Mitologis Quotes
Quotes tagged as "mitologis"
Showing 1-3 of 3
“Khajuraho I
Madu,
di pelataran kuil ini
aku ingin melukis dirimu sekali lagi.
Saat lesap senja menjemput senyap
di puncak candi
dan kelam hasratku menudungi
samar-samar wajahmu dengan tirai kabut misteri.
Tidakkah engkau dengar bulan berbisik:
Madu tidurlah.
Tidurlah Madu, tidurlah.
Tapi jangan kaukunci pintu hatimu supaya aku
bisa merasuk ke dalam mimpimu. Ijinkan aku
mengirai sepasang sayapku
dalam surgamu
yang rumit namun sekaligus juga sederhana.
Lelap, lelaplah engkau dalam pelukanku
atau lenalah di atas pangkuanku.
Duh Madu, Maduku.
Lelaplah, lenalah engkau dalam langut
tembang sirep yang aku lantunkan, supaya dalam gulita sanggar pamujan keramat ini
aku dapat menangkap samar auramu yang suci.
Kau tak perlu malu sebab hujan akan turun malam ini,
dan tubuhmu molek belaka.
Semolek cendayan tubuhmu
masih serupa dulu ketika aku sering membayangkan dirimu
dari balik gerbang malam
yang tertutup ini.
Dengan coreng-moreng kembang boreh pada wajahmu yang putih jenaka.
Dengan segulung setagen hitam yang longgar menggoda.
Dengan kemben tanpa bunga dan jarit lusuh yang itu-itu juga.
Itulah tatahan yang telanjur sempurna
dan tersimpan rapi dalam ingatan. Gambaran yang tak akan pernah tergantikan oleh apa pun.
Seperti sunggingan abadi jari-jemari seorang empu,
dalam lingkung taman kecil tapi menyenangkan ini: semesta
tumpukan batu-batu yang tak kunjung usai engkau tata
dan pahatan asmaragama yang betapa gelora kehangatannya
seperti wangi setanggi yang tak mau pergi.
Serta tentu saja, cermin bersurat yang tersemat
di setiap pintu menuju relung hatimu, yang dengan licin
memantulkan wajah seorang jejaka kolokan tertawan cinta
yang berusaha menyapa dirimu dengan bibir mesumnya
dan juga tatap mata masa lalunya yang selalu sedih.
Sesedih masa lalu yang menatap dirimu dari balik
kesedihan daun-daun palma masa lalunya sendiri.
Sudah begitu lama wajah kasmaran itu
menghuni pikiranku, seperti tak ingin berpaling
dari ingatan sempurna jelita ayu parasmu.
Duh Madu. Maduku. Laksmi pelipur rinduku
Kurma penawar dahagaku. Engkaulah itu Kharjuravāhaka
mengalunlah suaramu dalam alir darahku.
Biar bunyi desah nafasmu yang lembut membelai hijau rerumputan dan
debar detak jantungmu seketika menyingkap rimbun dedaunan.
Embun tajali yang tersembunyi di dalam reruntuhan dadaku yang paling pilu.
Sayap-sayap Jatayu yang meneluh gemetar jejari waktu yang pelan-pelan
berusaha menyibak rahasiamu, membongkar kesakralanmu dengan segala keisengan dan mungkin kenakalan seorang perjaka
dibantun cinta.
Duh Madu, betapa ingin aku menyentuh tubuhmu, membelai
ujung gunung membusung yang menantang kelelakianku.
Menelusuri ceruk-ceruk rahasiamu yang sarat hikmat purbawi.
Elok prasasti yang terhampar permai di hadapanku. Dan lalu
diam-diam kukecup padma di telapak Siwa yang tengah mekar
di permukaan kolam hayatmu.
Hanya untuk menguji betapa
aku tidak sedang terbawa arus mimpi Sungai Godavari.
Serupa kuda Uccaihsrawa yang lepas kendali
sungguh tak hendak aku pungkiri, betapa keras hasratku untuk menundukkanmu
membolak-balik semesta tubuhmu
dan bila mungkin menelanjangimu.
Supaya aku dapat menyelam jauh ke dalam lubuk
pesonamu yang paling liar, melawan mantramu
yang paling bangkar, hanya untuk mengungkap
teka-teki chakra yantra dalam sunyi samadi.
Menjinakkan detya, meremukkan asura dan lalu
menyusun batu-batu parasmu sekali lagi.
Akan tetapi, ketika kelelapanmu menyihir mata batinku,
aura mistis yang meneluh panca inderawiku
berasa seperti mencubit dan menyentil kesadaranku
betapa sungguh dalam kepasrahanmu itu
engkau tampak begitu indah.
Secercah aruna namun jauh lebih indah dari sekadar basah
hujan lukisan mimpi
lepas dini hari.
November 2015”
―
Madu,
di pelataran kuil ini
aku ingin melukis dirimu sekali lagi.
Saat lesap senja menjemput senyap
di puncak candi
dan kelam hasratku menudungi
samar-samar wajahmu dengan tirai kabut misteri.
Tidakkah engkau dengar bulan berbisik:
Madu tidurlah.
Tidurlah Madu, tidurlah.
Tapi jangan kaukunci pintu hatimu supaya aku
bisa merasuk ke dalam mimpimu. Ijinkan aku
mengirai sepasang sayapku
dalam surgamu
yang rumit namun sekaligus juga sederhana.
Lelap, lelaplah engkau dalam pelukanku
atau lenalah di atas pangkuanku.
Duh Madu, Maduku.
Lelaplah, lenalah engkau dalam langut
tembang sirep yang aku lantunkan, supaya dalam gulita sanggar pamujan keramat ini
aku dapat menangkap samar auramu yang suci.
Kau tak perlu malu sebab hujan akan turun malam ini,
dan tubuhmu molek belaka.
Semolek cendayan tubuhmu
masih serupa dulu ketika aku sering membayangkan dirimu
dari balik gerbang malam
yang tertutup ini.
Dengan coreng-moreng kembang boreh pada wajahmu yang putih jenaka.
Dengan segulung setagen hitam yang longgar menggoda.
Dengan kemben tanpa bunga dan jarit lusuh yang itu-itu juga.
Itulah tatahan yang telanjur sempurna
dan tersimpan rapi dalam ingatan. Gambaran yang tak akan pernah tergantikan oleh apa pun.
Seperti sunggingan abadi jari-jemari seorang empu,
dalam lingkung taman kecil tapi menyenangkan ini: semesta
tumpukan batu-batu yang tak kunjung usai engkau tata
dan pahatan asmaragama yang betapa gelora kehangatannya
seperti wangi setanggi yang tak mau pergi.
Serta tentu saja, cermin bersurat yang tersemat
di setiap pintu menuju relung hatimu, yang dengan licin
memantulkan wajah seorang jejaka kolokan tertawan cinta
yang berusaha menyapa dirimu dengan bibir mesumnya
dan juga tatap mata masa lalunya yang selalu sedih.
Sesedih masa lalu yang menatap dirimu dari balik
kesedihan daun-daun palma masa lalunya sendiri.
Sudah begitu lama wajah kasmaran itu
menghuni pikiranku, seperti tak ingin berpaling
dari ingatan sempurna jelita ayu parasmu.
Duh Madu. Maduku. Laksmi pelipur rinduku
Kurma penawar dahagaku. Engkaulah itu Kharjuravāhaka
mengalunlah suaramu dalam alir darahku.
Biar bunyi desah nafasmu yang lembut membelai hijau rerumputan dan
debar detak jantungmu seketika menyingkap rimbun dedaunan.
Embun tajali yang tersembunyi di dalam reruntuhan dadaku yang paling pilu.
Sayap-sayap Jatayu yang meneluh gemetar jejari waktu yang pelan-pelan
berusaha menyibak rahasiamu, membongkar kesakralanmu dengan segala keisengan dan mungkin kenakalan seorang perjaka
dibantun cinta.
Duh Madu, betapa ingin aku menyentuh tubuhmu, membelai
ujung gunung membusung yang menantang kelelakianku.
Menelusuri ceruk-ceruk rahasiamu yang sarat hikmat purbawi.
Elok prasasti yang terhampar permai di hadapanku. Dan lalu
diam-diam kukecup padma di telapak Siwa yang tengah mekar
di permukaan kolam hayatmu.
Hanya untuk menguji betapa
aku tidak sedang terbawa arus mimpi Sungai Godavari.
Serupa kuda Uccaihsrawa yang lepas kendali
sungguh tak hendak aku pungkiri, betapa keras hasratku untuk menundukkanmu
membolak-balik semesta tubuhmu
dan bila mungkin menelanjangimu.
Supaya aku dapat menyelam jauh ke dalam lubuk
pesonamu yang paling liar, melawan mantramu
yang paling bangkar, hanya untuk mengungkap
teka-teki chakra yantra dalam sunyi samadi.
Menjinakkan detya, meremukkan asura dan lalu
menyusun batu-batu parasmu sekali lagi.
Akan tetapi, ketika kelelapanmu menyihir mata batinku,
aura mistis yang meneluh panca inderawiku
berasa seperti mencubit dan menyentil kesadaranku
betapa sungguh dalam kepasrahanmu itu
engkau tampak begitu indah.
Secercah aruna namun jauh lebih indah dari sekadar basah
hujan lukisan mimpi
lepas dini hari.
November 2015”
―
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN
BABAK I — AKAR (ontologis dosa)
(suara-serak, seperti daun kering dibolak-balik angin dari bawah tanah)
Lilith: (aku lahir dari engkau yang tak mau menatapku)
suatu ketika ada perintah—sebuah garis yang menulis siapa harus tunduk—
aku menolak: bukan karena niat jahat, tetapi niat terbaca.
dosa itu bukan buah; dosa adalah kata yang mereka beri padaku
ketika aku menolak menjadi bayangan dari sumber cahaya yang membuatku tenggelam.
Naamah: (kulitku berbisik seperti buli minyak di bawah lampu)
mereka menamaiku malam agar bisa menuduhku gelap;
padahal malam hanyalah tempat bagi mereka yang berani bermimpi,
dosa jadi akronim bagi ketakutan mereka sendiri.
Igrat: (aku mengumpulkan potongan-potongan keberanian yang mereka singkirkan)
dosa dimulai, ketika sebuah bangsa memutuskan siapa yang boleh hidup
dan siapa yang harus terkunci di dalam nama mereka sendiri.
Machalat: (aku tahu rumus-rumus kesalahan mereka)
akar dosa bukanlah pelanggaran moral—
ia adalah keengganan untuk mengakui luka di cermin yang mereka lihat.
Eva: (aku menyentuh, aku tahu tekstur pengetahuan yang sebenarnya)
jika pengetahuan adalah kuldi yang menempel di punggung waktu,
ia bisa menjadi peta yang menuntun atau pedang yang memotong—
akar dosa tumbuh dari cara peta itu dibaca oleh mereka yang haus kuasa.
BABAK II — KULDI (paradoks pengetahuan: sumber dari baik & buruk)
(suara seperti kain yang bergesek, lengket dan berminyak di ujung jari)
Lilith: (kuldi—kata mereka—seperti peta)
kuldi mengingat; ia merekam sentuhan, memilih garis.
sebuah tanda di punggungmu—bukan hanya luka, melainkan nama:
aku membawanya; aku mengingat; tapi aku bukan alat.
Naamah: (kuldi adalah cermin yang retak)
kuldi memberi tahu—apa yang kulihat tak selalu berbahaya.
tetapi ketika pengetahuan dipakai untuk memaksa orang, untuk menandai,
kuldi menjadi pukulan yang mematikan.
Igrat: (kuldi menuntun kepada pengetahuan gelap)
ada kuldi yang membuka selubung—mencari sumber cahaya—
ada kuldi yang mengajari cara menyusun alasan untuk mengusir dari rumah yang bukan lagi rumah.
Machalat: (kuldi menempel sebagai hukum)
kita diberi kuldi bukan untuk dihakimi,
melainkan agar tahu di mana kita berdiri; namun mereka membacanya seperti hukum yang tak bisa dibantah.
Eva: (kuldi menawarkan pilihan)
kuldi mengajarkan bahwa mengetahui adalah bertanggung jawab—
ia menajamkan mata atau menajamkan pedang, tergantung siapa yang menyentuhnya.
BABAK III — SURGA (yang menghindar, yang berlubang)
(suara seperti gema dari sumur yang kosong)
Lilith: (surga tak butuh para pecundang)
mereka berbicara tentang surga seolah ia adalah ruangan yang tersedia bagi yang patuh.
aku melihat surga—ia menyingkapkan dirinya pada mereka yang berani mengaku belum selesai.
Naamah: (surga yang terlambat datang)
surga berdiri pada jarak yang tak terselami; ia menunggu diamnya upacara
sementara tubuh kami diapresiasi hanya sebagai tanda hitung yang tak punya nilai.
Igrat: (surga memiliki kriteria yang dibuat lelaki)
ada pintu surga yang hanya mengenal nama-nama yang telah diajarkan untuk patuh.
kami mengetuk dari sisi lain—pintu itu menutup dengan keras.
Machalat: (surga berbisik, tidak memihak)
surga bukan pengadil yang berbaris rapi; ia lebih seperti malam yang menimbang,
menyimpan rahasia bahwa kesucian kadang terluka oleh orang-orang yang menuntutnya.
Eva: (surga berdiri di ambang pengetahuan yang ambigu)
surga adalah ruang di mana pengetahuan tak lagi dikendalikan oleh rasa malu—
namun ia tak memberi kunci pada mereka yang menolak tunduk.”
―
BABAK I — AKAR (ontologis dosa)
(suara-serak, seperti daun kering dibolak-balik angin dari bawah tanah)
Lilith: (aku lahir dari engkau yang tak mau menatapku)
suatu ketika ada perintah—sebuah garis yang menulis siapa harus tunduk—
aku menolak: bukan karena niat jahat, tetapi niat terbaca.
dosa itu bukan buah; dosa adalah kata yang mereka beri padaku
ketika aku menolak menjadi bayangan dari sumber cahaya yang membuatku tenggelam.
Naamah: (kulitku berbisik seperti buli minyak di bawah lampu)
mereka menamaiku malam agar bisa menuduhku gelap;
padahal malam hanyalah tempat bagi mereka yang berani bermimpi,
dosa jadi akronim bagi ketakutan mereka sendiri.
Igrat: (aku mengumpulkan potongan-potongan keberanian yang mereka singkirkan)
dosa dimulai, ketika sebuah bangsa memutuskan siapa yang boleh hidup
dan siapa yang harus terkunci di dalam nama mereka sendiri.
Machalat: (aku tahu rumus-rumus kesalahan mereka)
akar dosa bukanlah pelanggaran moral—
ia adalah keengganan untuk mengakui luka di cermin yang mereka lihat.
Eva: (aku menyentuh, aku tahu tekstur pengetahuan yang sebenarnya)
jika pengetahuan adalah kuldi yang menempel di punggung waktu,
ia bisa menjadi peta yang menuntun atau pedang yang memotong—
akar dosa tumbuh dari cara peta itu dibaca oleh mereka yang haus kuasa.
BABAK II — KULDI (paradoks pengetahuan: sumber dari baik & buruk)
(suara seperti kain yang bergesek, lengket dan berminyak di ujung jari)
Lilith: (kuldi—kata mereka—seperti peta)
kuldi mengingat; ia merekam sentuhan, memilih garis.
sebuah tanda di punggungmu—bukan hanya luka, melainkan nama:
aku membawanya; aku mengingat; tapi aku bukan alat.
Naamah: (kuldi adalah cermin yang retak)
kuldi memberi tahu—apa yang kulihat tak selalu berbahaya.
tetapi ketika pengetahuan dipakai untuk memaksa orang, untuk menandai,
kuldi menjadi pukulan yang mematikan.
Igrat: (kuldi menuntun kepada pengetahuan gelap)
ada kuldi yang membuka selubung—mencari sumber cahaya—
ada kuldi yang mengajari cara menyusun alasan untuk mengusir dari rumah yang bukan lagi rumah.
Machalat: (kuldi menempel sebagai hukum)
kita diberi kuldi bukan untuk dihakimi,
melainkan agar tahu di mana kita berdiri; namun mereka membacanya seperti hukum yang tak bisa dibantah.
Eva: (kuldi menawarkan pilihan)
kuldi mengajarkan bahwa mengetahui adalah bertanggung jawab—
ia menajamkan mata atau menajamkan pedang, tergantung siapa yang menyentuhnya.
BABAK III — SURGA (yang menghindar, yang berlubang)
(suara seperti gema dari sumur yang kosong)
Lilith: (surga tak butuh para pecundang)
mereka berbicara tentang surga seolah ia adalah ruangan yang tersedia bagi yang patuh.
aku melihat surga—ia menyingkapkan dirinya pada mereka yang berani mengaku belum selesai.
Naamah: (surga yang terlambat datang)
surga berdiri pada jarak yang tak terselami; ia menunggu diamnya upacara
sementara tubuh kami diapresiasi hanya sebagai tanda hitung yang tak punya nilai.
Igrat: (surga memiliki kriteria yang dibuat lelaki)
ada pintu surga yang hanya mengenal nama-nama yang telah diajarkan untuk patuh.
kami mengetuk dari sisi lain—pintu itu menutup dengan keras.
Machalat: (surga berbisik, tidak memihak)
surga bukan pengadil yang berbaris rapi; ia lebih seperti malam yang menimbang,
menyimpan rahasia bahwa kesucian kadang terluka oleh orang-orang yang menuntutnya.
Eva: (surga berdiri di ambang pengetahuan yang ambigu)
surga adalah ruang di mana pengetahuan tak lagi dikendalikan oleh rasa malu—
namun ia tak memberi kunci pada mereka yang menolak tunduk.”
―
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN
BABAK IV — MALAIKAT JATUH (penghakiman diam, kehendak patah)
(suara seperti debu yang menempel di lidah)
Lilith: (ada malaikat yang jatuh karena ia merasa bersalah atas ketiadaan)
malaikat jatuh bukan hanya karena kesalahan moral—
mereka jatuh ketika harus memakai kemurnian sebagai topeng.
Naamah: (malaikat juga takut pada tubuh)
mereka belajar takut pada tubuh sebagai cara menutup rasa takut mereka sendiri.
ketika malaikat belajar mengutuk, ia berubah
menjadi batu.
Igrat: (mereka jatuh saat ilmu disalahgunakan)
malaikat yang jatuh menjadi penabuh aturan; ia lupa perintahnya adalah menyusup, bukan memaku.
Machalat: (jatuh adalah akibat peraturan yang tak lagi adil)
malaikat tidak selalu bisa memilih; kadang ia diberi tugas yang membuatnya buta.
Di buang ke sungai dengan tangan dan kaki terikat, tapi tak boleh tenggelam.
Eva: (malaikat yang jatuh mengajarkan kita dua hal)
ia menunjukkan bahwa kebenaran bisa tertutup oleh kebenaran lain dan kebenaran sesudah itu—tidak ada kebenaran final dan satu-satunya
kejatuhan adalah pelajaran tentang interpretasi.
BABAK V — DI MANA TUHAN? (hening — titik tak terlihat, tak terjamah)
(suara yang paling halus, hampir seperti nafas yang ditarik—di ujung fragmen: tidak ada jawaban yang memuaskan)
Lilith: (tuhan ada di dalam pertanyaan yang ditolak)
tuhan tidak bersembunyi di balik kitab yang diangkat untuk menuduh;
tuhan bersembunyi di titik hening antara kata dan tindakan.
ketika mereka berteriak agar aku tunduk, aku merasakan kehadiran-Nya—justru dalam diam.
Naamah: (tuhan mungkin menunggu, mungkin tak mau ikut serta)
ada kemungkinan Tuhan ragu pada cara manusia mengartikan dosa dan kesucian.
dia menahan suara-Nya sehingga kita harus menemukannya sendiri.
Igrat: (tuhan sebagai ruang di dalam tubuh kita)
mungkin Tuhan adalah saksi yang paling sunyi—hadir di dalam setiap kuldi, dalam tiap pertanyaan dan keraguan
kehadiran-Nya bukan penghakiman melainkan kesaksian atas keberadaan kita sendiri.
Machalat: (tuhan adalah gema, bukan perintah)
jika Tuhan berada di mana pun, Dia berada di tempat
di mana pengetahuan dipakai untuk menyembuhkan bukan menandai.
di sana, kuldi jadi berkah, bukan hukuman.
Eva: (aku mengangkat mata—dan menemukan kosong yang berisi)
Tuhan mungkin sedang menyelamatkan kita dari definisi final,
memberi ruang agar kita menulis ulang makna dosa dengan tangan sendiri.
atau Ia absen, dan itu memberikan tanggung jawab—kita harus menjadi penjaga atas kebenaran itu sendiri.
Akhir fragmen: suara-suara itu menghilang seperti benang hilang dari kain tua; tinggal retakan yang menganga—pertanyaan yang harus kita dengar dan ulang terus menerus.
Desember 2025”
―
BABAK IV — MALAIKAT JATUH (penghakiman diam, kehendak patah)
(suara seperti debu yang menempel di lidah)
Lilith: (ada malaikat yang jatuh karena ia merasa bersalah atas ketiadaan)
malaikat jatuh bukan hanya karena kesalahan moral—
mereka jatuh ketika harus memakai kemurnian sebagai topeng.
Naamah: (malaikat juga takut pada tubuh)
mereka belajar takut pada tubuh sebagai cara menutup rasa takut mereka sendiri.
ketika malaikat belajar mengutuk, ia berubah
menjadi batu.
Igrat: (mereka jatuh saat ilmu disalahgunakan)
malaikat yang jatuh menjadi penabuh aturan; ia lupa perintahnya adalah menyusup, bukan memaku.
Machalat: (jatuh adalah akibat peraturan yang tak lagi adil)
malaikat tidak selalu bisa memilih; kadang ia diberi tugas yang membuatnya buta.
Di buang ke sungai dengan tangan dan kaki terikat, tapi tak boleh tenggelam.
Eva: (malaikat yang jatuh mengajarkan kita dua hal)
ia menunjukkan bahwa kebenaran bisa tertutup oleh kebenaran lain dan kebenaran sesudah itu—tidak ada kebenaran final dan satu-satunya
kejatuhan adalah pelajaran tentang interpretasi.
BABAK V — DI MANA TUHAN? (hening — titik tak terlihat, tak terjamah)
(suara yang paling halus, hampir seperti nafas yang ditarik—di ujung fragmen: tidak ada jawaban yang memuaskan)
Lilith: (tuhan ada di dalam pertanyaan yang ditolak)
tuhan tidak bersembunyi di balik kitab yang diangkat untuk menuduh;
tuhan bersembunyi di titik hening antara kata dan tindakan.
ketika mereka berteriak agar aku tunduk, aku merasakan kehadiran-Nya—justru dalam diam.
Naamah: (tuhan mungkin menunggu, mungkin tak mau ikut serta)
ada kemungkinan Tuhan ragu pada cara manusia mengartikan dosa dan kesucian.
dia menahan suara-Nya sehingga kita harus menemukannya sendiri.
Igrat: (tuhan sebagai ruang di dalam tubuh kita)
mungkin Tuhan adalah saksi yang paling sunyi—hadir di dalam setiap kuldi, dalam tiap pertanyaan dan keraguan
kehadiran-Nya bukan penghakiman melainkan kesaksian atas keberadaan kita sendiri.
Machalat: (tuhan adalah gema, bukan perintah)
jika Tuhan berada di mana pun, Dia berada di tempat
di mana pengetahuan dipakai untuk menyembuhkan bukan menandai.
di sana, kuldi jadi berkah, bukan hukuman.
Eva: (aku mengangkat mata—dan menemukan kosong yang berisi)
Tuhan mungkin sedang menyelamatkan kita dari definisi final,
memberi ruang agar kita menulis ulang makna dosa dengan tangan sendiri.
atau Ia absen, dan itu memberikan tanggung jawab—kita harus menjadi penjaga atas kebenaran itu sendiri.
Akhir fragmen: suara-suara itu menghilang seperti benang hilang dari kain tua; tinggal retakan yang menganga—pertanyaan yang harus kita dengar dan ulang terus menerus.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
