidak bersembunyi
di balik diksi yang manis,
goresan pisau yang tidak menyamar sebagai harapan
demi membuat dunia merasa nyaman.

Nyaman adalah kebohongan.

Aku ingin mereka melihat
bagaimana kata-kata itu bergetar
di bawah ketiadaan cahaya,
bagaimana kenyataan menyeret dirinya melewati undakan tangga,
memecahkan cermin,
meretakkan rahang kesadaran,
mencabuti kuku-kuku yang tersisa
dari ibu jari batin.

Ini bukan kamar
hotel mewah.
Ini kamar mayat
tempat jasad puisi
diotopsi.

Setiap kata yang kau baca
adalah organ yang baru dipotong:
masih hangat,
masih berdarah,
masih membawa jejak ketakutan terakhirnya.

Aku meletakkannya di atas
nampan logam
tanpa penutup,
tanpa formalin,
tanpa doa.

Lihatlah: — ketakutan yang dikikis sampai tersisa tulang
— kemarahan yang dipaksa menelan lidahnya sendiri
— rasa bersalah yang dipakukan ke dinding
— harapan yang dibakar hingga tak berbentuk.

Ini bukan metafora,
ini pembersihan.
Penyembelihan kasar.
Eksorsisme penuh sadar.

Aku akan mengulang ritual Sylvia menulis dengan pisau;
biar aku tajamkan pisaunya
dan memasukannya lebih dalam.

Aku tidak mencari atribut indah.
Keindahan hanya membuat
luka terasa sopan.
Aku ingin luka ini menatapmu
tanpa kulit,
tanpa nama,
tanpa riasan.

Karena hanya ketika tubuh bahasa dikeluarkan dari kulitnya,
barulah kebenaran berdiri
tanpa takut, tanpa gemetar.

Maka inilah kebenaran itu:
bahwa aku telah menghabiskan hidup
menjadi aktor dalam drama
rasa sakitku sendiri,
mengecat wajahku dengan metafora
agar tampak seperti seni,
padahal aku hanyalah manusia
yang tidak pernah selesai melawan hegemoni teror sendiri.

Hari ini aku mengakhiri sandiwara itu
menanggalkan semua ornamen.
membiarkan yang tersisa
hanya daging mentah
yang masih berdarah.

Dan jika kau merasa ngeri,
bagus!
Rasa ngeri adalah bukti
bahwa kau masih hidup.

Inilah tandanya:
ruang putih,
dingin besi,
bau anyir logam,
kesunyian yang menyalak,
jiwa yang dibaringkan
telanjang
tanpa penutup,
tanpa belas kasihan,
tanpa penjelasan.

Tubuh remuk puisi
yang tidak menuntut dipahami
hanya menuntut jujur.

Karena kadang,
satu-satunya cara
untuk tetap hidup
adalah membiarkan
sebagian dari dirimu mati
di atas halaman kertas kosong
tanpa tulisan.

November 2025”
Titon Rahmawan