Paradoks Quotes

Quotes tagged as "paradoks" Showing 1-12 of 12
“Bagiku Ares seperti itu. Sebuah perjalanan yang baru kusadari keberadaannya. Keberadaan yang sama pentingnya dengan ketiadaannya. Dia adalah paradoks.”
Devania Annesya, Queen: Ingin Sekali Aku Berkata Tidak

Ryūnosuke Akutagawa
“Hati manusia selalu penuh paradoks. Mereka mudah berempati kepada penderitaan orang lain, tetapi juga kurang senang jika orang tersebut berhasil mengatasi penderitaan dengan susah payah. Keberhasilan orang lain, entah bagaimana, bisa secara diam-diam menimbulkan kedengkian dalam diri manusia”
Ryūnosuke Akutagawa , KAKI KUDA dan cerita lain

“Ares seperti paradoks. Aku tidak tahu apa aku membencinya atau menyukainya.”
Devania Annesya, Queen: Ingin Sekali Aku Berkata Tidak

Jonas Jonasson
“Boli mnie głowa, jak o tym myślę, i boli mnie w piersi, jak nabieram powietrza, żeby powiedzieć, że boli mnie głowa, jak o tym myślę.”
Jonas Jonasson, The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared

Maria Dąbrowska
“To jest prawda, że ci, co najwięcej warci są żyć, umierają za młodo.”
Maria Dąbrowska, Noce i dnie t. I-II

“Niemal wszyscy ludzie oszukują się, jaka ich praca jest ważna, gryzą ze stresu paznokcie, łykają antydepresanty i piją litry kawy, wmawiając sobie, że bez robienia tego co pozostali umrą.

I umierają.”
Volant, Piąty poziom

Baek Se-hee
“Kesedihan terkadang seperti minyak dan mendorong kebahagiaan tenggelam ke bawah. Namun, wadah yang menampung kebahagiaan dan kesedihan adalah sebuah wadah bernama kehidupan yang memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan. Meskipun aku merasa sedih, aku bisa merasakan bahwa aku hidup dan sedang mengarungi kehidupanku. Hal ini sungguh memberiku rasa nyaman dan kebahagiaan.”
Baek Se-hee, I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki

Titon Rahmawan
“CHARLIE II
(METAMORPHIC VERSION)

Ia muncul bukan dari layar,
melainkan dari sela-sela gelap
di antara kedipan mata kita—
tempat pikiran gagal memutuskan
siapa sedang menatap siapa.

Tubuh kecil itu kembali,
bukan sebagai gelandangan komikal,
melainkan sebagai pertapa abstrak
yang menertawakan seluruh peradaban
tanpa membuka bibir.

Setiap langkahnya
adalah mantra yang salah dieja,
menggoyang panggung dengan gerak paling canggung;
jatuh-bangun yang kita sebut komedi,
padahal itu adalah cara semesta
menunjukkan betapa rapuhnya kita:
para penonton yang ingin percaya
hidup adalah aliran peristiwa
yang patut dirayakan
layaknya pesta.

Ia tidak sedang berjalan.
Ia sedang menghapus ingatan
sedikit demi sedikit—perlahan-lahan
seperti seluloid yang terbakar oleh cahaya proyektor
dari dunia yang centang-perentang.

Dalam keheningan hitam-putih itu,
kitalah yang menjadi pantomim:
komik yang berbicara tanpa suara,
mengerti tanpa pemahaman,
tertawa tanpa tahu
siapa yang sedang
ditertawakan.

Charlie,
atau siapapun ia telah menjelma,
telah melampaui nama;
ia menjadi ruang kosong
yang memantulkan wajah
cermin kotor yang menunggu
kita terpeleset dusta
topeng mana yang kita kenakan?
kedunguan apa yang kita perankan?

Ia tak memanggil kita.
Ia mengintai kita.
Ia tahu betapa seriusnya
kita menjalani hidup,
betapa tragisnya kesungguhan itu,
betapa bodohnya kesedihan
yang mengira dirinya istimewa.

Tongkat kecilnya bukan properti panggung—
itu garis batas antara imajinasi
dan kenyataan
yang ingin kita sembunyikan
dan yang ingin dunia telanjangi.

Setiap putaran adalah meditasi destruktif:
sebuah zen yang retak,
sebuah pencerahan yang salah arah,
sebuah humor yang menusuk jantung
sampai kita lupa apakah kita sedang menangis atau tertawa.

Di titik ini,
tidak ada lagi komedi,
hanya ironi.
Bukan ia yang tampil untuk kita.
Kita yang tampil untuknya.
Kitalah karakter minor,
figuran tak penting
yang sedang terpampang di layar
yang terus berputar bahkan setelah bioskop tutup.

Kita menyaksikan ia menghilang,
padahal yang raib sebenarnya
adalah ilusi
tentang diri kita sendiri:
nama, peran, luka-luka yang kita pelihara,
semua runtuh dalam irama
yang tak pernah ia mainkan,
tetapi selalu kita dengar
dalam kebisuan.

Ketika layar akhirnya memudar,
kita mengira ia telah pergi—
padahal ego yang tersisa
sebagai jejak bayangan
dalam dunia yang sejak awal
menonton kita
dengan keheningan yang lebih tajam
daripada sayatan pisau.

Tirai menutup.
Namun kesadaran tinggal
menggantung di udara
seperti debu perak seluloid:
kering, dingin, tak bernama—
persis seperti apa yang kita cari
dan takutkan selama ini.

2022 - 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“CHARLIE IV
(PARODY OF THE GREAT MACHINE)

Di layar yang nyaris beku,
Charlie muncul kembali—
sebagai boneka kayu
tersesat di antara deretan server
yang mendengus
seperti kawanan sapi
menunggu disembelih.

Ia menari,
di atas platform data center.
Dalam himpitan dingin yang lebih biadab dari salju Siberia.
Langkah serupa bunyi retakan kecil—
bisikan samar,
seperti suara nadi manusia
mencoba mengingat
bahwa ia dulu pernah bernyawa.

Di sebelahnya, mesin-mesin memandang
gerak tubuh dengan mata merah yang seolah marah;
mereka tidak tertawa,
tidak menangis,
tidak peduli apakah Charlie hendak menyeberang jurang
atau sekadar mencari sisa makna
dari hidupnya.

Ia mengangkat tongkat.
Mesin menganggap itu sebagai perintah.
Seluruh kota listrik bergetar.
Lampu-lampu kejang seperti iman sekarat dan nyaris mati.
Matahari yang kehilangan alasan untuk bangun besok pagi.

Charlie terguling ke tanah,
menertawakan tubuhnya sendiri
yang rapuh,
dan untuk pertama kali
ia tampak seperti orang yang benar-benar mengerti
bahwa tragedi terbesar manusia bukanlah penderitaan—
melainkan ketika rasa sakit kita
diabaikan oleh entitas yang tidak mampu membedakan
manusia dari kucing digital
yang gagal di-render.

Dan dalam gelap itu,
ia menangis sejadi-jadinya
dalam mulut yang tetap membisu:
“Beginilah kiranya bila dunia menyerahkan martabatnya
kepada mesin yang tak bisa
merasa takut.”

Lalu ia menghilang,
seperti tab yang ditutup
tanpa sengaja.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“CHARLIE V
(THE LAST LAUGH OF THE COSMIC JESTER)

Di akhir pertunjukan,
Charlie muncul bukan sebagai manusia,
bukan sebagai gelandangan,
bukan sebagai politikus gagal,
bukan buruh algoritma—
melainkan sebagai bayangan
yang memantul pada sebuah bejana
di tengah gurun yang tidak punya sejarah.

Ia berdiri di sana,
dengan tubuh yang hampir tidak menyentuh tanah,
seperti makhluk yang lupa
apakah ia masih terikat gravitasi.

Dari kejauhan,
suara terompet perang dari masa lalu bergema:
Alexander yang menaklukkan dunia,
Caesar yang mencoba memerintah waktu,
Napoleon yang jatuh karena kesombongannya
Hitler yang mendadak gila—
tapi semuanya terdengar seperti komedi murahan
yang diputar di bioskop tanpa penonton.

Charlie tersenyum.
Ia tahu:
bahkan para penakluk terbesar pun
tidak lebih dari badut yang terlalu percaya diri
di hadapan semesta yang tak pernah berniat menjelaskan apa pun.

Ia merobek wajahnya—
bukan sebagai tindakan mutilasi,
melainkan sebagai bentuk meditasi paling radikal:
tindakan anatta,
pembubaran diri,
pembakaran ego di dalam tungku sunyi
yang menyala tanpa api.

Di balik wajahnya,
tidak ada apa-apa.
Tidak ada identitas.
Tidak ada “aku”.
Hanya ruang hampa
yang memantulkan kembali suara
lolongan serigala ketakutan manusia
dengan kejujuran yang memuakkan.

Ia tertawa.
Tawa itu bukan tawa seorang gelandangan,
bukan tawa seorang politisi,
bukan tawa pekerja pabrik—
melainkan tawa aktor sejati yang telah melampaui
semua peran yang pernah ia mainkan.

Tawa itu menggetarkan pasir,
menggoyang langit,
mengusir kesadaran palsu
yang dibangun oleh ribuan tahun peradaban.

Dan saat gema terakhirnya memudar,
Charlie berkata tanpa bibir,
tanpa suara,
tanpa bentuk:

“Tidak ada yang lucu.
Tidak ada yang ironis.
Tidak ada yang tragis.
Tidak ada yang suci.
Tidak ada yang hina.
Yang ada hanya kesadaran
sedang belajar menertawakan dirinya
agar ia tidak menjadi gila.”

Lalu dunia runtuh.
Diam.
Kosong.
Sunyi.

Dan barulah kemudian—
kita menyadari
bahwa selama ini kitalah
karakter yang ia tulis
menjadi bahan lelucon.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN

BABAK I — AKAR (ontologis dosa)
(suara-serak, seperti daun kering dibolak-balik angin dari bawah tanah)

Lilith: (aku lahir dari engkau yang tak mau menatapku)
suatu ketika ada perintah—sebuah garis yang menulis siapa harus tunduk—
aku menolak: bukan karena niat jahat, tetapi niat terbaca.
dosa itu bukan buah; dosa adalah kata yang mereka beri padaku
ketika aku menolak menjadi bayangan dari sumber cahaya yang membuatku tenggelam.

Naamah: (kulitku berbisik seperti buli minyak di bawah lampu)
mereka menamaiku malam agar bisa menuduhku gelap;
padahal malam hanyalah tempat bagi mereka yang berani bermimpi,
dosa jadi akronim bagi ketakutan mereka sendiri.

Igrat: (aku mengumpulkan potongan-potongan keberanian yang mereka singkirkan)
dosa dimulai, ketika sebuah bangsa memutuskan siapa yang boleh hidup
dan siapa yang harus terkunci di dalam nama mereka sendiri.

Machalat: (aku tahu rumus-rumus kesalahan mereka)
akar dosa bukanlah pelanggaran moral—
ia adalah keengganan untuk mengakui luka di cermin yang mereka lihat.

Eva: (aku menyentuh, aku tahu tekstur pengetahuan yang sebenarnya)
jika pengetahuan adalah kuldi yang menempel di punggung waktu,
ia bisa menjadi peta yang menuntun atau pedang yang memotong—
akar dosa tumbuh dari cara peta itu dibaca oleh mereka yang haus kuasa.

BABAK II — KULDI (paradoks pengetahuan: sumber dari baik & buruk)
(suara seperti kain yang bergesek, lengket dan berminyak di ujung jari)

Lilith: (kuldi—kata mereka—seperti peta)
kuldi mengingat; ia merekam sentuhan, memilih garis.
sebuah tanda di punggungmu—bukan hanya luka, melainkan nama:
aku membawanya; aku mengingat; tapi aku bukan alat.

Naamah: (kuldi adalah cermin yang retak)
kuldi memberi tahu—apa yang kulihat tak selalu berbahaya.
tetapi ketika pengetahuan dipakai untuk memaksa orang, untuk menandai,
kuldi menjadi pukulan yang mematikan.

Igrat: (kuldi menuntun kepada pengetahuan gelap)
ada kuldi yang membuka selubung—mencari sumber cahaya—
ada kuldi yang mengajari cara menyusun alasan untuk mengusir dari rumah yang bukan lagi rumah.

Machalat: (kuldi menempel sebagai hukum)
kita diberi kuldi bukan untuk dihakimi,
melainkan agar tahu di mana kita berdiri; namun mereka membacanya seperti hukum yang tak bisa dibantah.

Eva: (kuldi menawarkan pilihan)
kuldi mengajarkan bahwa mengetahui adalah bertanggung jawab—
ia menajamkan mata atau menajamkan pedang, tergantung siapa yang menyentuhnya.

BABAK III — SURGA (yang menghindar, yang berlubang)
(suara seperti gema dari sumur yang kosong)

Lilith: (surga tak butuh para pecundang)
mereka berbicara tentang surga seolah ia adalah ruangan yang tersedia bagi yang patuh.
aku melihat surga—ia menyingkapkan dirinya pada mereka yang berani mengaku belum selesai.

Naamah: (surga yang terlambat datang)
surga berdiri pada jarak yang tak terselami; ia menunggu diamnya upacara
sementara tubuh kami diapresiasi hanya sebagai tanda hitung yang tak punya nilai.

Igrat: (surga memiliki kriteria yang dibuat lelaki)
ada pintu surga yang hanya mengenal nama-nama yang telah diajarkan untuk patuh.
kami mengetuk dari sisi lain—pintu itu menutup dengan keras.

Machalat: (surga berbisik, tidak memihak)
surga bukan pengadil yang berbaris rapi; ia lebih seperti malam yang menimbang,
menyimpan rahasia bahwa kesucian kadang terluka oleh orang-orang yang menuntutnya.

Eva: (surga berdiri di ambang pengetahuan yang ambigu)
surga adalah ruang di mana pengetahuan tak lagi dikendalikan oleh rasa malu—
namun ia tak memberi kunci pada mereka yang menolak tunduk.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN

BABAK IV — MALAIKAT JATUH (penghakiman diam, kehendak patah)
(suara seperti debu yang menempel di lidah)

Lilith: (ada malaikat yang jatuh karena ia merasa bersalah atas ketiadaan)
malaikat jatuh bukan hanya karena kesalahan moral—
mereka jatuh ketika harus memakai kemurnian sebagai topeng.

Naamah: (malaikat juga takut pada tubuh)
mereka belajar takut pada tubuh sebagai cara menutup rasa takut mereka sendiri.
ketika malaikat belajar mengutuk, ia berubah
menjadi batu.

Igrat: (mereka jatuh saat ilmu disalahgunakan)
malaikat yang jatuh menjadi penabuh aturan; ia lupa perintahnya adalah menyusup, bukan memaku.

Machalat: (jatuh adalah akibat peraturan yang tak lagi adil)
malaikat tidak selalu bisa memilih; kadang ia diberi tugas yang membuatnya buta.
Di buang ke sungai dengan tangan dan kaki terikat, tapi tak boleh tenggelam.

Eva: (malaikat yang jatuh mengajarkan kita dua hal)
ia menunjukkan bahwa kebenaran bisa tertutup oleh kebenaran lain dan kebenaran sesudah itu—tidak ada kebenaran final dan satu-satunya
kejatuhan adalah pelajaran tentang interpretasi.

BABAK V — DI MANA TUHAN? (hening — titik tak terlihat, tak terjamah)
(suara yang paling halus, hampir seperti nafas yang ditarik—di ujung fragmen: tidak ada jawaban yang memuaskan)

Lilith: (tuhan ada di dalam pertanyaan yang ditolak)
tuhan tidak bersembunyi di balik kitab yang diangkat untuk menuduh;
tuhan bersembunyi di titik hening antara kata dan tindakan.
ketika mereka berteriak agar aku tunduk, aku merasakan kehadiran-Nya—justru dalam diam.

Naamah: (tuhan mungkin menunggu, mungkin tak mau ikut serta)
ada kemungkinan Tuhan ragu pada cara manusia mengartikan dosa dan kesucian.
dia menahan suara-Nya sehingga kita harus menemukannya sendiri.

Igrat: (tuhan sebagai ruang di dalam tubuh kita)
mungkin Tuhan adalah saksi yang paling sunyi—hadir di dalam setiap kuldi, dalam tiap pertanyaan dan keraguan
kehadiran-Nya bukan penghakiman melainkan kesaksian atas keberadaan kita sendiri.

Machalat: (tuhan adalah gema, bukan perintah)
jika Tuhan berada di mana pun, Dia berada di tempat
di mana pengetahuan dipakai untuk menyembuhkan bukan menandai.
di sana, kuldi jadi berkah, bukan hukuman.

Eva: (aku mengangkat mata—dan menemukan kosong yang berisi)
Tuhan mungkin sedang menyelamatkan kita dari definisi final,
memberi ruang agar kita menulis ulang makna dosa dengan tangan sendiri.
atau Ia absen, dan itu memberikan tanggung jawab—kita harus menjadi penjaga atas kebenaran itu sendiri.

Akhir fragmen: suara-suara itu menghilang seperti benang hilang dari kain tua; tinggal retakan yang menganga—pertanyaan yang harus kita dengar dan ulang terus menerus.

Desember 2025”
Titon Rahmawan