Simbolik Quotes

Quotes tagged as "simbolik" Showing 1-3 of 3
“Adarusa

Hapaheman yang merubuhkan pohon itu adalah kerabat dekatmu
Batu yang dulu kaupungut dari sungai dan membawanya ke tepi
Jejak yang ia tinggalkan di atas tanah tegalan yang kekeringan
Dan janji yang tak terbeli.

Istrinya adalah sekuntum mawar yang layu sebelum waktunya
Sandyakala yang mendadak tua setelah melahirkan 3 ekor anak burung;
Seekor burung gagak
Seekor burung prenjak
Dan seekor merpati yang pemalu namun baik hati.

Mereka tak pernah terbang terlalu jauh dari sarang itu.
Sarang yang bukan miliknya
Rumah yang tak pernah ia dirikan untuk keluarga.
Karena ia hanyalah seekor adarusa.

Tak ada yang dimilikinya sendiri kecuali hutang-hutang masa lalu;
Tanah yang tak pernah ia cangkul.
Benih yang tak pernah ia tanam.
Adakah kemarahan semacam itu akan terpendam selamanya?

Seekor pejantan lancung yang hanya bisa datang saat ia lapar
Dan lalu pergi hanya untuk memenuhi egonya sendiri.
Ia telah menjadi beban bagi masa silam
Dan batu yang kian hari kian memberati
Sayap-sayap kelam yang tak mampu terbang lagi.

Telah tua ia sekarang
Masih dengan tabiat yang sama
Watak yang sepertinya hendak ia bawa mati
Langit sekarat menunggu waktu
Segala apa yang ia punya, hanyalah luka
Bukan nama atau harta untuk diwariskan.
Takdir dan nasib buruk serupa suara guntur di kejauhan.

Ia adalah hapaheman yang merubuhkan pohon
Tempat di mana sarang itu berada.
Sarang yang ditinggali istri dan tiga anak-anaknya.

November 2025”
Titon Rahmawan, dkk

Titon Rahmawan
“Adakah Kau Temukan Separuh Ilusi
dalam 7 Bait Sajakku Ini?
: Alejandra Pizarnik

/1/  Ada riwan kekuningan dan kawanan angsa liar di jela-jela bunga bakung. Jerit tangis yang terperangkap dalam seringai bibir si mati yang tenggelam
ke dalam rawa itu tadi pagi, sebelum
ia sempat menafsirkan sajak ini.

/2/  Tetapi, jangan silap oleh senyap yang hinggap di pokok dadap di belakang kuburan yang dijaga oleh seekor burung hantu buta. Dalam kalap mata si nara gila yang berhasil kabur dari lembaran ungu penjara otakmu.

/3/  Sebab kuyakin, ada seekor rusa totol indigo dan sejumput rumput kelabu bening dalam gelak tawa kanak-kanak yang berlarian bersicepat mengejar angin mendaki bukit Lillahi ta’ala.

/4/  Karena sajakmulah maka kutemukan titik-titik hujan yang urung terperangkap dalam cangkir porselen di jejak kaki para sufi dan dalam putih sorban para pencari tuhan.

/5/  Sementara di pelupuk matamu ada kudapati sesayat pisau luka. Lagu cemar yang tercabar dari derai kepingan heran. Dan entah mengapa, telanjur terpatri jadi senyum pilu di sudut bibir para penjaja cinta.

/6/  Namun, kukira itu bukanlah gelembung busa biasa, melainkan selaput tipis rasa takjub yang mungkin tak tersentuh oleh jari-jemari tangan Nizhami saat ia berkisah tentang Laila dan Majnun.

/7/  Barangkali langit keruh kelabu sudah telanjur jenuh oleh tangisanku. Tangis yang diam-diam terpendam dalam curam jeram jantung kita. Serupa fatamorgana, ilusi dari cekaman rasa dahaga yang sungguh tiada terperi.

(Januari 2014)”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Khajuraho I

Madu,
di pelataran kuil ini
aku ingin melukis dirimu sekali lagi.
Saat lesap senja menjemput senyap
di puncak candi
dan kelam hasratku menudungi
samar-samar wajahmu dengan tirai kabut misteri.

Tidakkah engkau dengar bulan berbisik:
Madu tidurlah.
Tidurlah Madu, tidurlah.
Tapi jangan kaukunci pintu hatimu supaya aku
bisa merasuk ke dalam mimpimu. Ijinkan aku
mengirai sepasang sayapku
dalam surgamu
yang rumit namun sekaligus juga sederhana.

Lelap, lelaplah engkau dalam pelukanku
atau lenalah di atas pangkuanku.
Duh Madu, Maduku.
Lelaplah, lenalah engkau dalam langut
tembang sirep yang aku lantunkan, supaya dalam gulita sanggar pamujan keramat ini
aku dapat menangkap samar auramu yang suci.

Kau tak perlu malu sebab hujan akan turun malam ini,
dan tubuhmu molek belaka.
Semolek cendayan tubuhmu
masih serupa dulu ketika aku sering membayangkan dirimu
dari balik gerbang malam
yang tertutup ini.
Dengan coreng-moreng kembang boreh pada wajahmu yang putih jenaka.
Dengan segulung setagen hitam yang longgar menggoda.
Dengan kemben tanpa bunga dan jarit lusuh yang itu-itu juga.

Itulah tatahan yang telanjur sempurna
dan tersimpan rapi dalam ingatan. Gambaran yang tak akan pernah tergantikan oleh apa pun.
Seperti sunggingan abadi jari-jemari seorang empu,
dalam lingkung taman kecil tapi menyenangkan ini: semesta
tumpukan batu-batu yang tak kunjung usai engkau tata
dan pahatan asmaragama yang betapa gelora kehangatannya
seperti wangi setanggi yang tak mau pergi.

Serta tentu saja, cermin bersurat yang tersemat
di setiap pintu menuju relung hatimu, yang dengan licin
memantulkan wajah seorang jejaka kolokan tertawan cinta
yang berusaha menyapa dirimu dengan bibir mesumnya
dan juga tatap mata masa lalunya yang selalu sedih.
Sesedih masa lalu yang menatap dirimu dari balik
kesedihan daun-daun palma masa lalunya sendiri.
Sudah begitu lama wajah kasmaran itu
menghuni pikiranku, seperti tak ingin berpaling
dari ingatan sempurna jelita ayu parasmu.

Duh Madu. Maduku. Laksmi pelipur rinduku
Kurma penawar dahagaku. Engkaulah itu Kharjuravāhaka
mengalunlah suaramu dalam alir darahku.
Biar bunyi desah nafasmu yang lembut membelai hijau rerumputan dan
debar detak jantungmu seketika menyingkap rimbun dedaunan.
Embun tajali yang tersembunyi di dalam reruntuhan dadaku yang paling pilu.
Sayap-sayap Jatayu yang meneluh gemetar jejari waktu yang pelan-pelan
berusaha menyibak rahasiamu, membongkar kesakralanmu dengan segala keisengan dan mungkin kenakalan seorang perjaka
dibantun cinta.

Duh Madu, betapa ingin aku menyentuh tubuhmu, membelai
ujung gunung membusung yang menantang kelelakianku.
Menelusuri ceruk-ceruk rahasiamu yang sarat hikmat purbawi.
Elok prasasti yang terhampar permai di hadapanku. Dan lalu
diam-diam kukecup padma di telapak Siwa yang tengah mekar
di permukaan kolam hayatmu.
Hanya untuk menguji betapa
aku tidak sedang terbawa arus mimpi Sungai Godavari.

Serupa kuda Uccaihsrawa yang lepas kendali
sungguh tak hendak aku pungkiri, betapa keras hasratku untuk menundukkanmu
membolak-balik semesta tubuhmu
dan bila mungkin menelanjangimu.
Supaya aku dapat menyelam jauh ke dalam lubuk
pesonamu yang paling liar, melawan mantramu
yang paling bangkar, hanya untuk mengungkap
teka-teki chakra yantra dalam sunyi samadi.
Menjinakkan detya, meremukkan asura dan lalu
menyusun batu-batu parasmu sekali lagi.

Akan tetapi, ketika kelelapanmu menyihir mata batinku,
aura mistis yang meneluh panca inderawiku 
berasa seperti mencubit dan menyentil kesadaranku
betapa sungguh dalam kepasrahanmu itu
engkau tampak begitu indah.
Secercah aruna namun jauh lebih indah dari sekadar basah
hujan lukisan mimpi
lepas dini hari.

November 2015”
Titon Rahmawan