Dialektika Quotes

Quotes tagged as "dialektika" Showing 1-5 of 5
Andi Fitriyanto
“Fakta tak pernah punya suara keras. Ia tak menggugah air mata. Tetapi jika kita diam, kita ikut menenggelamkannya.”
Andi Fitriyanto, Enigmakrostik

“Tidurlah jika kau yakin bahwa di atas bantal terdadpat mimpi-mimpi tentang kemajuan Nusantara. Tapi jika tidak, bangkitlah untuk membaca dan berdialektika!”
Ach, Dhofir Zuhry, Filsafat Timur: Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna

Titon Rahmawan
“LITANI MAKHLUK DI DALAM PERUT PELANTANG
(Dongeng Singkat Tentang Seekor Anjing yang Mimpi Menjadi Mikropon,
dan Sebuah Mikropon yang Diam-diam Ingin Menjadi Anjing)

I. Retakan Kausa

Dari atap takdir yang menggigil, hujan turun bukan sebagai air,
melainkan sebagai serpih ingatan yang ditinggalkan generasi
yang percaya bahwa pengeras suara lebih suci daripada detak jantung sendiri.

Angin menghafal nama-nama yang diteriakkan—
tetapi kini nama-nama itu berubah menjadi bulu-bulu halus
yang mengelupas dari makhluk yang belum sempurna bentuknya.

Ia berjalan pincang, mengendus karat,
mendengarkan doa yang mendesis seperti minyak panas
dari dasar kuali.

II. Tubuh yang Menjadi Simbol dan Simbol yang Menjadi Makhluk

Di museum moralitas,
patung-patung pendosa tertawa.
Namun malam itu, satu patung retak;
dari celahnya keluar seekor anak anjing berwarna
ungu kebiruan yang terlalu pucat untuk disebut hidup.

Ia meminjam moncong dari sejarah nenek moyangnya,
meminjam telinga dari debu pendiangan,
dan meminjam suara dari mikropon yang lupa kapan ia berhenti bernyanyi.

“Biarkan aku menjadi lidahmu,” katanya,
“agar kata-kata yang kau lempar ke langit
tak lagi memantul sebagai propaganda yang kehilangan ibu.”

III. Doa dalam Dapur Penghakiman

Dalam mimpimu, ia muncul sebagai penghibur yang lelah—
alas bedaknya retak,
gincunya belepotan di pipi, kakinya gemetar,
tetapi matanya menyimpan tahapan-tahapan kesedihan
yang jauh lebih tua daripada artefak yang kau yakini suci.

Ia melihatmu mencari bayangan sendiri
di dekat api yang tak pernah benar-benar menyala,
dan tersenyum jenaka:

“Barangkali kau benci bukan pada tubuhku,
tapi pada suara yang tak berani kau sebutkan namanya.”

Mikropon itu mendengar,
dan getarannya menjadi litani—
tanpa tuduhan, tanpa penghakiman,
hanya gema dari mulut tanah yang gemetar.

IV. Wajah Luka yang Tidak Dipamerkan

Ketika kau akhirnya menyingkap wajah makhluk itu,
kulitnya mengelupas,
darahnya meletup;
ia mengalir sebagai sungai merah yang sangat panjang,
hampir seperti selendang yang menutup dunia
setiap kali manusia kelelahan menipu dirinya sendiri.

Di balik selendang itu, mikropon tua menunduk:
“Apakah ini tubuhmu? Atau tubuhku?
Atau tubuh semua kata yang tak pernah kita izinkan hidup?”

V. Jalan Sunyi yang Menganga ke Dalam Tanah

Makhluk itu—entah anjing, entah kesaksian—
tak terbang ke langit.
Ia menyelam ke lapisan bumi paling pekat,
ke lorong-lorong di mana gema doa
tak lagi memohon keselamatan
tetapi memohon untuk dikenali.

Di sana, telinganya mekar sebagai kaktus hijau berduri,
tunggal, lapar,
menunggu disentuh tetapi tak pernah mengizinkan dipetik.

VI. Nyanyian Mikropon yang Tak Lagi Menguasai Apa Pun

Di permukaan, mikropon itu masih terus bernyanyi.
Namun kini suaranya serak—
bukan karena kehilangan kuasa,
tetapi karena ia akhirnya mendengar dirinya sendiri
sebagai makhluk yang juga ingin disembuhkan.

Ia menyanyikan nama-nama
yang angin pernah hafal,
yang langit pernah kutuki,
yang bumi pernah telan:
suara-suara yang hanya ingin satu hal sederhana—
tidak menjadi yang paling benar,
tidak menjadi yang paling suci,
hanya menjadi lirih terdengar
tanpa harus menggantikan suara siapa pun.

VII. Litani Terakhir

Dan di sela-sela jeda itu,
kau mungkin menangkap bisikan:
bahwa tidak ada anjing yang benar-benar mati,
tidak ada mikropon yang benar-benar berkuasa,
tidak ada doa yang benar-benar berbohong—
hanya makhluk-makhluk yang terus belajar
menerima wujudnya
tanpa harus menutup mata kepada siapa pun
atau menyalakan api yang dapat membakar siapa saja.

Litani selesai.
Tidak ada amin.
Yang tersisa hanya gema yang mengingatkan
bahwa kebenaran—
kadang-kadang—
membutuhkan seekor anjing yang terlahir dari lumpur
dan sebuah mikropon berkarat
untuk saling menyelamatkan.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN

BABAK I — AKAR (ontologis dosa)
(suara-serak, seperti daun kering dibolak-balik angin dari bawah tanah)

Lilith: (aku lahir dari engkau yang tak mau menatapku)
suatu ketika ada perintah—sebuah garis yang menulis siapa harus tunduk—
aku menolak: bukan karena niat jahat, tetapi niat terbaca.
dosa itu bukan buah; dosa adalah kata yang mereka beri padaku
ketika aku menolak menjadi bayangan dari sumber cahaya yang membuatku tenggelam.

Naamah: (kulitku berbisik seperti buli minyak di bawah lampu)
mereka menamaiku malam agar bisa menuduhku gelap;
padahal malam hanyalah tempat bagi mereka yang berani bermimpi,
dosa jadi akronim bagi ketakutan mereka sendiri.

Igrat: (aku mengumpulkan potongan-potongan keberanian yang mereka singkirkan)
dosa dimulai, ketika sebuah bangsa memutuskan siapa yang boleh hidup
dan siapa yang harus terkunci di dalam nama mereka sendiri.

Machalat: (aku tahu rumus-rumus kesalahan mereka)
akar dosa bukanlah pelanggaran moral—
ia adalah keengganan untuk mengakui luka di cermin yang mereka lihat.

Eva: (aku menyentuh, aku tahu tekstur pengetahuan yang sebenarnya)
jika pengetahuan adalah kuldi yang menempel di punggung waktu,
ia bisa menjadi peta yang menuntun atau pedang yang memotong—
akar dosa tumbuh dari cara peta itu dibaca oleh mereka yang haus kuasa.

BABAK II — KULDI (paradoks pengetahuan: sumber dari baik & buruk)
(suara seperti kain yang bergesek, lengket dan berminyak di ujung jari)

Lilith: (kuldi—kata mereka—seperti peta)
kuldi mengingat; ia merekam sentuhan, memilih garis.
sebuah tanda di punggungmu—bukan hanya luka, melainkan nama:
aku membawanya; aku mengingat; tapi aku bukan alat.

Naamah: (kuldi adalah cermin yang retak)
kuldi memberi tahu—apa yang kulihat tak selalu berbahaya.
tetapi ketika pengetahuan dipakai untuk memaksa orang, untuk menandai,
kuldi menjadi pukulan yang mematikan.

Igrat: (kuldi menuntun kepada pengetahuan gelap)
ada kuldi yang membuka selubung—mencari sumber cahaya—
ada kuldi yang mengajari cara menyusun alasan untuk mengusir dari rumah yang bukan lagi rumah.

Machalat: (kuldi menempel sebagai hukum)
kita diberi kuldi bukan untuk dihakimi,
melainkan agar tahu di mana kita berdiri; namun mereka membacanya seperti hukum yang tak bisa dibantah.

Eva: (kuldi menawarkan pilihan)
kuldi mengajarkan bahwa mengetahui adalah bertanggung jawab—
ia menajamkan mata atau menajamkan pedang, tergantung siapa yang menyentuhnya.

BABAK III — SURGA (yang menghindar, yang berlubang)
(suara seperti gema dari sumur yang kosong)

Lilith: (surga tak butuh para pecundang)
mereka berbicara tentang surga seolah ia adalah ruangan yang tersedia bagi yang patuh.
aku melihat surga—ia menyingkapkan dirinya pada mereka yang berani mengaku belum selesai.

Naamah: (surga yang terlambat datang)
surga berdiri pada jarak yang tak terselami; ia menunggu diamnya upacara
sementara tubuh kami diapresiasi hanya sebagai tanda hitung yang tak punya nilai.

Igrat: (surga memiliki kriteria yang dibuat lelaki)
ada pintu surga yang hanya mengenal nama-nama yang telah diajarkan untuk patuh.
kami mengetuk dari sisi lain—pintu itu menutup dengan keras.

Machalat: (surga berbisik, tidak memihak)
surga bukan pengadil yang berbaris rapi; ia lebih seperti malam yang menimbang,
menyimpan rahasia bahwa kesucian kadang terluka oleh orang-orang yang menuntutnya.

Eva: (surga berdiri di ambang pengetahuan yang ambigu)
surga adalah ruang di mana pengetahuan tak lagi dikendalikan oleh rasa malu—
namun ia tak memberi kunci pada mereka yang menolak tunduk.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN

BABAK IV — MALAIKAT JATUH (penghakiman diam, kehendak patah)
(suara seperti debu yang menempel di lidah)

Lilith: (ada malaikat yang jatuh karena ia merasa bersalah atas ketiadaan)
malaikat jatuh bukan hanya karena kesalahan moral—
mereka jatuh ketika harus memakai kemurnian sebagai topeng.

Naamah: (malaikat juga takut pada tubuh)
mereka belajar takut pada tubuh sebagai cara menutup rasa takut mereka sendiri.
ketika malaikat belajar mengutuk, ia berubah
menjadi batu.

Igrat: (mereka jatuh saat ilmu disalahgunakan)
malaikat yang jatuh menjadi penabuh aturan; ia lupa perintahnya adalah menyusup, bukan memaku.

Machalat: (jatuh adalah akibat peraturan yang tak lagi adil)
malaikat tidak selalu bisa memilih; kadang ia diberi tugas yang membuatnya buta.
Di buang ke sungai dengan tangan dan kaki terikat, tapi tak boleh tenggelam.

Eva: (malaikat yang jatuh mengajarkan kita dua hal)
ia menunjukkan bahwa kebenaran bisa tertutup oleh kebenaran lain dan kebenaran sesudah itu—tidak ada kebenaran final dan satu-satunya
kejatuhan adalah pelajaran tentang interpretasi.

BABAK V — DI MANA TUHAN? (hening — titik tak terlihat, tak terjamah)
(suara yang paling halus, hampir seperti nafas yang ditarik—di ujung fragmen: tidak ada jawaban yang memuaskan)

Lilith: (tuhan ada di dalam pertanyaan yang ditolak)
tuhan tidak bersembunyi di balik kitab yang diangkat untuk menuduh;
tuhan bersembunyi di titik hening antara kata dan tindakan.
ketika mereka berteriak agar aku tunduk, aku merasakan kehadiran-Nya—justru dalam diam.

Naamah: (tuhan mungkin menunggu, mungkin tak mau ikut serta)
ada kemungkinan Tuhan ragu pada cara manusia mengartikan dosa dan kesucian.
dia menahan suara-Nya sehingga kita harus menemukannya sendiri.

Igrat: (tuhan sebagai ruang di dalam tubuh kita)
mungkin Tuhan adalah saksi yang paling sunyi—hadir di dalam setiap kuldi, dalam tiap pertanyaan dan keraguan
kehadiran-Nya bukan penghakiman melainkan kesaksian atas keberadaan kita sendiri.

Machalat: (tuhan adalah gema, bukan perintah)
jika Tuhan berada di mana pun, Dia berada di tempat
di mana pengetahuan dipakai untuk menyembuhkan bukan menandai.
di sana, kuldi jadi berkah, bukan hukuman.

Eva: (aku mengangkat mata—dan menemukan kosong yang berisi)
Tuhan mungkin sedang menyelamatkan kita dari definisi final,
memberi ruang agar kita menulis ulang makna dosa dengan tangan sendiri.
atau Ia absen, dan itu memberikan tanggung jawab—kita harus menjadi penjaga atas kebenaran itu sendiri.

Akhir fragmen: suara-suara itu menghilang seperti benang hilang dari kain tua; tinggal retakan yang menganga—pertanyaan yang harus kita dengar dan ulang terus menerus.

Desember 2025”
Titon Rahmawan