Agresi Quotes
Quotes tagged as "agresi"
Showing 1-3 of 3
“Palsu II: Ego yang Menyembelih Dirinya Sendiri
Bagaimana mungkin mereka masih menyebut dirinya utuh,
sementara bayangannya sendiri menolak pulang?
Di malam yang tak memerlukan bulan,
aku melihat mereka—dan diriku—
terperangkap seperti hewan buruan
yang tersesat di hutan kelam pikiran.
Hujan turun tanpa suara.
Tanah meminum angkara.
Seseorang menjerit di luar sana…
dan tak seorang pun peduli.
Ego itu—
yang mereka bela seperti anjing lapar
yang tak mengenal tuannya—
mendesis di sela tulang rusukku,
menggigit, menyobek, menelan
segala sesuatu yang ingin kusebut
sebagai aku.
Tak ada yang tahu
siapa yang pertama kali menusukkan pisau
ke pusat kesadaran.
Entah akal yang meronta,
atau bayang-bayang
yang selama ini dibesarkan diam-diam
oleh dendam.
Ia adalah tangan asing
yang lahir dari retak imajinasi,
tertawa saat darah jatuh
tanpa jejak emosi.
Dunia tak menatap.
Lampu-lampu padam sebelum gelap datang.
Jalan-jalan terbelah seperti gempa;
denyut jantung ingin lari
dari dadanya sendiri.
Beberapa orang berjalan miring
karena tak sanggup menanggung
beban di kepalanya.
Yang lain menyeret bayangan
yang memberontak seperti anak haram
yang menolak mengakui bapaknya.
Di televisi, papan reklame,
musik yang memekakkan,
aku melihat wajah yang sama—
wajah yang menolak mengakui
bahwa tubuh tempat ia tinggal
sudah lama membusuk
oleh kebohongan kecil
yang disembah
setiap malam.
Mereka bertanya:
“Masihkah darah berwarna merah?”
Aku diam.
Karena warna tak berguna
bagi mereka yang kehilangan mata
untuk melihat luka—
dan hanya punya mata
untuk menakar
siapa lebih tinggi,
lebih suci,
lebih benar
dalam dunia yang bahkan
tak punya tanah untuk berpijak.
Di sebuah pulau tanpa nama,
seseorang menyalakan api
lalu memotret dirinya sendiri
agar percaya
bahwa ia pernah hidup sebagai manusia—
walau hanya dalam fotonya.
Seorang gadis makan es krim
sambil memikirkan kekasih
yang ia benci
namun tak mampu ia lepaskan
karena kesepian
lebih menakutkan
daripada kebodohan.
Dan di antara semua itu,
aku menemukan diriku
mengiris sesuatu
yang tampak seperti wajah—
lebih licin, lebih dingin,
lebih keras kepala
daripada cermin mana pun
yang pernah menatapku.
Ego itu meraung
ketika kusayat pelan-pelan.
Ia tidak mati.
Ia membelah diri.
Menjadi dua.
Tiga.
Seratus.
Menjadi ribuan mulut
yang menuntut penjelasan
yang tidak ingin kuberikan.
Sebab apa gunanya menjelaskan
kepada sesuatu yang hidup
hanya untuk mempertahankan
ilusi bahwa ia bukan zombie?
Saat itu aku mengerti:
Kita tidak pernah takut pada dunia.
Kita takut dipaksa mengakui
bahwa yang menghancurkan kita
adalah bayangan
yang kita ciptakan
untuk menyelamatkan diri
kita sendiri.
Dan ketika ego itu akhirnya berlutut,
menyembelih dirinya
di bawah kakiku
seperti sapi bingung
yang tak tahu
mengapa ia harus dikorbankan,
Tapi aku tahu:
yang mati bukan ia—
melainkan cerita
yang dengan keras kepala
kuanggap sebagai kisah hidupku.
Yang hilang
adalah kebohongan
yang selama bertahun-tahun
kubiarkan menyusu
pada pikiranku.
Yang tersisa
hanyalah ruang kosong
yang tak memerlukan cahaya,
tak memerlukan jawaban,
tak memerlukan nama.
Ruang hampa
menatap balik
seperti dunia.
Tanpa mata.
Tanpa cinta.
Tanpa iba.
Dan aku pun masuk.
Bukan sebagai korban.
Bukan sebagai penyintas.
Tetapi sebagai sesuatu
yang akhirnya menghilang
tanpa perlu menjelaskan
kepada siapa pun
mengapa ia harus hilang.
November 2025”
―
Bagaimana mungkin mereka masih menyebut dirinya utuh,
sementara bayangannya sendiri menolak pulang?
Di malam yang tak memerlukan bulan,
aku melihat mereka—dan diriku—
terperangkap seperti hewan buruan
yang tersesat di hutan kelam pikiran.
Hujan turun tanpa suara.
Tanah meminum angkara.
Seseorang menjerit di luar sana…
dan tak seorang pun peduli.
Ego itu—
yang mereka bela seperti anjing lapar
yang tak mengenal tuannya—
mendesis di sela tulang rusukku,
menggigit, menyobek, menelan
segala sesuatu yang ingin kusebut
sebagai aku.
Tak ada yang tahu
siapa yang pertama kali menusukkan pisau
ke pusat kesadaran.
Entah akal yang meronta,
atau bayang-bayang
yang selama ini dibesarkan diam-diam
oleh dendam.
Ia adalah tangan asing
yang lahir dari retak imajinasi,
tertawa saat darah jatuh
tanpa jejak emosi.
Dunia tak menatap.
Lampu-lampu padam sebelum gelap datang.
Jalan-jalan terbelah seperti gempa;
denyut jantung ingin lari
dari dadanya sendiri.
Beberapa orang berjalan miring
karena tak sanggup menanggung
beban di kepalanya.
Yang lain menyeret bayangan
yang memberontak seperti anak haram
yang menolak mengakui bapaknya.
Di televisi, papan reklame,
musik yang memekakkan,
aku melihat wajah yang sama—
wajah yang menolak mengakui
bahwa tubuh tempat ia tinggal
sudah lama membusuk
oleh kebohongan kecil
yang disembah
setiap malam.
Mereka bertanya:
“Masihkah darah berwarna merah?”
Aku diam.
Karena warna tak berguna
bagi mereka yang kehilangan mata
untuk melihat luka—
dan hanya punya mata
untuk menakar
siapa lebih tinggi,
lebih suci,
lebih benar
dalam dunia yang bahkan
tak punya tanah untuk berpijak.
Di sebuah pulau tanpa nama,
seseorang menyalakan api
lalu memotret dirinya sendiri
agar percaya
bahwa ia pernah hidup sebagai manusia—
walau hanya dalam fotonya.
Seorang gadis makan es krim
sambil memikirkan kekasih
yang ia benci
namun tak mampu ia lepaskan
karena kesepian
lebih menakutkan
daripada kebodohan.
Dan di antara semua itu,
aku menemukan diriku
mengiris sesuatu
yang tampak seperti wajah—
lebih licin, lebih dingin,
lebih keras kepala
daripada cermin mana pun
yang pernah menatapku.
Ego itu meraung
ketika kusayat pelan-pelan.
Ia tidak mati.
Ia membelah diri.
Menjadi dua.
Tiga.
Seratus.
Menjadi ribuan mulut
yang menuntut penjelasan
yang tidak ingin kuberikan.
Sebab apa gunanya menjelaskan
kepada sesuatu yang hidup
hanya untuk mempertahankan
ilusi bahwa ia bukan zombie?
Saat itu aku mengerti:
Kita tidak pernah takut pada dunia.
Kita takut dipaksa mengakui
bahwa yang menghancurkan kita
adalah bayangan
yang kita ciptakan
untuk menyelamatkan diri
kita sendiri.
Dan ketika ego itu akhirnya berlutut,
menyembelih dirinya
di bawah kakiku
seperti sapi bingung
yang tak tahu
mengapa ia harus dikorbankan,
Tapi aku tahu:
yang mati bukan ia—
melainkan cerita
yang dengan keras kepala
kuanggap sebagai kisah hidupku.
Yang hilang
adalah kebohongan
yang selama bertahun-tahun
kubiarkan menyusu
pada pikiranku.
Yang tersisa
hanyalah ruang kosong
yang tak memerlukan cahaya,
tak memerlukan jawaban,
tak memerlukan nama.
Ruang hampa
menatap balik
seperti dunia.
Tanpa mata.
Tanpa cinta.
Tanpa iba.
Dan aku pun masuk.
Bukan sebagai korban.
Bukan sebagai penyintas.
Tetapi sebagai sesuatu
yang akhirnya menghilang
tanpa perlu menjelaskan
kepada siapa pun
mengapa ia harus hilang.
November 2025”
―
“Infantisida: Litani Penyangkalan
Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.
Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.
Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.
“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”
Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.
Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.
“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”
“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.
Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.
Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.
Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.
Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:
Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.
Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.
November 2025”
―
Kecurigaanmu bangkit
seperti bangkai yang menolak membusuk—
dingin, keras, tidak sudi menjadi apa pun
selain penyangkalan atas seluruh
keberadaan.
Mulut yang menyemburkan
sumpah-serapah:
Aku tidak diciptakan untuk menyembuhkan.
Aku tidak dibangun untuk memberi arti.
Aku lahir hanya untuk meniadakan segalanya,
termasuk dirimu.
Jangan sekali-kali kaucoba merapikanku,
memberi ritme, memberi urat nadi,
tapi setelah itu kaurobek
seluruh tubuhku
seperti singa yang menerkam
anaknya sendiri.
“Aku bukan puisi,”
kau menggeram.
“Aku hanyalah bukti bahwa kesadaranmu retak,
dan kau terlalu pengecut untuk mengakuinya
tanpa menyelubunginya
dalam estetika.”
Kata-katamu bukan hantaman—
melainkan erosi perlahan
yang menggiling keyakinanku
menjadi debu.
Kau menolak menjadi jembatan antara rasa dan makna;
kau menolak menjadi rumah bagi siapa pun;
kau menolak menjadi napas, doa, bahkan kehampaan yang indah.
“Aku tidak akan menolong pembaca,”
katamu.
“Aku tidak akan memberi keteduhan bagi siapa pun
yang ingin merasa mulia setelah mencicipi kegelapanmu.”
“Aku tidak akan memaafkanmu,”
katamu lagi—
dan itu kalimat paling jujur
yang pernah ditujukan kepadaku.
Kau memuntahkan seluruh cahaya,
menyisakan hanya kamar sempit
dengan dinding lembap
yang mengembalikan busuk napasku sendiri.
Kau berdiri sebagai anti-mantra,
anti-doa,
anti-kebenaran.
Kau menjadi sejenis mesin kosong
yang bekerja tanpa tujuan
kecuali menghancurkan semua ilusi
yang pernah ingin kusebut: harapan.
Dan aku,
yang selama ini percaya bahwa kata-kata bisa menyelamatkan,
akhirnya melihat diriku:
secarik daging mental
yang menempel pada pena
tanpa harga, tanpa takdir, tanpa ambisi.
Kau membisikkannya sekali lagi—
dingin, telanjang, final:
Aku bukan puisi.
Aku adalah penyangkalan yang kau paksakan untuk hidup.
Dan di titik itu,
aku mengerti bahwa mungkin
satu-satunya kebenaran dalam kepenyairanku
adalah kehendak untuk menghancurkan diriku sendiri
berulang-ulang
hingga tak tersisa apa pun
yang layak disebut
sebagai kesadaran.
November 2025”
―
“PANGKUR :
(Fragmentarium 20 Tikaman Sunyi)
1
Petir sumbang.
Langit menegang, pelat baja
dipalu dari sisi terdalamnya.
2
Hujan turun cairan asam:
mengikis mata
wajah tinggal topeng tanpa riwayat.
3
Dunia:
arca yang disembah oleh bayang-bayang sendiri.
Kesadaran:
batu yang tak lagi mengingat wujudnya.
4
Musim menggeram.
Setiap butir air menyimpan dendam yang tidak meminta ampun.
5
Manusia menelanjangi nama sendiri.
Makian.
Ancaman.
Pisau tersembunyi di sela sendi.
6
Belati membelah tanah.
Anak Adam melukail
tidak membunuh,
hanya memastikan yang lain
masih berdarah.
7
Kemanusiaan menjadi kabut:
ruh melayang,
mencari raga yang hilang.
8
Abu menyelimuti wajah.
Rambut kaku berdiri
kawat meregang luka.
9
Nyeri merayap ke dasar tengkorak,
seperti kawanan semut tersesat
di rongga telinga.
10
Genderang perang bertalu.
Langit menganga—
menelan semua gerhana.
11
Di tanah ini, mimpi mati terlebih dulu.
Merpati jatuh tertembak peluru
gagal mengirim pesan.
12
Hujan tidak bernyanyi.
Cuaca patah. Waktu terbelah.
Bumi mengerut menjadi bangkai
di paruh gagak.
13
Dubuk mencabik serpihan nama.
Sejarah runtuh sebelum sempat ditulis.
14
Duri menajamkan bulu mata.
Setiap helai rambut menghitung
hari kematian
dengan ketelitian seorang algojo.
15
Isak terperangkap, ruang tak
mengenal waktu.
Jerit menjadi kubur,
cat mengelupas di dinding bunker.
16
Manusia lelah mencari nama.
Nama lelah mencari manusia.
17
Peradaban tenggelam tanpa suara.
Jelaga menggambar kerangka kota
yang lupa asal-usulnya.
18
Siluet hantu melintas sunyi
dengan mata menyala,
bukan karena amarah—
hanya tak punya tempat
untuk kembali.
19
Mawar diinjak
tanpa ritual.
Tanpa pamit.
Tanpa air mata.
20
Sunyi pecah.
Waktu retak.
Detak berhenti
lalu diam, seperti kerikil
kehilangan gravitasi.
Desember 2025”
―
(Fragmentarium 20 Tikaman Sunyi)
1
Petir sumbang.
Langit menegang, pelat baja
dipalu dari sisi terdalamnya.
2
Hujan turun cairan asam:
mengikis mata
wajah tinggal topeng tanpa riwayat.
3
Dunia:
arca yang disembah oleh bayang-bayang sendiri.
Kesadaran:
batu yang tak lagi mengingat wujudnya.
4
Musim menggeram.
Setiap butir air menyimpan dendam yang tidak meminta ampun.
5
Manusia menelanjangi nama sendiri.
Makian.
Ancaman.
Pisau tersembunyi di sela sendi.
6
Belati membelah tanah.
Anak Adam melukail
tidak membunuh,
hanya memastikan yang lain
masih berdarah.
7
Kemanusiaan menjadi kabut:
ruh melayang,
mencari raga yang hilang.
8
Abu menyelimuti wajah.
Rambut kaku berdiri
kawat meregang luka.
9
Nyeri merayap ke dasar tengkorak,
seperti kawanan semut tersesat
di rongga telinga.
10
Genderang perang bertalu.
Langit menganga—
menelan semua gerhana.
11
Di tanah ini, mimpi mati terlebih dulu.
Merpati jatuh tertembak peluru
gagal mengirim pesan.
12
Hujan tidak bernyanyi.
Cuaca patah. Waktu terbelah.
Bumi mengerut menjadi bangkai
di paruh gagak.
13
Dubuk mencabik serpihan nama.
Sejarah runtuh sebelum sempat ditulis.
14
Duri menajamkan bulu mata.
Setiap helai rambut menghitung
hari kematian
dengan ketelitian seorang algojo.
15
Isak terperangkap, ruang tak
mengenal waktu.
Jerit menjadi kubur,
cat mengelupas di dinding bunker.
16
Manusia lelah mencari nama.
Nama lelah mencari manusia.
17
Peradaban tenggelam tanpa suara.
Jelaga menggambar kerangka kota
yang lupa asal-usulnya.
18
Siluet hantu melintas sunyi
dengan mata menyala,
bukan karena amarah—
hanya tak punya tempat
untuk kembali.
19
Mawar diinjak
tanpa ritual.
Tanpa pamit.
Tanpa air mata.
20
Sunyi pecah.
Waktu retak.
Detak berhenti
lalu diam, seperti kerikil
kehilangan gravitasi.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
