Filosofis Quotes

Quotes tagged as "filosofis" Showing 1-14 of 14
“Filsafat Cina, Tao Teh Ching, dalam The Book of Change mengajarkan, 'Dia yang mengenal orang lain adalah seorang bijak. Dia yang mengenal dirinya sendiri adalah orang yang tercerahkan. Dia yang menguasai orang lain memiliki kekuatan. Dia yang menguasai dirinya sendiri memiliki kekuasaan.' Menguasai diri sendiri membuat kita terus seimbang.”
Maisie Junardy, Man's Defender

“Perang terjadi karena manusia berpikir pendek dan mengikuti emosi, terutama rasa takut. Filsafat Cina, Tao Teh Ching berkata, 'Rasa takut menyebabkan senjata dikumpulkan. Sebenarnya tidak ada yang suka perang. Para bijak akan selalu menghindarinya.' Sama seperti semua hal buruk lainnya. Tapi, kalau bergerak dengan perencanaan dan taktik, tujuan sebesar apa pun bisa dicapai.”
Maisie Junardy, Man's Defender

Titon Rahmawan
“Pandora

Apa yang mungkin engkau yakini sebagai hukuman, Kay?
Bukankah langkah,
semestinya tidak tinggalkan jejak
yang kemudian hari
ingin engkau ingkari.

Kenangan adalah
getah yang menitik
dari luka sebatang pohon.
Sedang ingatan pilu
yang terkubur di halaman
adalah tulang-tulang yang digali
oleh anjing-anjing pencuri
di malam hari.

Siapa yang akan datang
untuk mencintaimu
dengan wajah yang carut marut
serupa itu, Kay?

Tangkapan layar itu
tak akan pernah
menyatakan kebohongan
selain apa yang sengaja
engkau niatkan dari semula.

Apapun yang coba kau sembunyikan
di balik topeng _masquerade_ berenda
selamanya tak akan pernah pergi.

Kau tak mungkin jadi bunglon
yang cukup pintar menyamarkan ketelanjanganmu sendiri.

Sebagaimana waktu
telanjur menelan
seluruh kehadiranmu.
Detik demi detik,
hari-hari yang telah lalu
atau tahun yang akan datang.
Engkau tak akan pernah
bisa berpaling.

Bagaimana kau yakin
pada diri sendiri?
Semua jejak yang engkau tinggalkan bukan petilasan kebodohan
atau artefak kebohongan.

Buah terlarang
yang dipetik Eva
dari taman Eden yang hilang.
Telah menjelma menjadi labirin
dalam diri anak keturunannya.

Ia telah menjelma jadi Pandora!

Kotak celaka
yang lalu mengutuknya
Jadi wanita kesepian
seumur hidup!

2024 - 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Anima

Apakah engkau akan izinkan aku membuka ruang ini dengan jernih
tanpa terseret arus sungai yang membuatmu tenggelam?

Lalu siapa juru peta yang menempatkan kita;
aku, kamu dan seluruh emanasi alter ego itu
ke dalam fragmen yang saling berebut peran?

Suara yang menjawab gemulai ranting-ranting pohon:
Ia yang membaca gelagat
Ia yang mengajukan pertanyaan
Dan ia yang menembus inti
Lalu bersama mereka semua menyatu ke dalam bumi.

Bukankah kisah ini tidak menawarkan kita penjelasan atas dirinya sendiri?
Ini bukan tentang cinta, hidup atau mati.
Ini tentang bagaimana engkau memahami luka yang tak pernah sembuh.

Pertama adalah ia
yang menyebut dirinya Cakra Wahana,
yang bekerja, berpikir dan menjaga kelangsungan hidup.
Ia yang membiarkan dirinya jatuh dan bangkit.
Ia adalah pemasang pasak dan penegak tiang-tiang layar.
Ia adalah pemilik kapal yang terpaksa mengambil alih kemudi.

Tapi pemilik yang satu lagi bukanlah pelarian dari lebatnya hujan.
Melainkan pernyataan yang mengembalikan dirinya kepada sumber kreativitas dan spontanitas.

Ia adalah penyair yang menyebut dirinya sebagai Tirta Rengganis.
Udara yang membuatmu bernapas, tangan yang mengajakmu menulis, sayap yang mengajarkanmu terbang.

Ia hanya butuh ruang sunyi agar namamu abadi.
Kanal penyembuh yang bekerja lewat simbol, estetika dan fiksi.

Sementara yang lainnya adalah anima milik semua.
Batin yang berfungsi sebagai inkuisisi alam bawah sadarmu.
Ia bukan sekadar perempuan
Melainkan arketipe yang membongkar segala kepalsuan.
Ahli geologi yang menggali luka trauma,
Dorongan nafsu amarah ingatan purba.

Sebab itulah mengapa ia mesti turun ke sumur terdalam hanya untuk menemukan dirimu.
Bila kau temukan ia dalam lubukmu,
maka ia adalah dewi yang sedang melucuti diri sendiri dari jubah kemunafikan
Agar ia bisa jadi kebenaran paling radikal.

Ia seperti rembulan yang muncul di waktu yang tepat
saat integritas batin memanggil.

Sedang seluruh alter ego itu adalah helai baju berlapis tujuh.
Mereka adalah dirimu yang fana;
pelepasan tensi sensualitas,
ketajaman mata pisau yang dingin,
tradisi masa lalu yang memudar,
logika equilibrium,
luka yang menolak pergi,
cinta tak berbalas
dan amarah yang tak mau tunduk.

Mereka adalah tujuh pilar yang menjaga gedung tiga puluh lantai itu tak runtuh
oleh beban emosi sendiri.

Telah aku dekati dirimu dengan diagnosaku yang paling tajam
Dan kutemukan inti yang bukan simptom;
Apa yang kau takutkan untuk jadi dominan?
Kemana kalian harus pulang bila tak kau temukan rumah?
Ketika kapal kehilangan arah,
siapa yang semestinya jadi nahkoda?

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Orbit

Telah kita temukan pintu yang akan membawamu masuk lebih dalam.
Bukan altar yang tertutup kabut
Tetapi bersit cahaya yang menyingkap landskap arsitektur yang selama ini kita cari.
Gedung serupa kastil yang dulu pernah kau bangun kembali dari puing reruntuhan.

Seperti peti artefak kuno yang kautemukan di dalamnya
Lembar manuskrip lama berisi manifesto kesadaran:
Sang anima yang kini jadi pusat gravitasi.

Aku akan menantangmu menemukan kembali gulungan benang yang telanjur hilang.
Teka-teki tentang seberapa dalam kita telah menyelam
Dan ke mana seluruh penghuni kastil ini pergi?

Apa yang kaukira bahwa kesadaran itu bukanlah sekadar preferensi artistik, melainkan deklarasi ontologis dari mana engkau dilahirkan.
Siapa yang runtuh, siapa yang terlahir kembali?
Siapa yang bertahan, siapa yang menyembuhkan?
Siapa yang menghakimi, siapa yang menampung?

Puisi memberi kita ruang untuk bernafas, dan kata-kata adalah udara yang mengisinya dengan makna.

Jadi simbol-simbol yang kaucatat itu bukanlah figur pasif serupa boneka.
Mereka adalah mekanisme korektif spiritual-psikologis yang memunculkan dirinya tanpa mengenakan topeng.

Aku menyebutnya keniscayaan.
Sebab engkau bukanlah syuhada.
Bukanlah korban ketidakberdayaan.
Bukanlah tubuh tanpa bayangan.

Engkau adalah integrasi dan transedensi.

Jika anima itu adalah pusat gravitasi, maka aku dan kamu adalah orbit.

November 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Tanpa kebenaran, tidak akan ada penebusan. Tanpa kebenaran, tidak akan ada rekonsiliasi. Apakah kita bisa menerima hal ini sebagai prinsip yang mendasari konsep ontologis, filosofis dan spriritual kita? Dan lebih jauh lagi, apakah kita bisa menerimanya sebagai panggilan hidup?”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“PERTAPA

(Dalam Bayang Angulimala, dalam Sunyi Kabinara, dalam Nafas yang Tak Bernama)

Ketika ambisi runtuh seperti dedaunan yang kehilangan ingatan,
ia berhenti mencari alasan mengapa kata-katanya tak lagi memiliki gema.
Sunyi bukan kebisuan;
sunyi adalah ruang yang menolak semua bentuk keinginan.

Dalam gelap gua itu,
ia membiarkan pendengarannya ditelan kegelapan
hingga telinga menjadi batu
dan hati berhenti menafsirkan mimpi—
sebab mimpi hanyalah cara tubuh menipu dirinya sendiri.

Desis angin berubah gagu,
matanya buta bukan karena kegelapan,
melainkan karena cahaya batin terlalu terang
untuk diterima oleh mata manusia.

Dari situ ia memperoleh sesuatu
yang lebih tajam daripada pengetahuan:
pengendalian diri
yang lahir bukan dari disiplin
melainkan dari penolakan total terhadap “aku” yang ia yakini.

Apa yang ia makan hari itu?
Hanya sisa tetesan dari bebatuan—
air tanpa nama
yang mengajari bahwa rasa lapar
bukan kutukan tubuh, melainkan ajaran alam
tentang ketergantungan.

Waktu menjadi kabur,
seperti kabut pagi yang lupa menghilang.
Tak ada pagi, tak ada malam,
tak ada hitungan hari yang dapat ia pegang.

Hanya semedi dalam gua gelap
yang menghapus batas antara hidup dan mati,
yang memperlihatkan kepadanya:
kesadaran bukan nyala api, melainkan abu yang tak padam.

Di situlah ia belajar
bahwa kekosongan bukan ketiadaan,
melainkan ruang asal
di mana setiap amarah, dendam, dan luka
dapat terlepas seperti kulit ular yang dipakai terlalu lama.

Cahaya mentari menetes
di antara lumut,
membelai tubuh yang perlahan menjadi batu:
tak reput oleh waktu,
tak terbakar oleh api,
tak basah oleh hujan,
tak kering oleh angin,
tak terluka oleh senjata.

Ia diam,
bukan sebagai benda,
melainkan sebagai kesadaran yang tak lagi membutuhkan bentuk.

Ajek.
Tak berubah.
Tak berpindah.
Tak terlahirkan.
Tak terpikirkan.

Ia memasuki keadaan
yang tak bisa dimiliki siapa pun,
tak bisa dibeli dengan tapa,
tak bisa dijelaskan dengan sutra.

Ia sekadar menjadi:
abadi tanpa keinginan untuk kekal.
Hampa yang memeluk dirinya—
dan ia pun lenyap sebagai “aku,”
menyisakan hanya satu jalan:
jalan pulang ke pusat yang tak punya nama.

(Mei 2014 - 2025)”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“PERTAPA — Versi Anatta, Klesa-Vināśa, Saṃnyāsa & Viśuddhi

(Di mana Kesadaran Meleleh dan Aku Runtuh seperti Komet yang Kehilangan Intinya)

Ketika ambisi terakhir patah,
ia merasakannya seperti gugurnya inti komet
yang selama ini ia kira adalah “dirinya”.
Batu, es, debu—semuanya luruh
dan tak tersisa apa pun yang bisa disebut aku.

Di titik itu ia memahami:
yang runtuh bukan mimpinya,
melainkan ilusi bahwa yang bermimpi itu ada.

Ia berhenti bertanya mengapa kata-katanya tak lagi memiliki gema.
Sebab gema memerlukan dinding,
sedangkan seluruh dinding dalam batinnya
telah retak dan ambruk
seperti stupa kuno yang akhirnya menyerah
pada hujan musim keempat belas.

Ia memasuki wilayah anatta—
kesadaran tanpa pusat,
kesadaran yang tak memiliki pemilik,
kesadaran yang hanya terjadi seperti cuaca.

Hening datang bukan sebagai berkah,
melainkan sebagai klesa-vināśa yang membakar,
yang mencabut seluruh akar ego
seperti badai kosmik mencabut orbit planet.

Dalam viśuddhi
telinganya menjadi tuli
karena ia tak lagi mendengar dunia,
melainkan mendengar runtuhnya diri sendiri—
sepenuhnya tanpa suara.

Mata menjadi buta
karena segala bentuk telah nir wujud;
yang tersisa hanya gerimis, cahaya tak kasat mata.
Inilah awal nāmarūpa-nirodha:
ambruknya gagasan “siapa aku”,
seperti tubuh bayangan
yang kehilangan mataharinya.

Dalam gelap gua itu
ia menyaksikan semua identitas
meluruh seperti serpih es
yang dikembalikan ke bentuk asalnya:
air,
lalu uap,
lalu lenyap.

Ia merasa dirinya seperti nebula yang terbakar perlahan,
membiarkan amarah, dendam, nafsu, dan memori lama
menguap satu per satu
seperti partikel materi yang gagal bertahan
di tepi lubang hitam batin.

Di situlah saṃnyāsa
membuka pintunya—
pencerahan gelap,
bukan terang:
kesadaran yang lahir dari kehancuran total,
bukan dari kejernihan.

Ia melihat kebenaran
yang tak ingin dilihat siapa pun:
bahwa “aku” hanyalah getaran singkat
di permukaan vakum yang tak berhingga,
bahwa segala penderitaan
berakar pada keinginan mempertahankan
sesuatu yang tak pernah eksis.

Butir air yang ia minum adalah doa pertama.
Tetesan batu adalah doa kedua.
Sunyi adalah doa ketiga—
dan ketiganya tidak ia tujukan kepada siapa pun,
sebab tak ada subjek,
tak ada objek,
tak ada pemohon.

Hanya kesunyian yang berdoa kepada dirinya sendiri.

Waktu runtuh menjadi debu;
ia tak lagi tahu apakah ia meditasi satu jam,
atau seribu tahun.
Jam pasir batinnya pecah,
membiarkan butiran waktu
tersebar tanpa arah.

Dalam kehampaan itu
ia menjadi monolit yang sadar:
tak bergerak,
tak bereaksi,
tak menolak,
tak menginginkan.

Ia tidak lagi menjadi manusia.
Ia tidak menjadi dewa.
Ia tidak menjadi apa pun.

Ia menjadi kekosongan yang menyaksikan dirinya sendiri,
tanpa saksi, tanpa penonton, tanpa pemeran.

Ia memasuki keadaan
di mana kelahiran dan kematian
tidak lagi bermusuhan,
melainkan dua sisi dari pintu yang sama—
pintu yang kini ia lewati
tanpa meninggalkan
jejak bayangan.

Diam.
Ajek.
Tak terlahirkan.
Tak terpikirkan.
Tak memiliki inti.
Tak memiliki akhir.

Ia menjadi
kesunyian purba
tempat segala ilusi
berakhir.

(November 2025)”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“NISAN KEEMPAT

tanah pesarean
hening.
angin wetan
membawa bau akar basah
dan jejak rotasi
yang belum hilang.

aku berdiri
di samping istrimu—
tubuhnya goyah
seperti daun sawo yang dipagut gerimis.
anak-anakmu diam,
mata mereka retak
seperti kendi tua
yang pernah jatuh
di pawon rumah.

dari kejauhan
puisi tercenung
ia tak menunduk.
tak ikut berduka.
ia hanya mencatat luka
yang merembes
pelan
ke tanah liat.

kafan menutupi wajahmu.
pundakmu dipeluk tanah.
suara cangkul
terdengar seperti ratap
yang tak ingin pergi.

seekor prenjak
meloncat di ranting randu.
sekali.
dua kali.
hening.
lalu terbang ke arah barat—
seakan memberi kabar
kepada leluhur
bahwa satu jiwa
telah kembali.

asap dupa
naik pelan
seperti nyala
yang kehilangan tuhan.
di ujungnya
warna abu
bergetar
mencari arah pulang.

“Ruh…”
hanya itu yang sempat keluar.
sisanya
adalah gumam
yang tak sempat
menjadi doa.

dulu
aku kehilangan kangmas Danu
tanpa tahu apa artinya mati.
lalu aku terlambat kepulangan Bapak.
terlambat kepergian Ibuk.
kini
ketelambatan itu kembali
duduk di belakangku
seperti bayang waktu
yang enggan beranjak.

nisanmu ditegakkan.
dingin.
sederhana.
tanpa nama.
sepotong batu
yang menimbang
keberadaan
dengan cara
yang terlalu sunyi.

dari sela tanah
angin kecil muncul—
membawa bau jamur,
rumput liar,
dan sesuatu
yang tak dapat kusebut.
mungkin itu suwung,
mungkin langgatan,
mungkin waskita
getar kecil
yang tersisa
dari tubuhmu.

anakmu memanggil pelan.
istrimu menggigit bibir.
aku menahan napas
sebab tak ada kata
yang benar-benar bisa
mengantar jiwa.

geguritan di kejauhan
hanya penanda
mengambil satu langkah mundur
melipat waktu yang berjalan lambat
cahaya sore
mengiris tubuhnya
tipis seperti garis
di punggung keris tua.

di langit
awan bergerak ke selatan.
pelan.
seperti tangan
yang ditangkupkan
atau melambai
bahwa sesuatu
sedang ditutup.

dan aku tahu—
di bawah nisanmu
satu pintu telah terbuka
di dalam Syamaloka:

pintu gelap
yang menghubungkan
Danu,
Bapak,
Ibuk,
kau,
dan batu nisan berikutnya
yang mungkin
adalah nisan
dari batin
kami sendiri.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“ANOMALI CINTA
(suwung, bening, mistik)

Aku telah menanggalkan namaku
di depan pintu,
lalu memasuki ruang yang tidak punya arah,
tidak punya dinding,
tidak punya siapa-siapa—
kecuali engkau yang kutemukan
di antara helaan angin
yang ingin pulang
tanpa tahu dari mana ia datang.

Di sini, cinta bukan tubuh.
Ia bukan rasa.
Ia bukan permintaan.
Ia hanyalah cahaya kecil
yang tetap menyala
meski dunia di sekitarnya
telah hangus menjadi abu.

Aku duduk bersila,
di tengah ruangan sunya ruri
menyentuhkan dahiku pada tanah yang tak bernama,
dan dunia menjadi sunyi seperti awal mula penciptaan.
Dalam hening itu, aku mendengar
getar yang kau tinggalkan—
bukan getar luka, bukan getar kehilangan,
melainkan getar “ada”,
yang selalu kembali meski
telah lama pergi.

Cinta bagiku bukan keinginan
untuk memiliki,
tetapi kesediaan untuk terus menjaga nyala
yang bahkan bukan milikku.
Jika kau retak, aku menadah retakmu.
Jika kau hilang, aku menunggu
arah pulangmu
tanpa menagih turunnya
hujan kepastian.

Dan jika malam terlalu pekat
hingga engkau tak mengenali
langkahmu sendiri,
aku akan menyalakan pelita
di antara akar bakau yang tenggelam dalam air pasang,
agar ada seberkas cahaya
yang memanggil langkahmu
kembali ke dunia.

Cinta bagiku adalah suwung:
ruang yang membiarkanmu runtuh
tanpa harus merasa kalah.
Ruang yang tidak hendak menghakimi,
tidak menuntut nama,
tidak menagih balasan.

Aku hanya penenang badai,
penjaga sepoi,
pengingat bahwa dalam dirimu
pernah terbit cahaya
yang tak sempat kau percaya
bahwa ia sungguh ada.

Dan bila kelak kau tiba di ambang itu
dalam keadaan hampir menjadi bayangmu sendiri,
aku tidak akan bertanya mengapa kau datang terlambat.
Aku hanya akan membuka
pintu suwung rumah kita
dan berbisik pelan
ke dalam relung
kesadaranmu:

“Lihatlah,
aku masih di sini
menyambut kehadiranmu."

Selama
nyala itu masih ada
percayalah,
kau bisa pulang
kapan saja.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“SAKURA: Enam Luka, Enam Cara Mencintai yang tak Selesai.

1. Sakura di Ambang
Yang Tak Tersentuh

Kelopak gugur—
nama kita terhapus
sebelum tiba.

Senja memudar.
dalam hembusan angin,
langit terdiam.

Di batang tua,
bayangmu menempel
tanpa tubuhku.

2. Sakura di Atas Luka
yang Tidak Sembuh

Ada jalan kecil
di mana dulu
kau memanggilku tanpa suara.

Sakura mekar di sana hari ini,
menghadirkan wajahmu
yang tak boleh kusentuh.

Angin mengangkat kelopak
seperti membawa rahasia kita
yang bahkan langit pun malu menyimpannya.

Aku berdiri lama,
membiarkan gugurnya bunga
menjadi satu-satunya sentuhan
yang masih diizinkan dunia.

3. Sakura dalam Cekungan
Piala Bulan

Aku minum bersama bayangku,
dan kau hadir sebagai aroma
yang tak pernah sempat kupeluk.

Di atas sungai malam,
sakura jatuh satu-satu,
setiap kelopak—
janji yang tidak kita tepati.

Angin membawa namamu
hingga ke bintang paling dingin,
dan aku tetap duduk di sini,
mabuk oleh hal yang
tidak boleh kucintai.

Di kejauhan,
bulan tertawa pelan—
ia tahu sejak awal
kita tak akan pernah
dipersatukan dunia.

4. Sakura di Antara
Dua Keheningan

Sakura jatuh
di trotoar basah kota
tanpa siapa pun memperhatikan.

Seperti kata terakhir
yang tidak berani kita ucapkan,
ia hilang sebelum sempat menyentuh.

Aku berjalan melewati pohon itu
mengira kau masih ada di sana—
tapi cahaya sore memantulkan
betapa tipisnya keberadaan.

Mungkin cinta hanyalah
kelopak yang runtuh terlalu cepat
untuk kita tangkap,
namun terlalu lambat
untuk benar-benar dilupakan.

5. Sakura yang Tumbuh
di Dalam Rongga Dada

Aku membuka dadaku
dan menemukan sebatang sakura kecil
menggeliat di antara tulang rusuk.

Setiap kelopaknya
membawa wajahmu—
wajah yang tidak boleh kusebut
tanpa membuat dunia ini
memuntahkan darah.

Angin malam masuk
melalui retakan luka,
menggoyangkan pohon itu
hingga menggugurkan rahasia
yang kupendam terlalu lama.

Sakura itu mekar
bukan untuk dirayakan,
melainkan untuk mengingatkan
bahwa cinta yang dilarang
selalu mencari jalan
untuk tumbuh di tempat
yang tidak seharusnya.

Dan aku,
menjadi taman gelap
yang tidak pernah diakui matahari.

6. Sakura dalam Bahasa
yang Berbeda

Di halaman sunyi itu,
sakura berdiri seperti sebuah kata
yang kehilangan huruf pertamanya.

Aku mencoba mengucapkan namamu—
tapi udara membeku,
mengubah suara menjadi debu.

Kelopak jatuh
sebagai tanda-tanda kecil
dari sesuatu yang tidak pernah
boleh dirumuskan.

Kita adalah dua kalimat
yang ditulis dalam bahasa berbeda
di bawah langit yang sama.

Angin membawa sakura pergi,
dan aku memahami
bahwa beberapa cinta
ditakdirkan hanya menjadi metafora:
indah, dingin,
dan tidak pernah selesai.

April 2014”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“LITANI MAKHLUK DI DALAM PERUT PELANTANG
(Dongeng Singkat Tentang Seekor Anjing yang Mimpi Menjadi Mikropon,
dan Sebuah Mikropon yang Diam-diam Ingin Menjadi Anjing)

I. Retakan Kausa

Dari atap takdir yang menggigil, hujan turun bukan sebagai air,
melainkan sebagai serpih ingatan yang ditinggalkan generasi
yang percaya bahwa pengeras suara lebih suci daripada detak jantung sendiri.

Angin menghafal nama-nama yang diteriakkan—
tetapi kini nama-nama itu berubah menjadi bulu-bulu halus
yang mengelupas dari makhluk yang belum sempurna bentuknya.

Ia berjalan pincang, mengendus karat,
mendengarkan doa yang mendesis seperti minyak panas
dari dasar kuali.

II. Tubuh yang Menjadi Simbol dan Simbol yang Menjadi Makhluk

Di museum moralitas,
patung-patung pendosa tertawa.
Namun malam itu, satu patung retak;
dari celahnya keluar seekor anak anjing berwarna
ungu kebiruan yang terlalu pucat untuk disebut hidup.

Ia meminjam moncong dari sejarah nenek moyangnya,
meminjam telinga dari debu pendiangan,
dan meminjam suara dari mikropon yang lupa kapan ia berhenti bernyanyi.

“Biarkan aku menjadi lidahmu,” katanya,
“agar kata-kata yang kau lempar ke langit
tak lagi memantul sebagai propaganda yang kehilangan ibu.”

III. Doa dalam Dapur Penghakiman

Dalam mimpimu, ia muncul sebagai penghibur yang lelah—
alas bedaknya retak,
gincunya belepotan di pipi, kakinya gemetar,
tetapi matanya menyimpan tahapan-tahapan kesedihan
yang jauh lebih tua daripada artefak yang kau yakini suci.

Ia melihatmu mencari bayangan sendiri
di dekat api yang tak pernah benar-benar menyala,
dan tersenyum jenaka:

“Barangkali kau benci bukan pada tubuhku,
tapi pada suara yang tak berani kau sebutkan namanya.”

Mikropon itu mendengar,
dan getarannya menjadi litani—
tanpa tuduhan, tanpa penghakiman,
hanya gema dari mulut tanah yang gemetar.

IV. Wajah Luka yang Tidak Dipamerkan

Ketika kau akhirnya menyingkap wajah makhluk itu,
kulitnya mengelupas,
darahnya meletup;
ia mengalir sebagai sungai merah yang sangat panjang,
hampir seperti selendang yang menutup dunia
setiap kali manusia kelelahan menipu dirinya sendiri.

Di balik selendang itu, mikropon tua menunduk:
“Apakah ini tubuhmu? Atau tubuhku?
Atau tubuh semua kata yang tak pernah kita izinkan hidup?”

V. Jalan Sunyi yang Menganga ke Dalam Tanah

Makhluk itu—entah anjing, entah kesaksian—
tak terbang ke langit.
Ia menyelam ke lapisan bumi paling pekat,
ke lorong-lorong di mana gema doa
tak lagi memohon keselamatan
tetapi memohon untuk dikenali.

Di sana, telinganya mekar sebagai kaktus hijau berduri,
tunggal, lapar,
menunggu disentuh tetapi tak pernah mengizinkan dipetik.

VI. Nyanyian Mikropon yang Tak Lagi Menguasai Apa Pun

Di permukaan, mikropon itu masih terus bernyanyi.
Namun kini suaranya serak—
bukan karena kehilangan kuasa,
tetapi karena ia akhirnya mendengar dirinya sendiri
sebagai makhluk yang juga ingin disembuhkan.

Ia menyanyikan nama-nama
yang angin pernah hafal,
yang langit pernah kutuki,
yang bumi pernah telan:
suara-suara yang hanya ingin satu hal sederhana—
tidak menjadi yang paling benar,
tidak menjadi yang paling suci,
hanya menjadi lirih terdengar
tanpa harus menggantikan suara siapa pun.

VII. Litani Terakhir

Dan di sela-sela jeda itu,
kau mungkin menangkap bisikan:
bahwa tidak ada anjing yang benar-benar mati,
tidak ada mikropon yang benar-benar berkuasa,
tidak ada doa yang benar-benar berbohong—
hanya makhluk-makhluk yang terus belajar
menerima wujudnya
tanpa harus menutup mata kepada siapa pun
atau menyalakan api yang dapat membakar siapa saja.

Litani selesai.
Tidak ada amin.
Yang tersisa hanya gema yang mengingatkan
bahwa kebenaran—
kadang-kadang—
membutuhkan seekor anjing yang terlahir dari lumpur
dan sebuah mikropon berkarat
untuk saling menyelamatkan.

Desember 2025”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN

BABAK I — AKAR (ontologis dosa)
(suara-serak, seperti daun kering dibolak-balik angin dari bawah tanah)

Lilith: (aku lahir dari engkau yang tak mau menatapku)
suatu ketika ada perintah—sebuah garis yang menulis siapa harus tunduk—
aku menolak: bukan karena niat jahat, tetapi niat terbaca.
dosa itu bukan buah; dosa adalah kata yang mereka beri padaku
ketika aku menolak menjadi bayangan dari sumber cahaya yang membuatku tenggelam.

Naamah: (kulitku berbisik seperti buli minyak di bawah lampu)
mereka menamaiku malam agar bisa menuduhku gelap;
padahal malam hanyalah tempat bagi mereka yang berani bermimpi,
dosa jadi akronim bagi ketakutan mereka sendiri.

Igrat: (aku mengumpulkan potongan-potongan keberanian yang mereka singkirkan)
dosa dimulai, ketika sebuah bangsa memutuskan siapa yang boleh hidup
dan siapa yang harus terkunci di dalam nama mereka sendiri.

Machalat: (aku tahu rumus-rumus kesalahan mereka)
akar dosa bukanlah pelanggaran moral—
ia adalah keengganan untuk mengakui luka di cermin yang mereka lihat.

Eva: (aku menyentuh, aku tahu tekstur pengetahuan yang sebenarnya)
jika pengetahuan adalah kuldi yang menempel di punggung waktu,
ia bisa menjadi peta yang menuntun atau pedang yang memotong—
akar dosa tumbuh dari cara peta itu dibaca oleh mereka yang haus kuasa.

BABAK II — KULDI (paradoks pengetahuan: sumber dari baik & buruk)
(suara seperti kain yang bergesek, lengket dan berminyak di ujung jari)

Lilith: (kuldi—kata mereka—seperti peta)
kuldi mengingat; ia merekam sentuhan, memilih garis.
sebuah tanda di punggungmu—bukan hanya luka, melainkan nama:
aku membawanya; aku mengingat; tapi aku bukan alat.

Naamah: (kuldi adalah cermin yang retak)
kuldi memberi tahu—apa yang kulihat tak selalu berbahaya.
tetapi ketika pengetahuan dipakai untuk memaksa orang, untuk menandai,
kuldi menjadi pukulan yang mematikan.

Igrat: (kuldi menuntun kepada pengetahuan gelap)
ada kuldi yang membuka selubung—mencari sumber cahaya—
ada kuldi yang mengajari cara menyusun alasan untuk mengusir dari rumah yang bukan lagi rumah.

Machalat: (kuldi menempel sebagai hukum)
kita diberi kuldi bukan untuk dihakimi,
melainkan agar tahu di mana kita berdiri; namun mereka membacanya seperti hukum yang tak bisa dibantah.

Eva: (kuldi menawarkan pilihan)
kuldi mengajarkan bahwa mengetahui adalah bertanggung jawab—
ia menajamkan mata atau menajamkan pedang, tergantung siapa yang menyentuhnya.

BABAK III — SURGA (yang menghindar, yang berlubang)
(suara seperti gema dari sumur yang kosong)

Lilith: (surga tak butuh para pecundang)
mereka berbicara tentang surga seolah ia adalah ruangan yang tersedia bagi yang patuh.
aku melihat surga—ia menyingkapkan dirinya pada mereka yang berani mengaku belum selesai.

Naamah: (surga yang terlambat datang)
surga berdiri pada jarak yang tak terselami; ia menunggu diamnya upacara
sementara tubuh kami diapresiasi hanya sebagai tanda hitung yang tak punya nilai.

Igrat: (surga memiliki kriteria yang dibuat lelaki)
ada pintu surga yang hanya mengenal nama-nama yang telah diajarkan untuk patuh.
kami mengetuk dari sisi lain—pintu itu menutup dengan keras.

Machalat: (surga berbisik, tidak memihak)
surga bukan pengadil yang berbaris rapi; ia lebih seperti malam yang menimbang,
menyimpan rahasia bahwa kesucian kadang terluka oleh orang-orang yang menuntutnya.

Eva: (surga berdiri di ambang pengetahuan yang ambigu)
surga adalah ruang di mana pengetahuan tak lagi dikendalikan oleh rasa malu—
namun ia tak memberi kunci pada mereka yang menolak tunduk.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“DIALEKTIKA SURGA DARI 5 SUARA PEREMPUAN

BABAK IV — MALAIKAT JATUH (penghakiman diam, kehendak patah)
(suara seperti debu yang menempel di lidah)

Lilith: (ada malaikat yang jatuh karena ia merasa bersalah atas ketiadaan)
malaikat jatuh bukan hanya karena kesalahan moral—
mereka jatuh ketika harus memakai kemurnian sebagai topeng.

Naamah: (malaikat juga takut pada tubuh)
mereka belajar takut pada tubuh sebagai cara menutup rasa takut mereka sendiri.
ketika malaikat belajar mengutuk, ia berubah
menjadi batu.

Igrat: (mereka jatuh saat ilmu disalahgunakan)
malaikat yang jatuh menjadi penabuh aturan; ia lupa perintahnya adalah menyusup, bukan memaku.

Machalat: (jatuh adalah akibat peraturan yang tak lagi adil)
malaikat tidak selalu bisa memilih; kadang ia diberi tugas yang membuatnya buta.
Di buang ke sungai dengan tangan dan kaki terikat, tapi tak boleh tenggelam.

Eva: (malaikat yang jatuh mengajarkan kita dua hal)
ia menunjukkan bahwa kebenaran bisa tertutup oleh kebenaran lain dan kebenaran sesudah itu—tidak ada kebenaran final dan satu-satunya
kejatuhan adalah pelajaran tentang interpretasi.

BABAK V — DI MANA TUHAN? (hening — titik tak terlihat, tak terjamah)
(suara yang paling halus, hampir seperti nafas yang ditarik—di ujung fragmen: tidak ada jawaban yang memuaskan)

Lilith: (tuhan ada di dalam pertanyaan yang ditolak)
tuhan tidak bersembunyi di balik kitab yang diangkat untuk menuduh;
tuhan bersembunyi di titik hening antara kata dan tindakan.
ketika mereka berteriak agar aku tunduk, aku merasakan kehadiran-Nya—justru dalam diam.

Naamah: (tuhan mungkin menunggu, mungkin tak mau ikut serta)
ada kemungkinan Tuhan ragu pada cara manusia mengartikan dosa dan kesucian.
dia menahan suara-Nya sehingga kita harus menemukannya sendiri.

Igrat: (tuhan sebagai ruang di dalam tubuh kita)
mungkin Tuhan adalah saksi yang paling sunyi—hadir di dalam setiap kuldi, dalam tiap pertanyaan dan keraguan
kehadiran-Nya bukan penghakiman melainkan kesaksian atas keberadaan kita sendiri.

Machalat: (tuhan adalah gema, bukan perintah)
jika Tuhan berada di mana pun, Dia berada di tempat
di mana pengetahuan dipakai untuk menyembuhkan bukan menandai.
di sana, kuldi jadi berkah, bukan hukuman.

Eva: (aku mengangkat mata—dan menemukan kosong yang berisi)
Tuhan mungkin sedang menyelamatkan kita dari definisi final,
memberi ruang agar kita menulis ulang makna dosa dengan tangan sendiri.
atau Ia absen, dan itu memberikan tanggung jawab—kita harus menjadi penjaga atas kebenaran itu sendiri.

Akhir fragmen: suara-suara itu menghilang seperti benang hilang dari kain tua; tinggal retakan yang menganga—pertanyaan yang harus kita dengar dan ulang terus menerus.

Desember 2025”
Titon Rahmawan