Kebenaran Quotes

Quotes tagged as "kebenaran" Showing 1-30 of 47
Soe Hok Gie
“Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak". Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.”
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran

Mochtar Lubis
“Banyak orang yang takut hidup menghadapi kebenaran, dan hanya sedikit orang yang merasa tak dapat hidup tanpa kebenaran dalam hidupnya.”
Mochtar Lubis, Harimau! Harimau!

Seno Gumira Ajidarma
“...kuketahui bahwa pemandangan yang tertatap oleh mata bisa sangat mengecoh pemikiran dalam kepala: bahwa kita merasa menatap sesuatu yang benar, padahal kebenaran itu terbatasi sudut pandang dan kemampuan mata kita sendiri.”
Seno Gumira Ajidarma, Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk

Goenawan Mohamad
“Seorang novelis sebaiknya menciptakan “sebuah wilayah di mana tak seorang pun memiliki kebenaran...tapi di mana setiap orang punya hak untuk dimengerti”
Goenawan Mohamad, CATATAN PINGGIR 3

Goenawan Mohamad
“Orang yang menjadikan kebenaran tergantung kepada salah seorang ahli ilmu saja, maka orang itu lebih dekat kepada pertentangan.”
Goenawan Mohamad, CATATAN PINGGIR 2

“Cinta itu hebat, bahkan lebih hebat dari dunia perkawinan itu. Doa adalah bagian penuturan cinta pada sebuah cita-cita yang belum kita capai. Dia bukan urusan Tuhan, melainkan urusan manusia. Dan Tuhan ada pada seberapa besar rasa cinta kita akan kebenaran itu. Nah, berdoalah dengan cinta, tapi jangan berdoa untuk cinta... Cinta itu dalam dirinya mengandung sebagian kecil rasionalitas, tapi penuh dengan benih rasa yang tidak perlu dihitung secara matematik mengapa dia ada.”
Munir, Keberanian Bernama Munir

Goenawan Mohamad
“Yang penting adalah percakapan dengan kebebasan. Juga kemerdekaan untuk mencari sendiri apa yang benar dan yang adil - dengan sikap ingin tahu, ragu, juga gigih.”
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 7

“Jika ada seribu orang yang membela kebenaran, aku berada diantaranya. Jika ada seratus orang yang membela kebenaran, aku berada diantaranya. Jika ada sepuluh orang pembela kebenaran, aku tetap ada di barisan itu. Dan jika hanya ada satu orang yang tetap membela kebenaran, maka akulah orangnya.” - Umar bin khattab ra”
futuh

Goenawan Mohamad
“Yang logis belum tentu yang benar. Untuk memahami ini cukup baca Agatha Christie.”
Goenawan Mohamad, Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali

Khalif Muammar
“Bukanlah suatu kesalahan apabila seseorang itu mengatakan kepada orang lain bahawa ia berada di jalan yang salah, jika keadaan memerlukannya untuk berterus terang, meskipun hal ini perlu dielakkan jika keadaan tidak menuntutnya berbuat demikian. Malahan adalah sesuatu yang tidak jujur untuk mengatakan kepada orang lain bahawa ia berada di jalan yang benar hanya untuk mengambil hatinya, esdang ia meyakini sebaliknya. Kerana dengan demikian ia telah menzalimi dirinya dan diri orang lain tersebut.”
Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama: Memperkukuh Tawhid di Zaman Kekeliruan

Khalif Muammar
“Pada prinsipnya kita bersetuju bahawa pandangan manusia, dan oleh kerananya ilmu-ilmu yang dibangunkan olehnya, dalam bidang apapun tidak boleh dikultuskan dan dianggap absolut. Hanya ilmu Tuhan yang mutlak (absolute). Menyedari keterbatasan ilmu manusia ini maka kita harus bersifat terbuka dalam menerima kepelbagaian pandangan, dan pada tahap ini kita bersetuju dengan idea pluralisme. Namun apabila kita berbicara mengenai konteks yang lebih besar iaitu tentang kebenaran dan realiti, dan bukan sebatas kebenaran dan realiti yang ditayangkan oleh akal fikiran manusia semata, tetapi suatu yang ditayangkan oleh pandangan alam Islam maka kita harus berhati-hari kerana ia melibatkan bukan hanya ilmu manusia tetapi juga ilmu Tuhan yang telah disampaikan kepada manusia melalui para nabi dan rasulNya. Oleh kerana itu dalam konteks Islam tiada pluralisme agama kerana di sini kita berbicara tentang wahyu dan makna-makna yang dibangun oleh al-Qur’an itu sendiri, dan bukan semata-mata hasil budaya dan produk sejarah manusia.”
Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama: Memperkukuh Tawhid di Zaman Kekeliruan

Titon Rahmawan
“Seorang guru; penjelajah kehidupan. Yang menyimpan kata kata bijak dalam mulutnya, seperti minyak yang menghidupkan pelita. Ia lah detak jantung yang menggerakkan kehidupan. Seorang pemikir sejati, yang tak menafikan keringat dan air mata. Sang pengumpul embun di pagi hari, penjala ikan di sungai, dan penakluk samudra raya. Dialah kavi yang menciptakan kata kata penghiburan, pelantun tembang suka cita. Seorang penabur benih kebajikan dan penggarap ladang yang tekun. Tapi ia juga penuai yang rajin dan pengganda talenta yang mahir. Setiap ucapannya adalah obat yang manjur dan penyembuh duka lara. Namun, di luar semua itu, ia lah sang juru kunci pembuka jalan pengetahuan dan penunjuk arah pada kebenaran.”
Titon Rahmawan

“Akal itu neutral sifatnya; manusia yang menggunakan akal dengan dasar kebenaran memperoleh faedah yang besar sementara manusia yang menggunakan akal dengan tidak memahami kebenaran semakin jauh daripada keadaan fitrahnya.”
Awang Sariyan, Catatan Ringkas Sejarah Kebudayaan Melayu

Toba Beta
“Ada keganjilan dalam kebenaran yang tak pahit.”
Toba Beta, Master of Stupidity

Mochtar Lubis
“Akan tetapi mengapa demikian susahnya membela yang benar dan yang menjadi korban kezaliman? Bagaimana mungkin begitu sukar menjelaskan kebenaran? Dan mengapa harus diperlukan keberanian luar biasa untuk melakukan sesuatu kejujuran biasa?”
Mochtar Lubis, Harimau! Harimau!

Andi Fitriyanto
“Fakta tak pernah punya suara keras. Ia tak menggugah air mata. Tetapi jika kita diam, kita ikut menenggelamkannya.”
Andi Fitriyanto, Enigmakrostik

“Sejatinya kebenaran dan kebaikan hanya akan jadi benalu jika disampaikan dengan cara-cara yang buruk.

Pula sebaliknya, kejahatan dan kebohongan juga akan dipandang sebagai suatu keabsahan jika disampaikan dengan cara-cara yang elok.”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)

“Maka ke mana pun hendaknya engkau pergi, di mana pun agaknya engkau berdiri, percayalah! Bahwa kebenaran hanya akan tersampaikan dengan cara-cara yang paling asri.”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)

Zaen Kasturi
“kerana kita tak pernah pun diasuh untuk mendustakan
sebuah kebenaran daripada sekalian banyak kesalahan

(benar atau salah adalah kita)”
Zaen Kasturi, Fajar Lingkung Lembayung

Zaen Kasturi
“(sudah! jangan digali
nanti yang kaujumpai adalah kerandamu sendiri)

(sebatas lembayung “ii”)”
Zaen Kasturi, Fajar Lingkung Lembayung

“Ada berjuta wajah yang senantiasa disembunyikan oleh manusia ketika mereka berbicara. Hal yang selama ini diyakini sebagai sebuah kebenaran sejatinya hanyalah selubung untuk menyamarkan kedustaan. Pula sebaliknya, sebuah kebohongan bisa saja jadi suatu kebenaran yang sukar untuk dicerna sekalipun pahit untuk diterima.”
Robi Aulia Abdi

Toba Beta
“Ada yang mencari kebenaran, tak sadar otaknya mengalami sesat pikir.
Hilangkan dahulu sesat pikir, kebenaran langit akan terbuka.”
Toba Beta, Master of Stupidity

Toba Beta
“Kebenaran memasuki pikiran yang bebas sesat pikir.”
Toba Beta, Master of Stupidity

“Ironi cinta yang pahit ketika dia secara pasti mengetahui bahwa kamu benar-benar membutuhkannya; kamu bukan lagi miliknya”
JS Dirga

Anwar Ibrahim
“Keadilan bukan bermaksud kita perlu berkecuali atau tidak memihak. Tetapi keadilan itu adalah menegakkan kebenaran, khususnya dalam dunia sarat berita palsu dan maklumat yang mengelirukan ini.”
Anwar Ibrahim, Keadilan Bagi Orang yang Bersolat

Toba Beta
“Kesalahan logis saat memahami sejarah adalah “pikiran berasumsi bahwa prasejarah adalah sesuatu yang sangat jauh.”
Toba Beta

Toba Beta
“Apabila ada 1000 definisi berbeda terhadap 1 objek, bagaimana caranya menemukan kebenaran hakiki atas objek tersebut?
Teori Intersinapsis oleh Toba Beta.”
Toba Beta

Titon Rahmawan
“Tanpa kebenaran, tidak akan ada penebusan. Tanpa kebenaran, tidak akan ada rekonsiliasi. Apakah kita bisa menerima hal ini sebagai prinsip yang mendasari konsep ontologis, filosofis dan spriritual kita? Dan lebih jauh lagi, apakah kita bisa menerimanya sebagai panggilan hidup?”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Via Dolorosa

Mari kita berhenti sejenak untuk menghela napas,
setelah perjalanan ke Golgotha yang menyiksa tubuh dan batin.
Kayu salib yang kau pikul itu menyerap seluruh inti dosa,
seperti menatap jauh ke pusat matahari
dan membaca kucuran darah
dalam goresan sejarah:
tubuh rapuh anak manusia.

Sebab biji-biji rosario yang kau daraskan dalam lantunan doa
bukanlah sekadar wujud dosa atau penyesalan;
itu adalah teologi batinmu yang utuh,
penebusan dalam pernyataan iman
yang tak pernah kau ucapkan terang-terangan.

Dan Sang Mesias—dalam ketelanjangan yang tak mungkin ditutup-tutupi—
bukanlah karakter rekaan dari kabut kebodohan atau kebohongan.
Ia adalah kebenaran yang memutuskan menampakkan diri.
Bukan raga leta yang dibungkus sebagai fiksi
agar kebenaran dapat ditanggung,
agar cahaya dapat diterima sebagai
pijar pengetahuan sejati.
Meski untuk itu,
setiap yang percaya harus rela membiarkan sebagian dirinya hangus.

Maka aku mengetuk pintu rumahmu,
memohon menjadi tamu
agar dapat membaca kedalamanmu
tanpa prasangka,
bukan melalui tafsir yang menyesatkan,
melainkan atas kehendakmu sendiri.

Dan kau izinkan aku menjumpai Sang Anima—
bukan siluet samar pada kaca yang retak,
melainkan kesadaran yang mengenakan raga
hanya untuk mengajar kita
apa arti sesungguhnya menjadi manusia.

Ternyata ia adalah:
tubuh yang terluka,
ruh yang berdoa,
jiwa yang menopang derita,
kebenaran yang terus dicari,
kesadaran yang paling jujur,
luka yang akhirnya diakui,
cinta yang bersembunyi—
pengakuan yang tak sanggup
kita lafalkan dalam ritus mana pun.

Itulah jalan salib psikologis
yang tak seorang pun ingin tempuh sendirian:
pengampunan yang getir,
simbol penebusan yang belum selesai,
roh suci penuntun arah,
ruang rekonsiliasi yang tertunda,
arena duel antara jiwa dan masa lalu,
perkamen sejarah yang menulis
ulang dirinya sendiri.

Dan meski berat,
kau telah mengungkapkan perasaanmu
dengan ketelanjangan yang tak mungkin kaupalsukan.
Sebab pada ujung perhentian,
malaikat akan bertanya kepadamu:
apakah engkau akan berdiri di sana
sebagai saksi—
atau sebagai jiwa
yang menunggu giliran untuk diadili?

Via Dolorosa yang membentang di hadapanmu
adalah sebuah persimpangan:
ke mana engkau hendak menuju—
salib
atau kebangkitan?

Lihatlah bagaimana Ia menyerahkan luka-lukanya
untuk dilihat dunia tanpa tabir.
Kita menyebutnya radikal,
kita menyebutnya rapuh,
kita menyebutnya pengorbanan—
padahal mungkin itu hanyalah
cara kebenaran
mengundang kita untuk jujur
pada diri sendiri.

Keraguan yang kini menggantung
di udara:
siapa yang menghujat?
siapa yang memukul dada sambil memohon ampun?

Sampai akhirnya kita tiba
pada pertanyaan yang tak bisa lagi ditunda:

Setelah semua ini,
apakah kau dan aku akan bangkit bersama-Nya?
Apakah pada akhirnya,
kita akan diselamatkan?

November 2025”
Titon Rahmawan

“RUANG TEMPAT KEBENARAN TAK TERLIHAT
(ketika jiwa dicabut dari cahaya)

Ada bagian dari benak manusia
yang tidak pernah ingin ditemukan,
bagian yang bahkan malaikat pun enggan menyentuhnya,
karena di sana cahaya tidak pernah tercipta.

Tempat di mana Artaud pernah disiksa, saat kita dengar gema jeritannya:
"Aku bukan lagi manusia. Aku adalah serabut yang terbakar."

Di sanalah kita berada sekarang.
Ruang di mana mulut membuka
tetapi suara tidak lahir.
Ruang di mana pikiran menggulung dirinya
seperti tubuh binatang sekarat
di bawah cahaya remang lampu ruang isolasi.

Di titik itu, gelap bukan lagi warna
melainkan zat—
sesuatu yang melengket di kulit batin,
sesuatu yang menetes dari sela-sela saraf,
sesuatu yang merayap dan memeluk otak
seperti akar yang menemukan celah pada batu.

Gelap itu tidak bisa ditafsirkan
karena ia lebih tua dari bahasa,
lebih tua dari dosa,
lebih tua dari kesadaran manusia
yang mencoba mengatur dunia dengan sebuah kalimat.

Tapi, tidak ada kalimat di sini.
Hanya denyut.

Hanya retakan.

Hanya suara-suara yang tidak berbentuk kata,
hanya tarikan napas yang seperti serpihan kaca,
menusuk masuk, lambat, tak berkesudahan.

Kita sekarang berada di tempat
di mana logika kehilangan gravitasi;
di mana pemikiran melayang seperti jenazah
yang tidak sempat diberi upacara.

Dan di tengah kekacauan itu,
kegilaan muncul bukan sebagai hukuman,
melainkan pintu.

Pintu yang menolak ditolak.
Pintu yang menelan siapa pun yang berani mengintip.

Kegilaan bukan ketidaksadaran.
Ia adalah kesadaran intensif
yang terlalu terang untuk ditanggung,
terlalu jujur untuk dilihat,
terlalu dekat dengan suara asli semesta.
Suara yang menghancurkan segala lapisan penyangga
yang kita sebut “kewarasan”.

Di sini, manusia tidak lagi berpikir.
Manusia terbakar.

Manusia tidak lagi berdoa.
Manusia menggigil.

Manusia tidak lagi mencari makna.
Manusia menjerit tanpa suara
karena kotak suara bukan lagi bagian tubuh,
melainkan pecahan mimpi buruk
yang tak pernah bisa disatukan kembali.

Dalam ruang ini,
kau tidak bertanya siapa dirimu.
Kau bertanya apakah kau masih ada.

Dan jawabannya—
seperti bisikan dari balik retakan dinding batin—

“Kau ada hanya sejauh kesanggupanmu menahan kegelapan ini.
Bila kau menyerah, maka kau lenyap.
Bila kau bertahan, maka kau akan berubah.”

Kau bertanya pada gerbang kegilaan itu:
“Apa yang berdiri menunggu di balik punggungmu?”

Gerbang itu tidak menjawab.
Ia hanya membuka.

Dan dari dalamnya, keluar bukan monster,
bukan iblis,
bukan suara-suara asing—

melainkan dirimu sendiri,
versi yang tidak pernah disinari,
versi yang tidak pernah diberi nama,
versi yang selama ini menulis keberadaanmu:
pikiran yang mulai membusuk.

Versi yang tidak meminta pertolongan.
Karena ia tahu tidak ada pertolongan.
Kegilaan yang akan menelan tubuhmu bulat-bulat.

November 2025”
Titon Rahmawan, dkk

« previous 1