Kejam Quotes

Quotes tagged as "kejam" Showing 1-5 of 5
Marjane Satrapi
“Dalam hidup kau akan bertemu banyak orang brengsek. Kalau mereka menyakitimu, katakan pada dirimu sendiri itu karena mereka bodoh. Itu akan membantu mencegahmu bereaksi pada kekejaman mereka. Karena tidak ada yang lebih buruk daripada kebencian dan balas dendam. Selalu jaga martabatmu dan jujurlah pada dirimu sendiri.”
Marjane Satrapi, Persepolis: The Story of a Childhood

“You have no idea. Kadang aku bisa jadi begitu kejam. Dan kadang menjadi kejam adalah jalan keluar yang terbaik.”
Devania Annesya, Muse

Alfin Rizal
“satu-satunya pejam paling kejam adalah mata
yang membayangkan kau di pelukan orang lain”
Alfin Rizal, ASMARAGAMA

Lee Risar
“Desember

Setelah beberapa tahun yang kejam
Dan bulan-bulan yang putus asa
Aku menemukan jalan pulang
Pada lengan-lengan hujan yang damba
Memelukku
Lebih erat dari pelukan mantan”
Lee Risar

Titon Rahmawan
“Infantisida: Litani Penyangkalan

Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.

Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.

Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.

“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”

Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.

Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.

“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”

“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.

Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.

Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.

Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.

Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:

Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.

Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.

November 2025”
Titon Rahmawan